Rabu, 28 Desember 2011

“SOCIALISM AND ISLAM; A Review on Encyclopedi of Islamic World”

Abstraksi

Pemikiran dan paham keagamaan suatu masyarakat ditentukan oleh sejauh peradaban dan sedalam pengetahuannya terhadap dinamika itu sendiri. Setidaknya begitulah yang mewakili proses lahirnya ideologi sosialisme, dimana ia dilahirkan dalam situasi penindasan hak, ketidak-adilan, dan keterjajahan. Dalam kondisi seperti ini, bagi pelaku pemikiran, agama tidaklah cukup dijumudkan pemahamannya secara tekstualis doktrinal semata, namun bagaimana agama mampu menjadi semacam stimulan awal untuk menyatakan gerakan yang riil dan bisa dirasakan oleh semua pihak. Hubungan saling mempengaruhi di bawah bayang sosialisme ini terjadi di negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Bagaimana mereka memposisikan sosialisme hampir seperti agama itu sendiri, lebih dari sekedar “tongkat Musa”. Tidak dengan menunggu keajaiban untuk mengadakan perubahan. Pada bagian inilah makalah dalam bentuk review akan mengulas sedikit banyak anomali tersebut. Setidaknya tulisan ini didasarkan pada ensiklopedi dunia Islam yang ditulis oleh Selma Botman dengan sedikit penjelasan serta kritik seperlunya dari penulis.

Kata kunci: sosialisme, Islam, ideologi, pembaharu

A. Pendahuluan; Embrio Sosialisme

Arah dan orientasi kehidupan yang dirasakan oleh suatu masyarakat dalam satu wilayah semakin lama menjadi kegelisahan akut yang tak terbendung lagi. Kemunculan satu dua orang pemikir diantara mereka kemudian terbukti mampu menjadi penggerak bagi yang lain untuk bangkit. Namun sebab utama adalah bukan dari ketokohan manusia tersebut, melainkan adalah produk pemikiran dan kontribusi yang ia berikan bagi masyarakatnya. Setidaknya situasi inilah yang salah satunya melatari dengan penuh problematika pelik munculnya ideologi sosialisme sebagai paham perjuangan pembebasan dari keterjajahan “the others”.

Secara literatur, asal-usul term “sosialis” pertama kali dipakai pada 1827 dalam Cooperative Magazine sebagai gambaran umum doktrin kooperatif milik Robert Owen (1771-1858) yang kemudian menjadi bentuk –isme, “sosialisme” dalam La Globe, jurnal milik pengikut tokoh sosialis Comte de Saint-Simon (1760-1825). Sedangkan secara historis,prinsip dasar Sosialisme awal merupakan derivasi dari filsafat Plato, ajaran nabi-nabi Yahudi, dan beberapa ajaran dari kitab Perjanjian Baru. Namun pada perkembangannya kemudian, latar nuansa religius ini mulai bergeser sejak peristiwa “renaissance” di Eropa menuju gerakan pada terbentuknya suatu komunitas ideal bersama-sama atas dorongan kesadaran dari pemilikan pribadi.

Problem utama yang melatari munculnya sosialisme merupakan bentuk reaksi minoritas yang menentang pelaksanaan etika kapitalis dan pengembangan masyarakat industri yang tumbuh secara massif pada abad pertengahan (Revolusi Perancis dan Revolusi Industri di Inggris). Jadi, secara umum term “Sosialisme” digunakan untuk merujuk pada sebuah ideologi, seperangkat kepercayaan komprehensif atau idealisasi tentang sebuah masyarakat dan negara sesuai dengan cita-cita para penggagas bagi gerakannya, yaitu ide-ide atas klaim perjuangan terhadap nilai-nilai persamaan, keadilan sosial, kerjasama, kemajuan, kebebasan individu, nihilitas kepemilikan privat, dan kontrol negara atas barang produksi, baik dengan gerakan konstitusi maupun cara-cara yang revolusioner.

Tulisan di bawah ini merupakan kilasan terjemahan dari sebuah buku Encyclopedi of Islamic World yang disusun oleh John L. Esposito. Adapun pembahasan khusus tentang sosialisme dan Islam di dalamnya merupakan buah tangan dari Selma Botman.

B. Sosialisme dan Islam; Sebuah Ensiklopedi Dunia Islam

Antara Setting Budaya dan Interpretasi Keagamaan

Sosialisme dan Islam merupakan dua isu besar yang terbilang baru melanda aspek sosial dan falsafah keagamaan di negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Walaupun kedua isu ini seringkali menguatkan satu sama lain, namun terkadang juga menimbulkan konflik. Kedua kelompok pemikiran inilah baik, secara individu maupun masal, yang berusaha menancapkan pengaruhnya pada bidang politik dan spiritual di wilayah tersebut.

Pemikiran dan praktek sosialis secara umum diperkirakan berasal dari pribumi asli Eropa, namun juga mempunyai akar pada bangsa di Arab Timur Tengah. Salah satu referensi yang paling awal tentang sosialisme dapat ditemukan pada tulisan Jamaluddin Al Afghani (1838 – 1897), seorang pembaharu Islam kenamaan dari abad ke-19. Al Afghani menemukan konsep ‘Al-Ishtirȃkȋyah (sosialisme) pada masa tradisi badui Arab Pra-Islam. Para ‘founding fathers’ awal negara Islam, menurut Al Afghani, diangkat dari tradisi tersebut, dimana terdapat basis struktural untuk mengorganisir dan mengatur masyarakat. Al Afghani beranggapan bahwa sosialisme merupakan asli doktrin bangsa Arab yang menjelaskan komitmen sejarah komunitas Muslim terhadap kesejahteraan seluruh warga negara.

Di Mesir, pemikir sosialis pertama yang terkemuka adalah Salȃmah Mȗsa (1887–1958), seorang advokat di bidang keadilan sosial sejak menjadi mahasiswa di Inggris pada awal tahun 1900-an. Pada tahun 1913, sekembalinya ke Mesir, dia mempublikasikan esai pertamanya dengan judul Al-Ishtirȃkȋyah (Sosialisme), sebuah upaya untuk mengenalkan tema sosialis kepada generasi intelektual Arab dan aktifis yang tertarik pada strategi pembaharuan demi modernisasi dan kemajuan. Dengan dipengaruhi oleh pemikiran Fabian, Mȗsa mempublikasikan 50 judul tentang sosial, ekonomi, dan filsafat menjadi buku yang sangat diminati.

Salȃmah Mȗsa juga aktif di organisasi politik, dan pada tahun 1920 dia berpartisipasi dalam Partai Sosialis Mesir, yang kemudian berganti menjadi Partai Komunis Mesir pada tahun 1923 dan dikawal oleh ideologi Marxisme. Mengamati perubahan ide-ide radikal dalam partai, Salȃmah Mȗsa dan pembaharu lainnya memutuskan keluar dari aktifitas organisasi oposisi. Partai Komunis akhirnya memarjinalkan penganut sosialis Fabian, yang kemudian juga tidak bisa bertahan lama berjalan.

Di Mesir, para sosialis sekuler bergerak secara legal maupun rahasia sejak Perang Dunia I, tetapi para pembaharu Islam tidak langsung menerima dasar ide-ide keadilan sosial secara religius sampai tahun 1930-an dan 1940-an. Organisasi Ikhwanul Muslimin misalnya, yang didirikan tahun 1928, tidak serta merta merapat pada ideologi sosialis, tapi melalui eksistensinya, interaksi pun terjalin, sebagai sikap perlawanan baik terhadap paham sekuler maupun sosialis. Secara pemikiran, Ikhwanul Muslimin mengusung visi gerakan kebangkitan Islam abad ke-19 yang mendukung penegakan sebuah sistem Islam pemerintahan yang berazaskan Alqur’an dan Sunnah Nabi. Organisasi ini melakukan perlawanan terhadap penetrasi Barat di dunia Islam, termasuk pemikiran sosialis, yang dipahami sebagai bentuk lain ideologi kolonisasi yang disusupkan ke dalam masyarakat muslim.

Hasan al Banna (1906-1949), pemimpin tertinggi Ikhwanul Muslimin Mesir, dan pribumi lainnya mereprensentasikan diri sebagai generasi baru nasionalis yang telah kehilangan kepercayaan pada bujuk rayu liberal, ekonomi, dan kemajuan model Barat. Mereka merasa terpanggil atas nama kemerdekaan nasional, modernisasi sosio-ekonomi, dan keadilan sosial ekonomi, mereka mengadvokasi kelahiran kembali masyarakat melalui konsep-konsep yang terinspirasi secara keagamaan. Serta menekankan universalitas dan komitmen Islam untuk mewariskan keadilan kemanusiaan dan ekonomi, para pembaharu Islam kembali pada Alqur’an itu sendiri sebagai bentuk konfirmasi spiritual dan material keimanan mereka dalam merespon perkembangan sosial. Diiringi dengan proses identifikasi cara yang relevan berdasar kitab suci dan teladan hidup Nabi Muhammad Saw, para pemikir Islam berkeyakinan bahwa doktrin keagamaan tidak hanya mengandung petunjuk bagi hubungan antara pengiman dan Tuhan, tapi juga mengamandatkan bagaimana sebuah masyarakat mesti mengorganisasikan dirinya sendiri dan bagaimana rakyat mampu terwakili kepentingannya. Ideologi Ikhwanul Muslimin merujuk pada zaman Nabi dan khalifah setelahnya untuk mereformulasikan kembali sebuah paradigma kekinian secara kontekstual.

Pasca Perang Dunia II, Sosialisme Islam (penyebutan ini kadang dapat ditukar dengan istilah Sosialisme Arab) mengambil seting akarnya di Timur Tengah dan Afrika Utara. Mesir, Syiria, Libia, Irak, Iran, Tunisia, Algeria, dan Yaman Selatan secara terpisah dan zaman yang berbeda masing-masing mempunyai variasi Sosialisme Islam. bagaimanapun juga, Gamal Abdul Naseer-lah orang yang pertama kali mengkaitkan antara Islam dan sosialisme dan digunakan untuk mengkonsolidasikan serta melindungi rezimnya.

Revolusi sosialis Nasser sangat terbantu oleh partisipasi kalangan pemuda pada tahun 1952 dengan turut menyumbangkan tulisan-tulisan intelektual muslim progresif di Mesir. Terutama sekali, Syeikh Khalid Muhammad Khalid (lahir tahun 1920), dalam bukunya Min Hunȃ Nabda’ (Dari Sini Kami Memulai) berargumentasi bahwa sosialisme dilahirkan oleh Islam dan patut menjadi sebuah alternatif untuk menangkal perkembangan ekonomi kapital di negaranya. Walaupun gagasan Khalid diilhami dari gerakan demokratis sosial Eropa, interpretasinya tentang Mesir modern berakar dengan kuat dengan kondisi pada masanya; kuasa penuh penjajahan Inggris, keterbelakangan ekonomi, dan kemerosotan moral. Mesir, menurutnya, tidak akan bisa maju baik secara spiritual maupun ekonomi hingga ia mampu memajukan kehidupan warganya dan memperlakukan mereka dengan baik berdasar keadilan yang ditetapkan oleh Alqur’an. Khalid yakin bahwa revolusi 1952 dapat menjadi permulaan kemajuan sosial yang penuh makna dan pertumbuhan spiritual Islam.

Sebuah kritik mainstream Islam terhadap pemikiran dan praktek di al Azhar, Khalid berpendapat bahwa perilaku agama kebangsawanan merupakan reaksi keagamaan yang memperkuat status kesejahteraan dan menyebabkan kemiskinan bagi kebanyakan lainnya. Darinya, kebenaran Islam menjadi pedoman, keterbukaan, dan berpijak pada komitmen keadilan ekonomi.

Salah satu teoritikus paling berpengaruh pada masa Nasseer adalah Mustafa al Siba’i (1915- 1964), dekan Fakultas Hukum Islam dan Madzhab Hukum di Universitas Damaskus dan Ketua Ikhwanul Muslimin cabang Syiria (dikenal sebagai Front Sosialis Islam) antara tahun 1945 dan 1961. Sebagai seorang sekutu Nasser, al Siba’i membubarkan Ikhwanul Muslimin cabang Syiria pada tahun 1958 ketika semua partai politik dan organisasi rakyat Syiria ditiadakan dalam rangka persiapan membangun Republik Arab Serikat.

Pada tahun 1915, al Siba’i mempublikasikan Ishtirȃkȋyat al-Islam (The Socialism of Islam) dimana ia berargumentasi bahwa sosialisme dan Islam itu tidak setara, tapi bahwa adopsi sosialisme itu tetap harus menjadi target masyarakat. Menurut al Siba’i, sosialisme lebih penting daripada nasionalisasi hak kepemilikan, lebih signifikan daripada perpajakan progresif, dan lebih bermakna daripada pembatasan kepemilikan individu; sosialisme sebagai sebuah perangkat pembangunan menjadi cara untuk menciptakan kemakmuran dan pendewasaan masyarakat. Lebih dari itu, sosialisme merupakan sebuah garansi untuk melawan eksploitasi manusia dan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk mengawasi pembangunan ekonomi. Sosialisme merupakan formulasi al Siba’i untuk mengeliminasi kemiskinan dan memberikan kesempatan kepada individu untuk mengembanngkan potensinya.

Dalam rangka untuk menggencarkan bahwa sosialisme melindungi hak kepemilikan, al Siba’i mendefinisikan Islam sebagai ideologi yang tidak lebih kaku daripada komunisme. Dalam kenyataannya, sosialisme Islam berbeda dari sosialisme keilmuan atau komunisme yang mengupayakan kepemilikan pribadi harta dan produksi serta hanya merampas kekayaan dengan anggapan bahwa kekayaan para pemilik itu menjadi barang eksploitasi. Sosialisme Islam mengupayakan sektor publik agar dapat eksis satu sama lain bersama sektor pribadi dan mengadvokasi hubungan yang harmonis antara kelompok-kelompok masyarakat, dan bukan kelas perang. Masyarakat juga memungkinkan terjadi perbedaan kelompok penjabatan untuk eksis dan mengangkat pembagian tenaga kerja dalam masyarakat, tetapi kelompok-kelompok tersebut diharapkan menjadi hubungan kerjasama dan bukan permusuhan.

Basis pokok solidaritas sosial dalam model sosialis Islam, menurut al Siba’i, adalah al-takȃful al-ijtimȃ’ȋ atau sebuah kombinasi persamaan, keadilan, saling menguntungkan, dan bertanggungjawab. Ketika masyarakat sosialis mencapai tujuannya, ia akan menegakkan, situasi yang bebas konflik, berdasar pada prinsip moralitas dan kolektivitas.

