Rabu, 28 Desember 2011

“SOCIALISM AND ISLAM; A Review on Encyclopedi of Islamic World”

Abstraksi

Pemikiran dan paham keagamaan suatu masyarakat ditentukan oleh sejauh peradaban dan sedalam pengetahuannya terhadap dinamika itu sendiri. Setidaknya begitulah yang mewakili proses lahirnya ideologi sosialisme, dimana ia dilahirkan dalam situasi penindasan hak, ketidak-adilan, dan keterjajahan. Dalam kondisi seperti ini, bagi pelaku pemikiran, agama tidaklah cukup dijumudkan pemahamannya secara tekstualis doktrinal semata, namun bagaimana agama mampu menjadi semacam stimulan awal untuk menyatakan gerakan yang riil dan bisa dirasakan oleh semua pihak. Hubungan saling mempengaruhi di bawah bayang sosialisme ini terjadi di negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Bagaimana mereka memposisikan sosialisme hampir seperti agama itu sendiri, lebih dari sekedar “tongkat Musa”. Tidak dengan menunggu keajaiban untuk mengadakan perubahan. Pada bagian inilah makalah dalam bentuk review akan mengulas sedikit banyak anomali tersebut. Setidaknya tulisan ini didasarkan pada ensiklopedi dunia Islam yang ditulis oleh Selma Botman dengan sedikit penjelasan serta kritik seperlunya dari penulis.

Kata kunci: sosialisme, Islam, ideologi, pembaharu

A. Pendahuluan; Embrio Sosialisme

Arah dan orientasi kehidupan yang dirasakan oleh suatu masyarakat dalam satu wilayah semakin lama menjadi kegelisahan akut yang tak terbendung lagi. Kemunculan satu dua orang pemikir diantara mereka kemudian terbukti mampu menjadi penggerak bagi yang lain untuk bangkit. Namun sebab utama adalah bukan dari ketokohan manusia tersebut, melainkan adalah produk pemikiran dan kontribusi yang ia berikan bagi masyarakatnya. Setidaknya situasi inilah yang salah satunya melatari dengan penuh problematika pelik munculnya ideologi sosialisme sebagai paham perjuangan pembebasan dari keterjajahan “the others”.

Secara literatur, asal-usul term “sosialis” pertama kali dipakai pada 1827 dalam Cooperative Magazine sebagai gambaran umum doktrin kooperatif milik Robert Owen (1771-1858) yang kemudian menjadi bentuk –isme, “sosialisme” dalam La Globe, jurnal milik pengikut tokoh sosialis Comte de Saint-Simon (1760-1825). Sedangkan secara historis,prinsip dasar Sosialisme awal merupakan derivasi dari filsafat Plato, ajaran nabi-nabi Yahudi, dan beberapa ajaran dari kitab Perjanjian Baru. Namun pada perkembangannya kemudian, latar nuansa religius ini mulai bergeser sejak peristiwa “renaissance” di Eropa menuju gerakan pada terbentuknya suatu komunitas ideal bersama-sama atas dorongan kesadaran dari pemilikan pribadi.

Problem utama yang melatari munculnya sosialisme merupakan bentuk reaksi minoritas yang menentang pelaksanaan etika kapitalis dan pengembangan masyarakat industri yang tumbuh secara massif pada abad pertengahan (Revolusi Perancis dan Revolusi Industri di Inggris). Jadi, secara umum term “Sosialisme” digunakan untuk merujuk pada sebuah ideologi, seperangkat kepercayaan komprehensif atau idealisasi tentang sebuah masyarakat dan negara sesuai dengan cita-cita para penggagas bagi gerakannya, yaitu ide-ide atas klaim perjuangan terhadap nilai-nilai persamaan, keadilan sosial, kerjasama, kemajuan, kebebasan individu, nihilitas kepemilikan privat, dan kontrol negara atas barang produksi, baik dengan gerakan konstitusi maupun cara-cara yang revolusioner.

Tulisan di bawah ini merupakan kilasan terjemahan dari sebuah buku Encyclopedi of Islamic World yang disusun oleh John L. Esposito. Adapun pembahasan khusus tentang sosialisme dan Islam di dalamnya merupakan buah tangan dari Selma Botman.

B. Sosialisme dan Islam; Sebuah Ensiklopedi Dunia Islam

Antara Setting Budaya dan Interpretasi Keagamaan

Sosialisme dan Islam merupakan dua isu besar yang terbilang baru melanda aspek sosial dan falsafah keagamaan di negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Walaupun kedua isu ini seringkali menguatkan satu sama lain, namun terkadang juga menimbulkan konflik. Kedua kelompok pemikiran inilah baik, secara individu maupun masal, yang berusaha menancapkan pengaruhnya pada bidang politik dan spiritual di wilayah tersebut.

