Slide Title 1

Aenean quis facilisis massa. Cras justo odio, scelerisque nec dignissim quis, cursus a odio. Duis ut dui vel purus aliquet tristique.

Slide Title 2

Morbi quis tellus eu turpis lacinia pharetra non eget lectus. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Donec.

Slide Title 3

In ornare lacus sit amet est aliquet ac tincidunt tellus semper. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Jumat, 17 Februari 2012

Mengkaji Penerapan Epistemologi Dalam Kajian Politik Islam”

Oleh:
Cholid Ma’arif, S.Hum

Abstraksi

Politik menjadi realitas sekaligus idealitas yang kerapkali bersinggungan dengan segenap aspek yang melingkupi kehidupan sosial masyarakat. Hal ini akan menjadi mentah manakala politik dipahami secara sepihak menurut kepentingan masing-masing baik itu sebagai jalan kekuasaan maupun jalan perjuangan. Disinilah peran kajian dan pemikiran politik memainkan perannya ketika dihadapkan pada beberapa wacana pemerintahan baik secara sistem maupun ideologis. Tulisan ini mencoba untuk mengulas sedikit diskursus politik dalam perspektif epistemologi Islam pada ranah penerapan teoritis maupun praksis.

Kata kunci: politik, epistemologi, Islam ,negara.

A. Pendahuluan; Suatu Pembenahan Awal

Antara Realita dan Idealita

Sejarah mengatakan bahwa Islam tumbuh dan berkembang dalam situasi dan kondisi yang tidak bisa lepas dari aspek politik. Peristiwa Fathul Makkah-nya Nabi Muhammad Saw hingga kejayaan masa kekhalifahan Islam adalah fakta yang tidak terbantahkan. Namun demikian, jalinan hubungan antara nilai Islam dan sikap politik kekinian mungkin tidak lagi berimbang ketika tindakan politis murni menjadi lebih dominan tanpa diiringi pemahaman atas epistemologinya.

Terlebih dalam kaitannya dengan gerakan sosial keagamaan, seringkali terjadi perselingkuhan antara politik dan agama menjadi sesuatu yang sangat krusial dan cenderung menimbulkan instabilitas masyarakat. Salah satu titik tolak berbagai arus pergerakan dari sejumlah organisasi massa Islam (Harakah Islamiyah, Ikhwanul Muslimin) –misalnya- adalah konsep ‘trans-historis’ tentang ke-jahiliyah-an dan utopia era keemasan Nabawiyah yang dengan emosionil memerangi rezim pemerintahan sahnya Naser dan Sadat di Mesir.

Untuk mengatasi ambiguitas dalam perilaku politik praktis sekaligus memahami secara mendalam pemikiran politik teoritis, terlebih dahulu perlu diurai dengan sudut pandang filosofis. Dalam hal ini epistemologi menjadi landasan filosofis bagi kemunculan metodologi dan metode dalam merumuskan kebenaran politik dan politik yang benar. Diskursus politik dalam tulisan ini berusaha untuk menjawab pertanyaan: bagaimanakah penerapan epistemologi Islam dalam kajian politik? Lalu, apakah hakikat nilai-nilai politik Islam yang dapat diejawantahkan di segala zaman? Terutama berdasarkan pada khazanah politik Islam yang telah ada dan sedang berkembang.

Epistemologi Islam; Sebuah Pengantar

Mengacu pada rumusan masalah di atas, perlu disepakati bahwa untuk mengarahkan politik pada jalur yang benar harus dimulai dari pembenahan epistemologinya itu sendiri. Karena sesungguhnya epistemologi bukan hanya sekadar problem filsafat, melainkan juga problem seluruh disiplin keilmuan Islam, termasuk ilmu politik dan dinamika di dalamnya. Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani ‘episteme’ yang berarti ‘pengetahuan’, dan ‘logos’ berarti ‘teori’. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Akal (verstand), akal budi (vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model-model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dengan berbagai variasinya. Masing-masing model epistemologik juga mempunyai kelebihan dan kelemahan berdasarkan tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) yang melahirkan teori-teori seperti koherensi, korespondensi, pragmatis, dan teori intersubjektif.

Sepenting epistemologi, bahkan dalam logika Islam dapat dikatakan bahwa sebab Adam as dikeluarkan dari surga adalah karena ia tidak mengamalkan peringkat keempat dari pengetahuannya. Peringkat pertama adalah epistemologi, kemudian “pandangan dunia”, kemudian ideologi, lalu ideologi mengharuskan ia untuk melaksanakan suatu amal perbuatan. Di sinilah peran penting penerapan epistemologi ditekankan secara teologis.

Politik; Antara Diamati dan Dikaji

Politik merupakan salah satu cabang ilmu sosial karena karakternya yang empiris, dapat diamati, dan dapat berubah sesuai zaman. Ia adalah ilmu yang mempelajari pemerintahan sekelompok manusia termasuk negara. Baik itu berkaitan dengan konsep, sistem, dan struktur sosial dan dinamika yang ada di dalamnya.

Politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani politicos, artinya (sesuatu yang) berhubungan dengan warga negara atau warga kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis yang bermakna kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), pengertian politik sebagai kata benda ada tiga. Jika dikaitkan dengan ilmu maka artinya (1) pengetahuan tentang kenegaraan (tentang sistem pemerintahan, dan dasar-dasar pemerintahan); (2) segala urusan dan tindakan ( kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan atau terhadap negara lain; dan (3) kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah). Jadi, dapat dikatakan bahwa hakikat politik itu adalah perilaku manusia baik berupa aktivitas ataupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi atau mempertahankan tatanan suatu masyarakat dengan mempergunakan kekuasaan (Abd. Muin Salim, 1994: 37).

Kecenderungan untuk memposisikan politik sebagai pilihan diantara ‘jalan kekuasaan’ atau ‘jalan perjuangan’ sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari konstruk pemahaman atas hakikat politik itu sendiri. Untuk menuju pada pemahaman tersebut, kiranya perlu diketahui pembedaan antara pemikiran (filsafat) politik, teori politik, dan ilmu politik.

Untuk mencakup ketiga unsur di atas, penulis sepakat dengan wacana (discourse) tentang teori politik – Vernon Van Dyke sebagaimana dikutip A. Rahman Zainuddin yang menyatakan bahwa pengertian tentang teori diantaranya: pemikiran (thoughts), dugaan (conjecterus), juga gagasan (ideas). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik yang berawal dari pemikiran yang mendalam dan penuh renungan akan mempengaruhi ekpresi gagasan politik atau dengan istilah lain filosofi pemerintahan.

Selama ini orientasi kajian politik, khususnya politik Islam, berbicara tentang peristiwa-peristiwa politik mutakhir di dunia Islam kontemporer, dengan sedikit upaya untuk mengkaji secara lebih mendalam aspek-aspek teori politik yang sungguh dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Pada wilayah ini, menurut penulis, epistemologi menjadi basis paling prinsip dari dimunculkannya teori-teori politik tersebut dan penting untuk dikaji terlebih dulu. Sedangkan untuk mengarah pada pembahasan epistemologi, kiranya perlu diketahui metodologi studi pemikiran politik yang mencakup kajian tentang tujuan, ukuran kriteria, dan jenis penelitian.

B. Al-Qur’an Sebagai Sumber Epistemologi Politik Islam

Politik yang adil bagi setiap umat dimaksudkan sebagai pengaturan urusan negara dalam menerapkan sistem dan peraturan yang menjamin keamanan bagi individu dan golongan serta untuk merealisasikan kemaslahatan Islam. Dasar-dasar Islam dijadikan acuan sistem keadilan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia disetiap zaman dan tempat. Hal itu merupakan bukti dari al-Qur’ȃn dan al-Hadȋs, yang menjadi dasar dan sumber utama Islam, meskipun al-Qur’ȃn tidak menjelaskan sistem tersebut secara rinci, tetapi menetapkan dasar-dasar dan kaidah-kaidah kulliyah tentang sistem pengaturan urusan umat dalam tatanegara Islam atau pemerintahan.

Sama halnya dalam epistemologi Islam bahwa al-Qur’ȃn menaruh perhatian pada ihwal batin tanpa menafikan ihwal yang lahir. al-Qur’ȃn tidak hanya mengandung satu, dua atau sepuluh ayat saja yang mengingatkan manusia agar memperhatikan alam, sejarah, dan berbagai sistem sosial –termasuk aspek politik, jiwa dan bagian dalam diri yang merupakan salah satu dari alam ini.

Sehingga dapat dikatakan, politik Islam -sebagai salah satu persinggungan tersebut- adalah aktifitas politik yang didasari oleh nilai dan prinsip Islam, baik dari titik tolak (starting point), program, agenda, tujuan, sarana dan lainnya harus sesuai dengan petunjuk Islam, yaitu al-Qur’ȃn. Selain itu, ada variabel lain yang harus diperhatikan, seperti etika Islam, ketentuan hukum Islam dan lain sebagainya. Pandangan ini mengakui bahwa “dimana-mana”, kehadiran Islam selalu memberikan “panduan moral yang benar bagi tindakan manusia”.

Menurut aliran pemikiran ini, bahkan istilah negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’ȃn. Meskipun “terdapat berbagai ungkapan dalam al-Qur’ȃn yang merujuk atau seolah-olah merujuk kepada kekuasaaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. Karena “al-Qur’ȃn bukanlah buku tentang ilmu politik.”

Pengertian secara umum dari politik diartikan sebagai urusan yang ada hubungan lembaga yang disebut negara. Pemerintahan dapat diartikan sebagai politik. Sehingga belajar tentang ilmu politik berarti belajar mengenai lembaga-lembaga politik, legislatif, eksekutif dan yudikatif (trias politika) yang sebenarnya justru konsep dari Barat, Immanuel Kant. Namun setelah era tahun 1950-an, pemikiran politik berkembang kepada pendekatan perilaku terhadap ilmu politik (behavioral approaches to politics).

Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Di dalam Islam, kekuasaan politik kait mengait dengan al-hukm. Perkataan al-hukm dan kata-kata yang terbentuk dari kata tersebut digunakan 210 kali dalam al-Quran yang dapat dialih-bahasakan menjadi istilah peraturan, undang-undang, patokan atau kaidah, dan keputusan (vonis) pengadilan. Disini tampak bahwa politik merupakan aspek konsekuensi yang sangat penting dari ajaran Islam namun bukanlah satu-satunya aspek terpenting karena –seperti menurut Ibn Taymiyyah- lebih membutuhkan keputusan rasionalis dari sekedar perintah agama.

C. Sejarah sebagai Sumber Lain Epistemologi Politik

Al-Qur’an mengakui sejarah sebagai suatu sumber pengetahuan karena sejarah adalah kumpulan kumpulan masyarakat yang tengah bergerak dan berjalan. Sehingga pemikiran politik Islam pada umumnya merupakan produk “perdebatan besar” yang tidak bisa dilepaskan dari peristiwa sejarah dan masalah religi politik dimana salah satunya melahirkan konsep Imamah dan Kekhalifahan sejak zaman Nabi Muhammad Saw masih hidup.

Walaupun filsafat sejarah dengan sosiologi dalam definisi sesungguhnya mempunyai perbedaan, namun dalam teori maupun praktik Nabi Saw menempati suatu posisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber spiritual undang-undang Ketuhanan sekaligus juga pemimpin pemerintahan Islam yang pertama. Kerangka kerja konstitusional pemerintahan ini terungkap dalam sebuah dokumen terkenal yang disebut dengan “Konstitusi Madinah” atau “Piagam Madinah”.

Dalam dokumen tersebut terdapat langkah pertama dan sangat penting bagi terwujudnya sebuah badan pemerintahan Islam atau Ummah. Piagam tersebut juga memuat beberapa konsep penting diantaranya yakni mengenai konsep suku tentang pertalian darah digantikan dengan ikatan iman yang bersifat ideologis. Menyuguhkan landasan bagi prinsip saling menghormati dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti, bergabung dengan dan, berjuang bersama mereka”.

Sejarah Piagam Madinah membuktikan diri sebagai satu hasil usaha Nabi dalam upaya merealisasikan ajaran al-Qur’an untuk hidup bermasyarakat dan bernegara; bahkan Piagam Madinah dikenal sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang sampai kepada kita. Menurut konstitusi itu pula, orang-orang Islam dan semua warga yang tinggal di Madinah tergabung dalam suatu masyarakat (pasal 1) yang secara fisik dan politis berbeda dengan kelompok-kelompok lain (pasal 1 dan 39). Tidak ada pengertian lain mengenai siapa yang harus mencegah tampuk pimpinan dalam konfederasi semacam itu. Pada pasal 23, 36, dan 42 secara tegas menyebutkan Allah dan Nabi Muhammad Saw sebagai hakim terakhir serta sumber segenap kekuasaan dan kekuatan (wewenang).

Sejak hijrah ke Madinah sampai wafatnya, Nabi Muhammad Saw berperan sebagai pemimpin yang penuh bagi negara Islam yang baru lahir tersebut. Sebagai Nabi, beliau meletakkan prinsip-prinsip agama Islam, memimpin shalat serta menyampaikan berbagai khutbah. Sebagai negarawan, beliau mengutus duta ke luar negeri, membentuk angkatan perang dan membagikan rampasan perang. Hingga sepeninggal beliau tidak pernah menyampaikan wasiat siapa yang berhak menggantikan beliau sebagai pemimpin negara Islam. Inilah yang menjadi pemicu lahirnya perdebatan sengit dan berkepanjangan mengenai syarat-syarat Imam atau pemimpin umat Islam.

Setelah masa kenabian Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin umat Islam kala itu, tampuk kepemimpinan berikutnya dipegang oleh para sahabat Nabi saw. yang lebih dikenal sebagai era “Khulafaur- Rasyidin”, yang terdiri dari para sahabat dekat Rasulullah : Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Masa-masa itu merupakan cermin kejayaan Islam yang diraih dengan berbagai perangkat dan tetap selalu berada di bawah prinsip konsultasi dan akomodasi.

D. Nalar Politik [Arab] Islam; Dari Akar ke Implementasi

Salah satu rujukan terpenting tentang epistemologi politik Islam terdapat dalam karya Mohammed Abid al Jabiri yang berjudul al-‘Aql as Siyȃsiy al ‘Arȃbiy (Nalar Politik Arab). Dalam karyanya tersebut Jabiri menggunakan epistemologi bayȃni yang menyatakan bahwa pada dasarnya politik Islam mencari legitimasinya dari al-Qur’ȃn dan Hadȋth, namun dalam perkembangan nilai –untuk memudahkan konsepsi- kesejarahannya kondisi ini didominasi setidaknya oleh tiga deskripsi motivasi, yaitu: kabilah (kesukuan), ‘aqȋdah (Islam), dan ghanȋmah (harta rampasan perang) Dari ketiga premis tersebut kemudian muncullah doktrin perjuangan politik Islam yang dilandasi pada konsep kepemimpinan suku Quraisy, kepentingan agama, dan kepentingan ekonomi.

Imȃmah dan Khalifah; Ulasan Kitȃb al-Ahkȃm al-Sulthȃniyyah

Ada fenomena penting dalam sejarah politik Islam. Pertama, identitas kesukuan tetap memiliki peranan penting dalam arus utama masyarakat Islam. Kedua, beberapa ciri tertentu masyarakat kesukuan langsung diperkenalkan ke dalam hubungan sosial dan persepsi kultural. Ketiga, beberapa ciri masyarakat kesukuan dimasukkan dengan halus ke dalam struktur umat sebagai keutuhan.

Ajaran tentang jihad menyempurnakan persaudaraan kaum lelaki dan menegaskan batas antara orang dalam dan orang luar. Hak untuk menguasai dan merampas dalam Islam diadopsi dari tradisi nomad pra-Islam; “Tuhan Muhammad telah mengubah militansi dan keserakahan suku-suku Arab menjadi sebentuk amal agama yang luhur”. Sehingga proses terbentuknya syariat sendiri cenderung bersifat informal dan personal, tidak institusional. Pemimpin agama adalah para ulama yang berfungsi utama sebagai penyampai dan menerapkan aturan-aturan moral.

Secara khusus, beberapa gagasan muncul di seputar konsep Islam tentang komunitas (ummah) yang didasarkan pada “islȃm” (tunduk kepada Tuhan dan “masuk ke dalam kesepakatan damai” , inilah kesatuan antara agama dan kekuasaan. Setelah Nabi Muhammad wafat kemudian diasumsikan bahwa seseorang harus menggantikan perannya sebagai pemimpin (imȃm) komunitas sekaligus sebagai khalifah.