Al Siba’i menekankan bahwa sosialisme Islam meletakkan lima pilar, yaitu; hak untuk hidup terlindungi dan sehat, hak untuk bebas, hak untuk berilmu pengetahuan, hak untuk bermartabat, dan terpenuhinya hak untuk kepemilikan. Dia juga menekankan bahwa Islam mengakui keinginan personal untuk berkreasi dan menghimpun kesejahteraan serta untuk memiliki harta. Walaupun al Siba’i percaya dalam kewajiban sosial berkaitan erat dengan kemakmuran, seperti zakat. Selain itu dia juga berpendapat bahwa kewajiban bukanlah konstitusi sosialisme. Dia berempati pada keyakinannya bahwa satu-satunya cara untuk mengelimanisi kelaparan, wabah penyakit, dan ketidakadilan adalah melalui legislasi nasional yang didukung oleh wewenang pemerintah.

Walaupun al Siba’i memainkan sebuah peran besar dalam menyediakan justifikasi intelektual bagi sosialisme Islam, tapi tidak semua pemikir Islam atau aktifis sepakat dengan pendekatan ini. Sayyid Qutb (1906-1966), sebagai contoh, ideolog utama Ikhwanul Muslimin Mesir pada masa Nasseer, mencela terma sosialisme Islam, dengan mengimani bahwa Islam sendiri sudah diwahyukan bagi manusia memang demi tujuan keadilan ekonomi, nilai moral dan spiritual, dan persamaan. Qutb menganggap Islam sebagai satu-satunya bagi persoalan sosial, ekonomi, nasional, dan moral yang dihasilkan oleh kapitalisme dan komunisme.

Bagi Qutb, hanya ada dua ideologi masyarakat yang dapat diikuti; yaitu jalur Islam atau disebut Jȃhilȋyah, atau kebodohan pra-Islam. Qutb mengasumsikan bahwa kapitalisme, sosialisme, dan komunisme itu tidak ada bedanya dengan Jȃhilȋyah dan tidak akan pernah bisa didamaikan dengan Islam. Islam, di lain pihak, adalah satu-satunya aspek yang mampu memuaskan dan memenuhi semua kebutuhan manusia. Sikap oposisi Qutb terhadap sosialisme Nasseer dan militansi tulisan-tulisannya menjadikannya sebagai musuh bagi rezim Nasseer. Sehingga ia ditahan selama beberapa tahun dan akhirnya dieksekusi pada tahun 1966.

Dalam perwujudannya, negara Islam berlandaskan pada Syariah sebagai sebuah perintah, menurut Sayyid Qutb; tipe lain masyarakat selain landasan tersebut adalah tidak sah. Qutb banyak menulis buku tentang Islam, dan berpendapat bahwa semua muslim memberikan diri mereka sendiri secara total dalam usaha untuk meraih masyarakat Islam yang sejati.

Di luar Mesir, suku Ba’ats baik di Syria dan di Irak mengadopsi seperangkat besar sosialisme Islam. Ideologi Ba’ats selalu konsisten dengan sikap anti kolonialis, Pan-Arabisme, dan intervensi dalam legislasi sosial di bidang kesehatan, pendidikan, dan hak-hak pekerja. Kolonialisasi yang dilawan seperti nasionalisasi industri-industri pokok, perbankan, dan perdagangan asing serta bualan perencanaan ekonomi.

Menurut Michel ‘Aflaq (1910-1989) dan Șalȃḥ al-Dȋn al Bayțȃr (lahir tahun 1912), seorang pemikir politik Syria dan filsuf, ideologi Ba’ats merayakan budaya Arab dan pengalaman historis Nabi Muhammad. Pada prinsipnya, paham Ba’ats menolak sikap intoleransi keagamaan dan menjanjikan manusia yang paling agung dan kebebasan masyarakat.

Sosialisme di Wilayah Maghribi

Libya juga menyuguhkan peristiwa yang dramastis dalam upaya konsistensi perjuangan revolusi untuk mengubah dunia Arab pada tahun 1950-an dan 1960-an. Pada tahun 1969, Mu’ammar al-Qadhdhȃfi (lahir 1942) dan sekelompok tentara muda menggulingkan monarki Raja Idris dan secara radikal membangun masyarakat baru berlandaskan Pan-Arabisme, sosialisme, dan Islam.

Qadhdhȃfi mengikuti jejak revolusi dan model ideologisasi yang diatur oleh mentornya, Nasser, dan mencanangkan sebagai komimen paling baru untuk kesatuan Arab, kualitas ekonomi, dan anti-imperialisme. Tapi Qadhdhȃfi meninggalkan Nasseer dan memposisikan garapan idiosinkretiknya di Lybia dengan mengadakan islamisasi kehidupan sosial. Dalam hal ini, Qadhdhȃfi melarang praktek perjudian, penggunaan alkohol, dan diskotik sebagai upaya untuk memperbaiki moralitas publik. Dia juga menerapkan hukuman dengan hukum Islam terhadap kejahatan seperti pencurian, perzinaan, dan praktek riba.

Qadhdhȃfi menghimpun ide-idenya ke dalam tiga volume bukunya dengan judul The Green Book. Pada volume pertama, “The Solution to the Problem of Democracy”, dipublikasikan pada tahun 1975, Qadhdhafi menggaris bawahi Teori Internasional Ketiga-nya (juga dikenal sebagai Jalan Ketiga), yang dia pahami sebagai sebuah alternatif baik untuk kapitalisme dan komunisme. Dalam The Green Book, Qadhdhȃfi mengkritik kedua bentuk kolonialisasi Barat dan dominasi Soviet, dengan argumentasi bahwa pengaruh asing telah mengkontaminasi masyarakat-masyarakat Muslim dan membuat moral dan teologi para penganutnya rusak.

Sebagai sebuah cara untuk menentang tekanan imperialis, Qadhdhȃfi menciptakan sebuah doktrin yang diilhami dari Alqur’an dan konstitusi negara untuk mencetak Muslim anti-kolonialis di Timur Tengah dan Dunia Ketiga. Dalam pengajaran Alqur’an, dia secara tidak langsung telah menyarankan solusi-solusi yang dapat ditemukan bagi semua problem kemanusiaan –rangkaian dari peristiwa-peristiwa personal bagi hubungan internasional. Bagi Qadhdhȃfi, aplikasi sosialis Islam dan model demokrasi mampu mencegah penjajahan asing maupun domestik serta mampu membimbing masyarakat.

The Green Book bukan sekedar sebuah teks keagamaan, tapi lebih sebagai ajakan yang provokatif dan inspirasional, dan dapat diakses oleh pembaca secara luas. Karya Qadhdhȃfi tersebut memberikan pengaruh yang luas dari Libya hingga Timur Tengah, Afrika Utara, dan Dunia Ketiga lainnya.

Islam juga mewacanakan gerakan pembebasan nasional pada beberapa wilayah bagian Maghribi (dikenal sebagai Arab Timur atau Afrika Utara), setelah nasionalisme terkalahkan, rezim sosialis pun terbentuk. Perkembangan gerakan kemerdekaan mendapatkan reaksi yang keras oleh kebijakan kolonial Perancis yang telah berkuasa pada abad ke-19 dan ke-20. Bangsa Arab Afrika Utara dan Barbarian sangat membenci upaya bangsa Perancis dalam membasmi tradisi politik lokal dan meruntuhkan kekhasan para pemimpinnya. Sebagaimana masyarakat lainnya yang dijajah pada saat ini, mereka mengalami penderitaan di bawah tekanan atas perilaku, kejijikan bangsa Perancis atas adat istiadat lokal, dan penolakan mereka terhadap budaya khas Afrika Utara dan Barbarian. Bagi rakyat Afrika Utara, luka yang sangat menyakitkan adalah dipaksakannya bahasa Perancis menjadi bahasa pokok di wilayah jajahan tersebut.

Pasca Perang Dunia Pertama, para pembaharu Islam di Maghribi masih sedikit. Sehingga mereka menggunakan pengaruhnya, walaupun, dengan cara bergabung bersama tokoh nasionalis sebagai pemimpin besar yang lebih populer. Meskipun orientasinya secara mendasar berbeda dari nasionalis sekuler, mereka tetap fokus pada perjuangan warisan Arab Islam yang dibuktikan dengan penyatuan aspek lain terpecahnya politik dan tekanan rumpun bangsa. Dalam kenyataannya, Islam turut berkontribusi bagi identitas gerakan nasionalis dan membantunya dalam mengalahkan kekuatan kolonial.

Peperangan yang sangat lama dan paling berdarah dalam pembebasan nasional telah berkobar di Algeria dimana kolonialisasi terakhir terjadi sejak tahun 1847 sampai 1962. Perancis masih ngotot memaksakan budaya mereka terhadap bangsa Algeria. Dalam perang suci ini juga dimaksudkan untuk merusak budaya Islam melalui penutupan secara sistematis lembaga-lembaga dan madrasah Alqur’an, termasuk mengubah masjid-masjid menjadi gereja. Generasi muda pembaharu yang terdidik dan nasionalis waspada dalam situasi pertahanan, menjunjung Islam dan menggunakannya sebagai kekuatan untuk menyatukan masyarakat. Para pembaharu berpendapat bahwa Islam selaras dengan dunia modern dan karena itulah rakyat Algeria ingin menjadi yang terbaik dengan mengadaptasikan Islam pada perjuangan politik dan sosial mereka. Islam menjadi komponen yang penting secara khusus bagi perjuangan pembebasan lintas belahan yang dilakukan tokoh nasionalis Algeria.

Di Tunisia, dimana orang Perancis pernah menjadi tuan kolonial sejak tahun 1881 sampai adanya pengakuan kemerdekaan secara formal pada tahun 1956, serta pengakuan atas warisan Islam-Arab yang berkembang pada periode setelah kemerdekaan. Tunisia mencoba untuk menuangkan kembali identitas nasional dan pencitraannya di bawah pimpinan Habib Borguiba (lahir tahun 1903), ketua Partai Neo-Destour (berganti nama menjadi Partai Sosialis Destour pada tahun 1959) dan mengepalai partai pemerintah hingga kejatuhannya di tahun 1987.

Dipengaruhi oleh tulisan Al Afghȃnȋ dan Muhammad ‘Abduh (1849-1905), para pemimpin gerakan Salafiyah di Timur Arab, para pembaharu Maghribi menekankan pentingnya khazanah Islam mereka. Dalam menganalisa masyarakat, mereka tidak hanya mengkritik bangsa Perancis, tapi dalam memperjuangkan kesetaraan, mereka juga menolak pemimpin-pemimpin Sufi lokal karena keterlibatannya dengan penjajahan asing. Para pembaharu juga menekankan pentingnya pemahaman dunia modern bagaimana memandang keagamaan sama baiknya dengan perspektif keilmuan dan menjadikannya demi kebangkitan dalam kajian Islam.

Sebuah golongan gerakan oposisi Iran pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang berhasil menggulingkan kekuasaan Muhammad Shah Reza, juga melandaskan pada Islam untuk melakukan perubahan. Jalal Ȃl Ahmad, yang pernah menjadi seorang intelektual sekuler bersama jaringan Partai Komunis Iran (Tudeh), ikut terpanggil untuk mempolakan kembali tujuan, identitas, dan nasib bangsa. Dalam karya pentingnya Gharbzadegi (Westernisasi), dipublikasikan tahun 1962, dia mengutuk westernisasi masyarakat Iran, yang membawa pada sikap pemujaan terhadap kebudayaan asing yang destruktif dan menyebabkan tunduknya identitas nasional sejati. Jalal Ȃl Ahmad datang untuk meyakinkan bahwa Islam dapat menginspirasi massa masyarakat Iran agar bangkit melawan peraturan Shah. Temanya tentang Islam dan sosialisme telah memotivasi banyak orang untuk merefleksikan masyarakatnya serta mengambil tindakan demi status quo.

Diantara para intelektual dan aktifis yang mempunyai visi Islam perubahan pada tahun 1960-an dan 1970-an adalah Mehdi Bȃzargȃn (lahir tahun 1907), pernah menjadi perdana menteri sementara Republik Iran pada tahun 1979, ‘Ali Sharȋ’atȋ (1933-1977), dan Ayatullah Ruhollah Khomeini (1902-1989).

Pengaruh ‘Ali Sharȋ’atȋ dalam masyarakat Iran pada tahun 1970-an, terutama sekali kalangan mahasiswa dan pemuda yang membaca karyanya, kuliah dengannya, dan pernah mendengarkan pidato provokatif yang disampaikannya, sangat dalam. Para pengikut Sharȋ’atȋ digembleng oleh doktrinnya tentang keadilan sosial dan kebangkitan Islam. Dengan bergabung bersama kelompok-kelompok agama dan organisasi-organisasi politik sekuler, mereka berpartisipasi dalam berbagai kegiatan revolusi yang mampu mengubah arah dan orientasi masyarakat Iran.

Sharȋ’atȋ bukan hanya dipengaruhi oleh teks asli keagamaan, tapi juga karya interpretasi al-Afghani dan pembaharu Islam Pakistan, Muhammad Iqbal. Dia mampu menggambarkan dari kesimpulan teori revolusi yang terjadi pada aktifis dari Dunia Ketiga seperti Frantz Fanon dan Che Guevara. Merasa terpanggil demi renaissanse komunitas Muslim, Sharȋ’atȋ mengawal modernisasi dan perubahan ilmiah yang diinformasikan oleh budaya Iran dan tradisi masyarakat Islam. Pengajaran Sharȋ’atȋ adalah kutukan bagi Shah, yang telah memenjarakannya. Pada akhirnya Shar’atȋ diijinkan melakukan perjalanan ke Inggris, dimana meninggal dengan sebab yang mencurigakan. Mehdi Bȃzargȃn, di pihak lain, menarik banding dengan audiens yang berbeda yaitu masyarakat kelas menengah. Dia mempopulerkan sebuah pandangan modern tentang Islam yang bertemakan keadilan, ilmu, dan kebenaran. Pada tahun 1979, Ayatollah Khomeini menambahkan nilai pada semangat revolusi besar yag dicanangkan oleh inisiatif Jalal Ȃl Ahmad, Mehdi Bȃzarȃn, dan ‘Ali Sharȋ’atȋ serta mendirikan Republik Islam Iran.

Sintesis pemikiran sosialis dengan teologi Islam merupakan hal yang kompleks dan luar biasa. Walaupun sering terjebak dalam konflik, aliran-aliran pemikiran terkadang menguntungkan satu sama lain. Secara politik, gerakan nasionalis dihayati oleh pemikiran Islam, walaupun pemerintah independen itu sendiri dihasilkan oleh sebuah gerakan yang menyandarkan pada prinsip sosialis secara teratur dalam menciptakan tatanan masyarakat. Satu pemikiran yang tercipta dari perpaduan dan saling-mengembangkan ini mungkin dapat dilanjutkan di dunia muslim.