Pemikiran dan praktek sosialis secara umum diperkirakan berasal dari pribumi asli Eropa, namun juga mempunyai akar pada bangsa di Arab Timur Tengah. Salah satu referensi yang paling awal tentang sosialisme dapat ditemukan pada tulisan Jamaluddin Al Afghani (1838 – 1897), seorang pembaharu Islam kenamaan dari abad ke-19. Al Afghani menemukan konsep ‘Al-Ishtirȃkȋyah (sosialisme) pada masa tradisi badui Arab Pra-Islam. Para ‘founding fathers’ awal negara Islam, menurut Al Afghani, diangkat dari tradisi tersebut, dimana terdapat basis struktural untuk mengorganisir dan mengatur masyarakat. Al Afghani beranggapan bahwa sosialisme merupakan asli doktrin bangsa Arab yang menjelaskan komitmen sejarah komunitas Muslim terhadap kesejahteraan seluruh warga negara.

Di Mesir, pemikir sosialis pertama yang terkemuka adalah Salȃmah Mȗsa (1887–1958), seorang advokat di bidang keadilan sosial sejak menjadi mahasiswa di Inggris pada awal tahun 1900-an. Pada tahun 1913, sekembalinya ke Mesir, dia mempublikasikan esai pertamanya dengan judul Al-Ishtirȃkȋyah (Sosialisme), sebuah upaya untuk mengenalkan tema sosialis kepada generasi intelektual Arab dan aktifis yang tertarik pada strategi pembaharuan demi modernisasi dan kemajuan. Dengan dipengaruhi oleh pemikiran Fabian, Mȗsa mempublikasikan 50 judul tentang sosial, ekonomi, dan filsafat menjadi buku yang sangat diminati.

Salȃmah Mȗsa juga aktif di organisasi politik, dan pada tahun 1920 dia berpartisipasi dalam Partai Sosialis Mesir, yang kemudian berganti menjadi Partai Komunis Mesir pada tahun 1923 dan dikawal oleh ideologi Marxisme. Mengamati perubahan ide-ide radikal dalam partai, Salȃmah Mȗsa dan pembaharu lainnya memutuskan keluar dari aktifitas organisasi oposisi. Partai Komunis akhirnya memarjinalkan penganut sosialis Fabian, yang kemudian juga tidak bisa bertahan lama berjalan.

Di Mesir, para sosialis sekuler bergerak secara legal maupun rahasia sejak Perang Dunia I, tetapi para pembaharu Islam tidak langsung menerima dasar ide-ide keadilan sosial secara religius sampai tahun 1930-an dan 1940-an. Organisasi Ikhwanul Muslimin misalnya, yang didirikan tahun 1928, tidak serta merta merapat pada ideologi sosialis, tapi melalui eksistensinya, interaksi pun terjalin, sebagai sikap perlawanan baik terhadap paham sekuler maupun sosialis. Secara pemikiran, Ikhwanul Muslimin mengusung visi gerakan kebangkitan Islam abad ke-19 yang mendukung penegakan sebuah sistem Islam pemerintahan yang berazaskan Alqur’an dan Sunnah Nabi. Organisasi ini melakukan perlawanan terhadap penetrasi Barat di dunia Islam, termasuk pemikiran sosialis, yang dipahami sebagai bentuk lain ideologi kolonisasi yang disusupkan ke dalam masyarakat muslim.

Hasan al Banna (1906-1949), pemimpin tertinggi Ikhwanul Muslimin Mesir, dan pribumi lainnya mereprensentasikan diri sebagai generasi baru nasionalis yang telah kehilangan kepercayaan pada bujuk rayu liberal, ekonomi, dan kemajuan model Barat. Mereka merasa terpanggil atas nama kemerdekaan nasional, modernisasi sosio-ekonomi, dan keadilan sosial ekonomi, mereka mengadvokasi kelahiran kembali masyarakat melalui konsep-konsep yang terinspirasi secara keagamaan. Serta menekankan universalitas dan komitmen Islam untuk mewariskan keadilan kemanusiaan dan ekonomi, para pembaharu Islam kembali pada Alqur’an itu sendiri sebagai bentuk konfirmasi spiritual dan material keimanan mereka dalam merespon perkembangan sosial. Diiringi dengan proses identifikasi cara yang relevan berdasar kitab suci dan teladan hidup Nabi Muhammad Saw, para pemikir Islam berkeyakinan bahwa doktrin keagamaan tidak hanya mengandung petunjuk bagi hubungan antara pengiman dan Tuhan, tapi juga mengamandatkan bagaimana sebuah masyarakat mesti mengorganisasikan dirinya sendiri dan bagaimana rakyat mampu terwakili kepentingannya. Ideologi Ikhwanul Muslimin merujuk pada zaman Nabi dan khalifah setelahnya untuk mereformulasikan kembali sebuah paradigma kekinian secara kontekstual.

Pasca Perang Dunia II, Sosialisme Islam (penyebutan ini kadang dapat ditukar dengan istilah Sosialisme Arab) mengambil seting akarnya di Timur Tengah dan Afrika Utara. Mesir, Syiria, Libia, Irak, Iran, Tunisia, Algeria, dan Yaman Selatan secara terpisah dan zaman yang berbeda masing-masing mempunyai variasi Sosialisme Islam. bagaimanapun juga, Gamal Abdul Naseer-lah orang yang pertama kali mengkaitkan antara Islam dan sosialisme dan digunakan untuk mengkonsolidasikan serta melindungi rezimnya.