Pandangan Ahlisunnah mengenai kekhalifahan salah satunya dikembangkan oleh seorang pengikut Syafi’i, yaitu Abu al-Hasan Ali al-Mawardi (Bashrah 974-Baghdad 1058), seorang ahli hukum reformis yang terkenal dengan karya utamanya Kitȃb al-Ahkȃm al-Sulthȃniyyah (Prinsip-prinsip [Ordonansi/Peraturan] Kekuasaan) –merupakan karya dari genre fikih yang ditulis antara 1045 dan 1058, persis ketika Saljuk menduduki Abbasiyah. Di awal sekali ia berpendapat bahwa sumber-sumber keteraturan sosial adalah (1) sebuah agama yang mapan dapat mengatur nafsu manusia dengan benar; (2) seorang penguasa yang kuat sebagai instrumen pendukung agama dengan ciri otoritas superior; (3) keadilan untuk menjamin terjaganya hubungan cinta dan ketundukan antara rakyat dan penguasa menuju kemakmuran negara; (4) hukum dan tata tertib yang menghasilkan rasa aman universal; (5) kemakmuran ekonomi secara umum dari sumber daya dan pendapatan; (6) harapan orang banyak akan terpeliharanya berbagai aktifitas produksi.

Dalam Sulțȃniyyah (kekuasaan), al-Mawardi bersikeras bahwa pemerintahan keagamaan Islam memiliki suatu bentuk organisasi politik baik itu imȃmah maupun khilȃfah yang dikenali oleh bantuan wahyu teks suci dan bukan sekedar nalar akal. Jabatan-jabatan publik dalam komunitas Islam yang paling penting adalah hakim, muhtasib (pencegah praktik penipuan dan pengatur hubungan antar pekerja), dan mazalim.

Al-Mawardi menggunakan dua konsep untuk memformulasikan hubungan antara khalifah dan para pejabat pemerintahan: wazir (menteri), dan amir (komandan). Ia membedakan dua kelompok wazir: (1) wazir reguler, yaitu yang diangkat (tawhȋb) oleh khalifah untuk melaksanakan kekuasaan secara penuh, dan (2) wazir temporer (tanfȋdz), yaitu yang diangkat oleh khalifah untuk menjalankan tugas-tugas khusus (Bab 2).

Secara metodologis, ia membagi amir menjadi dua jenis. Pertama, amir yang diperluas kedudukannya -dimana pada awalnya hanya berarti jabatan militer- menjadi amir golongan pertama di bawah wazir yang meliputi fungsi kehakiman, ekonomi, dan keagamaan. Kedua, seorang penguasa yang ditaklukkan dan menguasai otoritas Khalifah.

Bila tidak mungkin maka dengan menempatkan pengawas fungsi publik terhadap keamiran seseorang. Walaupun hal ini bertentangan dengan syariat namun dibolehkan dengan dua alasan: (i) harus dijalankan karena syarat-syarat yang dimaksud mustahil dipenuhi, dan (ii) khawatir akan melukai kepentingan publik, sehingga dibolehkan untuk melonggarkan syarat yang dalam keadaan tertentu tidaka akan dibenarkan (dalam Lambton, 1981: 101). Kasuistik seperti inilah yang mungkin dimaksud dengan penerapan epistemologi politik.

Etika Kekuasaan; Nașȋhah al-Mulk dan Genre Sejenisnya


Salah satu rujukan terpenting dalam khazanah politik Islam selanjutnya adalah Nașȋhah al-Mulk (Nasihat kepada Raja) karya al-Ghazali sebagai genre yang lebih pragmatis. Pengaruhnya karya ini mampu mereproduksi dan menyebarkan ideologi kesultanan Sunni. Gerakan pemikiran ini menyiarkan gagasan Islam-Iran ke berbagai belahan dunia dan bermacam bangsa, serta menyampaikannya dari satu dinasti ke dinasti lain.

Dalam terminologi keagamaan, posisi sultan dianggap sebagai bagian integral, bahkan bagian terpenting paham Sunni. Seperti poin gagasan-gagasan al-Ghazali –juga Nizam- berikut ini:
Fondasi negara (dawlah) dan dasar kewenangan terletak dalam pelaksanaan hukum Tuhan... dan dalam teladan yang diberikan untuk mengangkat panji-panji agama serta penegakan kembali tanda-tanda dan praktik Syariat, juga dalam penghargaan dan penghormatan kepada para sayyid (keturunan Nabi) dan para ulama, yang merupakan para pewaris Nabi (dalam CH Iran, 5: 210).

Representasi kekuasaan dan keagamaan ini menemukan bentuknya khususnya pada masa dinasti Saljuk Rum yang telah memantapkan posisi Ahlisunnah sebagai mitra penuh penguasa politik-militer. Sejak saat itu, paham Sunni tidak hanya memiliki otoritas sosial, namun juga diintegrasikan dalam kehidupan politik. Otoritas moral dan hukum para ulama didukung penuh kekuatan koersif Sultan juga sebaliknya. Seperti mengembangkan kebijakan agama pro-aktif dengan pembentukan lembaga peradilan syariat, madrasah, yayasan amal, dan dana untuk pendidikan gratis mualaf.

Salah satu karya yang menjelaskan penerapan gagasan Sunni dalam kehidupan politik berjudul Bahr Al-Fawȃid (Lautan Kebajikan) yang mengungkapkan bahwa agama dan dunia merupakan saudara kembar dan bermakna bahwa ulama dan raja harus bekerjasama bahkan cenderung mendukung ulama. Di sisi lain, juga membolehkan pemberontakan terhadap raja yang memerintahkan bid’ah atau hal yang bertentangan dengan syariat.

Akhirnya karya genre semacam ini turut pula menjadi wahana penyebaran doktrin keagamaan yang penting untuk memasuki lingkaran kekuasaan karena disuguhkan dalam semangat kebijaksanaan dan kepraktisan, luas dan lugas. Konsep Lingkaran Kekuasaan dikutip untuk menegaskan tugas utama para gubernur Sanjar, yakni menjalankan keadilan:
Fondasi kerajaan dan dasar kepemimpinan terkandung dalam usaha menyejahterakan (dunia); dan dunia menjadi sejahtera hanya melalui keadilan dan persamaan; dan keadilan serta persamaan seorang penguasa hanya dapat dicapai berkat para gubernur yang bertindak efisien dan para pejabat yang kuat imannya serta menjalani cara hidup yang terpuji. Hanya dengan itu kemakmuran bisa menjangkau umat manusia di seluruh dunia. Stabilitas kerajaan (dawlah) dan pengaturan masalah-masalah kerajaan (mamlakȃt) adalah buah dari tersebarnya keadilan dan kasuh sayang (CH Iran, 5: 209-210).

Satu aspek penting dari keadilan ini adalah terpeliharanya perbedaan status antar berbagai kelompok masyarakat:
Keadilan diwujudkan dalam usaha untuk menjaga setiap orang yang merupakan bagian dari umat manusia –baik rakyat, pelayan, pejabat, maupun orang yang bertanggungjawab dalam urusan agama dan dunia– tetap dalam tingkatan yang sesuai dan dalam statusnya masing-masing” (CH Iran, 5: 210).

Bahkan dalam ungkapan lain oleh Kai Kawus (1082-1083) seorang sufi di Tabaristan, konsep Lingkaran Kekuasaan adalah:
Ketahanan seorang raja bergantung pada kekuatannya dan kemakmuran kaum petani di pedesaan. Jadikanlah program untuk memakmurkan dan memerintah dengan baik sebagai perjuangan yang kau lakukan terus menerus. Karena... pemerintahan yang baik akan dicapai dengan adanya pasukan bersenjata, pasukan bersenjata terwujud dengan adanya kekayaan, kekayaan diperoleh melalui pengolahan, dan pengolahan akan berjalan baik jika para petani mendapat pembayaran yang adil dan jujur. Untuk itu berlakulah adil dan tak berpihak.

Mașlahah al-Ra’iyyah; Celah Kritis Khazanah Politik Islam

Mașlahah al-ra’iyyah dipandang mampu mengelaborasi nilai sesungguhnya dari aspek pemikiran politik Islam hingga kini yaitu kemaslahatan rakyat dengan ‘core-values’nya pemberdayaan umat (civil society). Salah satu asumsi yang diangkat adalah pengembangan konsep maslahah yang mesti dibedakan menjadi dua, yaitu kemaslahatan yang bersifat sosial-obyektif, dimana peran civil society berperan, dan kemaslahatan yang bersifat individual-subyektif, dimana ruang untuk penafsiran tunggal penguasa dapat diselewengkan –jika selamanya menganut konsep kekuasaan sebagai orientasi politik Islam klasik.

Karena itulah langkah untuk memperkaya fikih sebagai diskursus civil society merupakan salah satu langkah penting untuk memberdayakan fikih sebagai alat transformasi sosial agar tidak terjebak pada politik kekuasaan ansich. Langkah ini diklaim mempunyai tujuan untuk memprioritaskan dan mematangkan demokratisasi yang saat ini sedang bergeliat dalam komunitas muslim.

Untuk tujuan tersebut, al Jabiri menegaskan bahwa dunia Arab dan dunia Islam dalam hal politik dan ranah kebudayaan pada umumnya membutuhkan dua hal: demokrasi dan rasionalitas, bahkan sebagai alternatif dari sekularisme. Menurutnya, demokrasi dan rasionalitas merupakan pertaruhan terakhir bagi tatanan politik yang lebih adil dan damai. Demokrasi akan lebih menghargai hak-hak sipil, baik individu maupun kolektif. Sedangkan rasionalitas akan memotivasi lahirnya praktek-praktek politik yang rasional dan bermoral.

Tentu saja menurut al Jabiri kedua hal tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Karena Islam justru merupakan salah satu rujukan penting untuk menumbuhkan demokrasi. Islam menjadi salah satu pilar penting dalam membentuk nalar kolektif umat Islam karena di dalamnya juga terdapat moralitas dan peradaban sehingga umat Islam bisa hidup berdampingan dengan masyarakat non-muslim.

Dalam paradigma politik Islam yang lebih luas, menurut Zuhairi Misrawi, intelektual muda NU, umat Islam harus mampu memberdayakan dan mengembangkan tradisi-tradisi keilmuan yang tersedia dalam khazanah Islam, misalnya konsep musyawarah (syura) yang berpotensi menjadi pengantar untuk memahami nalar demokrasi dan mengisi salah satu elemen terpenting di dalamnya, yaitu konsep public-sphere (ruang publik). Dalam konsep ruang publik, masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menyampaikan aspirasinya guna menyelesaikan masalah kerakyatan. Bahkan dalam fikih siyasah sendiri ada konsep ijma’ yang memberikan inspirasi bagi terwujudnya pastisipasi yang ideal, yaitu partisipasi yang kualitatif, representatif dan komprehensif, sehingga dapat mendorong terciptanya perubahan bersifat radikal.

Singkatnya, untuk reaktualisasi dan rekonstruksi pemahaman keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan politik dengan tujuan kemaslahatan umat sebagai pengejawantahan dari pemberdayaan umat atau civil society, ada beberapa peran yang harus dimainkan umat Islam dalam mengawal proses transisi menuju demokrasi –sebagai salah satu cara. Pertama, komitmen pada konstitusi. Kedua, komitmen untuk menebarkan keadaban (civility). Ketiga, komitmen untuk memberdayakan ruang masyarakat sipil.

E. Penutup

Al-Qur’ȃn sebagai sumber epistemologi Islam sangat mementingkan agama dan etika serta hanya sedikit mengulas hukum terlebih masalah pemerintahan. Namun, Islam dan politik pada dasarnya dalam wacana pemikiran kontemporer mempunyai tiga poros pemikiran yaitu: Pertama, menyatakan bahwa Islam tidak mengatur persoalan politik. Kedua, Islam mengatur masalah politik sampai kepada hal spesifik. Ketiga, menyatakan bahwa Islam mempunyai perangkat-perangkat dan nilai yang mengatur persoalan politik.

Penting untuk dicatat bahwa al-Qur’ȃn mengandung “nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis...mengenai aktifitas sosial dan politik umat manusia.”, yaitu mencakup prinsip-prinsip tentang “keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan”. Konsep pemikiran dan sistem politik Islam adalah konsep politik yang bersifat majemuk. Sebabnya, karena sistem politik Islam lahir dari pemahaman atau penafsiran seseorang terhadap al-Quran berdasarkan kondisi kesejarahan dan konteks persoalan masyarakat para pemikir politik. Hal tersebut dengan dapat dijumpainya pemikiran politik yang telah muncul sejak zaman Rasulullah saw. dan kemudian dikembangkan hingga masa sekarang.

Sebagaimana al Jabiri yang mengasumsikan nalar politik Islam berangkat dari suatu realitas kesukuan sebagai basis rasis, Islam sebagai basis akidah, dan ghanimah sebagai basis ekonomi. Di sini ia mengungkap aspek epistemologis konsep Imȃmah dan Khilafah-nya Mawardi dan Etika Kekuasaan-nya al Ghazali. Selain itu jugaal- Ahkȃm al-Syar’iyyah-nya Ibn Taymiyah yang dalam hal ini penulis mengambil konsep al-mashlahah al-ra’iyyah yang dikembangkan oleh Zuhairi Misrawi sebagai alat analisa untuk menyelidiki kepentingan-kepentingan terselubung dari pemikiran politik Islam klasik sebelumnya. Sehingga dengan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang komprehensif dan kritis terhadap pola penerapan epistemologi Islam di tiap sejarahnya. Wallahu a’lam.


Catatan Kaki:


Dr. Ali Syu’aibi dan Gils Kibil, “Meluruskan Radikalisme Islam” (terj.), (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), h. 6
Dr. Abdul Mustaqim, “Epistemologi Tafsir Kontemporer”, (Yogyakarta: LKiS, 2010)., H. 10
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, “Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2003)., h. 32
Ibid., h. 12
Murtadha Muthahhari, “Pengantar Epistemologi Islam; Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia” (terj.), (Jakarta: Shadra Press, 2010)., h. 27. Keterangan ini juga ditegaskan dengan ajakan Alqur’an terhadap manusia untuk mencari pengetahuan bahwa Alqur’an hendak mengatakan, “Wahai manusia! Kalian memiliki kemampuan untuk menggali pengetahuan yang tidak terbatas, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya”., lih. Murtadha Muthahhari, “Pengantar Epistemologi Islam..., h. 28
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial, diunduh pada 12 Januari 2012
Drs. Muhammad Azhar, MA, “Filsafat Politik; Perbandingan Antara Islam dan Barat”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997)., h. 10
Vernon Van Dyke, “Political Science: A Philosophical Analysis” (Stanford California: Stanford University Press, 1960)., h. 89, dalam A. Rahman Zainuddin, “Pemikiran Politik”, Jurnal Ilmu Politik, AIPI Jakarta, No. 7, 1990, h. 4
Muhammad Azhar, “Filsafat Politik;...., h. 1
Ibid., h. 13
Murtadha Muthahhari, “Pengantar Epistemologi Islam.....”., h. 81
Fazlur Rahman, “Islam”, New York, Chicago, San Fransisco: Holt, Reinhart, Winston, 1966, h. 241., dalam Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998), h. 7
Bahtiar Effendy,” Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998)., h. 13
Qamaruddin Khan, “Political Concepts in the Qur’an”, h. 3., dalam, Islam dan Negara..., h. 13
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum; Perbedaan Konsepsi Antara Hukum Barat dan Hukum Islam”, . dalam Jurnal Al Jami’ah of Islamic Studies IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Indonesia No. 63/VI/1999, h. 34
Muhammad Azhar, “Filsafat Politik....”, h. 12
Dr. Nurcholish Madjid, “Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia”, (Jakarta: Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 18
Murtadha Muthahhari, “Pengantar Epistemologi Islam,...”, h. 96., dengan humanistiknya, Muthahhari menafsirkan ungkapan “berjalanlah di muka bumi” –QS. Al Mukmin: 82- adalah bukan untuk memperhatikan alam, melainkan untuk memperhatikan dan mengkaji sejarah.
Selain ‘imamah’ dan ‘khilafah’, adalah ‘hukumah’, ‘daulah’, ‘dan ‘kesultanan’ merupakan istilah yang mempunyai konsep tentang negara berdasar khazanah Islam., lih. Kamaruzzaman, “Relasi Islam dan Negara; Perspektif Modernis dan Fundamentalis”, (Magelang: Penerbit Indonesiatera, 2001), h. 28
Jika sosiologi menjelaskan hukum-hukum yang berlaku pada suatu masyarakat, tetapi filsafat sejarah menjelaskan perubahan-perubahan hukum-hukum yang berlaku pada suatu masyarakat; disinilah letak pengaruh waktu., lih. “Pengantar Epistemologi Islam,...”, h. 97
R. B. Serjeant, “The Sunnah Jami’ah, Pacts with the Yathrib Jews, and the Tahrim of Yathrib: Analysis and Translation of the Documents Comprised in the so-Called ‘Constitution of Medina;, Bulletin of the Scholl of Oriental and African and African Studies 41 (1978), 1-62,.. dalam Kamaruzzaman, “Relasi Islam dan Negara; Perspektif Modernis dan Fundamentalis”, (Magelang: Penerbit Indonesiatera, 2001), h. liii
Muhammad Abid al-Jabiri adalah dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra, Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko. Karyanya al-‘Aql as-Siyȃsȋ al-‘Arabȋy merupakan karyanya yang kedelapan (1990)., lih. A. Khudori Soleh, “M. Abid Al Jabiri: Model Epistemologi Islam”, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), h. 230.
Hasil wawancara dengan Dr. Aksin Wijaya, M.Ag, dosen Filsafat Islam Pasca Sarjana STAIN Ponorogo, pada tanggal 24 Januari 2012 di kediamannya.
Antony Black, “Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini” (terj.), (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 38-39
Nilai-nilai kesukuan terus menghidupkan tatanan moral yang telah ditegaskan dalam al-Qurȃn: “Mereka yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak dalam Kitab Allah daripada orang beriman yang tidak bersekutu.” (Q.S. 33: 6)
Crone, “Meccan Trade”, h. 245...dalam, Pemikiran Politik Islam;..., h. 42
Crone dan Cook (1997: 20.. dalam, Pemikiran Politik Islam;..., h. 44
Alasan penulis mengambil contoh corak pemikirannya diantara corak pemikir muslim lainnya –seperti: Abu Ya’la (990-1066); yang menulis al-Ahkȃm al-Sulțȃniyyah dan Ibn al-Farra-karena karyanya tersebut telah mampu diterima luas sebagai “penjelasan paling otoritatif tentang doktrin Sunni yang berhubungan dengan Imamah”... lih. “Pemikiran Politik Islam;...” h. 178.
Pemikiran Politik Islam;..., h. 170
Ibid., h. 174
Ibid,. h. 175
Ibid., h. 210.
Ibid., h. 212
Ditulis oleh seorang Sunni bermazhab Syafi’i dalam bahasa Persia pada 1159-1162 di Suriah., lih. Pemikiran Politik Islam,... h. 214.
Ibid., h. 215.
Ibid., h. 216.
Ibid., h. 217.
Ibid., h. 217.
Zuhairi Misrawi, “Fikih Civil Society versus Fikih Kekuasaan: Sebuah Tawaran Pembaruan Politik Islam”,. dalam Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005)., h. 284.
Abdul Moqsith Ghazali, “Merancang (Kaidah) Ushul Fikih Alternatif”,. dalam Islam, Negara, dan Civil Society:....h. 353.
Fikih Civil Society,.... h. 288.
Ibid., h. 289., lih. www.aljabriabed.com
Ibid., h. 290.
Ibid.
Ibid., h. 291.
Ibid., h. 297.
Ibid., h. 299.
" Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Islam as the Basis of State”, h. 33., dalam Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 13






Daftar Pustaka

Azhar, Muhammad, MA, “Filsafat Politik; Perbandingan Antara Islam dan Barat”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997)

Black, Antony, “Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini” (terj.), (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006)

Effendy, Bahtiar,” Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998)

Kamaruzzaman, “Relasi Islam dan Negara; Perspektif Modernis dan Fundamentalis”, (Magelang: Penerbit Indonesiatera, 2001)

Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia”, (Jakarta: Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina, 1995).

Mahfud MD, Moh. “Politik Hukum; Perbedaan Konsepsi Antara Hukum Barat dan Hukum Islam”, Jurnal Al Jami’ah of Islamic Studies IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Indonesia No. 63/VI/1999

Mustaqim, Abdul, “Epistemologi Tafsir Kontemporer”, (Yogyakarta: LKiS, 2010)
Muthahhari, Murtadha, “Pengantar Epistemologi Islam; Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia” (terj.), (Jakarta: Shadra Press, 2010)

Sadzali, Munawar, (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005)

Soleh, A. Khudori, “M. Abid Al Jabiri: Model Epistemologi Islam”, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003)

Syu’aibi, Ali. Dr., & Kibil, Gils, “Meluruskan Radikalisme Islam” (terj.), (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004)
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, “Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2003)
Zainuddin, A. Rahman, “Pemikiran Politik”, Jurnal Ilmu Politik, AIPI Jakarta, No. 7, 1990.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial

Rabu, 28 Desember 2011

“SOCIALISM AND ISLAM; A Review on Encyclopedi of Islamic World”

Abstraksi

Pemikiran dan paham keagamaan suatu masyarakat ditentukan oleh sejauh peradaban dan sedalam pengetahuannya terhadap dinamika itu sendiri. Setidaknya begitulah yang mewakili proses lahirnya ideologi sosialisme, dimana ia dilahirkan dalam situasi penindasan hak, ketidak-adilan, dan keterjajahan. Dalam kondisi seperti ini, bagi pelaku pemikiran, agama tidaklah cukup dijumudkan pemahamannya secara tekstualis doktrinal semata, namun bagaimana agama mampu menjadi semacam stimulan awal untuk menyatakan gerakan yang riil dan bisa dirasakan oleh semua pihak. Hubungan saling mempengaruhi di bawah bayang sosialisme ini terjadi di negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Bagaimana mereka memposisikan sosialisme hampir seperti agama itu sendiri, lebih dari sekedar “tongkat Musa”. Tidak dengan menunggu keajaiban untuk mengadakan perubahan. Pada bagian inilah makalah dalam bentuk review akan mengulas sedikit banyak anomali tersebut. Setidaknya tulisan ini didasarkan pada ensiklopedi dunia Islam yang ditulis oleh Selma Botman dengan sedikit penjelasan serta kritik seperlunya dari penulis.

Kata kunci: sosialisme, Islam, ideologi, pembaharu

A. Pendahuluan; Embrio Sosialisme

Arah dan orientasi kehidupan yang dirasakan oleh suatu masyarakat dalam satu wilayah semakin lama menjadi kegelisahan akut yang tak terbendung lagi. Kemunculan satu dua orang pemikir diantara mereka kemudian terbukti mampu menjadi penggerak bagi yang lain untuk bangkit. Namun sebab utama adalah bukan dari ketokohan manusia tersebut, melainkan adalah produk pemikiran dan kontribusi yang ia berikan bagi masyarakatnya. Setidaknya situasi inilah yang salah satunya melatari dengan penuh problematika pelik munculnya ideologi sosialisme sebagai paham perjuangan pembebasan dari keterjajahan “the others”.

Secara literatur, asal-usul term “sosialis” pertama kali dipakai pada 1827 dalam Cooperative Magazine sebagai gambaran umum doktrin kooperatif milik Robert Owen (1771-1858) yang kemudian menjadi bentuk –isme, “sosialisme” dalam La Globe, jurnal milik pengikut tokoh sosialis Comte de Saint-Simon (1760-1825). Sedangkan secara historis,prinsip dasar Sosialisme awal merupakan derivasi dari filsafat Plato, ajaran nabi-nabi Yahudi, dan beberapa ajaran dari kitab Perjanjian Baru. Namun pada perkembangannya kemudian, latar nuansa religius ini mulai bergeser sejak peristiwa “renaissance” di Eropa menuju gerakan pada terbentuknya suatu komunitas ideal bersama-sama atas dorongan kesadaran dari pemilikan pribadi.

Problem utama yang melatari munculnya sosialisme merupakan bentuk reaksi minoritas yang menentang pelaksanaan etika kapitalis dan pengembangan masyarakat industri yang tumbuh secara massif pada abad pertengahan (Revolusi Perancis dan Revolusi Industri di Inggris). Jadi, secara umum term “Sosialisme” digunakan untuk merujuk pada sebuah ideologi, seperangkat kepercayaan komprehensif atau idealisasi tentang sebuah masyarakat dan negara sesuai dengan cita-cita para penggagas bagi gerakannya, yaitu ide-ide atas klaim perjuangan terhadap nilai-nilai persamaan, keadilan sosial, kerjasama, kemajuan, kebebasan individu, nihilitas kepemilikan privat, dan kontrol negara atas barang produksi, baik dengan gerakan konstitusi maupun cara-cara yang revolusioner.

Tulisan di bawah ini merupakan kilasan terjemahan dari sebuah buku Encyclopedi of Islamic World yang disusun oleh John L. Esposito. Adapun pembahasan khusus tentang sosialisme dan Islam di dalamnya merupakan buah tangan dari Selma Botman.

B. Sosialisme dan Islam; Sebuah Ensiklopedi Dunia Islam

Antara Setting Budaya dan Interpretasi Keagamaan

Sosialisme dan Islam merupakan dua isu besar yang terbilang baru melanda aspek sosial dan falsafah keagamaan di negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Walaupun kedua isu ini seringkali menguatkan satu sama lain, namun terkadang juga menimbulkan konflik. Kedua kelompok pemikiran inilah baik, secara individu maupun masal, yang berusaha menancapkan pengaruhnya pada bidang politik dan spiritual di wilayah tersebut.

Pemikiran dan praktek sosialis secara umum diperkirakan berasal dari pribumi asli Eropa, namun juga mempunyai akar pada bangsa di Arab Timur Tengah. Salah satu referensi yang paling awal tentang sosialisme dapat ditemukan pada tulisan Jamaluddin Al Afghani (1838 – 1897), seorang pembaharu Islam kenamaan dari abad ke-19. Al Afghani menemukan konsep ‘Al-Ishtirȃkȋyah (sosialisme) pada masa tradisi badui Arab Pra-Islam. Para ‘founding fathers’ awal negara Islam, menurut Al Afghani, diangkat dari tradisi tersebut, dimana terdapat basis struktural untuk mengorganisir dan mengatur masyarakat. Al Afghani beranggapan bahwa sosialisme merupakan asli doktrin bangsa Arab yang menjelaskan komitmen sejarah komunitas Muslim terhadap kesejahteraan seluruh warga negara.

Di Mesir, pemikir sosialis pertama yang terkemuka adalah Salȃmah Mȗsa (1887–1958), seorang advokat di bidang keadilan sosial sejak menjadi mahasiswa di Inggris pada awal tahun 1900-an. Pada tahun 1913, sekembalinya ke Mesir, dia mempublikasikan esai pertamanya dengan judul Al-Ishtirȃkȋyah (Sosialisme), sebuah upaya untuk mengenalkan tema sosialis kepada generasi intelektual Arab dan aktifis yang tertarik pada strategi pembaharuan demi modernisasi dan kemajuan. Dengan dipengaruhi oleh pemikiran Fabian, Mȗsa mempublikasikan 50 judul tentang sosial, ekonomi, dan filsafat menjadi buku yang sangat diminati.

Salȃmah Mȗsa juga aktif di organisasi politik, dan pada tahun 1920 dia berpartisipasi dalam Partai Sosialis Mesir, yang kemudian berganti menjadi Partai Komunis Mesir pada tahun 1923 dan dikawal oleh ideologi Marxisme. Mengamati perubahan ide-ide radikal dalam partai, Salȃmah Mȗsa dan pembaharu lainnya memutuskan keluar dari aktifitas organisasi oposisi. Partai Komunis akhirnya memarjinalkan penganut sosialis Fabian, yang kemudian juga tidak bisa bertahan lama berjalan.

Di Mesir, para sosialis sekuler bergerak secara legal maupun rahasia sejak Perang Dunia I, tetapi para pembaharu Islam tidak langsung menerima dasar ide-ide keadilan sosial secara religius sampai tahun 1930-an dan 1940-an. Organisasi Ikhwanul Muslimin misalnya, yang didirikan tahun 1928, tidak serta merta merapat pada ideologi sosialis, tapi melalui eksistensinya, interaksi pun terjalin, sebagai sikap perlawanan baik terhadap paham sekuler maupun sosialis. Secara pemikiran, Ikhwanul Muslimin mengusung visi gerakan kebangkitan Islam abad ke-19 yang mendukung penegakan sebuah sistem Islam pemerintahan yang berazaskan Alqur’an dan Sunnah Nabi. Organisasi ini melakukan perlawanan terhadap penetrasi Barat di dunia Islam, termasuk pemikiran sosialis, yang dipahami sebagai bentuk lain ideologi kolonisasi yang disusupkan ke dalam masyarakat muslim.

Hasan al Banna (1906-1949), pemimpin tertinggi Ikhwanul Muslimin Mesir, dan pribumi lainnya mereprensentasikan diri sebagai generasi baru nasionalis yang telah kehilangan kepercayaan pada bujuk rayu liberal, ekonomi, dan kemajuan model Barat. Mereka merasa terpanggil atas nama kemerdekaan nasional, modernisasi sosio-ekonomi, dan keadilan sosial ekonomi, mereka mengadvokasi kelahiran kembali masyarakat melalui konsep-konsep yang terinspirasi secara keagamaan. Serta menekankan universalitas dan komitmen Islam untuk mewariskan keadilan kemanusiaan dan ekonomi, para pembaharu Islam kembali pada Alqur’an itu sendiri sebagai bentuk konfirmasi spiritual dan material keimanan mereka dalam merespon perkembangan sosial. Diiringi dengan proses identifikasi cara yang relevan berdasar kitab suci dan teladan hidup Nabi Muhammad Saw, para pemikir Islam berkeyakinan bahwa doktrin keagamaan tidak hanya mengandung petunjuk bagi hubungan antara pengiman dan Tuhan, tapi juga mengamandatkan bagaimana sebuah masyarakat mesti mengorganisasikan dirinya sendiri dan bagaimana rakyat mampu terwakili kepentingannya. Ideologi Ikhwanul Muslimin merujuk pada zaman Nabi dan khalifah setelahnya untuk mereformulasikan kembali sebuah paradigma kekinian secara kontekstual.

Pasca Perang Dunia II, Sosialisme Islam (penyebutan ini kadang dapat ditukar dengan istilah Sosialisme Arab) mengambil seting akarnya di Timur Tengah dan Afrika Utara. Mesir, Syiria, Libia, Irak, Iran, Tunisia, Algeria, dan Yaman Selatan secara terpisah dan zaman yang berbeda masing-masing mempunyai variasi Sosialisme Islam. bagaimanapun juga, Gamal Abdul Naseer-lah orang yang pertama kali mengkaitkan antara Islam dan sosialisme dan digunakan untuk mengkonsolidasikan serta melindungi rezimnya.

Revolusi sosialis Nasser sangat terbantu oleh partisipasi kalangan pemuda pada tahun 1952 dengan turut menyumbangkan tulisan-tulisan intelektual muslim progresif di Mesir. Terutama sekali, Syeikh Khalid Muhammad Khalid (lahir tahun 1920), dalam bukunya Min Hunȃ Nabda’ (Dari Sini Kami Memulai) berargumentasi bahwa sosialisme dilahirkan oleh Islam dan patut menjadi sebuah alternatif untuk menangkal perkembangan ekonomi kapital di negaranya. Walaupun gagasan Khalid diilhami dari gerakan demokratis sosial Eropa, interpretasinya tentang Mesir modern berakar dengan kuat dengan kondisi pada masanya; kuasa penuh penjajahan Inggris, keterbelakangan ekonomi, dan kemerosotan moral. Mesir, menurutnya, tidak akan bisa maju baik secara spiritual maupun ekonomi hingga ia mampu memajukan kehidupan warganya dan memperlakukan mereka dengan baik berdasar keadilan yang ditetapkan oleh Alqur’an. Khalid yakin bahwa revolusi 1952 dapat menjadi permulaan kemajuan sosial yang penuh makna dan pertumbuhan spiritual Islam.

Sebuah kritik mainstream Islam terhadap pemikiran dan praktek di al Azhar, Khalid berpendapat bahwa perilaku agama kebangsawanan merupakan reaksi keagamaan yang memperkuat status kesejahteraan dan menyebabkan kemiskinan bagi kebanyakan lainnya. Darinya, kebenaran Islam menjadi pedoman, keterbukaan, dan berpijak pada komitmen keadilan ekonomi.