C. Kesimpulan

Sosialisme di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi gerakan ‘people power’ yang berpengaruh bagi tumbangnya rezim otoritarian, baik bagi kalangan internal seperti halnya di Lybia maupun bagi tekanan eksternal seperti kasus di Afrika Utara. Walaupun sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor pendorong, yaitu reaksi untuk keluar bebas dari situasi kolonialisme teritorial, kapitalisme ekonomi, imperialisme budaya, yang diperparah dengan sikap individualisme sesama.

Kendati pun demikian, sosialisme yang terjadi pada kawasan Dunia Ketiga tersebut memiliki kekhasan sendiri, yaitu ketika kondisi sosial coba ditarik permasalahannya pada wilayah agama sebagai solusinya. Indikasi kesaling-sapaan antara kombinasi politik, ekonomi, budaya, kemanusiaan, yang terangkum dalam ranah antropologi mampu didamaikan dengan baik pada ranah agama sehingga muncul dua term; sosialisme dan Islam. Pada akhirnya dua term secara sinkretis memunculkan ideologi sosialisme Islam –jika kemudian paduan term tersebut disamakan dengan Sosialisme Arab, dalam hal ini penulis tidak sepakat.

Dari uraian di atas, kita mungkin perlu menganalisis secara kritis catatan Selma Botman tersebut khususnya di paragraf terakhir dengan sudut pandang politik wacana. Dalam beberapa frasa kalimat tersebut seakan ‘the author’ hendak menyampaikan pada akhir kesimpulan bahwa walaupun sosialisme terbukti mampu membebaskan masyarakat dari ketertindasan, pun demikian ideologi nasionalisme juga tidak lebih buruk daripada sosialisme sebagai solusi dan bentuk sosialisme murnilah -dalam arti teratur- yang mampu membentuk pemerintahan sosialis yang kukuh. Wallahu a’lam bish shawȃb.



**********

Daftar Bacaan

Eko Supriyadi, “Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syariati”, (Yogyakarta: Rausyan Fikr) 2010

Selma Botman, “Socialism and Islam”, dalam John L. Esposito (ed), Encyclopedi of Islamic World, Oxford University, 1997

Kamis, 15 Desember 2011

“PERBUDAKAN DALAM ISLAM; Dari Konsepsi Kemanusiaan Menuju Teologi Pembebasan”

Oleh:
Cholid Ma’arif, S.Hum

Abstraksi

Perbudakan menjadi isu sentral tidak hanya karena berkaitan dengan agama, namun juga ia juga bagian dari sejarah, sosial, budaya, dan ekonomi bahkan politik suatu peradaban itu sendiri. Islam sebagai agama paripurna yang mengakhiri dimensi kelam keberagamaan sebelumnya mempunyai cara pandang tersendiri dalam memposisikan persoalan perbudakan. Ia tidak hanya menjustifikasi dengan kebenaran tunggal di satu sisi dan kesalahan di sisi lain. Namun, dengan seperangkat metode keilmuannya, baik dari perspektif fiqih, sejarah, sosial, dan bangunan falsafahnya, tsaqafah maupun hadharah-nya dalam memposisikan manusia, menjadikan perbudakan mempunyai sudut pandang yang luas. Tulisan di bawah ini akan berusaha mengurai polemik tentang perbudakan melalui konsepsinya, agama-agama samawi, sudut pandang Islam, termasuk dalam bentuknya yang modern di era kekinian, disertai dengan pemecahannya baik menurut Islam maupun paradigma kemanusiaan.

Kata kunci: perbudakan, Islam, penindasan, manusia

A. Agama-agama Samawi dan Perbudakan; Mencari Akar Dogmatis

Pada bagian ini penulis sengaja menyuguhkan literatur tentang perbudakan dari kitab suci agama lain. Hal ini tidak lain untuk memperkaya paradigma dan membandingkan pandangan ke-Islaman kita dalam memandang isu-isu yang masih kontemporer hingga saat ini.

Dalam kitab Taurat disebutkan,
“Nuh menjadi petani; dialah yang mula-mula membuat kebun anggur. Setelah ia minum anggur, mabuklah ia dan ia telanjang dalam kemahnya. Maka Ham, bapa Kanaan itu, melihat aurat ayahnya, lalu diceritakannya kepada kedua saudaranya di luar. Sesudah itu Sem dan Yafet mengambil sehelai kain dan membentangkannya pada bahu mereka berdua, lalu mereka berjalan mundur; mereka menutupi aurat ayahnya. Setelah Nuh sadar diri dari mabuknya dan mendengar apa yang dilakukan anak bungsunya kepadanya, berkatalah ia: “Terkutuklah Kanaan, hendaklah ia menjadi hamba yang paling hina bagi saudara-saudaranya”. Lagi katanya: “Terpujilah Tuhan, Allah Sem, tetapi hendaklah Kanaan menjadi hamba baginya. Allah meluaskan kiranya tempat kediaman Yafet, dan hendaklah ia tinggal dalam kemah-kemah Sem, tetapi hendaklah Kanaan menjadi hamba baginya”. (Kitab Kejadian 9: 20-27).

Makna dari kisah di atas adalah walaupun Sem-lah yang sebenarnya menyakiti ayahnya, Nabi Nuh, tetapi yang disalahkan dan dikutuk justru Kanaan, anak Ham. Perasaan akan ‘praduga tak bersalah’ yang tiada mendasar ini rupanya menjadi ‘hantaman’ bagi diri Kanaan. Siapapun akan merasa tertindas dan teraniaya dengan klaim negatif yang menempel pada dirinya. Perasaan ketertindasan dalam kisah inilah yang salah satunya melatar-belakangi perilaku pembudakan. Bahkan secara berlebihan hal ini diyakini sebagai bentuk kutukan ini yang menimpa minimal sepertiga penduduk dunia ini. Dimana sepertiga menjadi budak bagi sepertiga yang lain.

Lebih dari itu, dalam kitab-kitab Taurat terdapat banyak cerita tentang budak dan pembantu yang melayani para rasul dan nabi. Demikian juga Injil yang mengandung cerita permisalan tentang para budak yang melayani para tuan mereka. Al Masih mengatakan:
“Siapakah hamba yang setia dan bijaksana yang diangkat oleh tuannya atas orang-orangnya untuk memberikan mereka makanan pada waktunya? Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang”. (Injil Matius 24: 45-46).
“Siapa diantara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatkanlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterimakasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” (Lukas 17: 7-9).

Dalam turats Islam sendiri, ihwal perbudakan dapat dirunut melalui Alqur’an yang banyak berkisah tentang sejarah manusia terdahulu, dari Nabi Adam As hingga Nabi Muhammad SAW. Tidak ada keterangan pasti, sejak kapan perbudakan dimulai. Tapi jika melihat sejarah para Nabi dan Rasul dapat diuraikan bahwa di jaman Nabi Ibrahim As, sudah dikenal hamba sahaya atau budak. Bahkan beliau memperistri Siti Hajar, yang pernah mengabdi kepada keluarga Ibrahim dan Siti Sarah. Hajar melahirkan Nabi Ismail As, yang bersedia disembelih ayahnya sesuai petunjuk Allah SWT. Yang paling masyhur adalah budak bernama Bilal bin Rabbah, budak kulit hitam yang mempunyai suara amat bagus mengumandangkan azan, dan selalu mengumandangkan azan di Madinah.

Dalam kisah-kisah Alqur’an juga dikenal nama Siti Masyitah yang bekerja dengan Fir’aun sebagai budak di istana Fir’aun. Namun karena ketaatannya pada Allah dan tidak mengakui Fir’aun sebagai Tuhan, konsekuensinya Masyitoh sekeluarga dimasukkan ke tungku raksasa penggorengan. Sehingga Allah memuliakannya dan makamnya sangat harum di Mesir. Selain itu juga terdapat kisah wanita yang paling sufi di dunia yakni Rabiatul Adawiyah. Di masa kecilnya pernah diperjualbelikan sebagai budak, dan setelah dewasa menjadi wanita cantik jelita dan tidak pernah mau menikah meski dilamar oleh ulama besar maupun raja. Rabiah menolak semua pria yang melamarnya karena dia sangat mencintai Allah SWT dan merasa tidak mampu mencintai yang lain. kecuali sepenuhnya mengabdi kepada Allah SWT. Begitu pula Nabi Yusuf As, yang dibuang saudara-saudaranya ke sumur karena cemburu, lalu ditolong oleh seseorang yang kemudian menjadi budak Nabi Yusuf.

B. Perbudakan Dalam Sejarah Manusia; Konsepsi dan Pembenahan

Antara perilaku sosial dan sistematika alam merupakan kombinasi yang tak terpisahkan, bahkan cenderung tidak mempunyai kemampuan untuk menjelaskan suatu fenomena di tengah masyarakat. Terlebih relasi antara profanitas dan sakralitas masih berusaha menemukan pemecahannya jika untuk dapat saling memahami “bahasa” satu sama lain. Karena dimensi satu dengan yang lainnya mencoba untuk saling mempengaruhi; ketika “penghuni bumi” berbuat sesuatu, maka “penghuni langit” pun mencoba untuk mengaturnya. Hingga ada suatu pepatah yuridis yang berbunyi “ibi ius ibi, societas”, dimana ada masyarakat di situ ada hukum.

Salah satu fenomena pelik yang terjadi di bumi dan “benak manusia” adalah masalah perbudakan. Asumsi penulis bahwa perbudakan juga menjadi problem dalam “benak manusia” adalah karena esensi akan jiwa, pikir, dan mental perbudakan itu sendiri pada dasarnya perlu direfleksikan kembali jauh kepada kesadaran manusia itu sendiri. Hal ini menjadi maklum dalam pemahaman falsafati, dimana ada permasalahan tentang objek yang mendasar (ontologi) maka sebelum mengarah ‘kesana’ permasalahan tentang subjek (epistemologi) itu mesti didudukkan secara radikal.

Dari pembenahan awal di atas, mungkin akan kita sepakati bahwa perbudakan adalah salah satu bentuk penindasan manusia terhadap manusia lain. Lebih rinci lagi, penekanan negatif dari ‘yang menguasai’ atau ‘yang lebih kuat’ terhadap ‘yang dikuasai’ atau ‘yang lebih lemah’. Jika term ini dipahami dalam ranah Islam, maka sebenarnya pola perbudakan ini telah terjadi sejak Nabi Adam, yaitu sejak peristiwa yang terjadi antara dua orang bersaudara, Qabil dan Habil, dimana saling terjadi permusuhan dan pembunuhan pertama kali di dunia, porsinya pun lebih besar daripada perbudakan.

Peristiwa ini sedikit banyak menurun pada anak cucu Nabi Adam sebagai dua sisi yang saling kontradiksi; antara yang kuat dan yang lemah, yang berkuasa dan yang dikuasai, yang jahat dan yang baik, serigala dan anak kambing, kucing dan tikus. Di Arab sendiri kemudian dikenal dengan perilaku saling menguasai antar kabilah dan suku bangsa dalam menjalankan misi ekspansi mereka. Termasuk di Eropa dikenal dengan misi penjajahan ke pada bangsa lain dengan tujuan ‘gold’ (kekayaan), ‘glory’ (kejayaan), dan ‘gospel’ (agama).

Pada level yang lebih modern, tindakan penindasan ini mewujud dalam bentuk yang lebih ‘halus’ yaitu berbentuk penjajahan ideologi, seperti: kapitalisme, imperialisme, hedonisme, sekularisme, dan sebagainya. Demikianlah beberapa unsur dan makna perbudakan dalam arti luas yang telah dan sedang melintasi ruang dan waktu.
Akar pemikiran tentang budak ini secara radikal bisa kita temui dalam tradisi pemikiran Atena dan Roma sebagai representasi produk peradaban kuno tepatnya suatu masa sebelum dan setelah Islam datang. Yaitu pemikiran Aristoteles yang menyatakan bahwa ketaatan dan perintah merupakan dua hal yang sangat bermanfaat. Lebih lanjut, ia menyatakan bahkan benda mati pun mempunyai unsur ‘yang dituankan’ dan ‘yang diperbudak’ ketika keserasian lagu tercipta dari adanya kombinasi antara suara-suara ber-ritme lemah dengan suara-suara kuat membentuk suatu alunan yang syahdu.

Pada pemahaman tentang manusia, jiwa dan jasad merupakan implementasi dari “tuan” dan “budak”. Ketika seseorang tidak mampu mengendalikan nafsunya, maka sesungguhnya ia telah memperbudak jiwanya. Sebaliknya ketika ia menguasakan jiwanya lebih dari nafsu jasadiahnya, maka ia sedang memperbudak jasadnya. Dari sini dimunculkan pra syarat manusia yang sempurna adalah manusia yang bisa mengolah dan memelihara keselarasan antara roh dan jasadnya.

Dengan demikian yang ingin disampaikan adalah pola “pembudakan” sebenarnya telah ada dalam diri manusia yang dirupakan dengan pembudakan antar sesama. Walaupun Abdul Karim al Khatib sendiri dalam versi karya aslinya yang berjudul ‘At-Ta’rȋf Bi Al-Islȃm Fi ‘Ashri At-Tahaddiyat’ hendak menyatakan filsuf inilah yang mempengaruhi corak pemikiran Eropa Modern dalam mengabsahkan praktek perbudakan dengan sistem kolonialisasinya. Di luar maksud tersebut, penulis lebih sepakat untuk mengakui bahwa bagaimanapun kerasnya suara hati kecil manusia untuk menolak perbudakan bahkan sebagai bentuk dari kezaliman dan penindasan, namun di sisi lain akal tidak dapat memungkiri realita yang lacur terjadi di masyarakat secara nyata dengan varian bentuknya.

C. Faktor-faktor Perbudakan; Dalam Realita Sosiologis

Perbudakan (slavery), salah satu cirinya secara umum adalah pemilikan orang tertentu oleh orang lain, telah menjadi hal yang lazim dalam sejarah dunia. Perbudakan paling sering dijumpai pada masyarakat pertanian dan paling jarang dijumpai pada masyarakat pengembara, terutama pemburu dan pencari makanan (Landtman 1936/1968). Ketika kita mempelajari sebab-sebab utama dan kondisi di masa perbudakan, kita akan mengetahui sangat beragamnya perbudakan di seluruh dunia.

Penyebab perbudakan berlawanan dengan asumsi yang dianut banyak orang, karena perbudakan memang tidak disebabkan oleh rasisme. Adapun beberapa faktor penyebab terjadinya perbudakan adalah salah satu dari tiga faktor berikut:

Faktor pertama, adalah hutang. Dalam kebudayaan beberapa negara atau daerah orang yang menghutangi akan memperbudak orang yang tidak mampu membayar hutang. Kecenderungan akan kasus ini lebih sering kita jumpai pada era klasik bahkan nomaden, dimana belum ada status hukum yang konvensional di bawah pengakuan luas dalam menjalankan sistem ini.