Revolusi sosialis Nasser sangat terbantu oleh partisipasi kalangan pemuda pada tahun 1952 dengan turut menyumbangkan tulisan-tulisan intelektual muslim progresif di Mesir. Terutama sekali, Syeikh Khalid Muhammad Khalid (lahir tahun 1920), dalam bukunya Min Hunȃ Nabda’ (Dari Sini Kami Memulai) berargumentasi bahwa sosialisme dilahirkan oleh Islam dan patut menjadi sebuah alternatif untuk menangkal perkembangan ekonomi kapital di negaranya. Walaupun gagasan Khalid diilhami dari gerakan demokratis sosial Eropa, interpretasinya tentang Mesir modern berakar dengan kuat dengan kondisi pada masanya; kuasa penuh penjajahan Inggris, keterbelakangan ekonomi, dan kemerosotan moral. Mesir, menurutnya, tidak akan bisa maju baik secara spiritual maupun ekonomi hingga ia mampu memajukan kehidupan warganya dan memperlakukan mereka dengan baik berdasar keadilan yang ditetapkan oleh Alqur’an. Khalid yakin bahwa revolusi 1952 dapat menjadi permulaan kemajuan sosial yang penuh makna dan pertumbuhan spiritual Islam.

Sebuah kritik mainstream Islam terhadap pemikiran dan praktek di al Azhar, Khalid berpendapat bahwa perilaku agama kebangsawanan merupakan reaksi keagamaan yang memperkuat status kesejahteraan dan menyebabkan kemiskinan bagi kebanyakan lainnya. Darinya, kebenaran Islam menjadi pedoman, keterbukaan, dan berpijak pada komitmen keadilan ekonomi.

Salah satu teoritikus paling berpengaruh pada masa Nasseer adalah Mustafa al Siba’i (1915- 1964), dekan Fakultas Hukum Islam dan Madzhab Hukum di Universitas Damaskus dan Ketua Ikhwanul Muslimin cabang Syiria (dikenal sebagai Front Sosialis Islam) antara tahun 1945 dan 1961. Sebagai seorang sekutu Nasser, al Siba’i membubarkan Ikhwanul Muslimin cabang Syiria pada tahun 1958 ketika semua partai politik dan organisasi rakyat Syiria ditiadakan dalam rangka persiapan membangun Republik Arab Serikat.

Pada tahun 1915, al Siba’i mempublikasikan Ishtirȃkȋyat al-Islam (The Socialism of Islam) dimana ia berargumentasi bahwa sosialisme dan Islam itu tidak setara, tapi bahwa adopsi sosialisme itu tetap harus menjadi target masyarakat. Menurut al Siba’i, sosialisme lebih penting daripada nasionalisasi hak kepemilikan, lebih signifikan daripada perpajakan progresif, dan lebih bermakna daripada pembatasan kepemilikan individu; sosialisme sebagai sebuah perangkat pembangunan menjadi cara untuk menciptakan kemakmuran dan pendewasaan masyarakat. Lebih dari itu, sosialisme merupakan sebuah garansi untuk melawan eksploitasi manusia dan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk mengawasi pembangunan ekonomi. Sosialisme merupakan formulasi al Siba’i untuk mengeliminasi kemiskinan dan memberikan kesempatan kepada individu untuk mengembanngkan potensinya.

Dalam rangka untuk menggencarkan bahwa sosialisme melindungi hak kepemilikan, al Siba’i mendefinisikan Islam sebagai ideologi yang tidak lebih kaku daripada komunisme. Dalam kenyataannya, sosialisme Islam berbeda dari sosialisme keilmuan atau komunisme yang mengupayakan kepemilikan pribadi harta dan produksi serta hanya merampas kekayaan dengan anggapan bahwa kekayaan para pemilik itu menjadi barang eksploitasi. Sosialisme Islam mengupayakan sektor publik agar dapat eksis satu sama lain bersama sektor pribadi dan mengadvokasi hubungan yang harmonis antara kelompok-kelompok masyarakat, dan bukan kelas perang. Masyarakat juga memungkinkan terjadi perbedaan kelompok penjabatan untuk eksis dan mengangkat pembagian tenaga kerja dalam masyarakat, tetapi kelompok-kelompok tersebut diharapkan menjadi hubungan kerjasama dan bukan permusuhan.

Basis pokok solidaritas sosial dalam model sosialis Islam, menurut al Siba’i, adalah al-takȃful al-ijtimȃ’ȋ atau sebuah kombinasi persamaan, keadilan, saling menguntungkan, dan bertanggungjawab. Ketika masyarakat sosialis mencapai tujuannya, ia akan menegakkan, situasi yang bebas konflik, berdasar pada prinsip moralitas dan kolektivitas.