Salah satu teoritikus paling berpengaruh pada masa Nasseer adalah Mustafa al Siba’i (1915- 1964), dekan Fakultas Hukum Islam dan Madzhab Hukum di Universitas Damaskus dan Ketua Ikhwanul Muslimin cabang Syiria (dikenal sebagai Front Sosialis Islam) antara tahun 1945 dan 1961. Sebagai seorang sekutu Nasser, al Siba’i membubarkan Ikhwanul Muslimin cabang Syiria pada tahun 1958 ketika semua partai politik dan organisasi rakyat Syiria ditiadakan dalam rangka persiapan membangun Republik Arab Serikat.

Pada tahun 1915, al Siba’i mempublikasikan Ishtirȃkȋyat al-Islam (The Socialism of Islam) dimana ia berargumentasi bahwa sosialisme dan Islam itu tidak setara, tapi bahwa adopsi sosialisme itu tetap harus menjadi target masyarakat. Menurut al Siba’i, sosialisme lebih penting daripada nasionalisasi hak kepemilikan, lebih signifikan daripada perpajakan progresif, dan lebih bermakna daripada pembatasan kepemilikan individu; sosialisme sebagai sebuah perangkat pembangunan menjadi cara untuk menciptakan kemakmuran dan pendewasaan masyarakat. Lebih dari itu, sosialisme merupakan sebuah garansi untuk melawan eksploitasi manusia dan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk mengawasi pembangunan ekonomi. Sosialisme merupakan formulasi al Siba’i untuk mengeliminasi kemiskinan dan memberikan kesempatan kepada individu untuk mengembanngkan potensinya.

Dalam rangka untuk menggencarkan bahwa sosialisme melindungi hak kepemilikan, al Siba’i mendefinisikan Islam sebagai ideologi yang tidak lebih kaku daripada komunisme. Dalam kenyataannya, sosialisme Islam berbeda dari sosialisme keilmuan atau komunisme yang mengupayakan kepemilikan pribadi harta dan produksi serta hanya merampas kekayaan dengan anggapan bahwa kekayaan para pemilik itu menjadi barang eksploitasi. Sosialisme Islam mengupayakan sektor publik agar dapat eksis satu sama lain bersama sektor pribadi dan mengadvokasi hubungan yang harmonis antara kelompok-kelompok masyarakat, dan bukan kelas perang. Masyarakat juga memungkinkan terjadi perbedaan kelompok penjabatan untuk eksis dan mengangkat pembagian tenaga kerja dalam masyarakat, tetapi kelompok-kelompok tersebut diharapkan menjadi hubungan kerjasama dan bukan permusuhan.

Basis pokok solidaritas sosial dalam model sosialis Islam, menurut al Siba’i, adalah al-takȃful al-ijtimȃ’ȋ atau sebuah kombinasi persamaan, keadilan, saling menguntungkan, dan bertanggungjawab. Ketika masyarakat sosialis mencapai tujuannya, ia akan menegakkan, situasi yang bebas konflik, berdasar pada prinsip moralitas dan kolektivitas.

Al Siba’i menekankan bahwa sosialisme Islam meletakkan lima pilar, yaitu; hak untuk hidup terlindungi dan sehat, hak untuk bebas, hak untuk berilmu pengetahuan, hak untuk bermartabat, dan terpenuhinya hak untuk kepemilikan. Dia juga menekankan bahwa Islam mengakui keinginan personal untuk berkreasi dan menghimpun kesejahteraan serta untuk memiliki harta. Walaupun al Siba’i percaya dalam kewajiban sosial berkaitan erat dengan kemakmuran, seperti zakat. Selain itu dia juga berpendapat bahwa kewajiban bukanlah konstitusi sosialisme. Dia berempati pada keyakinannya bahwa satu-satunya cara untuk mengelimanisi kelaparan, wabah penyakit, dan ketidakadilan adalah melalui legislasi nasional yang didukung oleh wewenang pemerintah.

Walaupun al Siba’i memainkan sebuah peran besar dalam menyediakan justifikasi intelektual bagi sosialisme Islam, tapi tidak semua pemikir Islam atau aktifis sepakat dengan pendekatan ini. Sayyid Qutb (1906-1966), sebagai contoh, ideolog utama Ikhwanul Muslimin Mesir pada masa Nasseer, mencela terma sosialisme Islam, dengan mengimani bahwa Islam sendiri sudah diwahyukan bagi manusia memang demi tujuan keadilan ekonomi, nilai moral dan spiritual, dan persamaan. Qutb menganggap Islam sebagai satu-satunya bagi persoalan sosial, ekonomi, nasional, dan moral yang dihasilkan oleh kapitalisme dan komunisme.

Bagi Qutb, hanya ada dua ideologi masyarakat yang dapat diikuti; yaitu jalur Islam atau disebut Jȃhilȋyah, atau kebodohan pra-Islam. Qutb mengasumsikan bahwa kapitalisme, sosialisme, dan komunisme itu tidak ada bedanya dengan Jȃhilȋyah dan tidak akan pernah bisa didamaikan dengan Islam. Islam, di lain pihak, adalah satu-satunya aspek yang mampu memuaskan dan memenuhi semua kebutuhan manusia. Sikap oposisi Qutb terhadap sosialisme Nasseer dan militansi tulisan-tulisannya menjadikannya sebagai musuh bagi rezim Nasseer. Sehingga ia ditahan selama beberapa tahun dan akhirnya dieksekusi pada tahun 1966.

Dalam perwujudannya, negara Islam berlandaskan pada Syariah sebagai sebuah perintah, menurut Sayyid Qutb; tipe lain masyarakat selain landasan tersebut adalah tidak sah. Qutb banyak menulis buku tentang Islam, dan berpendapat bahwa semua muslim memberikan diri mereka sendiri secara total dalam usaha untuk meraih masyarakat Islam yang sejati.

Di luar Mesir, suku Ba’ats baik di Syria dan di Irak mengadopsi seperangkat besar sosialisme Islam. Ideologi Ba’ats selalu konsisten dengan sikap anti kolonialis, Pan-Arabisme, dan intervensi dalam legislasi sosial di bidang kesehatan, pendidikan, dan hak-hak pekerja. Kolonialisasi yang dilawan seperti nasionalisasi industri-industri pokok, perbankan, dan perdagangan asing serta bualan perencanaan ekonomi.

Menurut Michel ‘Aflaq (1910-1989) dan Șalȃḥ al-Dȋn al Bayțȃr (lahir tahun 1912), seorang pemikir politik Syria dan filsuf, ideologi Ba’ats merayakan budaya Arab dan pengalaman historis Nabi Muhammad. Pada prinsipnya, paham Ba’ats menolak sikap intoleransi keagamaan dan menjanjikan manusia yang paling agung dan kebebasan masyarakat.

Sosialisme di Wilayah Maghribi

Libya juga menyuguhkan peristiwa yang dramastis dalam upaya konsistensi perjuangan revolusi untuk mengubah dunia Arab pada tahun 1950-an dan 1960-an. Pada tahun 1969, Mu’ammar al-Qadhdhȃfi (lahir 1942) dan sekelompok tentara muda menggulingkan monarki Raja Idris dan secara radikal membangun masyarakat baru berlandaskan Pan-Arabisme, sosialisme, dan Islam.

Qadhdhȃfi mengikuti jejak revolusi dan model ideologisasi yang diatur oleh mentornya, Nasser, dan mencanangkan sebagai komimen paling baru untuk kesatuan Arab, kualitas ekonomi, dan anti-imperialisme. Tapi Qadhdhȃfi meninggalkan Nasseer dan memposisikan garapan idiosinkretiknya di Lybia dengan mengadakan islamisasi kehidupan sosial. Dalam hal ini, Qadhdhȃfi melarang praktek perjudian, penggunaan alkohol, dan diskotik sebagai upaya untuk memperbaiki moralitas publik. Dia juga menerapkan hukuman dengan hukum Islam terhadap kejahatan seperti pencurian, perzinaan, dan praktek riba.

Qadhdhȃfi menghimpun ide-idenya ke dalam tiga volume bukunya dengan judul The Green Book. Pada volume pertama, “The Solution to the Problem of Democracy”, dipublikasikan pada tahun 1975, Qadhdhafi menggaris bawahi Teori Internasional Ketiga-nya (juga dikenal sebagai Jalan Ketiga), yang dia pahami sebagai sebuah alternatif baik untuk kapitalisme dan komunisme. Dalam The Green Book, Qadhdhȃfi mengkritik kedua bentuk kolonialisasi Barat dan dominasi Soviet, dengan argumentasi bahwa pengaruh asing telah mengkontaminasi masyarakat-masyarakat Muslim dan membuat moral dan teologi para penganutnya rusak.

Sebagai sebuah cara untuk menentang tekanan imperialis, Qadhdhȃfi menciptakan sebuah doktrin yang diilhami dari Alqur’an dan konstitusi negara untuk mencetak Muslim anti-kolonialis di Timur Tengah dan Dunia Ketiga. Dalam pengajaran Alqur’an, dia secara tidak langsung telah menyarankan solusi-solusi yang dapat ditemukan bagi semua problem kemanusiaan –rangkaian dari peristiwa-peristiwa personal bagi hubungan internasional. Bagi Qadhdhȃfi, aplikasi sosialis Islam dan model demokrasi mampu mencegah penjajahan asing maupun domestik serta mampu membimbing masyarakat.

The Green Book bukan sekedar sebuah teks keagamaan, tapi lebih sebagai ajakan yang provokatif dan inspirasional, dan dapat diakses oleh pembaca secara luas. Karya Qadhdhȃfi tersebut memberikan pengaruh yang luas dari Libya hingga Timur Tengah, Afrika Utara, dan Dunia Ketiga lainnya.

Islam juga mewacanakan gerakan pembebasan nasional pada beberapa wilayah bagian Maghribi (dikenal sebagai Arab Timur atau Afrika Utara), setelah nasionalisme terkalahkan, rezim sosialis pun terbentuk. Perkembangan gerakan kemerdekaan mendapatkan reaksi yang keras oleh kebijakan kolonial Perancis yang telah berkuasa pada abad ke-19 dan ke-20. Bangsa Arab Afrika Utara dan Barbarian sangat membenci upaya bangsa Perancis dalam membasmi tradisi politik lokal dan meruntuhkan kekhasan para pemimpinnya. Sebagaimana masyarakat lainnya yang dijajah pada saat ini, mereka mengalami penderitaan di bawah tekanan atas perilaku, kejijikan bangsa Perancis atas adat istiadat lokal, dan penolakan mereka terhadap budaya khas Afrika Utara dan Barbarian. Bagi rakyat Afrika Utara, luka yang sangat menyakitkan adalah dipaksakannya bahasa Perancis menjadi bahasa pokok di wilayah jajahan tersebut.

Pasca Perang Dunia Pertama, para pembaharu Islam di Maghribi masih sedikit. Sehingga mereka menggunakan pengaruhnya, walaupun, dengan cara bergabung bersama tokoh nasionalis sebagai pemimpin besar yang lebih populer. Meskipun orientasinya secara mendasar berbeda dari nasionalis sekuler, mereka tetap fokus pada perjuangan warisan Arab Islam yang dibuktikan dengan penyatuan aspek lain terpecahnya politik dan tekanan rumpun bangsa. Dalam kenyataannya, Islam turut berkontribusi bagi identitas gerakan nasionalis dan membantunya dalam mengalahkan kekuatan kolonial.

Peperangan yang sangat lama dan paling berdarah dalam pembebasan nasional telah berkobar di Algeria dimana kolonialisasi terakhir terjadi sejak tahun 1847 sampai 1962. Perancis masih ngotot memaksakan budaya mereka terhadap bangsa Algeria. Dalam perang suci ini juga dimaksudkan untuk merusak budaya Islam melalui penutupan secara sistematis lembaga-lembaga dan madrasah Alqur’an, termasuk mengubah masjid-masjid menjadi gereja. Generasi muda pembaharu yang terdidik dan nasionalis waspada dalam situasi pertahanan, menjunjung Islam dan menggunakannya sebagai kekuatan untuk menyatukan masyarakat. Para pembaharu berpendapat bahwa Islam selaras dengan dunia modern dan karena itulah rakyat Algeria ingin menjadi yang terbaik dengan mengadaptasikan Islam pada perjuangan politik dan sosial mereka. Islam menjadi komponen yang penting secara khusus bagi perjuangan pembebasan lintas belahan yang dilakukan tokoh nasionalis Algeria.

Di Tunisia, dimana orang Perancis pernah menjadi tuan kolonial sejak tahun 1881 sampai adanya pengakuan kemerdekaan secara formal pada tahun 1956, serta pengakuan atas warisan Islam-Arab yang berkembang pada periode setelah kemerdekaan. Tunisia mencoba untuk menuangkan kembali identitas nasional dan pencitraannya di bawah pimpinan Habib Borguiba (lahir tahun 1903), ketua Partai Neo-Destour (berganti nama menjadi Partai Sosialis Destour pada tahun 1959) dan mengepalai partai pemerintah hingga kejatuhannya di tahun 1987.

Dipengaruhi oleh tulisan Al Afghȃnȋ dan Muhammad ‘Abduh (1849-1905), para pemimpin gerakan Salafiyah di Timur Arab, para pembaharu Maghribi menekankan pentingnya khazanah Islam mereka. Dalam menganalisa masyarakat, mereka tidak hanya mengkritik bangsa Perancis, tapi dalam memperjuangkan kesetaraan, mereka juga menolak pemimpin-pemimpin Sufi lokal karena keterlibatannya dengan penjajahan asing. Para pembaharu juga menekankan pentingnya pemahaman dunia modern bagaimana memandang keagamaan sama baiknya dengan perspektif keilmuan dan menjadikannya demi kebangkitan dalam kajian Islam.

Sebuah golongan gerakan oposisi Iran pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang berhasil menggulingkan kekuasaan Muhammad Shah Reza, juga melandaskan pada Islam untuk melakukan perubahan. Jalal Ȃl Ahmad, yang pernah menjadi seorang intelektual sekuler bersama jaringan Partai Komunis Iran (Tudeh), ikut terpanggil untuk mempolakan kembali tujuan, identitas, dan nasib bangsa. Dalam karya pentingnya Gharbzadegi (Westernisasi), dipublikasikan tahun 1962, dia mengutuk westernisasi masyarakat Iran, yang membawa pada sikap pemujaan terhadap kebudayaan asing yang destruktif dan menyebabkan tunduknya identitas nasional sejati. Jalal Ȃl Ahmad datang untuk meyakinkan bahwa Islam dapat menginspirasi massa masyarakat Iran agar bangkit melawan peraturan Shah. Temanya tentang Islam dan sosialisme telah memotivasi banyak orang untuk merefleksikan masyarakatnya serta mengambil tindakan demi status quo.

Diantara para intelektual dan aktifis yang mempunyai visi Islam perubahan pada tahun 1960-an dan 1970-an adalah Mehdi Bȃzargȃn (lahir tahun 1907), pernah menjadi perdana menteri sementara Republik Iran pada tahun 1979, ‘Ali Sharȋ’atȋ (1933-1977), dan Ayatullah Ruhollah Khomeini (1902-1989).

Pengaruh ‘Ali Sharȋ’atȋ dalam masyarakat Iran pada tahun 1970-an, terutama sekali kalangan mahasiswa dan pemuda yang membaca karyanya, kuliah dengannya, dan pernah mendengarkan pidato provokatif yang disampaikannya, sangat dalam. Para pengikut Sharȋ’atȋ digembleng oleh doktrinnya tentang keadilan sosial dan kebangkitan Islam. Dengan bergabung bersama kelompok-kelompok agama dan organisasi-organisasi politik sekuler, mereka berpartisipasi dalam berbagai kegiatan revolusi yang mampu mengubah arah dan orientasi masyarakat Iran.