Faktor kedua, adalah kejahatan. Seorang pembunuh atau pencuri mungkin tidak dihukum mati, melainkan diperbudak oleh keluarga korban sebagai ganti rugi atas derita kehilangan kepemilikan seharusnya yang dilakukan oleh pembunuh atau pencuri tersebut.

Faktor ketiga, ialah perang. Jika suatu kelompok manusia berhasil menundukkan manusia lain, mereka sering memperbudak sebagian diantara pihak yang dikalahkan. (Starna dan Watkins; 1991). Sejarawan Gerda Larner (1986) mencatatkan bahwa orang-orang pertama yang diperbudak karena peperangan adalah kaum perempuan. Ketika kaum laki-laki menyerbu suatu wilayah maupun perkampungan secara umum pasti berhadapan dan berperang dengan sesama laki-laki sehingga terjadi pembunuhan antar kedua belah pihak. Setelah itu, salah satu pihak yang kuat akan memperkosa dan menangkapi kaum perempuan dari pihak lawan untuk dibawa pulang. Kaum perempuan inilah yang dipergunakan pihak musuh untuk dijadikan sebagai komoditi seks, pekerjaan, dan reproduksi dalam kapasitasnya sebagai budak mutlak.

Pola ini lazim dilakukan pada masa perang era kuno juga, dimana perampasan harta perang termasuk sumber daya musuh lawan dijadikan tawanan perang untuk dipekerjakan di negara atau pihak yang memenangkan perang. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw, menurut sejarah Islam, mempunyai cara pandang tersendiri untuk memperlakukan tawanan perang dengan cara tetap memanusiaakan mereka.

Sekitar 2.500 tahun yang lalu, ketika Yunani masih menjadi sekumpulan negara kota, perbudakan merupakan sesuatu yang lazim. Suatu kota yang lebih kuat dan mampu menundukkan kota lain akan memperbudak sebagian warga dari kota yang dikalahkan. Baik budak maupun pemilik budak adalah sama-sama orang Yunani. Demikian pula ketika Roma menjadi Penguasa Tertinggi di kawasan Laut Tengah sekitar 2.000 tahun lalu, kaum Romawi memperbudak sebagian kaum Yunani yang berhasil mereka tundukkan. Karena lebih berpendidikan daripada penguasa, sebagian budak ini dipekerjakan sebagai pengajar di rumah orang Romawi. Dengan demikian, perbudakan merupakan hutang, kejahatan, dan perang, dan bukan merupakan persoalan ras yang secara hakiki lebih rendah atau bukan.

Kondisi perbudakan di negara satu dengan yang lain berbeda. Dalam sejumlah kasus, perbudakan bersifat sementara. Para budak kaum Israel dibebaskan tiap tahun jubilee yang terjadi setiap 50 tahun. Budak kaum Romawi biasanya berhak menebus dirinya dari perbudakan. Mereka mengetahui harga beli mereka sendiri dan beberapa orang dapat membayar harga ini dengan cara menjalin kesepakatan dengan pemilik mereka dan dengan jalan menjual jasa mereka ke orang lain. Namun pada umumnya perbudakan merupakan suatu keadaan seumur hidup. Beberapa orang penjahat, misalnya dijatuhi hukuman seumur hidup menjadi pendayung di kapal perang Romawi. Disana mereka bekerja sampai akhir hayat mereka, dan sering tidak berlangsung lama di bawah tekanan kerja yang sangat melelahkan.

Terdapat kenyataan yang berkembang di lapangan perbudakan terkait pergeseran peran dan karakternya, yaitu:

1. Perbudakan tidak secara otomatis diwariskan.

Di kebanyakan tempat, anak-anak para budak otomatis akan menjadi budak pula. Namun dalam sejumlah kasus, anak seorang budak yang lama mengabdi dalam suatu keluarga akan diadopsi menjadi seorang anak dari keluarga tersebut. Menjadi ahli waris yang menyandang nama keluarga dan bersanding putra-putri mereka dalam rumah tangga tersebut (Lantman 1938/1968: 271).

2. Para budak tidak secara otomatis tidak berkuasa dan miskin.

Dalam hampir semua kasus, para budak tidak memiliki kepemilikan dan kekuasaan. Namun dalam beberapa kelompok, budak dapat mengakumulasikan kepemilikan bahkan mendapatkan posisi tinggi dalam komunitas. Kadang-kadang seorang budak dapat menjadi kaya dan meminjamkan uang kepada majikannya, dan di kala ia masih menjadi budak, ia dapat mempunyai budak sendiri (Lantman 1938/1968). Namun kejadian ini sangat jarang terjadi.

Karena perbudakan mempunyai beberapa penyebab, beberapa analis menyimpulkan bahwa rasisme tidak termasuk penyebab perbudakan, melainkan perbudakanlah yang menyebabkan rasisme. Karena memperbudak orang lain seumur hidup itu menguntungkan dan orang Amerika membuat suatu ideologi yang membenarkan pengaturan sosial. Ideologi menghasilkan suatu gambaran mengenai pengaturan sosial menjadi sesuatu yang tak terelakkan, perlu, dan terkesan adil. Para kolonis mengembangkan pandangan bahwa para budak lebih rendah dan mengatakan bahwa mereka tidak sepenuhnya manusia.
Ringkasnya, para kolonis mengembangkan pembenaran rinci atas perbudakan bahwa yang dibangun atas asumsi keunggulan kelompok mereka sendiri daripada yang lain.

Akar perbudakan menjadi semakin menguntungkan, negara-negara bagian yang memiliki perbudakan mengesahkan undang-undang yang melegalkan bahwa perbudakan merupakan sesuatu yang dapat diwariskan. Artinya bayi yang dilahirkan budak menjadi hak milik pemilik budak (Stampp 1956). Anak-anak ini dapat dijual, dipertukarkan, atau diperdagangkan. Untuk memperkuat pengendalian mereka, negara-negara bagian mengesahkan undang-undang yang melarang para budak untuk berkumpul atau meninggalkan rumah majikan tanpa suatu surat jalan (Lerner 1972). Sedangkan untuk konteks di zaman yang setahap lebih maju lagi seperti saat ini, situs inthesetimes.com mengungkap beragam faktor penyebab meluasnya fenomena model baru perbudakan yang dimotori utama oleh faktor meluasnya ketidakadilan di berbagai belahan negara yang semakin diperparah oleh faktor krisis ekonomi.

D. Perbudakan Dalam Bingkai Modernitas Zaman; Contoh Kasus

Perbudakan di masa kini telah banyak pula menampilkan wajah buruknya, seperti di Sudan, Pantai Gading, dan Mauritania (Tandia 2001; Balles 2002; Del Castillo 2002). Perbudakan di wilayah ini mempunyai sejarah panjang dan baru pada tahun 1980-an perbudakan menjadi sebuah pelanggaran hukum (Ayittey 1998). Meskipun telah dihapuskan secara resmi, namun perbudakan sebenarnya masih tetap berlangsung.

Perbudakan di dunia baru ini semakin meningkat karena kebutuhan akan tenaga kerja, beberapa negara kolonis mencoba untuk memperbudak orang Indian, namun upaya ini gagal. Salah satu sebabnya adalah ketika orang Indian melarikan diri, mereka dapat bertahan hidup di hutan dan mendirikan komunitas baru disana. Orang Afrika kemudian menjadi sasaran perbudakan dengan di bawa ke Amerika Utara dan Selatan oleh orang Belanda, Portugis, dan Spanyol.

Seiring perkembangan zaman, pola pemanfaatan sumber daya manusia semacam ini masih saja menggiurkan. Dapat disebutkan misal Tenaga Kerja Indonesia (TKI), utamanya tenaga kerja wanita di luar negeri, terlebih yang bekerja di Negara-negara Arab. Banyak kasus kekerasan yang dialami oleh mereka walaupun sudah diatur sedemikian rupa baik oleh hukum Internasional maupun hubungan kerjasama bilateral. Kasus terakhir terhadap Darsem yang lolos dari hukuman pancung karena bantuan pemerintah yang membayar denda atau diyat sebesar Rp.4,5 milyar diakui mampu menyelamatkannya dari hukuman pancung. Namun, akhir perjalanan yang berbeda dialami oleh Ruyati, TKI wanita yang tertuduh melakukan pembunuhan terhadap majikannya, telah kehilangan hak hidupnya sebagai manusia hanya karena alasan hukum Islam yang diterapkan secara radikal di negara tersebut.

Bukan hanya di negara Timur Tengah, di negara Barat pun yang mencita-citakan sebagai polisi dunia, perbudakan masih saja tidak terbendung, walaupun penghapusan perbudakan itu sendiri telah dilakukan sejak 150 tahun lalu. Mengutip laporan tahun 2010 dari Departemen Perdagangan Manusia (TIP), Departemen Luar Negeri AS menyebutkan masih adanya praktek global perdagangan manusia hingga kini layaknya barang milik pribadi marak dipraktekkan di AS.

Laporan tersebut mengindikasikan bahwa meskipun katanya Amerika Serikat berupaya untuk memerangi perdagangan manusia, tetapi korban 'perbudakan' ala baru ini tetap tersebar di seluruh negeri, tersembunyi dari pandangan: baik perbudakan para migran, pelacur yang terikat oleh utang penyelundupan, para pembantu rumah tangga yang bekerja tanpa dibayar. Meskipun relatif negara kaya dan dengan sistem hukum yang canggih, perbudakan model baru masih menetes ke Amerika Serikat melalui celah-celah dalam undang-undang tenaga kerja dan imigrasi.

Titik tegang antara realita dan dogma dalam merespon perbudakan salah satunya dijembatani dengan paradigma Hak Azasi manusia (HAM). HAM adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat pada dirinya dimanapun dan kapanpun ia berada. Perlindungan akan cakupan dari HAM inilah yang sedang disepakati oleh dunia internasional walaupun –sebagian bangsa- kemudian belum menemukan standar bakunya terkait aspek lokalitas, realitas, maupun isu politik global di tiap negara yang berbeda kadar dan jenisnya.

Secara historis, ide mengenai HAM sendiri sangat dilatar belakangi oleh isu maraknya perbudakan. Tepatnya ide ini muncul pada abad ke-17 dan ke-18 ketika terjadi keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu terhadap rakyat yang mereka perintah maupun manusia yang dipekerjakan sebagai masyarakat lapisan bawah.
Konsensus HAM inilah yang disinyalir masih bisa dikesampingkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam melegalkan praktek perbudakan, penindasan, dan kekerasan melalui cara yang selalu baru sesuai perkembangan zaman.

E. Islam dan Solusi Perbudakan; Menuju Teologi Pembebasan

Keadaan perbudakan di dunia pada saat Islam datang adalah seperti perlakuan tuan terhadap binatang perahannya. Hingga saat ini, bangsa Negro Amerika masih menempati perkampungan-perkampungan terpencil atau kandang. Revolusi budak di Roma pimpinan Parakus yang mampu mengguncang pasukan imperium Romawi, bahkan hampir saja memusnahkan imperium itu sendiri, membuktikan para budak ini hidup di daerah khusus, seolah mereka telah membentuk negara di dalam negara, yang rakyatnya terdiri atas para budak itu.

Untuk itulah Islam memberikan porsi yang tidak sedikit dalam memperhatikan kesejahteraan dan memperjuangkan kemerdekaan budak. Seperti dalam menyelesaikan masalah perbudakan, Islam melakukan dua hal sebagai berikut:

Pertama, seruan umum untuk bersaudara dalam persaudaraan Islam dan kemanusiaan. Dalam hal ini Islam telah melahirkan semua manusia dengan satu cara yang sama dan dari rahim yang sama, yaitu bumi. Kesadaran ini diharapkan mampu menggugah sisi ego manusia untuk tidak merasa paling unggul diantar manusia yang lain, termasuk dalam hal muamalah. Jika kita kembalikan dalam terminologi sunnatullah, maka akan dipahami bersama bahwa kebutuhan akan keberagaman peran dan fungsi sosial menemukan bentuknya yang satu, yaitu kesalingketergantungan dalam kapasitasnya sebagai makhluk.

Kedua, seruan untuk memerdekakan budak dalam rasa keadilan bersama. Berangkat dari pemahaman bahwa budak awalnya dianggap sebagai harta yang mempunyai nilai khusus sehingga orang akan sulit untuk melepaskannya kecuali dengan imbalan yang menarik. Dalam pasar ini, Islam menawarkan berbagai bentuk pertukaran hingga dapat menampung semua orang yang memiliki dan sekaligus menyediakan imbalan menarik jika mereka mau pergi ke pasar ini.

a. Imbalan dalam bentuk harta
b. Imbalan yang sebanding dengan harta atau tenaga; meliputi kasus-kasus:
- Pelanggaran sumpah maka kafaratnya adalah memerdekakan budak
- Juga ketika terjadi pembunuhan seorang muslim tanpa sengaja
- Jika melakukan sumpah zihar , kafaratnya juga memerdekakan budak.

Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Bin Shalih Ali Bassam, penulis kitab Taisir ‘Allam, menawarkan salah satu cara Islam dalam menyelesaikan masalah perbudakan, diantaranya adalah:

1. Mempersempit sebab-sebab perbudakan.

Islam menyatakan bahwa seluruh manusia adalah merdeka dan tidak bisa menjadi budak kecuali dengan satu sebab saja, yaitu orang kafir yang menjadi tawanan dalam pertempuran. Panglima perang memiliki kewajiban memberikan perlakuan yang tepat terhadap para tawanan, bisa dijadikan budak, meminta tebusan atau melepaskan mereka tanpa tebusan berdasar kemaslahatan umum.

2. Menyikapi para budak dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang.

Hal ini hanya dapat dilakukan ketika memandang budak layaknya saudara sendiri, yaitu dengan memberikannya makanan, minuman, pakaian, serta manajemen waktu yang profersional. Di Indonesia, hal ini lazim disebut dengan Upah Minimum Regional (UMR), misalnya, yang masing-masing besarannya di tiap daerah berbeda sesuai dengan pendapatan dan pemasukan teritorial ekonominya. Walaupun memang pengertian buruh dalam kasus ini lebih pada pekerja kasar atau karyawan.

Kemudian Islam memiliki beberapa sebab kemerdekaan seorang budak, baik merdeka secara terpaksa atau merdeka secara ikhtiari. Jalan merdeka secara paksa adalah seperti:
- Barang siapa melukai tubuh budaknya maka ia wajib membebaskan budaknya tersebut.
- Seorang budak dimiliki oleh beberapa orang, lalu salah seorang pemilik membebaskan bagiannya, maka pemilik tadi harus membebaskan bagian sekutunya secara paksa.
- Barang siapa memiliki budak yang ternyata masih kerabat dekatnya (mahramnya) maka wajib atas pemiliknya untuk membebaskan secara terpaksa.