Al Siba’i menekankan bahwa sosialisme Islam meletakkan lima pilar, yaitu; hak untuk hidup terlindungi dan sehat, hak untuk bebas, hak untuk berilmu pengetahuan, hak untuk bermartabat, dan terpenuhinya hak untuk kepemilikan. Dia juga menekankan bahwa Islam mengakui keinginan personal untuk berkreasi dan menghimpun kesejahteraan serta untuk memiliki harta. Walaupun al Siba’i percaya dalam kewajiban sosial berkaitan erat dengan kemakmuran, seperti zakat. Selain itu dia juga berpendapat bahwa kewajiban bukanlah konstitusi sosialisme. Dia berempati pada keyakinannya bahwa satu-satunya cara untuk mengelimanisi kelaparan, wabah penyakit, dan ketidakadilan adalah melalui legislasi nasional yang didukung oleh wewenang pemerintah.

Walaupun al Siba’i memainkan sebuah peran besar dalam menyediakan justifikasi intelektual bagi sosialisme Islam, tapi tidak semua pemikir Islam atau aktifis sepakat dengan pendekatan ini. Sayyid Qutb (1906-1966), sebagai contoh, ideolog utama Ikhwanul Muslimin Mesir pada masa Nasseer, mencela terma sosialisme Islam, dengan mengimani bahwa Islam sendiri sudah diwahyukan bagi manusia memang demi tujuan keadilan ekonomi, nilai moral dan spiritual, dan persamaan. Qutb menganggap Islam sebagai satu-satunya bagi persoalan sosial, ekonomi, nasional, dan moral yang dihasilkan oleh kapitalisme dan komunisme.

Bagi Qutb, hanya ada dua ideologi masyarakat yang dapat diikuti; yaitu jalur Islam atau disebut Jȃhilȋyah, atau kebodohan pra-Islam. Qutb mengasumsikan bahwa kapitalisme, sosialisme, dan komunisme itu tidak ada bedanya dengan Jȃhilȋyah dan tidak akan pernah bisa didamaikan dengan Islam. Islam, di lain pihak, adalah satu-satunya aspek yang mampu memuaskan dan memenuhi semua kebutuhan manusia. Sikap oposisi Qutb terhadap sosialisme Nasseer dan militansi tulisan-tulisannya menjadikannya sebagai musuh bagi rezim Nasseer. Sehingga ia ditahan selama beberapa tahun dan akhirnya dieksekusi pada tahun 1966.

Dalam perwujudannya, negara Islam berlandaskan pada Syariah sebagai sebuah perintah, menurut Sayyid Qutb; tipe lain masyarakat selain landasan tersebut adalah tidak sah. Qutb banyak menulis buku tentang Islam, dan berpendapat bahwa semua muslim memberikan diri mereka sendiri secara total dalam usaha untuk meraih masyarakat Islam yang sejati.

Di luar Mesir, suku Ba’ats baik di Syria dan di Irak mengadopsi seperangkat besar sosialisme Islam. Ideologi Ba’ats selalu konsisten dengan sikap anti kolonialis, Pan-Arabisme, dan intervensi dalam legislasi sosial di bidang kesehatan, pendidikan, dan hak-hak pekerja. Kolonialisasi yang dilawan seperti nasionalisasi industri-industri pokok, perbankan, dan perdagangan asing serta bualan perencanaan ekonomi.

Menurut Michel ‘Aflaq (1910-1989) dan Șalȃḥ al-Dȋn al Bayțȃr (lahir tahun 1912), seorang pemikir politik Syria dan filsuf, ideologi Ba’ats merayakan budaya Arab dan pengalaman historis Nabi Muhammad. Pada prinsipnya, paham Ba’ats menolak sikap intoleransi keagamaan dan menjanjikan manusia yang paling agung dan kebebasan masyarakat.

Sosialisme di Wilayah Maghribi

Libya juga menyuguhkan peristiwa yang dramastis dalam upaya konsistensi perjuangan revolusi untuk mengubah dunia Arab pada tahun 1950-an dan 1960-an. Pada tahun 1969, Mu’ammar al-Qadhdhȃfi (lahir 1942) dan sekelompok tentara muda menggulingkan monarki Raja Idris dan secara radikal membangun masyarakat baru berlandaskan Pan-Arabisme, sosialisme, dan Islam.

Qadhdhȃfi mengikuti jejak revolusi dan model ideologisasi yang diatur oleh mentornya, Nasser, dan mencanangkan sebagai komimen paling baru untuk kesatuan Arab, kualitas ekonomi, dan anti-imperialisme. Tapi Qadhdhȃfi meninggalkan Nasseer dan memposisikan garapan idiosinkretiknya di Lybia dengan mengadakan islamisasi kehidupan sosial. Dalam hal ini, Qadhdhȃfi melarang praktek perjudian, penggunaan alkohol, dan diskotik sebagai upaya untuk memperbaiki moralitas publik. Dia juga menerapkan hukuman dengan hukum Islam terhadap kejahatan seperti pencurian, perzinaan, dan praktek riba.