Sharȋ’atȋ bukan hanya dipengaruhi oleh teks asli keagamaan, tapi juga karya interpretasi al-Afghani dan pembaharu Islam Pakistan, Muhammad Iqbal. Dia mampu menggambarkan dari kesimpulan teori revolusi yang terjadi pada aktifis dari Dunia Ketiga seperti Frantz Fanon dan Che Guevara. Merasa terpanggil demi renaissanse komunitas Muslim, Sharȋ’atȋ mengawal modernisasi dan perubahan ilmiah yang diinformasikan oleh budaya Iran dan tradisi masyarakat Islam. Pengajaran Sharȋ’atȋ adalah kutukan bagi Shah, yang telah memenjarakannya. Pada akhirnya Shar’atȋ diijinkan melakukan perjalanan ke Inggris, dimana meninggal dengan sebab yang mencurigakan. Mehdi Bȃzargȃn, di pihak lain, menarik banding dengan audiens yang berbeda yaitu masyarakat kelas menengah. Dia mempopulerkan sebuah pandangan modern tentang Islam yang bertemakan keadilan, ilmu, dan kebenaran. Pada tahun 1979, Ayatollah Khomeini menambahkan nilai pada semangat revolusi besar yag dicanangkan oleh inisiatif Jalal Ȃl Ahmad, Mehdi Bȃzarȃn, dan ‘Ali Sharȋ’atȋ serta mendirikan Republik Islam Iran.

Sintesis pemikiran sosialis dengan teologi Islam merupakan hal yang kompleks dan luar biasa. Walaupun sering terjebak dalam konflik, aliran-aliran pemikiran terkadang menguntungkan satu sama lain. Secara politik, gerakan nasionalis dihayati oleh pemikiran Islam, walaupun pemerintah independen itu sendiri dihasilkan oleh sebuah gerakan yang menyandarkan pada prinsip sosialis secara teratur dalam menciptakan tatanan masyarakat. Satu pemikiran yang tercipta dari perpaduan dan saling-mengembangkan ini mungkin dapat dilanjutkan di dunia muslim.

C. Kesimpulan

Sosialisme di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi gerakan ‘people power’ yang berpengaruh bagi tumbangnya rezim otoritarian, baik bagi kalangan internal seperti halnya di Lybia maupun bagi tekanan eksternal seperti kasus di Afrika Utara. Walaupun sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor pendorong, yaitu reaksi untuk keluar bebas dari situasi kolonialisme teritorial, kapitalisme ekonomi, imperialisme budaya, yang diperparah dengan sikap individualisme sesama.

Kendati pun demikian, sosialisme yang terjadi pada kawasan Dunia Ketiga tersebut memiliki kekhasan sendiri, yaitu ketika kondisi sosial coba ditarik permasalahannya pada wilayah agama sebagai solusinya. Indikasi kesaling-sapaan antara kombinasi politik, ekonomi, budaya, kemanusiaan, yang terangkum dalam ranah antropologi mampu didamaikan dengan baik pada ranah agama sehingga muncul dua term; sosialisme dan Islam. Pada akhirnya dua term secara sinkretis memunculkan ideologi sosialisme Islam –jika kemudian paduan term tersebut disamakan dengan Sosialisme Arab, dalam hal ini penulis tidak sepakat.

Dari uraian di atas, kita mungkin perlu menganalisis secara kritis catatan Selma Botman tersebut khususnya di paragraf terakhir dengan sudut pandang politik wacana. Dalam beberapa frasa kalimat tersebut seakan ‘the author’ hendak menyampaikan pada akhir kesimpulan bahwa walaupun sosialisme terbukti mampu membebaskan masyarakat dari ketertindasan, pun demikian ideologi nasionalisme juga tidak lebih buruk daripada sosialisme sebagai solusi dan bentuk sosialisme murnilah -dalam arti teratur- yang mampu membentuk pemerintahan sosialis yang kukuh. Wallahu a’lam bish shawȃb.



**********

Daftar Bacaan

Eko Supriyadi, “Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syariati”, (Yogyakarta: Rausyan Fikr) 2010

Selma Botman, “Socialism and Islam”, dalam John L. Esposito (ed), Encyclopedi of Islamic World, Oxford University, 1997

Kamis, 15 Desember 2011

“PERBUDAKAN DALAM ISLAM; Dari Konsepsi Kemanusiaan Menuju Teologi Pembebasan”

Oleh:
Cholid Ma’arif, S.Hum

Abstraksi

Perbudakan menjadi isu sentral tidak hanya karena berkaitan dengan agama, namun juga ia juga bagian dari sejarah, sosial, budaya, dan ekonomi bahkan politik suatu peradaban itu sendiri. Islam sebagai agama paripurna yang mengakhiri dimensi kelam keberagamaan sebelumnya mempunyai cara pandang tersendiri dalam memposisikan persoalan perbudakan. Ia tidak hanya menjustifikasi dengan kebenaran tunggal di satu sisi dan kesalahan di sisi lain. Namun, dengan seperangkat metode keilmuannya, baik dari perspektif fiqih, sejarah, sosial, dan bangunan falsafahnya, tsaqafah maupun hadharah-nya dalam memposisikan manusia, menjadikan perbudakan mempunyai sudut pandang yang luas. Tulisan di bawah ini akan berusaha mengurai polemik tentang perbudakan melalui konsepsinya, agama-agama samawi, sudut pandang Islam, termasuk dalam bentuknya yang modern di era kekinian, disertai dengan pemecahannya baik menurut Islam maupun paradigma kemanusiaan.

Kata kunci: perbudakan, Islam, penindasan, manusia

A. Agama-agama Samawi dan Perbudakan; Mencari Akar Dogmatis

Pada bagian ini penulis sengaja menyuguhkan literatur tentang perbudakan dari kitab suci agama lain. Hal ini tidak lain untuk memperkaya paradigma dan membandingkan pandangan ke-Islaman kita dalam memandang isu-isu yang masih kontemporer hingga saat ini.

Dalam kitab Taurat disebutkan,
“Nuh menjadi petani; dialah yang mula-mula membuat kebun anggur. Setelah ia minum anggur, mabuklah ia dan ia telanjang dalam kemahnya. Maka Ham, bapa Kanaan itu, melihat aurat ayahnya, lalu diceritakannya kepada kedua saudaranya di luar. Sesudah itu Sem dan Yafet mengambil sehelai kain dan membentangkannya pada bahu mereka berdua, lalu mereka berjalan mundur; mereka menutupi aurat ayahnya. Setelah Nuh sadar diri dari mabuknya dan mendengar apa yang dilakukan anak bungsunya kepadanya, berkatalah ia: “Terkutuklah Kanaan, hendaklah ia menjadi hamba yang paling hina bagi saudara-saudaranya”. Lagi katanya: “Terpujilah Tuhan, Allah Sem, tetapi hendaklah Kanaan menjadi hamba baginya. Allah meluaskan kiranya tempat kediaman Yafet, dan hendaklah ia tinggal dalam kemah-kemah Sem, tetapi hendaklah Kanaan menjadi hamba baginya”. (Kitab Kejadian 9: 20-27).

Makna dari kisah di atas adalah walaupun Sem-lah yang sebenarnya menyakiti ayahnya, Nabi Nuh, tetapi yang disalahkan dan dikutuk justru Kanaan, anak Ham. Perasaan akan ‘praduga tak bersalah’ yang tiada mendasar ini rupanya menjadi ‘hantaman’ bagi diri Kanaan. Siapapun akan merasa tertindas dan teraniaya dengan klaim negatif yang menempel pada dirinya. Perasaan ketertindasan dalam kisah inilah yang salah satunya melatar-belakangi perilaku pembudakan. Bahkan secara berlebihan hal ini diyakini sebagai bentuk kutukan ini yang menimpa minimal sepertiga penduduk dunia ini. Dimana sepertiga menjadi budak bagi sepertiga yang lain.

Lebih dari itu, dalam kitab-kitab Taurat terdapat banyak cerita tentang budak dan pembantu yang melayani para rasul dan nabi. Demikian juga Injil yang mengandung cerita permisalan tentang para budak yang melayani para tuan mereka. Al Masih mengatakan:
“Siapakah hamba yang setia dan bijaksana yang diangkat oleh tuannya atas orang-orangnya untuk memberikan mereka makanan pada waktunya? Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang”. (Injil Matius 24: 45-46).
“Siapa diantara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatkanlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterimakasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” (Lukas 17: 7-9).

Dalam turats Islam sendiri, ihwal perbudakan dapat dirunut melalui Alqur’an yang banyak berkisah tentang sejarah manusia terdahulu, dari Nabi Adam As hingga Nabi Muhammad SAW. Tidak ada keterangan pasti, sejak kapan perbudakan dimulai. Tapi jika melihat sejarah para Nabi dan Rasul dapat diuraikan bahwa di jaman Nabi Ibrahim As, sudah dikenal hamba sahaya atau budak. Bahkan beliau memperistri Siti Hajar, yang pernah mengabdi kepada keluarga Ibrahim dan Siti Sarah. Hajar melahirkan Nabi Ismail As, yang bersedia disembelih ayahnya sesuai petunjuk Allah SWT. Yang paling masyhur adalah budak bernama Bilal bin Rabbah, budak kulit hitam yang mempunyai suara amat bagus mengumandangkan azan, dan selalu mengumandangkan azan di Madinah.

Dalam kisah-kisah Alqur’an juga dikenal nama Siti Masyitah yang bekerja dengan Fir’aun sebagai budak di istana Fir’aun. Namun karena ketaatannya pada Allah dan tidak mengakui Fir’aun sebagai Tuhan, konsekuensinya Masyitoh sekeluarga dimasukkan ke tungku raksasa penggorengan. Sehingga Allah memuliakannya dan makamnya sangat harum di Mesir. Selain itu juga terdapat kisah wanita yang paling sufi di dunia yakni Rabiatul Adawiyah. Di masa kecilnya pernah diperjualbelikan sebagai budak, dan setelah dewasa menjadi wanita cantik jelita dan tidak pernah mau menikah meski dilamar oleh ulama besar maupun raja. Rabiah menolak semua pria yang melamarnya karena dia sangat mencintai Allah SWT dan merasa tidak mampu mencintai yang lain. kecuali sepenuhnya mengabdi kepada Allah SWT. Begitu pula Nabi Yusuf As, yang dibuang saudara-saudaranya ke sumur karena cemburu, lalu ditolong oleh seseorang yang kemudian menjadi budak Nabi Yusuf.

B. Perbudakan Dalam Sejarah Manusia; Konsepsi dan Pembenahan

Antara perilaku sosial dan sistematika alam merupakan kombinasi yang tak terpisahkan, bahkan cenderung tidak mempunyai kemampuan untuk menjelaskan suatu fenomena di tengah masyarakat. Terlebih relasi antara profanitas dan sakralitas masih berusaha menemukan pemecahannya jika untuk dapat saling memahami “bahasa” satu sama lain. Karena dimensi satu dengan yang lainnya mencoba untuk saling mempengaruhi; ketika “penghuni bumi” berbuat sesuatu, maka “penghuni langit” pun mencoba untuk mengaturnya. Hingga ada suatu pepatah yuridis yang berbunyi “ibi ius ibi, societas”, dimana ada masyarakat di situ ada hukum.

Salah satu fenomena pelik yang terjadi di bumi dan “benak manusia” adalah masalah perbudakan. Asumsi penulis bahwa perbudakan juga menjadi problem dalam “benak manusia” adalah karena esensi akan jiwa, pikir, dan mental perbudakan itu sendiri pada dasarnya perlu direfleksikan kembali jauh kepada kesadaran manusia itu sendiri. Hal ini menjadi maklum dalam pemahaman falsafati, dimana ada permasalahan tentang objek yang mendasar (ontologi) maka sebelum mengarah ‘kesana’ permasalahan tentang subjek (epistemologi) itu mesti didudukkan secara radikal.

Dari pembenahan awal di atas, mungkin akan kita sepakati bahwa perbudakan adalah salah satu bentuk penindasan manusia terhadap manusia lain. Lebih rinci lagi, penekanan negatif dari ‘yang menguasai’ atau ‘yang lebih kuat’ terhadap ‘yang dikuasai’ atau ‘yang lebih lemah’. Jika term ini dipahami dalam ranah Islam, maka sebenarnya pola perbudakan ini telah terjadi sejak Nabi Adam, yaitu sejak peristiwa yang terjadi antara dua orang bersaudara, Qabil dan Habil, dimana saling terjadi permusuhan dan pembunuhan pertama kali di dunia, porsinya pun lebih besar daripada perbudakan.

Peristiwa ini sedikit banyak menurun pada anak cucu Nabi Adam sebagai dua sisi yang saling kontradiksi; antara yang kuat dan yang lemah, yang berkuasa dan yang dikuasai, yang jahat dan yang baik, serigala dan anak kambing, kucing dan tikus. Di Arab sendiri kemudian dikenal dengan perilaku saling menguasai antar kabilah dan suku bangsa dalam menjalankan misi ekspansi mereka. Termasuk di Eropa dikenal dengan misi penjajahan ke pada bangsa lain dengan tujuan ‘gold’ (kekayaan), ‘glory’ (kejayaan), dan ‘gospel’ (agama).

Pada level yang lebih modern, tindakan penindasan ini mewujud dalam bentuk yang lebih ‘halus’ yaitu berbentuk penjajahan ideologi, seperti: kapitalisme, imperialisme, hedonisme, sekularisme, dan sebagainya. Demikianlah beberapa unsur dan makna perbudakan dalam arti luas yang telah dan sedang melintasi ruang dan waktu.
Akar pemikiran tentang budak ini secara radikal bisa kita temui dalam tradisi pemikiran Atena dan Roma sebagai representasi produk peradaban kuno tepatnya suatu masa sebelum dan setelah Islam datang. Yaitu pemikiran Aristoteles yang menyatakan bahwa ketaatan dan perintah merupakan dua hal yang sangat bermanfaat. Lebih lanjut, ia menyatakan bahkan benda mati pun mempunyai unsur ‘yang dituankan’ dan ‘yang diperbudak’ ketika keserasian lagu tercipta dari adanya kombinasi antara suara-suara ber-ritme lemah dengan suara-suara kuat membentuk suatu alunan yang syahdu.

Pada pemahaman tentang manusia, jiwa dan jasad merupakan implementasi dari “tuan” dan “budak”. Ketika seseorang tidak mampu mengendalikan nafsunya, maka sesungguhnya ia telah memperbudak jiwanya. Sebaliknya ketika ia menguasakan jiwanya lebih dari nafsu jasadiahnya, maka ia sedang memperbudak jasadnya. Dari sini dimunculkan pra syarat manusia yang sempurna adalah manusia yang bisa mengolah dan memelihara keselarasan antara roh dan jasadnya.

Dengan demikian yang ingin disampaikan adalah pola “pembudakan” sebenarnya telah ada dalam diri manusia yang dirupakan dengan pembudakan antar sesama. Walaupun Abdul Karim al Khatib sendiri dalam versi karya aslinya yang berjudul ‘At-Ta’rȋf Bi Al-Islȃm Fi ‘Ashri At-Tahaddiyat’ hendak menyatakan filsuf inilah yang mempengaruhi corak pemikiran Eropa Modern dalam mengabsahkan praktek perbudakan dengan sistem kolonialisasinya. Di luar maksud tersebut, penulis lebih sepakat untuk mengakui bahwa bagaimanapun kerasnya suara hati kecil manusia untuk menolak perbudakan bahkan sebagai bentuk dari kezaliman dan penindasan, namun di sisi lain akal tidak dapat memungkiri realita yang lacur terjadi di masyarakat secara nyata dengan varian bentuknya.

C. Faktor-faktor Perbudakan; Dalam Realita Sosiologis

Perbudakan (slavery), salah satu cirinya secara umum adalah pemilikan orang tertentu oleh orang lain, telah menjadi hal yang lazim dalam sejarah dunia. Perbudakan paling sering dijumpai pada masyarakat pertanian dan paling jarang dijumpai pada masyarakat pengembara, terutama pemburu dan pencari makanan (Landtman 1936/1968). Ketika kita mempelajari sebab-sebab utama dan kondisi di masa perbudakan, kita akan mengetahui sangat beragamnya perbudakan di seluruh dunia.

Penyebab perbudakan berlawanan dengan asumsi yang dianut banyak orang, karena perbudakan memang tidak disebabkan oleh rasisme. Adapun beberapa faktor penyebab terjadinya perbudakan adalah salah satu dari tiga faktor berikut:

Faktor pertama, adalah hutang. Dalam kebudayaan beberapa negara atau daerah orang yang menghutangi akan memperbudak orang yang tidak mampu membayar hutang. Kecenderungan akan kasus ini lebih sering kita jumpai pada era klasik bahkan nomaden, dimana belum ada status hukum yang konvensional di bawah pengakuan luas dalam menjalankan sistem ini.