Agar tidak terjadi pemahaman bahkan pembenaran secara ‘sepihak’ dalam penyelesaian masalah perbudakan, menarik untuk mendalami gagasan besar Ashgar Ali Enginerr, seorang pemikir kontemporer, yang mencanangkan teologi pembebasan untuk melawan segala bentuk penindasan –termasuk soal perbudakan- dalam Islam. Tentunya dengan tahapan mengubah teologi klasik menjadi teologi praksis pembebasan dalam memandang perbudakan khususnya. Adapun teologi pembebasan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, konsep tauhid. Tauhid disini tidak semata dimaknai keesaan Allah namun juga sebagai kesatuan manusia (unity of mankind). Dalam konteks ini masyarakat Islam tidak dibenarkan melakukan diskrimanasi dengan bentuk apapun, ras, agama, kasta, maupun kelas.

Kedua, konsep jihad. Dalam teologi ini, jihad dimaknai sebagai berjuang dalam menghapus eksploitasi, korupsi, dan pelbagai bentuk kezaliman terlebih penindasan dalam perbudakan. Perjuangan ini harus dilakukan secara dinamis dan istiqomah hingga pengaruh destruktif musnah dari muka bumi.

Ketiga, konsep iman. Iman yang berarti; selamat, damai, perlindungan, dapat diandalkan, terpercaya, dan yakin pada Tuhan, sudah saatnya dan harus mempunyai implikasi secara sosiologis. Jadi, tidak sekadar mencakup dimensi akan aspek eskatologis semata, namun yang lebih penting juga menciptakan ketertiban, kedamaian, dan keyakinan pada nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan.

F. Penutup

Dari pembahasan mengenai perbudakan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam mempunyai perhatian besar terhadap isu ini. Dikatakan perbudakan bukanlah sesuatu yang mustahil namun ada cara dan pengaturan khusus yang harus diterapkan dalam menyikapinya sebatas aspek perlindungan kemanusiaan. Tentunya hal itu semua dilakukan dengan terlebih dahulu memahami hakikat manusia dan ajaran serta nilai dari Islam itu sendiri.



*********

Saran dan Kritik:
- cholidmaarif@yahoo.com
- http://www.sangkanparan.blogspot.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Karim al Khatib, “Islam Menjawab Tuduhan; Kesalahan Penilaian Terhadap Islam” (terj.), (Solo: Tiga Serangkai), 2004

Drs. A. Khudori Soleh, MA, (ed.), “Pemikiran Islam Kontemporer”, (Yogyakarta: Penerbit Jendela), 2003

Erma S. Tarigan, “Derita TKI dan Buruh Menurut Islam”, Mimbar Jum’at, Medan, edisi: 15 Juli 2011

James M. Henslin, “Sosiologi; Dengan Pendekatan Membumi, Jilid 1” (terj.) Prof. Kamanto Sunarto, S.H, Ph.D, (Yogyakarta: Erlangga), 2007

Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Listafariska Putra), 2000

Yefrizawati, “Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam”, Program Studi Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, 2005

http://www.eramuslim.com/berita/dunia/deplu-as-akhirnya-akui-ada-perbudakan-model-baru-di-amerika.htm

http://almanhaj.or.id/content/3062/slash/0

Sabtu, 26 November 2011

“Sharīa, Fiqh, And Qanūn; A Review For Yusuf Qardawi’s Thought On Islamic Jurisprudence”

Abtraksi

Sharȋa becomes the basic of Islamic discourses, aspecially in determination of law. it has been showing any thoughts from many thinkers within, both of eastern or weastern. This article tell us reviewing of book which based on Yusuf Qardawi’s thought, during the differentials of Sharȋ’a, Fiqh, and Qanūn and their classifications. Here it is the writer also tries to see unfixed-statement of Qardawi’s thought depend on his ‘Madkhȃl li Dirȃsah l-Syarȋ’ah l-Islȃmiyyah’. Thus, from this review of the book, writer find some unconsistenly thought of Qardawi on his discourses about Sharia, Fiqh, and Qanun each other.

Keywords: syariat, fikih, qanun, hukum

A. Pendahuluan

Dalam proses interaksi antara manusia satu dengan lainnya bahkan manusia dengan lingkungan dan Tuhan penciptanya tidaklah berjalan secara frontal apa adanya. Namun ia dikendalikan oleh satu tatanan, sistem, dan nilai yang saling dijunjung satu sama lain yang difungsikan sebagai peraturan bersama. Adakalanya peraturan yang bersifat artifisial karena ia buatan makhluk, baik berupa kesepakatan-kesepakatan atau adat istiadat maupun peraturan yang tertuang dalam bentuk aturan baku yang biasa disebut dengan hukum.

Kesadaran masyarakat akan terciptanya ketertiban umum baik pada aspek horizontal maupun vertikal mengindikasikan kemajuan peradaban suatu bangsa. Peradaban manusia yang taat pada adat istiadat maupun hukum telah terjadi sejak lama dan mampu mempengaruhi perilaku masyarakat di sekitarnya. Pada kasus bangsa Arab, misalnya, dimana hukum agama dimainkan secara komprehensif untuk mencapai zaman kebesaran negara Islam di Asia Barat bahkan di Afrika Utara. Jadi, ada kesinambungan fungsi yang saling jalin berkelindan antara agama sebagai seperangkat kepercayaan dan agama sebagai seperangkat adat istiadat yang membakukan hukum pada konteks tertentu demi kepentingan penganutnya itu sendiri.

Lazim diketahui bahwa Islam memperkenalkan konsep syariah dalam aspek hukum, terutama kaitannya demi kemaslahatan umat. Karakter Islam yang shumūl (komprehensif) dan kȃmil (paripurna) memang tidak bisa dipungkiri lagi. Hal ini nampak, misalnya, pada aspek keilmuan syariah yang telah mencangkup permasalahan keluarga (al-ahwȃl al-shakhșiyyah), hukum pidana dan politik (al-jinȃyah wa al-shiyȃsah), perdagangan (mu’ȃmalȃh), perbandingan mazhab dan hukum serta keuangan Islam sebagai sense tersendiri namun terpadu.

Namun demikian, istilah syariah itu sendiri pada hakikatnya bermakna luas. Dalam artian tidak hanya berkaitan dengan urusan hukum Islam ansich. Walaupun memang tidak dapat dipungkiri frekwensi penggunaan istilah ini lebih sering cenderung pada aspek hukum. Adapun dalam khazanah Islam, syariah selain dimaknai sebagai seperangkat bidang hukum Islam, ia juga jelmaan dari sebuah jalan hidup paling awal sebelum tȧrȋqȧt dan ma’rȋfat, yaitu tingkatan-tingkatan seorang muslim sejati dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhannya berdasarkan aspek ritual dan spiritual.
Perbedaan paradigma dalam memandang syariah ini tidak bisa lepas dari subjek yang menilai dan objek zaman yang mengitarinya. Satu misal, ketika Gus Dur menganggap syariah sebagai jalan hidup, maka hal ini menjadi cukup beralasan karena pengamatannya akan sebuah realitas dan tuntutan zaman dalam perkembangan dan dinamika baru Islam yang berbeda antara satu bangsa satu dengan yang lainnya. Bahkan secara lebih liberal, ia menempuh cara bahwa syariah sebagai forum saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, bahkan juga pandangan dari agama-agama lain.

Paradigma sedikit berbeda akan disampaikan oleh tokoh Islam lain dari komunitas masyarakat yang lain pula dalam memandang syariah. Menarik disini adalah mengamati pandangan, pemikiran, dan sikap Dr. Yusuf Qardawi, seorang ulama Islam kontemporer Mesir, yang dikenal lebih dulu ada sebelum Gus Dur dan terpaut hanya beberapa dekade kelahirannya. Dalam hal ini Qardawi menganggap syariah Islam –secara lebih khusus menyebut bentuk idhȃfah dengan al-sharȋ’ah al-islȃmiyyah- sebagai hal yang sangat berbeda dan mempunyai keistimewaan tersendiri daripada ‘syariah’ agama samawi yang lain terlebih dengan ‘syariah’ produk manusia.

Tidak hanya itu, cendekiawan muslim ini juga menarik untuk didiskusikan ulang pemikirannya mengingat concern-nya dalam dunia fatwa hukum Islam. Dimana pada salah satunya karyanya, penulis disini akan sedikit mengulas pandangan beliau khususnya berkenaan dengan relasi antara Syariah, Fiqih, dan Qanūn pada ranah hukum Islam. Walaupun ulasan ini bersifat ‘review’, namun penulis berusaha sebisa mungkin memberikan analisa seperlunya pada teks karyanya dengan merujuk pada referensi pandangan mayoritas ulama. Sehingga dengan demikian, diharapkan -paling tidak- ulasan ini nantinya mampu menemukan gagasan besar dan pokok pikiran Qardawi karyanya langsung yang berjudul Madkhal Li Dirȃsah al-Sharȋ’ah al-Islȃmiyyah.

B. Sekilas Tentang Yusuf Qardawi

Yusuf Qardawi lahir di sebuah perkampungan, Shafth Turaab, Mesir, pada tanggal 9 September 1926. Lingkungan geografis yang memang dikenal sebagai pusat peradaban kuno, terlebih dilahirkan di daerah tengah delta sungai Nil, turut memberikan iklim peradaban tersendiri bagi tumbuh kembang intelektualitasnya. Hal ini dibuktikan dengan prestasinya yang pada usia sepuluh tahun sudah mampu menghapalkan Alqur’an, sebagaimana halnya prestasi masa kecil salah satu pencetus madzhab fikih terbesar hingga saat ini, Imam Syafi’i.

Latar pendidikannya yang hanya berkutat di seputaran Mesir, yaitu pendidikan Ma’had Thanta dan Ma’had Tsanawi lalu berlanjut di Fakultas Usuluddin di Universitas al Azhar yang berhasil ditamatkan pada tahun 1952, turut mendominasi pemikirannya yang terkesan menjaga jarak dengan arus modernitas Barat. Sehingga tepatlah kiranya di usia yang produktif, Qardawi diberi amanat sebagai seorang ketua majelis fatwa sehingga menjadi bahan rujukan atas permasalahan yang terjadi.

Salah satu hal yang menarik dalam perjalanan hidupnya adalah adanya intimidasi dari penguasa Mesir saat itu yaitu ketika kekuasaan Mesir dipegang oleh rezim Raja Faruq. Hal ini tidaklah aneh mengingat keterlibatannya dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi fundamental Islam, dan perlawanannya pada rezim diktator hingga berujung dengan dipenjarakannya Qardawi di usia 23 tahun, tepatnya pada tahun 1949. Termasuk sebab ini pula Qardawi mengalami keterlambatan dalam menyelesaikan program doktornya hingga tahun 1972. Disertasinya berjudul “Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan” yang disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Yaitu sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.

Pengabdiannya dalam bidang pendidikandan pengajaran ia wujudkan dengan mendirikan sebuah institut Fakultas Syariah di Universitas Qatar pada tahun 1961. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Qardawi merupakan ulama dan mujtahid yang tergolong banyak mengeluarkan fatwa pada masanya. Walaupun harus diakui banyak juga yang mengkritisi pendapatnya. Di lain sisi, ia merupakan salah satu tokoh yang menolak dikotomi ilmu pengetahuan antara yang islami dan tidak islami. Baginya, islami atau tidaknya ilmu tergantung sudut pandang individu dan bagaimana menggunakan ilmu tersebut. Hal ini nampak pada sikapnya atas minat ilmu pengetahuan putra-putrinya. Dimana ia membebaskan kepada mereka untuk memilih dan belajar keilmuan sesuai dengan concern masing-masing, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum.

C. Sharȋah, Fiqh, dan Qȃnūn Dalam Kitab Madkhal Li Dirȃsah al-Sharȋ’ah al-Islȃmiyyah

1. Sharȋah

Menurut bahasa, sharȋah, berasal dari lafaz ‘الشيءشرع , yaitu: menerangkannya atau menjelaskannya. Sedangkan menurut Kamus Istilah Alqur’an menyebutkan bahwa sharȋah berasal dari kata ‘ الشرعة و الشريعة “ yaitu: suatu tempat yang mengalirkan air tanpa henti dan tanpa membutuhkan perantara untuk menuju hilir.

Secara terminologi, sharȋah adalah agama yang disyara’-kan oleh Allah kepada hambaNya, atau agama yang dijadikan jalan atau oleh Allah untuk hambaNya yang diperintahkan untuk dipatuhi. Seperti perintah puasa, salat, zakat, haji, dan perbuatan baik lainnya sebagaimana tercantum dalam surah al Jȃtsiyah ayat 18.
Qardawi menambahkan bahwa yang dimaksud sharȋah disini hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat primer dan bukan sekunder, menyangkut keyakinan dan bukan amal perbuatan. Karenanya sharȋah sejak masa Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad Saw pada intinya masih sama yaitu mentauhidkan Allah Swt.

Hal ini dibuktikan dengan turunnya Q.S al Jȃtsiyah ayat 18 yang mengindikasikan makna sharȋah sebagai sebuah jalan (aț țarȋqah) yang diperintahkan kepada kaum kafir Quraisy sebagai ayat yang diturunkan di Mekah, dimana ayat-ayat tentang hukum Islam belum diturunkan kecuali setelah Nabi hijrah ke Madinah sebagaimana makna ayat 48 dari surah al Mȃidah. Karena itulah Qardawi sangat menolak pandangan sekularisme yang hanya menilai bahwa makna sharȋah dalam Alqur’an tidak ada kepentingannya dengan hukum Islam.

Bahkan, dalam ayat-ayat Alqur’an secara pasti mengandung klasifikasi hukum Islam, seperti: ibadah, peradaban dan perdagangan, kriminalitas dan pidana, serta politik dan Negara. Ayat-ayat yang berhubungan dengan empat pembagian tersebut disebut ȃyȃt al-ahkȃm (ayat-ayat hukum).

Beberapa ulama yang concern di bidang ȃyȃt al-ahkȃm, baik ulama klasik maupun modern adalah seperti:
- “Ahkam l-Qur’an” karya Imam Abu Bakar ar Razi al Hanafi (w. 37 h)
- “Ahkam l-Qur’an” karya Imam Abu Bakar Ibn al ‘Arabi al Maliki (w. 543 h)
- “Ahkam l-Qur’an” karya Imam Syafi’I (w. 456 h)
- “al Iklil wa Istinbat l Tanzil” karya al Hafidz Suyuthi (w. 911 h)
- “Tafsir Ayat l-Ahkam” karya Syeikh Muhammad ‘Ali as Sayusi (era modern)

Para ulama klasik berbeda pendapat dalam menentukan jumlah bilangan ayat yang mengandung hukum, namun pendapat yang terkenal adalah berjumlah 500 ayat. Termasuk dalam perbedaan ini yaitu menentukan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Mujtahid dan urgensi pengetahuan tentang Alqur’an.