Qadhdhȃfi menghimpun ide-idenya ke dalam tiga volume bukunya dengan judul The Green Book. Pada volume pertama, “The Solution to the Problem of Democracy”, dipublikasikan pada tahun 1975, Qadhdhafi menggaris bawahi Teori Internasional Ketiga-nya (juga dikenal sebagai Jalan Ketiga), yang dia pahami sebagai sebuah alternatif baik untuk kapitalisme dan komunisme. Dalam The Green Book, Qadhdhȃfi mengkritik kedua bentuk kolonialisasi Barat dan dominasi Soviet, dengan argumentasi bahwa pengaruh asing telah mengkontaminasi masyarakat-masyarakat Muslim dan membuat moral dan teologi para penganutnya rusak.

Sebagai sebuah cara untuk menentang tekanan imperialis, Qadhdhȃfi menciptakan sebuah doktrin yang diilhami dari Alqur’an dan konstitusi negara untuk mencetak Muslim anti-kolonialis di Timur Tengah dan Dunia Ketiga. Dalam pengajaran Alqur’an, dia secara tidak langsung telah menyarankan solusi-solusi yang dapat ditemukan bagi semua problem kemanusiaan –rangkaian dari peristiwa-peristiwa personal bagi hubungan internasional. Bagi Qadhdhȃfi, aplikasi sosialis Islam dan model demokrasi mampu mencegah penjajahan asing maupun domestik serta mampu membimbing masyarakat.

The Green Book bukan sekedar sebuah teks keagamaan, tapi lebih sebagai ajakan yang provokatif dan inspirasional, dan dapat diakses oleh pembaca secara luas. Karya Qadhdhȃfi tersebut memberikan pengaruh yang luas dari Libya hingga Timur Tengah, Afrika Utara, dan Dunia Ketiga lainnya.

Islam juga mewacanakan gerakan pembebasan nasional pada beberapa wilayah bagian Maghribi (dikenal sebagai Arab Timur atau Afrika Utara), setelah nasionalisme terkalahkan, rezim sosialis pun terbentuk. Perkembangan gerakan kemerdekaan mendapatkan reaksi yang keras oleh kebijakan kolonial Perancis yang telah berkuasa pada abad ke-19 dan ke-20. Bangsa Arab Afrika Utara dan Barbarian sangat membenci upaya bangsa Perancis dalam membasmi tradisi politik lokal dan meruntuhkan kekhasan para pemimpinnya. Sebagaimana masyarakat lainnya yang dijajah pada saat ini, mereka mengalami penderitaan di bawah tekanan atas perilaku, kejijikan bangsa Perancis atas adat istiadat lokal, dan penolakan mereka terhadap budaya khas Afrika Utara dan Barbarian. Bagi rakyat Afrika Utara, luka yang sangat menyakitkan adalah dipaksakannya bahasa Perancis menjadi bahasa pokok di wilayah jajahan tersebut.

Pasca Perang Dunia Pertama, para pembaharu Islam di Maghribi masih sedikit. Sehingga mereka menggunakan pengaruhnya, walaupun, dengan cara bergabung bersama tokoh nasionalis sebagai pemimpin besar yang lebih populer. Meskipun orientasinya secara mendasar berbeda dari nasionalis sekuler, mereka tetap fokus pada perjuangan warisan Arab Islam yang dibuktikan dengan penyatuan aspek lain terpecahnya politik dan tekanan rumpun bangsa. Dalam kenyataannya, Islam turut berkontribusi bagi identitas gerakan nasionalis dan membantunya dalam mengalahkan kekuatan kolonial.

Peperangan yang sangat lama dan paling berdarah dalam pembebasan nasional telah berkobar di Algeria dimana kolonialisasi terakhir terjadi sejak tahun 1847 sampai 1962. Perancis masih ngotot memaksakan budaya mereka terhadap bangsa Algeria. Dalam perang suci ini juga dimaksudkan untuk merusak budaya Islam melalui penutupan secara sistematis lembaga-lembaga dan madrasah Alqur’an, termasuk mengubah masjid-masjid menjadi gereja. Generasi muda pembaharu yang terdidik dan nasionalis waspada dalam situasi pertahanan, menjunjung Islam dan menggunakannya sebagai kekuatan untuk menyatukan masyarakat. Para pembaharu berpendapat bahwa Islam selaras dengan dunia modern dan karena itulah rakyat Algeria ingin menjadi yang terbaik dengan mengadaptasikan Islam pada perjuangan politik dan sosial mereka. Islam menjadi komponen yang penting secara khusus bagi perjuangan pembebasan lintas belahan yang dilakukan tokoh nasionalis Algeria.

Di Tunisia, dimana orang Perancis pernah menjadi tuan kolonial sejak tahun 1881 sampai adanya pengakuan kemerdekaan secara formal pada tahun 1956, serta pengakuan atas warisan Islam-Arab yang berkembang pada periode setelah kemerdekaan. Tunisia mencoba untuk menuangkan kembali identitas nasional dan pencitraannya di bawah pimpinan Habib Borguiba (lahir tahun 1903), ketua Partai Neo-Destour (berganti nama menjadi Partai Sosialis Destour pada tahun 1959) dan mengepalai partai pemerintah hingga kejatuhannya di tahun 1987.