Faktor kedua, adalah kejahatan. Seorang pembunuh atau pencuri mungkin tidak dihukum mati, melainkan diperbudak oleh keluarga korban sebagai ganti rugi atas derita kehilangan kepemilikan seharusnya yang dilakukan oleh pembunuh atau pencuri tersebut.

Faktor ketiga, ialah perang. Jika suatu kelompok manusia berhasil menundukkan manusia lain, mereka sering memperbudak sebagian diantara pihak yang dikalahkan. (Starna dan Watkins; 1991). Sejarawan Gerda Larner (1986) mencatatkan bahwa orang-orang pertama yang diperbudak karena peperangan adalah kaum perempuan. Ketika kaum laki-laki menyerbu suatu wilayah maupun perkampungan secara umum pasti berhadapan dan berperang dengan sesama laki-laki sehingga terjadi pembunuhan antar kedua belah pihak. Setelah itu, salah satu pihak yang kuat akan memperkosa dan menangkapi kaum perempuan dari pihak lawan untuk dibawa pulang. Kaum perempuan inilah yang dipergunakan pihak musuh untuk dijadikan sebagai komoditi seks, pekerjaan, dan reproduksi dalam kapasitasnya sebagai budak mutlak.

Pola ini lazim dilakukan pada masa perang era kuno juga, dimana perampasan harta perang termasuk sumber daya musuh lawan dijadikan tawanan perang untuk dipekerjakan di negara atau pihak yang memenangkan perang. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw, menurut sejarah Islam, mempunyai cara pandang tersendiri untuk memperlakukan tawanan perang dengan cara tetap memanusiaakan mereka.

Sekitar 2.500 tahun yang lalu, ketika Yunani masih menjadi sekumpulan negara kota, perbudakan merupakan sesuatu yang lazim. Suatu kota yang lebih kuat dan mampu menundukkan kota lain akan memperbudak sebagian warga dari kota yang dikalahkan. Baik budak maupun pemilik budak adalah sama-sama orang Yunani. Demikian pula ketika Roma menjadi Penguasa Tertinggi di kawasan Laut Tengah sekitar 2.000 tahun lalu, kaum Romawi memperbudak sebagian kaum Yunani yang berhasil mereka tundukkan. Karena lebih berpendidikan daripada penguasa, sebagian budak ini dipekerjakan sebagai pengajar di rumah orang Romawi. Dengan demikian, perbudakan merupakan hutang, kejahatan, dan perang, dan bukan merupakan persoalan ras yang secara hakiki lebih rendah atau bukan.

Kondisi perbudakan di negara satu dengan yang lain berbeda. Dalam sejumlah kasus, perbudakan bersifat sementara. Para budak kaum Israel dibebaskan tiap tahun jubilee yang terjadi setiap 50 tahun. Budak kaum Romawi biasanya berhak menebus dirinya dari perbudakan. Mereka mengetahui harga beli mereka sendiri dan beberapa orang dapat membayar harga ini dengan cara menjalin kesepakatan dengan pemilik mereka dan dengan jalan menjual jasa mereka ke orang lain. Namun pada umumnya perbudakan merupakan suatu keadaan seumur hidup. Beberapa orang penjahat, misalnya dijatuhi hukuman seumur hidup menjadi pendayung di kapal perang Romawi. Disana mereka bekerja sampai akhir hayat mereka, dan sering tidak berlangsung lama di bawah tekanan kerja yang sangat melelahkan.

Terdapat kenyataan yang berkembang di lapangan perbudakan terkait pergeseran peran dan karakternya, yaitu:

1. Perbudakan tidak secara otomatis diwariskan.

Di kebanyakan tempat, anak-anak para budak otomatis akan menjadi budak pula. Namun dalam sejumlah kasus, anak seorang budak yang lama mengabdi dalam suatu keluarga akan diadopsi menjadi seorang anak dari keluarga tersebut. Menjadi ahli waris yang menyandang nama keluarga dan bersanding putra-putri mereka dalam rumah tangga tersebut (Lantman 1938/1968: 271).

2. Para budak tidak secara otomatis tidak berkuasa dan miskin.

Dalam hampir semua kasus, para budak tidak memiliki kepemilikan dan kekuasaan. Namun dalam beberapa kelompok, budak dapat mengakumulasikan kepemilikan bahkan mendapatkan posisi tinggi dalam komunitas. Kadang-kadang seorang budak dapat menjadi kaya dan meminjamkan uang kepada majikannya, dan di kala ia masih menjadi budak, ia dapat mempunyai budak sendiri (Lantman 1938/1968). Namun kejadian ini sangat jarang terjadi.

Karena perbudakan mempunyai beberapa penyebab, beberapa analis menyimpulkan bahwa rasisme tidak termasuk penyebab perbudakan, melainkan perbudakanlah yang menyebabkan rasisme. Karena memperbudak orang lain seumur hidup itu menguntungkan dan orang Amerika membuat suatu ideologi yang membenarkan pengaturan sosial. Ideologi menghasilkan suatu gambaran mengenai pengaturan sosial menjadi sesuatu yang tak terelakkan, perlu, dan terkesan adil. Para kolonis mengembangkan pandangan bahwa para budak lebih rendah dan mengatakan bahwa mereka tidak sepenuhnya manusia.
Ringkasnya, para kolonis mengembangkan pembenaran rinci atas perbudakan bahwa yang dibangun atas asumsi keunggulan kelompok mereka sendiri daripada yang lain.

Akar perbudakan menjadi semakin menguntungkan, negara-negara bagian yang memiliki perbudakan mengesahkan undang-undang yang melegalkan bahwa perbudakan merupakan sesuatu yang dapat diwariskan. Artinya bayi yang dilahirkan budak menjadi hak milik pemilik budak (Stampp 1956). Anak-anak ini dapat dijual, dipertukarkan, atau diperdagangkan. Untuk memperkuat pengendalian mereka, negara-negara bagian mengesahkan undang-undang yang melarang para budak untuk berkumpul atau meninggalkan rumah majikan tanpa suatu surat jalan (Lerner 1972). Sedangkan untuk konteks di zaman yang setahap lebih maju lagi seperti saat ini, situs inthesetimes.com mengungkap beragam faktor penyebab meluasnya fenomena model baru perbudakan yang dimotori utama oleh faktor meluasnya ketidakadilan di berbagai belahan negara yang semakin diperparah oleh faktor krisis ekonomi.

D. Perbudakan Dalam Bingkai Modernitas Zaman; Contoh Kasus

Perbudakan di masa kini telah banyak pula menampilkan wajah buruknya, seperti di Sudan, Pantai Gading, dan Mauritania (Tandia 2001; Balles 2002; Del Castillo 2002). Perbudakan di wilayah ini mempunyai sejarah panjang dan baru pada tahun 1980-an perbudakan menjadi sebuah pelanggaran hukum (Ayittey 1998). Meskipun telah dihapuskan secara resmi, namun perbudakan sebenarnya masih tetap berlangsung.

Perbudakan di dunia baru ini semakin meningkat karena kebutuhan akan tenaga kerja, beberapa negara kolonis mencoba untuk memperbudak orang Indian, namun upaya ini gagal. Salah satu sebabnya adalah ketika orang Indian melarikan diri, mereka dapat bertahan hidup di hutan dan mendirikan komunitas baru disana. Orang Afrika kemudian menjadi sasaran perbudakan dengan di bawa ke Amerika Utara dan Selatan oleh orang Belanda, Portugis, dan Spanyol.

Seiring perkembangan zaman, pola pemanfaatan sumber daya manusia semacam ini masih saja menggiurkan. Dapat disebutkan misal Tenaga Kerja Indonesia (TKI), utamanya tenaga kerja wanita di luar negeri, terlebih yang bekerja di Negara-negara Arab. Banyak kasus kekerasan yang dialami oleh mereka walaupun sudah diatur sedemikian rupa baik oleh hukum Internasional maupun hubungan kerjasama bilateral. Kasus terakhir terhadap Darsem yang lolos dari hukuman pancung karena bantuan pemerintah yang membayar denda atau diyat sebesar Rp.4,5 milyar diakui mampu menyelamatkannya dari hukuman pancung. Namun, akhir perjalanan yang berbeda dialami oleh Ruyati, TKI wanita yang tertuduh melakukan pembunuhan terhadap majikannya, telah kehilangan hak hidupnya sebagai manusia hanya karena alasan hukum Islam yang diterapkan secara radikal di negara tersebut.

Bukan hanya di negara Timur Tengah, di negara Barat pun yang mencita-citakan sebagai polisi dunia, perbudakan masih saja tidak terbendung, walaupun penghapusan perbudakan itu sendiri telah dilakukan sejak 150 tahun lalu. Mengutip laporan tahun 2010 dari Departemen Perdagangan Manusia (TIP), Departemen Luar Negeri AS menyebutkan masih adanya praktek global perdagangan manusia hingga kini layaknya barang milik pribadi marak dipraktekkan di AS.

Laporan tersebut mengindikasikan bahwa meskipun katanya Amerika Serikat berupaya untuk memerangi perdagangan manusia, tetapi korban 'perbudakan' ala baru ini tetap tersebar di seluruh negeri, tersembunyi dari pandangan: baik perbudakan para migran, pelacur yang terikat oleh utang penyelundupan, para pembantu rumah tangga yang bekerja tanpa dibayar. Meskipun relatif negara kaya dan dengan sistem hukum yang canggih, perbudakan model baru masih menetes ke Amerika Serikat melalui celah-celah dalam undang-undang tenaga kerja dan imigrasi.

Titik tegang antara realita dan dogma dalam merespon perbudakan salah satunya dijembatani dengan paradigma Hak Azasi manusia (HAM). HAM adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat pada dirinya dimanapun dan kapanpun ia berada. Perlindungan akan cakupan dari HAM inilah yang sedang disepakati oleh dunia internasional walaupun –sebagian bangsa- kemudian belum menemukan standar bakunya terkait aspek lokalitas, realitas, maupun isu politik global di tiap negara yang berbeda kadar dan jenisnya.

Secara historis, ide mengenai HAM sendiri sangat dilatar belakangi oleh isu maraknya perbudakan. Tepatnya ide ini muncul pada abad ke-17 dan ke-18 ketika terjadi keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu terhadap rakyat yang mereka perintah maupun manusia yang dipekerjakan sebagai masyarakat lapisan bawah.
Konsensus HAM inilah yang disinyalir masih bisa dikesampingkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam melegalkan praktek perbudakan, penindasan, dan kekerasan melalui cara yang selalu baru sesuai perkembangan zaman.

E. Islam dan Solusi Perbudakan; Menuju Teologi Pembebasan

Keadaan perbudakan di dunia pada saat Islam datang adalah seperti perlakuan tuan terhadap binatang perahannya. Hingga saat ini, bangsa Negro Amerika masih menempati perkampungan-perkampungan terpencil atau kandang. Revolusi budak di Roma pimpinan Parakus yang mampu mengguncang pasukan imperium Romawi, bahkan hampir saja memusnahkan imperium itu sendiri, membuktikan para budak ini hidup di daerah khusus, seolah mereka telah membentuk negara di dalam negara, yang rakyatnya terdiri atas para budak itu.

Untuk itulah Islam memberikan porsi yang tidak sedikit dalam memperhatikan kesejahteraan dan memperjuangkan kemerdekaan budak. Seperti dalam menyelesaikan masalah perbudakan, Islam melakukan dua hal sebagai berikut:

Pertama, seruan umum untuk bersaudara dalam persaudaraan Islam dan kemanusiaan. Dalam hal ini Islam telah melahirkan semua manusia dengan satu cara yang sama dan dari rahim yang sama, yaitu bumi. Kesadaran ini diharapkan mampu menggugah sisi ego manusia untuk tidak merasa paling unggul diantar manusia yang lain, termasuk dalam hal muamalah. Jika kita kembalikan dalam terminologi sunnatullah, maka akan dipahami bersama bahwa kebutuhan akan keberagaman peran dan fungsi sosial menemukan bentuknya yang satu, yaitu kesalingketergantungan dalam kapasitasnya sebagai makhluk.

Kedua, seruan untuk memerdekakan budak dalam rasa keadilan bersama. Berangkat dari pemahaman bahwa budak awalnya dianggap sebagai harta yang mempunyai nilai khusus sehingga orang akan sulit untuk melepaskannya kecuali dengan imbalan yang menarik. Dalam pasar ini, Islam menawarkan berbagai bentuk pertukaran hingga dapat menampung semua orang yang memiliki dan sekaligus menyediakan imbalan menarik jika mereka mau pergi ke pasar ini.

a. Imbalan dalam bentuk harta
b. Imbalan yang sebanding dengan harta atau tenaga; meliputi kasus-kasus:
- Pelanggaran sumpah maka kafaratnya adalah memerdekakan budak
- Juga ketika terjadi pembunuhan seorang muslim tanpa sengaja
- Jika melakukan sumpah zihar , kafaratnya juga memerdekakan budak.

Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Bin Shalih Ali Bassam, penulis kitab Taisir ‘Allam, menawarkan salah satu cara Islam dalam menyelesaikan masalah perbudakan, diantaranya adalah:

1. Mempersempit sebab-sebab perbudakan.

Islam menyatakan bahwa seluruh manusia adalah merdeka dan tidak bisa menjadi budak kecuali dengan satu sebab saja, yaitu orang kafir yang menjadi tawanan dalam pertempuran. Panglima perang memiliki kewajiban memberikan perlakuan yang tepat terhadap para tawanan, bisa dijadikan budak, meminta tebusan atau melepaskan mereka tanpa tebusan berdasar kemaslahatan umum.

2. Menyikapi para budak dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang.

Hal ini hanya dapat dilakukan ketika memandang budak layaknya saudara sendiri, yaitu dengan memberikannya makanan, minuman, pakaian, serta manajemen waktu yang profersional. Di Indonesia, hal ini lazim disebut dengan Upah Minimum Regional (UMR), misalnya, yang masing-masing besarannya di tiap daerah berbeda sesuai dengan pendapatan dan pemasukan teritorial ekonominya. Walaupun memang pengertian buruh dalam kasus ini lebih pada pekerja kasar atau karyawan.

Kemudian Islam memiliki beberapa sebab kemerdekaan seorang budak, baik merdeka secara terpaksa atau merdeka secara ikhtiari. Jalan merdeka secara paksa adalah seperti:
- Barang siapa melukai tubuh budaknya maka ia wajib membebaskan budaknya tersebut.
- Seorang budak dimiliki oleh beberapa orang, lalu salah seorang pemilik membebaskan bagiannya, maka pemilik tadi harus membebaskan bagian sekutunya secara paksa.
- Barang siapa memiliki budak yang ternyata masih kerabat dekatnya (mahramnya) maka wajib atas pemiliknya untuk membebaskan secara terpaksa.

Agar tidak terjadi pemahaman bahkan pembenaran secara ‘sepihak’ dalam penyelesaian masalah perbudakan, menarik untuk mendalami gagasan besar Ashgar Ali Enginerr, seorang pemikir kontemporer, yang mencanangkan teologi pembebasan untuk melawan segala bentuk penindasan –termasuk soal perbudakan- dalam Islam. Tentunya dengan tahapan mengubah teologi klasik menjadi teologi praksis pembebasan dalam memandang perbudakan khususnya. Adapun teologi pembebasan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, konsep tauhid. Tauhid disini tidak semata dimaknai keesaan Allah namun juga sebagai kesatuan manusia (unity of mankind). Dalam konteks ini masyarakat Islam tidak dibenarkan melakukan diskrimanasi dengan bentuk apapun, ras, agama, kasta, maupun kelas.

Kedua, konsep jihad. Dalam teologi ini, jihad dimaknai sebagai berjuang dalam menghapus eksploitasi, korupsi, dan pelbagai bentuk kezaliman terlebih penindasan dalam perbudakan. Perjuangan ini harus dilakukan secara dinamis dan istiqomah hingga pengaruh destruktif musnah dari muka bumi.

Ketiga, konsep iman. Iman yang berarti; selamat, damai, perlindungan, dapat diandalkan, terpercaya, dan yakin pada Tuhan, sudah saatnya dan harus mempunyai implikasi secara sosiologis. Jadi, tidak sekadar mencakup dimensi akan aspek eskatologis semata, namun yang lebih penting juga menciptakan ketertiban, kedamaian, dan keyakinan pada nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan.