2. Fiqih

Jika syariah adalah hukum-hukum primer yang di-syara’kan oleh Allah melalui dalil-dalil Alqur’an dan Hadits serta cabang-cabangnya seperti ijma’ dan qiyas. Maka fiqih adalah ilmu yang berkaitan dengan penggalian hukum Islam aplikatif melalui dalil-dalil yang terperinci. Menurut al Jurjani, fiqih adalah ilmu penggali hukum melalui ijtihad dan pendapat yang membutuhkan peran akal. Sedangkan secara etimologi, fiqih berarti الفهم “yaitu pemahaman, memahami, atau mengetahui sesuatu secara mendalam.

Dengan istilah lain, jika syariah sebagai tujuan, sedangkan fiqih sebagai cara atau jalan. Karena fiqih memuat berbagai hukum Islam yang aplikatif dan mendetil. Sehingga bisa dikatakan kitab-kitab fiqih itu sebagai ekspansi penggalian hukum Islam itu sendiri secara mendalam.

Untuk pemahaman lebih lanjut, hukum Islam dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
- نوع ثابت بأدلة مباشرة من نصوص الكتاب و السنة
Yaitu hukum Islam yang langsung bersumber tertulis dari Alqur’an dan Hadits. Dalam hal ini ayat dalam Alqur’an maupun Hadits sangat sedikit, karena akan sangat fatal jika Alqur’an yang berperan sebagai peletak pondasi-pondasi hukum Islam turut menguraikan secara mendetil. Sehingga berakibat pada terbatasnya makna yang sangat ketat. Namun demikian, jenis hukum seperti ini sangat jelas dalam Alqur’an dan tidak ada dualitas pemahaman. .
- و نوع آخر قد عملت فيه عقول أهل الفقه اجتهادا و استنباطا من أدلة الكتاب و السنة
Yaitu dalil-dalil hukum Islam yang digali oleh penalaran para ahli fiqih melalui proses ijtihad dan observasi, dan jika tidak ditemukan dalilnya secara pasti maka ditempuh dengan metode qiyas, istishab, dan lain sebagainya. Kategori ini banyak memuat hukum Islam sebagai wujud ilmu fiqih dan hasil kerja ulama fiqih karena melibatkan olah pikir dan fatwa mereka sehingga menjadi hukum bagi fiqih.

Dari sini dengan jelas dapat kita pahami bahwa syariah dan fiqih merupakan dua hal yang berbeda. Jika syariah berasal dari wahyu ketuhanan, sedangkan fiqih merupakan produk manusia. Qardawi menilai tidak benar jika ada anggapan yang mengatakan bahwa fiqih adalah ilmu syariat walaupun ia dibangun di atas wahyu ilahi.
Adapun kerja akal dalam penggalian hukum juga dibatasi oleh pokok-pokok syariat. Syariah sendiri tidak bisa dipisahkan dari realitas dan perkembangan zaman yang dalam kapasitasnya ini ia merupa ke dalam bentuk fiqih Islami. Pada taraf ini, hukum syariat digali dengan akal para ahli fiqih modern melalui pijakan dasar-dasar dan substansi syariah.

Untuk itulah Qardawi tidak menerima pendapat yang menolak fiqih islami sebagai hukum syariat yang didasarkan pada akal karena bagaimanapun ia merupakan kepanjangan dari syariat itu sendiri. Namun yang dapat ditolelir disini adalah pembaharuan dan perkembangan fiqih, seperti berkenaan dengan hukum yang tersirat, appendiks ( الفهرسة ), التنظير و التقنين.

Gagasan yang paling penting dari Qardawi salah satunya adalah menghidupkan budaya ijtihad. Baik itu dengan ijtihad انتقائيا (netralisasi) yaitu dengan mengambil pendapat yang paling rajih menurut fiqih masa kini berdasar dalil dan ungkapan-ungkapan syariat. Ada pula dengan ijtihad إنشائيا yaitu dengan mengadakan pendapat terhadap permasalahan-permasalahan yang baru digali dari nash hukum dan substansi syariah yang diakui tanpa mengesampingkan pendapat terdahulu. Pengecualian hal ini adalah dalam bidang ibadah.

Ada perbedaan yang signifikan antara Syariah dan Fiqih. Perbedaan antara keduanya adalah:
1. Syariah bersifat ilahiyah, sedangkan fiqih adalah buatan.
2. Syariah tidak bisa terperinci atau fleksibel sesuai kondisi, namun ia sudah terkandung dalam Fiqih Islami dalam merespon perkembangan zaman.

Dengan demikian, keterkaitan dalam proses penggalian hukum, ilmu fiqih menggunakan peran akal namun tetap dibatasi oleh dasar-dasar Syariah. Dalam hal ini, Qardawi bersikap tegas pada upaya penolakan terhadap Fiqih Islami. Karena Fiqih Islami sejatinya merupakan Syariah itu sendiri, karena hukum Islam –dalam hal ini Syariah- melalui Fiqih selalu mengalami pembaruan dan perkembangan sesuai kemajuan masyarakat.

D. Sharȋ’ah dan Qȃnūn Wadh’iy

Setelah kita memahami Syariah tibalah saatnya mempelajari tentang Qȃnūn. Qȃnūn ( قانون ) berasal dari bahasa Arab yaitu:
أمر كلى ينطبق على جميع جزئياته التى تتعرف أحكامها منه , adalah seperangkat hukum yang mengaplikasikan berbagai rincian permasalahan yang diketahui hukumnya. Hal ini senada dengan ungkapan para ulama klasik bahwa Qanun adalah tata aturan yang lengkap dan detil yang didasarkan pada hukum-hukum yang terperinci.

Yusuf Qardhawi menambahkan makna Qanun ketika disandingkan dengan istilah Syariah maka ia akan berfungsi sebagai hukum yang diproduksi oleh manusia untuk mengatur kehidupannya dan hubungannya dengan sesama baik secara individu maupun social, karenanya ia disebut Qȃnūn Wadh’iy . dari sini dapat dibedakan perbedaan mendasar antara Syariah dan Qanun adalah jika syariah berasal dari wahyu Allah, maka Qanun merupakan produk atau buatan manusia.

Qanun –yang dalam istilah umum- disebut juga Undang-undang adalah sekumpulan hukum yang dibuat dengan kasus atau bidang tertentu, semisal undang-undang pidana, dan dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan perselisihan diantara masyarakat dan warga negara.

Undang-undang yang dikenal paling kuno adalah Undang-undang Hammurabi di Babilonia. Sedangkan undang-undang yang paling berpengaruh adalah undang-undang Romawi yang hingga kini diadopsi oleh negara Barat dan sebagian negara Islam pada masa kolonialisme. Hal inilah yang memunculkan dugaan bahwa Fiqh Islami juga mengadopsi dari Romawi. Menurut Qardawi, poin ini tidak bisa dipertanggungjawabkan dan hanya bersifat tuduhan Barat semata terhadap Islam. Karena, masih menurut Qardawi, perbedaan antara hukum Barat dan Fiqih Islami sangat mencolok dalam hal tujuan, metode, dasar, filosofi, dan perkembangannya masing-masing.

Perkembangan Qanun dalam suatu masyarakat berbanding lurus dengan kemajuan peradaban masyarakat itu sendiri. Dengan karakternya yang berbasis lokalitas, permulaan suatu Undang-undang pada awalnya didasarkan pada suatu pedoman bahwa ucapan seorang pemimpin adalah undang-undang bagi pengikutnya dan kadang melalui kesepakatan banyak orang. Namun demikian, ada prinsip yang mesti dipegang dalam membuat Qanun, yaitu: prinsip keadilan, persamaan, kasih sayang, dan kemanusiaan.
Pada kesimpulannya tentang Qanun, Qardawi menegaskan bahwa bagaimanapun juga Undang-undang zaman dahulu dengan sekarang sangatlah berbeda perkembangan dan tahapannya. Dalam arti tidak ada yang baku setelah melalui ribuan tahun lamanya. Terlebih undang-undang dalam satu negara jelas berbeda dengan negara lain.

Adapun perkembangan Syariah bukan seperti Fiqih maupun Qanun yg berawal dari kecil berangsur menjadi banyak. Syariah datang dengan sempurna, universal, dan komprehensif tanpa ada yang kurang. Berlaku bagi keadaan apapun, siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Pun demikian, ia hanya ‘produktif’ sejak kenabian Nabi Muhammad Saw hingga wafatnya saja.

Dari pemaparan karya Yusuf Qardawi dapat disimpulkan perbedaan mendasar antara Syariah dan Qanun adalah:
1. Syariah dari wahyu Allah Swt, sedangkan Qanun merupakan produk manusia.
2. Kaidah Syariah berlaku sepanjang waktu, sedangkan Qanun berlaku dalam waktu tertentu sesuai kebutuhan masyarakat
3. Qanun lazimnya menyangkut hal-hal tertentu, seperti: undang-undang pidana atau undang-undang tentang sanksi pelanggaran hukum.
4. Diciptakannya Qanun bertujuan sebagai rujukan manusia ketika menghadapi perseteruan antar sesama.

E. Syariah Agama Lain

Sebagai bahan untuk membandingkan antara Syariah Islam dengan Syariah agama-agama pendahulunya, seperti Yahudi dan Nasrani, sebagai agama samawi lain selain agama Islam. Dalam arti lain, baik agama Yahudi, Nasrani,dan Islam pada hakikatnya mempunyai sumber yang sama dalam hal Syariah, yaitu Allah Swt. Namun dalam bukunya ini Qardawi menguraikan batasan yang membedakan antar Syariah masing-masing agama tersebut.

1. Syariat Agama Yahudi

Syariat agama Yahudi sangatlah berbeda dengan agama Islam walaupun pada awalnya sama yaitu berkenaan dengan ibadah, muamalah, dan perihal hidup yang bermacam-macam. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Alqur’an surat Al A’raf ayat 145 kepada Nabi Musa sebagai Nabi pada masa kelahiran bangsa Yahudi dengan kitabnya Taurat. Di dalamnya juga termuat persoalan hukum sebagaimana Alqur’an surat Al Maidah ayat 44 – 45.

Sungguh ironis jika kemudian bangsa Yahudi menyelewengkan dan menyimpangkan isi dan kandungan otentik kitab Taurat dengan mengubah dan mempelintir ayat-ayatnya. Sehingga dapat dikatakan kitab Taurat yang ada saat ini bukanlah Kalam Allah secara asli yang diturunkan kepada Nabi Musa, namun telah bercampur mayoritas isinya dengan olah pikir dan tangan manusia. Kenyataan ini didukung dengan firman Allah dalam Alqur’an sebagai kitab suci yang turun jauh setelah kitab Taurat.

Adapun sebagai perbandingan beberapa persoalan kitab Taurat yang saat ini digunakan oleh umat Yahudi dan Nasrani adalah sebagai berikut:

• Fanatisme Rasisme
Yaitu suatu keyakinan yang mengklaim bangsanya sendiri –Bani Israil- paling unggul diantara bangsa lain, bahkan terkadang menghalalkan segala sesuatu bagi bangsanya sendiri dan mengharamkan bangsa lain.
Syariat bagi Bani Israil merupakan alibi yang absah untuk mengokohkan kepentingan mereka sebagai bangsa pilihan yang dikehendaki oleh Allah untuk menguasai seluruh umat manusia di muka bumi. Dengan poin ini pada awalnya mereka menganggap penugasan dari Tuhan untuk menyelamatkan aspek kemanusiaan di dunia. Tentunya dengan melarang keras segala bentuk pembunuhan maupun pengusiran bangsa lain. Namun kenyataannya, dalam internal mereka terjadi perpecahan dalam memahami konteks ini. Sehingga seperti Bani Israil saat ini yang sangat kontradiktif justru menghalalkan pembunuhan, bahkan memerangi bangsa lain, khususnya bangsa Kan’an. Setelah menguasai suatu bangsa mereka membunuh semua kaum lelaki, menjadikan budak kaum perempuan, menjarah dan merampok harta mereka sebagai bentuk tindakan yang sah. Dalam urusan perdagangan, bangsa Israil menjalankan sistem riba bahkan kepada sesamanya sendiri dan tanpa mengambil jaminan dari hutangnya.
Terlebih dalam kitab suci mereka menetapkan bahwa bangsa Kan’an telah di-nash sebagai budak mereka sejak zaman azali. Dengan keyakinan ini mereka tidak akan memberikan kesempatan hidup bangsa Kan’an selain agar menjadi budak mereka. Jika sedikitpun ada celah kebebasan bagi bangsa Kan’an maka mereka akan memeranginya dan hal ini semua dilakukan dengan mengatasnamakan dakwah Nabi Nuh terhadap bangsa Kan’an dan keturunannya.

• Fanatisme Ritus dan Simbol

Syariat bangsa Yahudi yang terkandung dalam kitab suci mereka juga berisikan ajaran tentang fanatisme terhadap materi dan simbol. Di sisi lain, aspek-aspek yang berkaitan tentang dunia spiritual, eskatologi, dan keagamaan sama sekali tidak tercantum dalam kitab Taurat.

Kandungan isi pembahasan dalam kitab Taurat hanya berkaitan dengan materi dan kebendaan, seperti: pengoptimalan harta benda, anak, kesehatan badan, dan menciptakan permusuhan. Hal ini menjadi kontradiktif dengan kitab suci Alqur’an yang berisikan moralitas, perintah berbuat baik dan mencegah kemungkaran, hukuman terhadap orang yang bermaksiat, dan sebagainya sebagaimana tercantum secara komprehensif di dalam Alqur’an.

Selain aspek materi yang banyak disinggung dalam kitab Taurat, di dalamnya juga terkandung tentang pentingnya suatu simbol maupun lukisan. Satu contoh bangsa Yahudi yang memuliakan hari Sabtu, menggunakan pakaian khusus, dan memuja leluhur dengan gambar atau simbol tertentu, sedangkan hati mereka sendiri tidak beriman dan bertaqwa kepada Allah.

Dalam hal ritus mereka membakar hewan untuk dikurbankan, sangat berbeda jauh dengan perintah Allah agar mengkurbankan hewan dengan cara disembelih dan untuk kepentingan taqwa serta disedekahkan kepada fakir miskin. Jadi, ajaran agama mereka sangat keji dan jauh dari upaya memanfaatkan materi dengan baik.