Dipengaruhi oleh tulisan Al Afghȃnȋ dan Muhammad ‘Abduh (1849-1905), para pemimpin gerakan Salafiyah di Timur Arab, para pembaharu Maghribi menekankan pentingnya khazanah Islam mereka. Dalam menganalisa masyarakat, mereka tidak hanya mengkritik bangsa Perancis, tapi dalam memperjuangkan kesetaraan, mereka juga menolak pemimpin-pemimpin Sufi lokal karena keterlibatannya dengan penjajahan asing. Para pembaharu juga menekankan pentingnya pemahaman dunia modern bagaimana memandang keagamaan sama baiknya dengan perspektif keilmuan dan menjadikannya demi kebangkitan dalam kajian Islam.

Sebuah golongan gerakan oposisi Iran pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang berhasil menggulingkan kekuasaan Muhammad Shah Reza, juga melandaskan pada Islam untuk melakukan perubahan. Jalal Ȃl Ahmad, yang pernah menjadi seorang intelektual sekuler bersama jaringan Partai Komunis Iran (Tudeh), ikut terpanggil untuk mempolakan kembali tujuan, identitas, dan nasib bangsa. Dalam karya pentingnya Gharbzadegi (Westernisasi), dipublikasikan tahun 1962, dia mengutuk westernisasi masyarakat Iran, yang membawa pada sikap pemujaan terhadap kebudayaan asing yang destruktif dan menyebabkan tunduknya identitas nasional sejati. Jalal Ȃl Ahmad datang untuk meyakinkan bahwa Islam dapat menginspirasi massa masyarakat Iran agar bangkit melawan peraturan Shah. Temanya tentang Islam dan sosialisme telah memotivasi banyak orang untuk merefleksikan masyarakatnya serta mengambil tindakan demi status quo.

Diantara para intelektual dan aktifis yang mempunyai visi Islam perubahan pada tahun 1960-an dan 1970-an adalah Mehdi Bȃzargȃn (lahir tahun 1907), pernah menjadi perdana menteri sementara Republik Iran pada tahun 1979, ‘Ali Sharȋ’atȋ (1933-1977), dan Ayatullah Ruhollah Khomeini (1902-1989).

Pengaruh ‘Ali Sharȋ’atȋ dalam masyarakat Iran pada tahun 1970-an, terutama sekali kalangan mahasiswa dan pemuda yang membaca karyanya, kuliah dengannya, dan pernah mendengarkan pidato provokatif yang disampaikannya, sangat dalam. Para pengikut Sharȋ’atȋ digembleng oleh doktrinnya tentang keadilan sosial dan kebangkitan Islam. Dengan bergabung bersama kelompok-kelompok agama dan organisasi-organisasi politik sekuler, mereka berpartisipasi dalam berbagai kegiatan revolusi yang mampu mengubah arah dan orientasi masyarakat Iran.

Sharȋ’atȋ bukan hanya dipengaruhi oleh teks asli keagamaan, tapi juga karya interpretasi al-Afghani dan pembaharu Islam Pakistan, Muhammad Iqbal. Dia mampu menggambarkan dari kesimpulan teori revolusi yang terjadi pada aktifis dari Dunia Ketiga seperti Frantz Fanon dan Che Guevara. Merasa terpanggil demi renaissanse komunitas Muslim, Sharȋ’atȋ mengawal modernisasi dan perubahan ilmiah yang diinformasikan oleh budaya Iran dan tradisi masyarakat Islam. Pengajaran Sharȋ’atȋ adalah kutukan bagi Shah, yang telah memenjarakannya. Pada akhirnya Shar’atȋ diijinkan melakukan perjalanan ke Inggris, dimana meninggal dengan sebab yang mencurigakan. Mehdi Bȃzargȃn, di pihak lain, menarik banding dengan audiens yang berbeda yaitu masyarakat kelas menengah. Dia mempopulerkan sebuah pandangan modern tentang Islam yang bertemakan keadilan, ilmu, dan kebenaran. Pada tahun 1979, Ayatollah Khomeini menambahkan nilai pada semangat revolusi besar yag dicanangkan oleh inisiatif Jalal Ȃl Ahmad, Mehdi Bȃzarȃn, dan ‘Ali Sharȋ’atȋ serta mendirikan Republik Islam Iran.

Sintesis pemikiran sosialis dengan teologi Islam merupakan hal yang kompleks dan luar biasa. Walaupun sering terjebak dalam konflik, aliran-aliran pemikiran terkadang menguntungkan satu sama lain. Secara politik, gerakan nasionalis dihayati oleh pemikiran Islam, walaupun pemerintah independen itu sendiri dihasilkan oleh sebuah gerakan yang menyandarkan pada prinsip sosialis secara teratur dalam menciptakan tatanan masyarakat. Satu pemikiran yang tercipta dari perpaduan dan saling-mengembangkan ini mungkin dapat dilanjutkan di dunia muslim.