F. Penutup

Dari pembahasan mengenai perbudakan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam mempunyai perhatian besar terhadap isu ini. Dikatakan perbudakan bukanlah sesuatu yang mustahil namun ada cara dan pengaturan khusus yang harus diterapkan dalam menyikapinya sebatas aspek perlindungan kemanusiaan. Tentunya hal itu semua dilakukan dengan terlebih dahulu memahami hakikat manusia dan ajaran serta nilai dari Islam itu sendiri.



*********

Saran dan Kritik:
- cholidmaarif@yahoo.com
- http://www.sangkanparan.blogspot.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Karim al Khatib, “Islam Menjawab Tuduhan; Kesalahan Penilaian Terhadap Islam” (terj.), (Solo: Tiga Serangkai), 2004

Drs. A. Khudori Soleh, MA, (ed.), “Pemikiran Islam Kontemporer”, (Yogyakarta: Penerbit Jendela), 2003

Erma S. Tarigan, “Derita TKI dan Buruh Menurut Islam”, Mimbar Jum’at, Medan, edisi: 15 Juli 2011

James M. Henslin, “Sosiologi; Dengan Pendekatan Membumi, Jilid 1” (terj.) Prof. Kamanto Sunarto, S.H, Ph.D, (Yogyakarta: Erlangga), 2007

Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Listafariska Putra), 2000

Yefrizawati, “Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam”, Program Studi Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, 2005

http://www.eramuslim.com/berita/dunia/deplu-as-akhirnya-akui-ada-perbudakan-model-baru-di-amerika.htm

http://almanhaj.or.id/content/3062/slash/0

Sabtu, 26 November 2011

“Sharīa, Fiqh, And Qanūn; A Review For Yusuf Qardawi’s Thought On Islamic Jurisprudence”

Abtraksi

Sharȋa becomes the basic of Islamic discourses, aspecially in determination of law. it has been showing any thoughts from many thinkers within, both of eastern or weastern. This article tell us reviewing of book which based on Yusuf Qardawi’s thought, during the differentials of Sharȋ’a, Fiqh, and Qanūn and their classifications. Here it is the writer also tries to see unfixed-statement of Qardawi’s thought depend on his ‘Madkhȃl li Dirȃsah l-Syarȋ’ah l-Islȃmiyyah’. Thus, from this review of the book, writer find some unconsistenly thought of Qardawi on his discourses about Sharia, Fiqh, and Qanun each other.

Keywords: syariat, fikih, qanun, hukum

A. Pendahuluan

Dalam proses interaksi antara manusia satu dengan lainnya bahkan manusia dengan lingkungan dan Tuhan penciptanya tidaklah berjalan secara frontal apa adanya. Namun ia dikendalikan oleh satu tatanan, sistem, dan nilai yang saling dijunjung satu sama lain yang difungsikan sebagai peraturan bersama. Adakalanya peraturan yang bersifat artifisial karena ia buatan makhluk, baik berupa kesepakatan-kesepakatan atau adat istiadat maupun peraturan yang tertuang dalam bentuk aturan baku yang biasa disebut dengan hukum.

Kesadaran masyarakat akan terciptanya ketertiban umum baik pada aspek horizontal maupun vertikal mengindikasikan kemajuan peradaban suatu bangsa. Peradaban manusia yang taat pada adat istiadat maupun hukum telah terjadi sejak lama dan mampu mempengaruhi perilaku masyarakat di sekitarnya. Pada kasus bangsa Arab, misalnya, dimana hukum agama dimainkan secara komprehensif untuk mencapai zaman kebesaran negara Islam di Asia Barat bahkan di Afrika Utara. Jadi, ada kesinambungan fungsi yang saling jalin berkelindan antara agama sebagai seperangkat kepercayaan dan agama sebagai seperangkat adat istiadat yang membakukan hukum pada konteks tertentu demi kepentingan penganutnya itu sendiri.

Lazim diketahui bahwa Islam memperkenalkan konsep syariah dalam aspek hukum, terutama kaitannya demi kemaslahatan umat. Karakter Islam yang shumūl (komprehensif) dan kȃmil (paripurna) memang tidak bisa dipungkiri lagi. Hal ini nampak, misalnya, pada aspek keilmuan syariah yang telah mencangkup permasalahan keluarga (al-ahwȃl al-shakhșiyyah), hukum pidana dan politik (al-jinȃyah wa al-shiyȃsah), perdagangan (mu’ȃmalȃh), perbandingan mazhab dan hukum serta keuangan Islam sebagai sense tersendiri namun terpadu.

Namun demikian, istilah syariah itu sendiri pada hakikatnya bermakna luas. Dalam artian tidak hanya berkaitan dengan urusan hukum Islam ansich. Walaupun memang tidak dapat dipungkiri frekwensi penggunaan istilah ini lebih sering cenderung pada aspek hukum. Adapun dalam khazanah Islam, syariah selain dimaknai sebagai seperangkat bidang hukum Islam, ia juga jelmaan dari sebuah jalan hidup paling awal sebelum tȧrȋqȧt dan ma’rȋfat, yaitu tingkatan-tingkatan seorang muslim sejati dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhannya berdasarkan aspek ritual dan spiritual.
Perbedaan paradigma dalam memandang syariah ini tidak bisa lepas dari subjek yang menilai dan objek zaman yang mengitarinya. Satu misal, ketika Gus Dur menganggap syariah sebagai jalan hidup, maka hal ini menjadi cukup beralasan karena pengamatannya akan sebuah realitas dan tuntutan zaman dalam perkembangan dan dinamika baru Islam yang berbeda antara satu bangsa satu dengan yang lainnya. Bahkan secara lebih liberal, ia menempuh cara bahwa syariah sebagai forum saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, bahkan juga pandangan dari agama-agama lain.

Paradigma sedikit berbeda akan disampaikan oleh tokoh Islam lain dari komunitas masyarakat yang lain pula dalam memandang syariah. Menarik disini adalah mengamati pandangan, pemikiran, dan sikap Dr. Yusuf Qardawi, seorang ulama Islam kontemporer Mesir, yang dikenal lebih dulu ada sebelum Gus Dur dan terpaut hanya beberapa dekade kelahirannya. Dalam hal ini Qardawi menganggap syariah Islam –secara lebih khusus menyebut bentuk idhȃfah dengan al-sharȋ’ah al-islȃmiyyah- sebagai hal yang sangat berbeda dan mempunyai keistimewaan tersendiri daripada ‘syariah’ agama samawi yang lain terlebih dengan ‘syariah’ produk manusia.

Tidak hanya itu, cendekiawan muslim ini juga menarik untuk didiskusikan ulang pemikirannya mengingat concern-nya dalam dunia fatwa hukum Islam. Dimana pada salah satunya karyanya, penulis disini akan sedikit mengulas pandangan beliau khususnya berkenaan dengan relasi antara Syariah, Fiqih, dan Qanūn pada ranah hukum Islam. Walaupun ulasan ini bersifat ‘review’, namun penulis berusaha sebisa mungkin memberikan analisa seperlunya pada teks karyanya dengan merujuk pada referensi pandangan mayoritas ulama. Sehingga dengan demikian, diharapkan -paling tidak- ulasan ini nantinya mampu menemukan gagasan besar dan pokok pikiran Qardawi karyanya langsung yang berjudul Madkhal Li Dirȃsah al-Sharȋ’ah al-Islȃmiyyah.

B. Sekilas Tentang Yusuf Qardawi

Yusuf Qardawi lahir di sebuah perkampungan, Shafth Turaab, Mesir, pada tanggal 9 September 1926. Lingkungan geografis yang memang dikenal sebagai pusat peradaban kuno, terlebih dilahirkan di daerah tengah delta sungai Nil, turut memberikan iklim peradaban tersendiri bagi tumbuh kembang intelektualitasnya. Hal ini dibuktikan dengan prestasinya yang pada usia sepuluh tahun sudah mampu menghapalkan Alqur’an, sebagaimana halnya prestasi masa kecil salah satu pencetus madzhab fikih terbesar hingga saat ini, Imam Syafi’i.

Latar pendidikannya yang hanya berkutat di seputaran Mesir, yaitu pendidikan Ma’had Thanta dan Ma’had Tsanawi lalu berlanjut di Fakultas Usuluddin di Universitas al Azhar yang berhasil ditamatkan pada tahun 1952, turut mendominasi pemikirannya yang terkesan menjaga jarak dengan arus modernitas Barat. Sehingga tepatlah kiranya di usia yang produktif, Qardawi diberi amanat sebagai seorang ketua majelis fatwa sehingga menjadi bahan rujukan atas permasalahan yang terjadi.

Salah satu hal yang menarik dalam perjalanan hidupnya adalah adanya intimidasi dari penguasa Mesir saat itu yaitu ketika kekuasaan Mesir dipegang oleh rezim Raja Faruq. Hal ini tidaklah aneh mengingat keterlibatannya dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi fundamental Islam, dan perlawanannya pada rezim diktator hingga berujung dengan dipenjarakannya Qardawi di usia 23 tahun, tepatnya pada tahun 1949. Termasuk sebab ini pula Qardawi mengalami keterlambatan dalam menyelesaikan program doktornya hingga tahun 1972. Disertasinya berjudul “Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan” yang disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Yaitu sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.

Pengabdiannya dalam bidang pendidikandan pengajaran ia wujudkan dengan mendirikan sebuah institut Fakultas Syariah di Universitas Qatar pada tahun 1961. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Qardawi merupakan ulama dan mujtahid yang tergolong banyak mengeluarkan fatwa pada masanya. Walaupun harus diakui banyak juga yang mengkritisi pendapatnya. Di lain sisi, ia merupakan salah satu tokoh yang menolak dikotomi ilmu pengetahuan antara yang islami dan tidak islami. Baginya, islami atau tidaknya ilmu tergantung sudut pandang individu dan bagaimana menggunakan ilmu tersebut. Hal ini nampak pada sikapnya atas minat ilmu pengetahuan putra-putrinya. Dimana ia membebaskan kepada mereka untuk memilih dan belajar keilmuan sesuai dengan concern masing-masing, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum.

C. Sharȋah, Fiqh, dan Qȃnūn Dalam Kitab Madkhal Li Dirȃsah al-Sharȋ’ah al-Islȃmiyyah

1. Sharȋah

Menurut bahasa, sharȋah, berasal dari lafaz ‘الشيءشرع , yaitu: menerangkannya atau menjelaskannya. Sedangkan menurut Kamus Istilah Alqur’an menyebutkan bahwa sharȋah berasal dari kata ‘ الشرعة و الشريعة “ yaitu: suatu tempat yang mengalirkan air tanpa henti dan tanpa membutuhkan perantara untuk menuju hilir.

Secara terminologi, sharȋah adalah agama yang disyara’-kan oleh Allah kepada hambaNya, atau agama yang dijadikan jalan atau oleh Allah untuk hambaNya yang diperintahkan untuk dipatuhi. Seperti perintah puasa, salat, zakat, haji, dan perbuatan baik lainnya sebagaimana tercantum dalam surah al Jȃtsiyah ayat 18.
Qardawi menambahkan bahwa yang dimaksud sharȋah disini hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat primer dan bukan sekunder, menyangkut keyakinan dan bukan amal perbuatan. Karenanya sharȋah sejak masa Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad Saw pada intinya masih sama yaitu mentauhidkan Allah Swt.

Hal ini dibuktikan dengan turunnya Q.S al Jȃtsiyah ayat 18 yang mengindikasikan makna sharȋah sebagai sebuah jalan (aț țarȋqah) yang diperintahkan kepada kaum kafir Quraisy sebagai ayat yang diturunkan di Mekah, dimana ayat-ayat tentang hukum Islam belum diturunkan kecuali setelah Nabi hijrah ke Madinah sebagaimana makna ayat 48 dari surah al Mȃidah. Karena itulah Qardawi sangat menolak pandangan sekularisme yang hanya menilai bahwa makna sharȋah dalam Alqur’an tidak ada kepentingannya dengan hukum Islam.

Bahkan, dalam ayat-ayat Alqur’an secara pasti mengandung klasifikasi hukum Islam, seperti: ibadah, peradaban dan perdagangan, kriminalitas dan pidana, serta politik dan Negara. Ayat-ayat yang berhubungan dengan empat pembagian tersebut disebut ȃyȃt al-ahkȃm (ayat-ayat hukum).

Beberapa ulama yang concern di bidang ȃyȃt al-ahkȃm, baik ulama klasik maupun modern adalah seperti:
- “Ahkam l-Qur’an” karya Imam Abu Bakar ar Razi al Hanafi (w. 37 h)
- “Ahkam l-Qur’an” karya Imam Abu Bakar Ibn al ‘Arabi al Maliki (w. 543 h)
- “Ahkam l-Qur’an” karya Imam Syafi’I (w. 456 h)
- “al Iklil wa Istinbat l Tanzil” karya al Hafidz Suyuthi (w. 911 h)
- “Tafsir Ayat l-Ahkam” karya Syeikh Muhammad ‘Ali as Sayusi (era modern)

Para ulama klasik berbeda pendapat dalam menentukan jumlah bilangan ayat yang mengandung hukum, namun pendapat yang terkenal adalah berjumlah 500 ayat. Termasuk dalam perbedaan ini yaitu menentukan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Mujtahid dan urgensi pengetahuan tentang Alqur’an.

2. Fiqih

Jika syariah adalah hukum-hukum primer yang di-syara’kan oleh Allah melalui dalil-dalil Alqur’an dan Hadits serta cabang-cabangnya seperti ijma’ dan qiyas. Maka fiqih adalah ilmu yang berkaitan dengan penggalian hukum Islam aplikatif melalui dalil-dalil yang terperinci. Menurut al Jurjani, fiqih adalah ilmu penggali hukum melalui ijtihad dan pendapat yang membutuhkan peran akal. Sedangkan secara etimologi, fiqih berarti الفهم “yaitu pemahaman, memahami, atau mengetahui sesuatu secara mendalam.

Dengan istilah lain, jika syariah sebagai tujuan, sedangkan fiqih sebagai cara atau jalan. Karena fiqih memuat berbagai hukum Islam yang aplikatif dan mendetil. Sehingga bisa dikatakan kitab-kitab fiqih itu sebagai ekspansi penggalian hukum Islam itu sendiri secara mendalam.

Untuk pemahaman lebih lanjut, hukum Islam dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
- نوع ثابت بأدلة مباشرة من نصوص الكتاب و السنة
Yaitu hukum Islam yang langsung bersumber tertulis dari Alqur’an dan Hadits. Dalam hal ini ayat dalam Alqur’an maupun Hadits sangat sedikit, karena akan sangat fatal jika Alqur’an yang berperan sebagai peletak pondasi-pondasi hukum Islam turut menguraikan secara mendetil. Sehingga berakibat pada terbatasnya makna yang sangat ketat. Namun demikian, jenis hukum seperti ini sangat jelas dalam Alqur’an dan tidak ada dualitas pemahaman. .
- و نوع آخر قد عملت فيه عقول أهل الفقه اجتهادا و استنباطا من أدلة الكتاب و السنة
Yaitu dalil-dalil hukum Islam yang digali oleh penalaran para ahli fiqih melalui proses ijtihad dan observasi, dan jika tidak ditemukan dalilnya secara pasti maka ditempuh dengan metode qiyas, istishab, dan lain sebagainya. Kategori ini banyak memuat hukum Islam sebagai wujud ilmu fiqih dan hasil kerja ulama fiqih karena melibatkan olah pikir dan fatwa mereka sehingga menjadi hukum bagi fiqih.

Dari sini dengan jelas dapat kita pahami bahwa syariah dan fiqih merupakan dua hal yang berbeda. Jika syariah berasal dari wahyu ketuhanan, sedangkan fiqih merupakan produk manusia. Qardawi menilai tidak benar jika ada anggapan yang mengatakan bahwa fiqih adalah ilmu syariat walaupun ia dibangun di atas wahyu ilahi.
Adapun kerja akal dalam penggalian hukum juga dibatasi oleh pokok-pokok syariat. Syariah sendiri tidak bisa dipisahkan dari realitas dan perkembangan zaman yang dalam kapasitasnya ini ia merupa ke dalam bentuk fiqih Islami. Pada taraf ini, hukum syariat digali dengan akal para ahli fiqih modern melalui pijakan dasar-dasar dan substansi syariah.

Untuk itulah Qardawi tidak menerima pendapat yang menolak fiqih islami sebagai hukum syariat yang didasarkan pada akal karena bagaimanapun ia merupakan kepanjangan dari syariat itu sendiri. Namun yang dapat ditolelir disini adalah pembaharuan dan perkembangan fiqih, seperti berkenaan dengan hukum yang tersirat, appendiks ( الفهرسة ), التنظير و التقنين.