Bahkan dalam kitab Talmud mereka membolehkan seorang anak lelaki berzina dengan ibunya yang janda dengan bebas tanpa denda dan justru dianjurkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang suami ketika istrinya meninggal maka ia juga dibolehkan dengan anak perempuannya tanpa denda dan hukuman.

• Sikap ‘Keras Kepala’

Salah satu karakter khas dalam syariat agama Yahudi adalah sikap mereka yang ‘keras kepala’ dan suka membantah. Hal ini nampak pada bantahan mereka terhadap apa-apa yang diturunkan oleh Allah termasuk melalui nabi Musa dan kitabnya Taurat. Karena sikap dzalim dan pembangkangan yang mereka lakukan inilah Allah mengharamkan bagi mereka yang semestinya dihalalkan, namun mereka pun tetap melanggar dan tidak mematuhi para nabinya.

Akan lebih jelas jika dilihat pebedaan antara karakter kitab Injil dan kitab Taurat. Jika Injil bersifat lunak dan toleran, maka Taurat bersifat keras dan penuh bantahan.

Karakter keras penuh pemberontakan pada Tuhan dalam Syariat Yahudi ini sesuai dengan karakter bangsa Israil sebagaimana di-nash dalam Alqur’an. Kebengalan bangsa Yahudi nampak sekali pada kebiasaan mereka yang senang mengobarkan permusuhan, pertumpahan darah, merampas harta orang lain, memperbudak orang lain, dan menghalalkan yang haram. Lebih fatal lagi, mereka lakukan itu semua atas nama Tuhan demi sebuah ambisi untuk menjadi Bani Israil yang paling tangguh daripada bangsa lain. Sungguh berbeda jauh dengan Syariat agama samawi lainnya.

2. Syariat Agama Nasrani

Syariat agama Nasrani tidak bisa dipisahkan dari syariat yang dibawa oleh Nabi Musa, yaitu seputar pembahasan tentang perjalanan hidup dan bermasyarakat. Bahkan dalam kitab Injil disebutkan bahwa syariat Nasrani ini bukan dimaksudkan untuk menyelamatkan atau menggantikan syariat Nabi Musa, melainkan justru menyempurnakannya.

Namun demikian, Qardawi berpendapat bahwa syariat Nasrani sebenarnya bertindak sebagai penyelamat syariat dalam kitab Taurat. Seperti hukum diharamkannya daging babi, patung, hukuman rajam dan qisas. Penegasan Qardawi ini merujuk dengan ungkapan yang paling populer dalam tradisi Nasrani: “jika seseorang menampar pipi kananmu, maka tamparlah pipi kirinya”.

Yang dimaksud kitab Injil dalam hal ini bukanlah seperti Injil kekinian, dimana sudah ada perubahan mendasar dengan pendahulunya. Salah satu syariat yang terkandung dengan jelas adalah disyariatkannya larangan men-talak istri. Hal ini sangat berbeda dengan syariat sebelumnya terlebih jauh berbeda dengan syariat agama Yahudi. Sebagaimana dikatakan oleh Al Masih tentang keharaman men-talak istri kecuali karena sebab zina tercantum dalam Injil Matius 5: 31, 32 dan Injil Markus 1: 11, 12.

Adapun poin yang tidak disepakati oleh Qardawi dalam hal hukum talak versi kitab Injil ini adalah dalil yang menyebutkan bahwa ‘ilat atau sebab mendasar diharamkannya talak yaitu bertumpu pada Allah sebagai Tuhan yang mempersatukan dua insane sehingga manusia tidak boleh melanggar atau merusak hubungan yang sudah disatukan ini. Menurut Qardawi pemahaman yang sebenarnya bukanlah demikian. Jika demikian adanya, apakah lantas Allah pulalah yang menyebabkan zina diantara salah satu pasangan tersebut? Apakah tidak ada ‘ilat lain yang lebih sahih daripada merujukkan pada kehendak Allah. Karena –masih menurut Qardawi- memang Allah-lah yang mempersatukan kedua insane untuk menikah lalu menjadikan sebab terjadinya anak keturunan diantara keduanya, namun Tuhan hanya mensyariatkan sebab-sebab dibolehkannya talak bukan berarti Tuhan mengijinkan atau bahkan tidak menghadapi talak jika memang ada sebab atau peristiwa yang telah disyariatkan seperti zina dan sebagainya.

F. Penutup

Dari ulasan buku di atas yang merujuk pada salah satu karya berjudul ‘Madkhȃl li Dirȃsah l-Syarȋ’ah l-Islȃmiyyah’, dapat kita katakan bahwa beliau memang seorang mujahid yang moderat. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat kegigihan beliau dalam menjaga kemurnian Islam, baik dari unsur eksternal seperti pemilihannya antara syariat Yahudi dan Nasrani terhadap syariat Islam, maupun dari unsur internal seperti pen-sakral-annya terhadap makna syariat Islam itu sendiri dari wilayah fikih dan qanun.

Namun demikian, tulisan ini tidak bisa merangkum isi keseluruhan dari karya Dr. Yusuf Qardawi khususnya walaupun hanya berfokus pada bab Syariah, Fiqih, dan Qanun. Mengingat segala keterbatasan yang dimiliki oleh penulis utamanya dalam penulisan tugas mata kuliah ‘Reading of Arabic Text’ ini. Untuk kritik dan saran: cholidmaarif@yahoo.com.


Oleh:
Cholid Ma’arif, S.Hum, Mahasiswa Pasca Sarjana Konsentrasi Ekonomi Syariah STAIN Ponorogo, 27 Nopember 2011 / 01 Muharram 1433 H

Jumat, 22 April 2011

Sholawat Song: “ROBBI KHOLAQ”

Sholawat Song:
“ROBBI KHOLAQ”


Transkripsi:

Robbi kholaqtan nabin nuur, filihtirom, filihtirom,
Nadaahu aqbil ya mukhtaar, antal amiin, antal amiin

Lam yartaqol baytal ma’muur, sholla imam, , sholla imam
Wa qod tamamir robbihii, bahil jaliil, bahil jaliil,
Nadaahu aqbil ya mukhtaar, antal amiin, antal amiin

Minkum taa;antan nabil huur, yawmaz zihaam, yawmaz zihaam,
Sholli ‘ala bahil anwaar, ‘aynil yaqiin, ‘aynil yaqiin,
Nadaahu aqbil ya mukhtaar, antal amiin, antal amiin


Terjemahan:

Ya Rabb, Engkau telah menciptakan seorang nabi dalam kedudukan yang mulia
Orang memanggilnya, terimalah wahai Muhammad, engkaulah sang Amin

Orang tiada mampu memajukan Baitul makmur, sampai sholat ditegakkan oleh seorang imam
Dan telah sempurna dari Tuhannya, dengan Wajah Sang Manusia yang mulia,
Orang memanggilnya, terimalah wahai Muhammad, engkaulah sang Amin

Sebagian dari kamu akan didatangi nabi yang membawa kebebasan, di hari kiamat,
Semoga sholawat tetap terpanjatkan kepada Muhammad yang membawa cahaya, sang mata air keyakinan,
Orang memanggilnya, terimalah wahai Muhammad, engkaulah sang Amin




Yogyakarta, 22 April 2011


Song by : ASSAMAWAT-GROUP
Taken from : NURYAHMAN.BLOGSPOT.COM
Transcripted and translated by : CHOLID MA’ARIF

Sabtu, 09 April 2011

“Intelegensi dan Pendidikan” (Perspektif Psikologi Untuk Pendidikan Islam)*


Oleh:
Cholid Ma’arif**

A. Manusia Dalam Pusaran Intelegensi; For Warming-Up

Dalam konsep pendidikan Islam, telah menjadi maklum bahwa subjek sekaligus objek dari pendidikan itu sendiri adalah manusia. Manusia dengan seperangkat anatomi tubuhnya sebagai bagian dari jasmani, sedangkan ruhani serta spiritualnya sebagai bagian lain dalam sudut pandang yang berbeda. Jika jasmani merupakan sesuatu yang nyata dan dapat ditelaah secara ilmiah, begitupun juga dengan ruhani yang meliputi dunia kejiwaan manusia, walaupun bisa saya katakan wilayah ini merupakan daerah “abu-abu”, yaitu sesuatu yang dapat ditelaah ilmiah namun tidak sekonkrit kajian pada objek jasmani yang mampu diamati dan disentuh. Karena sifat kejiwaan ini dapat diamati –dengan disiplin khusus-, dan dirasakan saja.

Termasuk dalam hal ini adalah dunia spiritual yang bersifat transeden menyangkut masalah keimanan, ketuhanan, dan alam eskatologi lainnya yang hingga kini pun belum selesai diperdebatkan. Namun di tangan olahan psikologi, sisi transcendental manusia tetap bisa ditelaah secara empiris untuk menambah wacana pemikiran dalam bidang kecerdasan ruhaniah.

Salah satu alasan yang tidak bisa dibantah atas kelebihan manusia adalah aspek kecerdasannya (baca: intelegensi). Disinilah sebuah akal memainkan peran untuk mengistimewakan makhluk bernama manusia dengan makhluk lainnya. Bahkan ada statement terkini yang menyebutkan: “secanggih-canggihnya alat teknologi pada zaman modern saat ini, tetap saja tak lebih canggih dari manusia karena ia yang menciptakan semua itu”. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa bicara tentang manusia seutuhnya yang dimaksud disini bukanlah saja persoalan akal, logis, maupun rasionalitas ansich. Khususnya dalam dunia pendidikan, teori yang terbilang baru mengatakan bahwa manusia yang cerdas intelegensinya adalah sosok yang bisa menguasai dan menerapkan banyak kecerdasan yang kemudian sering disebut sebagai kecerdasan ganda atau multiple-intellegences.

Istilah ‘multiple-intellegences’ diperkenalkan oleh Gardner pada tahun 1983, sebagai suatu konstruk intelegensi. Untuk mendukung teorinya Gardner melakukan penelitian dari berbagai macam bidang, seperti: psikologi perkembangan, antropologi, psikologi kognitif, psikometri, neoropsikologi, dan studi biografi. Gardner menunjukkan bahwa intelegensi yang dipahami oleh manusia baru sebagian saja dari kecerdasan manusia, misalnya dalam proses pendidikan selama ini penilaian hanya berdasarkan pada kecerdasan verbal dan numerial saja. Sehingga dia mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah dan menciptakan produk yang bernilai budaya.

Selanjutnya, Gardner menyatakan bahwa ada delapan yang profilnya berbeda antara manusia satu dengan yang lain. Kedelapan intelegensi tersebut adalah: 1) aspek linguistic; kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif baik tulis maupun lisan, 2) aspek logis-matematis; kemampuan mengolah angka atau menggunakan logika akal sehat, 3) aspek visual-spasial; kemampuan memvisualisasikan gambar dalam bentuk dua atau tiga dimensi yang abstrak, 4) aspek musical; kemampuan menyanyikan lagu, mengingat melodi music, mempunyai kepekaan irama, dan menikmati music, 5) aspek kinestetik-jasmani; kemampuan melakukan gerakan tubuh atau anggota badan, 6) aspek naturalis; kamampuan untuk mengenali bentuk-bentuk alam di sekitar, 7) aspek intra-pribadi; kemampuan untuk mengenali dan memahami diri sendiri, 8) aspek antar-pribadi; kemampuan berkomunikasi dan empati pada orang lain.

Erat kaitannya dengan pendidikan, Gardner (1993) menyatakan kalau saja keragaman profil kecerdasan tersebut dipahami dan didukung lewat pemberian kesempatan dan fasilitas, maka siswa akan lebih dapat mewujudkan kemampuannya. Hal ini sejalan dengan maksud dari Depdiknas (2002), bahwa esensi pendidikan siswa adalah membantu siswa untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik perkembangannya dalam konteks fisik dan social siswa.

Namun demikian, dalam makalah ini hanya sedikit mengulas tentang dua jenis kecerdasan saja kaitannya dengan pengembangan pendidikan Islam dari aspek psikologi perkembangan anak didik, yaitu kecerdasan emosi dan kecerdasan social. Karena kembali pada argument di atas tadi, bahwa aspek yang bersinggungan langsung dengan kejiwaan manusia yang “abu-abu” adalah dua unsur tersebut. Ia bisa saja muncul karena dirinya sendirinya (pedagogik) maupun dari lingkungan sekitarnya (behavioristik), bahkan berpotensi besar untuk kemungkinan terjadinya akomodasi dari kedua unsurnya (konstruktivistik) sebagai kecerdasan ruhani (transcendental intelligences).

B. Bahaya Emosinal dan Sosial; All Beginning Are Difficulties

Untuk menilik kedua aspek tersebut pada perkembangan anak didik, baik pasca kanak-kanak maupun remaja, tidak bisa dilepaskan dari pengalaman dan pandangan mereka ketika masih kanak-kanak, bahkan ketika masih bayi ataupun balita. Perlakuan yang mereka dapat ataupun dengan pembuktian terbalik yakni respon yang diberikan oleh orang dewasa di sekitarnya cukup cukup memberikan dampak psikis yang begitu berarti jika orang dewasa tidak mau mencoba dan memasuki dunia mereka, seperti halnya cara ‘active learning dalam pembelajaran. Sehingga seperti apakah bahasa emosinal dan social tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Bahaya Emosional
Bahaya emosional awal masa kanak-kanak yang dominan terlihat pada mayoritas sebagai berikut: Pertama, emosi yang kurang baik, terutama amarah; kalau anak mengalami terlalu banyak emosi yang kurang baik dan hanya sedikit mengalami emosi-emosi yang menyenangkan maka hal ini akan mengganggu pandangan hidup dan mendorong perkembangan watak yang kurang baik. Kedua, ketidakmampuan melakukan empathic-complex, yaitu suatu ikatan emosional antara individu dan orang-orang yang berarti. Ketiga, perkembangan kasih sayang yang terlalu kuat dari satu orang, biasanya ibu, karena hal ini menyebabkan anak merasa kurang aman dan gelisah pada saat perilaku orang yang dicintai tampaknya mengancam atas ketidaksetujuan kekeliruannya, termasuk dengan dominasi berbagai alat permainan.

2. Bahaya Sosial
Sejumlah bahaya terhadap berkembangnya penyesuaian social yang baik pada awal masa kanak-kanak yang mengancam bahkan ada lima, yaitu: Pertama, ketika pembicaraan atau perilaku anak menyebabkan ia tidak popular di antara teman-teman sebaya, maka ia tidak hanya akan merasa kesepian tetapi yang lebih penting lagi ia kurang mempunyai kesempatan untuk belajar berperilaku sesuai dengan harapan teman sebaya. Kedua, anak yang secara keras dipaksa untuk bermain sesuai dengan seksnya saja, maka ia justru akan bertindak secara berlebihan dan hal ini membuatnya dibenci oleh teman sebayanya. Ketiga, sebagai akibat perlakuan teman-teman sebayanya, anak mungkin dan seringkali mengembangkan sikap social yang tidak sehat. Keempat, penggunaan teman khayalan dan binatang peliharaan untuk mengimbangi kurangnya teman. Kelima, dorongan orang tua untuk lebih banyak menggunakan waktu dengan anak-anak lain dan tidak terlalu banyak menghabiskan waktu sendiri.