C. Kesimpulan

Sosialisme di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi gerakan ‘people power’ yang berpengaruh bagi tumbangnya rezim otoritarian, baik bagi kalangan internal seperti halnya di Lybia maupun bagi tekanan eksternal seperti kasus di Afrika Utara. Walaupun sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor pendorong, yaitu reaksi untuk keluar bebas dari situasi kolonialisme teritorial, kapitalisme ekonomi, imperialisme budaya, yang diperparah dengan sikap individualisme sesama.

Kendati pun demikian, sosialisme yang terjadi pada kawasan Dunia Ketiga tersebut memiliki kekhasan sendiri, yaitu ketika kondisi sosial coba ditarik permasalahannya pada wilayah agama sebagai solusinya. Indikasi kesaling-sapaan antara kombinasi politik, ekonomi, budaya, kemanusiaan, yang terangkum dalam ranah antropologi mampu didamaikan dengan baik pada ranah agama sehingga muncul dua term; sosialisme dan Islam. Pada akhirnya dua term secara sinkretis memunculkan ideologi sosialisme Islam –jika kemudian paduan term tersebut disamakan dengan Sosialisme Arab, dalam hal ini penulis tidak sepakat.

Dari uraian di atas, kita mungkin perlu menganalisis secara kritis catatan Selma Botman tersebut khususnya di paragraf terakhir dengan sudut pandang politik wacana. Dalam beberapa frasa kalimat tersebut seakan ‘the author’ hendak menyampaikan pada akhir kesimpulan bahwa walaupun sosialisme terbukti mampu membebaskan masyarakat dari ketertindasan, pun demikian ideologi nasionalisme juga tidak lebih buruk daripada sosialisme sebagai solusi dan bentuk sosialisme murnilah -dalam arti teratur- yang mampu membentuk pemerintahan sosialis yang kukuh. Wallahu a’lam bish shawȃb.



**********

Daftar Bacaan

Eko Supriyadi, “Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syariati”, (Yogyakarta: Rausyan Fikr) 2010

Selma Botman, “Socialism and Islam”, dalam John L. Esposito (ed), Encyclopedi of Islamic World, Oxford University, 1997

Kamis, 15 Desember 2011

“PERBUDAKAN DALAM ISLAM; Dari Konsepsi Kemanusiaan Menuju Teologi Pembebasan”

Oleh:
Cholid Ma’arif, S.Hum

Abstraksi

Perbudakan menjadi isu sentral tidak hanya karena berkaitan dengan agama, namun juga ia juga bagian dari sejarah, sosial, budaya, dan ekonomi bahkan politik suatu peradaban itu sendiri. Islam sebagai agama paripurna yang mengakhiri dimensi kelam keberagamaan sebelumnya mempunyai cara pandang tersendiri dalam memposisikan persoalan perbudakan. Ia tidak hanya menjustifikasi dengan kebenaran tunggal di satu sisi dan kesalahan di sisi lain. Namun, dengan seperangkat metode keilmuannya, baik dari perspektif fiqih, sejarah, sosial, dan bangunan falsafahnya, tsaqafah maupun hadharah-nya dalam memposisikan manusia, menjadikan perbudakan mempunyai sudut pandang yang luas. Tulisan di bawah ini akan berusaha mengurai polemik tentang perbudakan melalui konsepsinya, agama-agama samawi, sudut pandang Islam, termasuk dalam bentuknya yang modern di era kekinian, disertai dengan pemecahannya baik menurut Islam maupun paradigma kemanusiaan.

Kata kunci: perbudakan, Islam, penindasan, manusia

A. Agama-agama Samawi dan Perbudakan; Mencari Akar Dogmatis

Pada bagian ini penulis sengaja menyuguhkan literatur tentang perbudakan dari kitab suci agama lain. Hal ini tidak lain untuk memperkaya paradigma dan membandingkan pandangan ke-Islaman kita dalam memandang isu-isu yang masih kontemporer hingga saat ini.

Dalam kitab Taurat disebutkan,
“Nuh menjadi petani; dialah yang mula-mula membuat kebun anggur. Setelah ia minum anggur, mabuklah ia dan ia telanjang dalam kemahnya. Maka Ham, bapa Kanaan itu, melihat aurat ayahnya, lalu diceritakannya kepada kedua saudaranya di luar. Sesudah itu Sem dan Yafet mengambil sehelai kain dan membentangkannya pada bahu mereka berdua, lalu mereka berjalan mundur; mereka menutupi aurat ayahnya. Setelah Nuh sadar diri dari mabuknya dan mendengar apa yang dilakukan anak bungsunya kepadanya, berkatalah ia: “Terkutuklah Kanaan, hendaklah ia menjadi hamba yang paling hina bagi saudara-saudaranya”. Lagi katanya: “Terpujilah Tuhan, Allah Sem, tetapi hendaklah Kanaan menjadi hamba baginya. Allah meluaskan kiranya tempat kediaman Yafet, dan hendaklah ia tinggal dalam kemah-kemah Sem, tetapi hendaklah Kanaan menjadi hamba baginya”. (Kitab Kejadian 9: 20-27).