Gagasan yang paling penting dari Qardawi salah satunya adalah menghidupkan budaya ijtihad. Baik itu dengan ijtihad انتقائيا (netralisasi) yaitu dengan mengambil pendapat yang paling rajih menurut fiqih masa kini berdasar dalil dan ungkapan-ungkapan syariat. Ada pula dengan ijtihad إنشائيا yaitu dengan mengadakan pendapat terhadap permasalahan-permasalahan yang baru digali dari nash hukum dan substansi syariah yang diakui tanpa mengesampingkan pendapat terdahulu. Pengecualian hal ini adalah dalam bidang ibadah.

Ada perbedaan yang signifikan antara Syariah dan Fiqih. Perbedaan antara keduanya adalah:
1. Syariah bersifat ilahiyah, sedangkan fiqih adalah buatan.
2. Syariah tidak bisa terperinci atau fleksibel sesuai kondisi, namun ia sudah terkandung dalam Fiqih Islami dalam merespon perkembangan zaman.

Dengan demikian, keterkaitan dalam proses penggalian hukum, ilmu fiqih menggunakan peran akal namun tetap dibatasi oleh dasar-dasar Syariah. Dalam hal ini, Qardawi bersikap tegas pada upaya penolakan terhadap Fiqih Islami. Karena Fiqih Islami sejatinya merupakan Syariah itu sendiri, karena hukum Islam –dalam hal ini Syariah- melalui Fiqih selalu mengalami pembaruan dan perkembangan sesuai kemajuan masyarakat.

D. Sharȋ’ah dan Qȃnūn Wadh’iy

Setelah kita memahami Syariah tibalah saatnya mempelajari tentang Qȃnūn. Qȃnūn ( قانون ) berasal dari bahasa Arab yaitu:
أمر كلى ينطبق على جميع جزئياته التى تتعرف أحكامها منه , adalah seperangkat hukum yang mengaplikasikan berbagai rincian permasalahan yang diketahui hukumnya. Hal ini senada dengan ungkapan para ulama klasik bahwa Qanun adalah tata aturan yang lengkap dan detil yang didasarkan pada hukum-hukum yang terperinci.

Yusuf Qardhawi menambahkan makna Qanun ketika disandingkan dengan istilah Syariah maka ia akan berfungsi sebagai hukum yang diproduksi oleh manusia untuk mengatur kehidupannya dan hubungannya dengan sesama baik secara individu maupun social, karenanya ia disebut Qȃnūn Wadh’iy . dari sini dapat dibedakan perbedaan mendasar antara Syariah dan Qanun adalah jika syariah berasal dari wahyu Allah, maka Qanun merupakan produk atau buatan manusia.

Qanun –yang dalam istilah umum- disebut juga Undang-undang adalah sekumpulan hukum yang dibuat dengan kasus atau bidang tertentu, semisal undang-undang pidana, dan dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan perselisihan diantara masyarakat dan warga negara.

Undang-undang yang dikenal paling kuno adalah Undang-undang Hammurabi di Babilonia. Sedangkan undang-undang yang paling berpengaruh adalah undang-undang Romawi yang hingga kini diadopsi oleh negara Barat dan sebagian negara Islam pada masa kolonialisme. Hal inilah yang memunculkan dugaan bahwa Fiqh Islami juga mengadopsi dari Romawi. Menurut Qardawi, poin ini tidak bisa dipertanggungjawabkan dan hanya bersifat tuduhan Barat semata terhadap Islam. Karena, masih menurut Qardawi, perbedaan antara hukum Barat dan Fiqih Islami sangat mencolok dalam hal tujuan, metode, dasar, filosofi, dan perkembangannya masing-masing.

Perkembangan Qanun dalam suatu masyarakat berbanding lurus dengan kemajuan peradaban masyarakat itu sendiri. Dengan karakternya yang berbasis lokalitas, permulaan suatu Undang-undang pada awalnya didasarkan pada suatu pedoman bahwa ucapan seorang pemimpin adalah undang-undang bagi pengikutnya dan kadang melalui kesepakatan banyak orang. Namun demikian, ada prinsip yang mesti dipegang dalam membuat Qanun, yaitu: prinsip keadilan, persamaan, kasih sayang, dan kemanusiaan.
Pada kesimpulannya tentang Qanun, Qardawi menegaskan bahwa bagaimanapun juga Undang-undang zaman dahulu dengan sekarang sangatlah berbeda perkembangan dan tahapannya. Dalam arti tidak ada yang baku setelah melalui ribuan tahun lamanya. Terlebih undang-undang dalam satu negara jelas berbeda dengan negara lain.

Adapun perkembangan Syariah bukan seperti Fiqih maupun Qanun yg berawal dari kecil berangsur menjadi banyak. Syariah datang dengan sempurna, universal, dan komprehensif tanpa ada yang kurang. Berlaku bagi keadaan apapun, siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Pun demikian, ia hanya ‘produktif’ sejak kenabian Nabi Muhammad Saw hingga wafatnya saja.

Dari pemaparan karya Yusuf Qardawi dapat disimpulkan perbedaan mendasar antara Syariah dan Qanun adalah:
1. Syariah dari wahyu Allah Swt, sedangkan Qanun merupakan produk manusia.
2. Kaidah Syariah berlaku sepanjang waktu, sedangkan Qanun berlaku dalam waktu tertentu sesuai kebutuhan masyarakat
3. Qanun lazimnya menyangkut hal-hal tertentu, seperti: undang-undang pidana atau undang-undang tentang sanksi pelanggaran hukum.
4. Diciptakannya Qanun bertujuan sebagai rujukan manusia ketika menghadapi perseteruan antar sesama.

E. Syariah Agama Lain

Sebagai bahan untuk membandingkan antara Syariah Islam dengan Syariah agama-agama pendahulunya, seperti Yahudi dan Nasrani, sebagai agama samawi lain selain agama Islam. Dalam arti lain, baik agama Yahudi, Nasrani,dan Islam pada hakikatnya mempunyai sumber yang sama dalam hal Syariah, yaitu Allah Swt. Namun dalam bukunya ini Qardawi menguraikan batasan yang membedakan antar Syariah masing-masing agama tersebut.

1. Syariat Agama Yahudi

Syariat agama Yahudi sangatlah berbeda dengan agama Islam walaupun pada awalnya sama yaitu berkenaan dengan ibadah, muamalah, dan perihal hidup yang bermacam-macam. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Alqur’an surat Al A’raf ayat 145 kepada Nabi Musa sebagai Nabi pada masa kelahiran bangsa Yahudi dengan kitabnya Taurat. Di dalamnya juga termuat persoalan hukum sebagaimana Alqur’an surat Al Maidah ayat 44 – 45.

Sungguh ironis jika kemudian bangsa Yahudi menyelewengkan dan menyimpangkan isi dan kandungan otentik kitab Taurat dengan mengubah dan mempelintir ayat-ayatnya. Sehingga dapat dikatakan kitab Taurat yang ada saat ini bukanlah Kalam Allah secara asli yang diturunkan kepada Nabi Musa, namun telah bercampur mayoritas isinya dengan olah pikir dan tangan manusia. Kenyataan ini didukung dengan firman Allah dalam Alqur’an sebagai kitab suci yang turun jauh setelah kitab Taurat.

Adapun sebagai perbandingan beberapa persoalan kitab Taurat yang saat ini digunakan oleh umat Yahudi dan Nasrani adalah sebagai berikut:

• Fanatisme Rasisme
Yaitu suatu keyakinan yang mengklaim bangsanya sendiri –Bani Israil- paling unggul diantara bangsa lain, bahkan terkadang menghalalkan segala sesuatu bagi bangsanya sendiri dan mengharamkan bangsa lain.
Syariat bagi Bani Israil merupakan alibi yang absah untuk mengokohkan kepentingan mereka sebagai bangsa pilihan yang dikehendaki oleh Allah untuk menguasai seluruh umat manusia di muka bumi. Dengan poin ini pada awalnya mereka menganggap penugasan dari Tuhan untuk menyelamatkan aspek kemanusiaan di dunia. Tentunya dengan melarang keras segala bentuk pembunuhan maupun pengusiran bangsa lain. Namun kenyataannya, dalam internal mereka terjadi perpecahan dalam memahami konteks ini. Sehingga seperti Bani Israil saat ini yang sangat kontradiktif justru menghalalkan pembunuhan, bahkan memerangi bangsa lain, khususnya bangsa Kan’an. Setelah menguasai suatu bangsa mereka membunuh semua kaum lelaki, menjadikan budak kaum perempuan, menjarah dan merampok harta mereka sebagai bentuk tindakan yang sah. Dalam urusan perdagangan, bangsa Israil menjalankan sistem riba bahkan kepada sesamanya sendiri dan tanpa mengambil jaminan dari hutangnya.
Terlebih dalam kitab suci mereka menetapkan bahwa bangsa Kan’an telah di-nash sebagai budak mereka sejak zaman azali. Dengan keyakinan ini mereka tidak akan memberikan kesempatan hidup bangsa Kan’an selain agar menjadi budak mereka. Jika sedikitpun ada celah kebebasan bagi bangsa Kan’an maka mereka akan memeranginya dan hal ini semua dilakukan dengan mengatasnamakan dakwah Nabi Nuh terhadap bangsa Kan’an dan keturunannya.

• Fanatisme Ritus dan Simbol

Syariat bangsa Yahudi yang terkandung dalam kitab suci mereka juga berisikan ajaran tentang fanatisme terhadap materi dan simbol. Di sisi lain, aspek-aspek yang berkaitan tentang dunia spiritual, eskatologi, dan keagamaan sama sekali tidak tercantum dalam kitab Taurat.

Kandungan isi pembahasan dalam kitab Taurat hanya berkaitan dengan materi dan kebendaan, seperti: pengoptimalan harta benda, anak, kesehatan badan, dan menciptakan permusuhan. Hal ini menjadi kontradiktif dengan kitab suci Alqur’an yang berisikan moralitas, perintah berbuat baik dan mencegah kemungkaran, hukuman terhadap orang yang bermaksiat, dan sebagainya sebagaimana tercantum secara komprehensif di dalam Alqur’an.

Selain aspek materi yang banyak disinggung dalam kitab Taurat, di dalamnya juga terkandung tentang pentingnya suatu simbol maupun lukisan. Satu contoh bangsa Yahudi yang memuliakan hari Sabtu, menggunakan pakaian khusus, dan memuja leluhur dengan gambar atau simbol tertentu, sedangkan hati mereka sendiri tidak beriman dan bertaqwa kepada Allah.

Dalam hal ritus mereka membakar hewan untuk dikurbankan, sangat berbeda jauh dengan perintah Allah agar mengkurbankan hewan dengan cara disembelih dan untuk kepentingan taqwa serta disedekahkan kepada fakir miskin. Jadi, ajaran agama mereka sangat keji dan jauh dari upaya memanfaatkan materi dengan baik.

Bahkan dalam kitab Talmud mereka membolehkan seorang anak lelaki berzina dengan ibunya yang janda dengan bebas tanpa denda dan justru dianjurkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang suami ketika istrinya meninggal maka ia juga dibolehkan dengan anak perempuannya tanpa denda dan hukuman.

• Sikap ‘Keras Kepala’

Salah satu karakter khas dalam syariat agama Yahudi adalah sikap mereka yang ‘keras kepala’ dan suka membantah. Hal ini nampak pada bantahan mereka terhadap apa-apa yang diturunkan oleh Allah termasuk melalui nabi Musa dan kitabnya Taurat. Karena sikap dzalim dan pembangkangan yang mereka lakukan inilah Allah mengharamkan bagi mereka yang semestinya dihalalkan, namun mereka pun tetap melanggar dan tidak mematuhi para nabinya.

Akan lebih jelas jika dilihat pebedaan antara karakter kitab Injil dan kitab Taurat. Jika Injil bersifat lunak dan toleran, maka Taurat bersifat keras dan penuh bantahan.

Karakter keras penuh pemberontakan pada Tuhan dalam Syariat Yahudi ini sesuai dengan karakter bangsa Israil sebagaimana di-nash dalam Alqur’an. Kebengalan bangsa Yahudi nampak sekali pada kebiasaan mereka yang senang mengobarkan permusuhan, pertumpahan darah, merampas harta orang lain, memperbudak orang lain, dan menghalalkan yang haram. Lebih fatal lagi, mereka lakukan itu semua atas nama Tuhan demi sebuah ambisi untuk menjadi Bani Israil yang paling tangguh daripada bangsa lain. Sungguh berbeda jauh dengan Syariat agama samawi lainnya.

2. Syariat Agama Nasrani

Syariat agama Nasrani tidak bisa dipisahkan dari syariat yang dibawa oleh Nabi Musa, yaitu seputar pembahasan tentang perjalanan hidup dan bermasyarakat. Bahkan dalam kitab Injil disebutkan bahwa syariat Nasrani ini bukan dimaksudkan untuk menyelamatkan atau menggantikan syariat Nabi Musa, melainkan justru menyempurnakannya.

Namun demikian, Qardawi berpendapat bahwa syariat Nasrani sebenarnya bertindak sebagai penyelamat syariat dalam kitab Taurat. Seperti hukum diharamkannya daging babi, patung, hukuman rajam dan qisas. Penegasan Qardawi ini merujuk dengan ungkapan yang paling populer dalam tradisi Nasrani: “jika seseorang menampar pipi kananmu, maka tamparlah pipi kirinya”.

Yang dimaksud kitab Injil dalam hal ini bukanlah seperti Injil kekinian, dimana sudah ada perubahan mendasar dengan pendahulunya. Salah satu syariat yang terkandung dengan jelas adalah disyariatkannya larangan men-talak istri. Hal ini sangat berbeda dengan syariat sebelumnya terlebih jauh berbeda dengan syariat agama Yahudi. Sebagaimana dikatakan oleh Al Masih tentang keharaman men-talak istri kecuali karena sebab zina tercantum dalam Injil Matius 5: 31, 32 dan Injil Markus 1: 11, 12.

Adapun poin yang tidak disepakati oleh Qardawi dalam hal hukum talak versi kitab Injil ini adalah dalil yang menyebutkan bahwa ‘ilat atau sebab mendasar diharamkannya talak yaitu bertumpu pada Allah sebagai Tuhan yang mempersatukan dua insane sehingga manusia tidak boleh melanggar atau merusak hubungan yang sudah disatukan ini. Menurut Qardawi pemahaman yang sebenarnya bukanlah demikian. Jika demikian adanya, apakah lantas Allah pulalah yang menyebabkan zina diantara salah satu pasangan tersebut? Apakah tidak ada ‘ilat lain yang lebih sahih daripada merujukkan pada kehendak Allah. Karena –masih menurut Qardawi- memang Allah-lah yang mempersatukan kedua insane untuk menikah lalu menjadikan sebab terjadinya anak keturunan diantara keduanya, namun Tuhan hanya mensyariatkan sebab-sebab dibolehkannya talak bukan berarti Tuhan mengijinkan atau bahkan tidak menghadapi talak jika memang ada sebab atau peristiwa yang telah disyariatkan seperti zina dan sebagainya.

F. Penutup

Dari ulasan buku di atas yang merujuk pada salah satu karya berjudul ‘Madkhȃl li Dirȃsah l-Syarȋ’ah l-Islȃmiyyah’, dapat kita katakan bahwa beliau memang seorang mujahid yang moderat. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat kegigihan beliau dalam menjaga kemurnian Islam, baik dari unsur eksternal seperti pemilihannya antara syariat Yahudi dan Nasrani terhadap syariat Islam, maupun dari unsur internal seperti pen-sakral-annya terhadap makna syariat Islam itu sendiri dari wilayah fikih dan qanun.

Namun demikian, tulisan ini tidak bisa merangkum isi keseluruhan dari karya Dr. Yusuf Qardawi khususnya walaupun hanya berfokus pada bab Syariah, Fiqih, dan Qanun. Mengingat segala keterbatasan yang dimiliki oleh penulis utamanya dalam penulisan tugas mata kuliah ‘Reading of Arabic Text’ ini. Untuk kritik dan saran: cholidmaarif@yahoo.com.


Oleh:
Cholid Ma’arif, S.Hum, Mahasiswa Pasca Sarjana Konsentrasi Ekonomi Syariah STAIN Ponorogo, 27 Nopember 2011 / 01 Muharram 1433 H