Selanjutnya, dalam rangka membebaskan kecerdasan yang sebenarnya masih terhambat dengan bahaya-bahaya masa kanak-kanak, konsep ‘socio-emotional development’ menawarkan strategi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Hasil riset menganjurkan empat kunci untuk mengembangkan penghargaan diri anak didik (Bednard, Wells, & Peterson, 1995; Harter, 1999):

1. Mengidentifikasi factor-faktor yang menyebabkan penghargaan terhadap diri sendiri menurun dan wilayah kompetensi yang penting bagi dirinya.
2. Dukung selalu emosionalnya dengan pendekatan social.
3. Bantu anak meraih prestasi
4. Mengembangkan kemampuan anak dalam menyesuaikan diri.

Pembahasan masa kanak-kanak untuk mengamati perilaku di masa remaja pada perkembangan anak didik bukanlah hal yang naïf. Karena yang mesti dipahami adalah kita sedang mempelajari perkembangan dari makhluk manusia yang terintegrasi, yang hanya mempunyai satu badan dan satu jiwa yang saling tergantung.

Lebih jauh, tahapan-tahapan pertumbuhan dalam proses mencari jati diri, menemukan tugas panggilan hidup pribadi sebagai bagian dari kecerdasan emosional dan social, Erik Erikson, seorang ahli psikoanalisis, menggambarkannya sebagai berikut:

1) Bayi: Kebenaran Dasar versus Ketidakpercayaan Dasar. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Harapan atau Penarikan diri.
2) Balita: Otonomi versus Malu, Ragu-ragu. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Keinginan atau Keharusan / Paksaan.
3) Usia Bermain: Inisiatif versus Kesalahan. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Maksud-tujuan atau Hambatan.
4) Usia Sekolah: Kerajinan versus Perasaan Rendah Diri. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Kompetensi atau Kemalasan
5) Remaja: Identitas versus Kekacauan Identitas. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Kesetiaan atau Penolakan.
6) Kedewasaan Masa Muda: Keintiman versus Pengasingan. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Cinta atau Keadaan Ekslusif.
7) Kedewasaan: Kemampuan Menghasilkan versus Kemandegan. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Perhatian atau Penolakan.
8) Usia Tua: Integritas versus Keputusasaan. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Kebijaksanaan atau Penghinaan.

Perlu disampaikan bahwa dalam kenyataannya proses perumbuhan itu tidak selalu berjalan linier, jadi masih dimungkinkan terobosan positif.

C. Dari Hakihat Perkembangan Sampai Intelegensi Anak Didik

Setelah mencoba memahami masa-masa dimana anak didik berkembang dengan mengatasi memori sejak masa kanak-kanaknya, selanjutnya kita mempelajari hakikat perkembangan itu sendiri untuk dapat mengukur perkembangan intelegensi anak didik itu sendiri. Maka dalam hal ini akan ditarik sebuah skema yang akomodatif dengan berbagai tahapan perkembangan.

Perkembangan (development) adalah adalah pola gerakan atau perubahan yang dimulai pada waktu konsepsi dan berlanjut sepanjang siklus hidup. Sebagian besar perkembangan mencakup pertumbuhan, walaupun ia juga penurunan. Pola gerakan ini bersifat kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses-biologis, kognitif, dan social-emosional. Proses-proses ini sangat mempengaruhi dalam keterjalinannya dengan intelegensi dalam perkembangan individu sepanjang rentang hidup manusia. Proses social membentuk proses kognitif, proses kognitif mengembangkan atau menghambat proses social, dan proses biologis mempengaruhi proses kognitif.

Pertama, proses biologis (biologis processes) mencakup perubahan-perubahan dalam hakikat fisik individu. Berupa gen yang diwariskan dari orang tua, perkembangan otak, pertambahan tinggi dan berat badan, ketrampilan motorik, dan perubahan hormonal pubertas. Kedua, proses kognitif (cognitive processes) meliputi perubahan dalam pikiran, intelegensi, dan bahasa individu. Termasuk dalam wilayah ini adapalah menghafal puisi, memecahkan masalah matematika, dan membayangkan seperti apa rasanya nila menjadi bintang film. Ketiga, proses social-emosional (socioemotional processes) meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain, dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks social dalam perkembangan.

Kembali saya ingin menarik target inti dari tiga proses perkembangan di atas adalah perkembangan intelegensi anak didik. Karena seperti dijelaskan sebelumnya bahwa keseluruhan factor dalam masa rentang perkembangan manusia dengan seluruh aspeknya itu saling mempengaruhi utamanya pada pencapaian yang sangat diharapkan, yaitu intelegensi yang potensial, optimal, dan maksimal.

Pada umumnya, kecerdasan atau intelegensi dapat dilihat dari kesanggupan seseorang dalam bersikap dan berbuat sesuai dengan suatu keadaan. Intelegensi merupakan suatu kemampuan tertinggi dari jiwa makhluk hidup yang hanya dimiliki manusia, yang dibawa sejak lahir untuk menyesuaikan diri terhadap situasi. David Wechster (1958) mendefinisikan kecerdasan sebagai "keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif".

Walaupun demikian, membincang tentang keterkaitan seluruh aspek dalam pusaran manusia sebagai mikromos dari bagian makromos semesta, perlu menjadi catatan juga bahwa sebenarnya hingga sekarang sudah banyak beberapa kajian dalam hal intelegensi atau tingkat IQ seseorang. Menurut Kohstan, intelegensi dapat dikembangkan, namun hanya sebatas segi kualitasnya, yaitu pengembangan akan terjadi sampai pola pada batas kemampuan saja, terbatas pada segi peningkatan mutu intelegensi, dan cara cara berpikir secara metodis. Pun intelegensi orang satu dengan yang lain cenderung berbeda-beda. Hal ini karena beberapa faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor yang mempengaruhi intelegensi antara lain sebagai berikut:

1. Faktor Bawaan

Faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu, di dalam satu kelas dapat dijumpai anak yang bodoh, agak pintar, dan pintar sekali, meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.

2. Faktor Minat dan Pembawaan yang Khasstyle="font-style:italic;">

Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar,sehingga apa yang diminati oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.

3. Faktor Pembentukan

Dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Di sini dapat dibedakan antara pembentukan yang direncanakan, seperti dilakukan di sekolah atau pembentukan yang tidak direncanakan, misalnya pengaruh alam sekitarnya.

4. Faktor Kematangan

Dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik mauapun psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, tidak diherankan bila anak anak belum mampu mengerjakan atau memecahkan soal soal matematika di kelas empat sekolah dasar, karena soal soal itu masih terlampau sukar bagi anak. Organ tubuhnya dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk menyelesaikan soal tersebut dan kematangan berhubungan erat dengan faktor umur.

5. Faktor Kebebasan


Hal ini berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kelima faktor diatas saling mempengaruhi dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Jadi, untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman atau berpatokan kepada salah satu faktor saja.

D. Psikologi Untuk Pendidikan (Islam); Belong Intellegencies

Menurut Ki Hadjar pendidikan anak penting dilakukan sejak dini. Pendidikan berisi penanaman nilai budi pekerti, nilai seni, nilai budaya, kecerdasan, ketrampilan dan agama. Sistem among juga diperkenalkan karena arti pendidikan anak usia dini bagi Ki Hadjar adalah melayani dan memberikan kebebasan pada anak agar senang. Slogan yang sangat terkenal dari Ki Hadjar Dewantara adalah Ing ngarsa sung Tulodo, Ing Madya mangun karsa, Tut Wuri Handayani

Untuk memetakan lebih lanjut perbedaan antara psikologi, pendidikan, dan psikologi pendidikan, perlu kita pahami definisinya masing-masing. Psikologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami bagaimana makhluk tersebut berpikir dan berperasaan (Gleitman, 1986). Sedangkan pendidikan diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dancara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dari kedua definisi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi pendidikan adalah pengetahuan kependidikan yang didasarkan atas hasil-hasil temuan riset psikologis.

Dapat dikatakan kemudian bahwa psikologi dan pendidikan sama-sama mempunyai kepentingan terhadap jiwa manusia dan pengembangan kecerdasannya. Jika kecerdasan emosi dan sosial dapat diamati lebih jauh bahkan dari aspek luar yang mempengaruhinya termasuk menghindari dan menyelesaikan bahasa sosial dan emosional, maka tidak sama halnya dengan kecerdasan transendental.

Adapun faktor yang menentukan positif negatif terhadap kecerdasan transendental adalah potensi qalbu (hati dalam arti spiritual dan pancra idera juga indera keenam) yang memiliki tiga fungsi sekaligus, yaitu:

1) Fu’ad; merupakan potensi qalbu yang berkaitan dengan inderawi, mengolah informasi yang sering dilambangkan berada dalam otak manusia (fungsi rasio, kognitif). Potensi ini meliputi mampu menerima informasi dan menganalisisnya sedemikian rupa sehingga ia mampu mengambil pelajaran dari informasi tersebut.

2) Shadr; merupakan potensi qalbu yang berperan untuk merasakan dan menghayati atau mempunyai fungsi emosi (marah, benci, cinta, indah, afektif). Potensi ini sebagai dinding hati yang menerima limpahan cahaya keindahan, sehingga mampu menerjemahkan segala sesuatu serumit apa pun menjadi indah dari karyanya seperti pelita bagi orang-orang yang berilmu.

3) Hawaa; merupakan potensi qalbu yang menggerakkna kemauan, meliputi: ambisi, kekuasaan, pengaruh, dan keinginan untuk mendunia (fungsi conative). Potensi ini cenderung selalu untuk membumi dan merasakan nikmat dunia yang bersifat fana sebenarnya tanpa ia sadari.

Dari sini cukup menegaskan penjelasan di awal bahwa manusia merupakan makhluk yang paling canggih sekalipun memiliki akal sebagai basis analisis pengetahuan, juga didukung secara dominatif oleh peran hati yang dengan maksimal dan potensial mengarahkan perilaku manusia untuk mengenali dan menyadari aspek positif dan negatif berdasar unsur spiritual, yaitu sesuatu di luar dirinya dan lingkungannya, melainkan Tuhannya sebagai Godspot merupa kekuatan cahaya transendental yang mampu langsung membidik ke hatinya.

Kaitannya dengan pendidikan Islam, sangat berkaitan erat dengan sejumlah komponen dari pendidikan itu sendiri agar dapat mendukung suasana yang kondusif bagi berprosesnya ketiga kecerdasan manusia tadi. Dalam hal ini saya megangkat pokok-pokok pikiran Syeikh Az-Zarnuji, seorang filsuf kependidikan Islam, dalam kitabnya Ta’lim Muta’alim pendidikan diklasifikasikan menurut lima faktor pendidikan, yaitu sebagai berikut:

1) Faktor Tujuan Pendidikan; bahwa setiap pelajar seharusnya bertujuan dalam menuntut ilmu untuk mencapai ridha Ilahi, kebahagiaan akhirat, melenyapkan kebodohan dari dirinya sendiri dan orang lain, menghidupkan ajaran agama dan menjaga kelestarian agama dengan ilmu pengetahuan. Bahkan poin ini selaras dengan tujuan pendidikan modern yaitu pendidikan yang diarahkan kepada pembentukan individu dengan sikap kemasyarakatan yang baik.

2) Faktor Terdidik: yang dimaksudkan adalah pelajar, yaitu penuntut ilmu haruslah memiliki sifat-sifat moral yang mulia, seperti: tawadhu (sederhana, rendah hati), iffah (rasa harga diri), tabah, sabar, cinta ilmu, sayang kepada sumber pengetahuan, hormat kepada sesama pelajar, bersungguh-sungguh dalam belajar, komitmen dan disiplin, wara’ (menghindari perbuatan tercela), memiliki cita-cita tinggi dalam ilmu pengetahuan, serta tawakkal (berserah diri kepada Allah setelah usaha).

3) Faktor Pendidik; adalah para guru perlu memperhatikan hal-hal seperti: menguasai ilmu (profesional), wara’ (menjaga dari perilaku tercela), dan cukup umur, berwibawa, santun, dan penyabar.

4) Faktor Alat; ialah segala sesuatu yang langsung membantu terlaksananya pendidikan, meliputi: materi pengajaran dan metode pendidikan.

5) Faktor Lingkungan; dalam hal ini Syeikh Az Zarnuji belum menyebutkannya secara detil seperti lingkungan alamiah, ekonomi, sosial maupun budaya. Namun beliau maksudkan adalah lingkungan pergaulan dalam mencari patner belajar yang bisa berdiskusi bersama, kesungguhan, wara’ watak yang baik, cerdas, dan lain-lain.
Demikian ulasan ringkas yang dapat saya presentasikan yaitu tentang tiga aspek psikologi untuk trilogi yang sinergi antara aspek psikologi, pendidikan Islam, dan lingkup kecerdasan intelegensi manusia atau peserta didik. Tentunya tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga mengharapkan masukan dan kritikan yang lebih dari para pembaca khususnya pakar dalam disiplin keilmuan ini. Wallahu a’lam bish showab.


Daftar Pustaka

Anies, Dr. HM., “Manusia dalam Perspektif Alqur’an; Kajian Kependidikan”, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, dalam Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2008

Hurlock, Elizabeth B. , Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, edisi kelima, Jakarta: Penerbit Erlangga, ____

Jaali, H.. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2007

Khilmiyah, Dra. Akif , M. Ag, Teori dan Model Pembelajaran; Sebuah Diktat Kuliah Akta IV, Yogyakarta: Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta, 2008

Madjidi, Drs. H. Busyairi , Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: Al Amin Press, 1997,

Santrock, John W. , Adolescence; Perkembangan Remaja, edisi keenam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003

Santrock, John W. , Educational Psychology; Second Edition, New York: McGraw-Hill Companies, Inc. 2006

Syah, M. Ed., Muhibbin, Psikologi Pendidikan; Dengan Metoe Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997

Tasmara, KH. Toto , Kecerdasan Ruhaniah (Transcenden Intelligence), Membentuk Kepribadian yang Bertanggungjawab, Profesional, dan Berakhlak, Jakarta: Gema Insani Press, 2001

http://www.psikologizone.com/faktor-yang-mempengaruhi-intelegensi.


*diajukan sebagai tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan,Drs. Yuli Susetyo, M. Psi pada tanggal 09 April 2010.
**penulis adalah mahasiswa Program Akta AKTA IV Angkatan XXVII di UMY Yogyakarta.