Makna dari kisah di atas adalah walaupun Sem-lah yang sebenarnya menyakiti ayahnya, Nabi Nuh, tetapi yang disalahkan dan dikutuk justru Kanaan, anak Ham. Perasaan akan ‘praduga tak bersalah’ yang tiada mendasar ini rupanya menjadi ‘hantaman’ bagi diri Kanaan. Siapapun akan merasa tertindas dan teraniaya dengan klaim negatif yang menempel pada dirinya. Perasaan ketertindasan dalam kisah inilah yang salah satunya melatar-belakangi perilaku pembudakan. Bahkan secara berlebihan hal ini diyakini sebagai bentuk kutukan ini yang menimpa minimal sepertiga penduduk dunia ini. Dimana sepertiga menjadi budak bagi sepertiga yang lain.

Lebih dari itu, dalam kitab-kitab Taurat terdapat banyak cerita tentang budak dan pembantu yang melayani para rasul dan nabi. Demikian juga Injil yang mengandung cerita permisalan tentang para budak yang melayani para tuan mereka. Al Masih mengatakan:
“Siapakah hamba yang setia dan bijaksana yang diangkat oleh tuannya atas orang-orangnya untuk memberikan mereka makanan pada waktunya? Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang”. (Injil Matius 24: 45-46).
“Siapa diantara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatkanlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterimakasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” (Lukas 17: 7-9).

Dalam turats Islam sendiri, ihwal perbudakan dapat dirunut melalui Alqur’an yang banyak berkisah tentang sejarah manusia terdahulu, dari Nabi Adam As hingga Nabi Muhammad SAW. Tidak ada keterangan pasti, sejak kapan perbudakan dimulai. Tapi jika melihat sejarah para Nabi dan Rasul dapat diuraikan bahwa di jaman Nabi Ibrahim As, sudah dikenal hamba sahaya atau budak. Bahkan beliau memperistri Siti Hajar, yang pernah mengabdi kepada keluarga Ibrahim dan Siti Sarah. Hajar melahirkan Nabi Ismail As, yang bersedia disembelih ayahnya sesuai petunjuk Allah SWT. Yang paling masyhur adalah budak bernama Bilal bin Rabbah, budak kulit hitam yang mempunyai suara amat bagus mengumandangkan azan, dan selalu mengumandangkan azan di Madinah.

Dalam kisah-kisah Alqur’an juga dikenal nama Siti Masyitah yang bekerja dengan Fir’aun sebagai budak di istana Fir’aun. Namun karena ketaatannya pada Allah dan tidak mengakui Fir’aun sebagai Tuhan, konsekuensinya Masyitoh sekeluarga dimasukkan ke tungku raksasa penggorengan. Sehingga Allah memuliakannya dan makamnya sangat harum di Mesir. Selain itu juga terdapat kisah wanita yang paling sufi di dunia yakni Rabiatul Adawiyah. Di masa kecilnya pernah diperjualbelikan sebagai budak, dan setelah dewasa menjadi wanita cantik jelita dan tidak pernah mau menikah meski dilamar oleh ulama besar maupun raja. Rabiah menolak semua pria yang melamarnya karena dia sangat mencintai Allah SWT dan merasa tidak mampu mencintai yang lain. kecuali sepenuhnya mengabdi kepada Allah SWT. Begitu pula Nabi Yusuf As, yang dibuang saudara-saudaranya ke sumur karena cemburu, lalu ditolong oleh seseorang yang kemudian menjadi budak Nabi Yusuf.

B. Perbudakan Dalam Sejarah Manusia; Konsepsi dan Pembenahan

Antara perilaku sosial dan sistematika alam merupakan kombinasi yang tak terpisahkan, bahkan cenderung tidak mempunyai kemampuan untuk menjelaskan suatu fenomena di tengah masyarakat. Terlebih relasi antara profanitas dan sakralitas masih berusaha menemukan pemecahannya jika untuk dapat saling memahami “bahasa” satu sama lain. Karena dimensi satu dengan yang lainnya mencoba untuk saling mempengaruhi; ketika “penghuni bumi” berbuat sesuatu, maka “penghuni langit” pun mencoba untuk mengaturnya. Hingga ada suatu pepatah yuridis yang berbunyi “ibi ius ibi, societas”, dimana ada masyarakat di situ ada hukum.

Salah satu fenomena pelik yang terjadi di bumi dan “benak manusia” adalah masalah perbudakan. Asumsi penulis bahwa perbudakan juga menjadi problem dalam “benak manusia” adalah karena esensi akan jiwa, pikir, dan mental perbudakan itu sendiri pada dasarnya perlu direfleksikan kembali jauh kepada kesadaran manusia itu sendiri. Hal ini menjadi maklum dalam pemahaman falsafati, dimana ada permasalahan tentang objek yang mendasar (ontologi) maka sebelum mengarah ‘kesana’ permasalahan tentang subjek (epistemologi) itu mesti didudukkan secara radikal.

Dari pembenahan awal di atas, mungkin akan kita sepakati bahwa perbudakan adalah salah satu bentuk penindasan manusia terhadap manusia lain. Lebih rinci lagi, penekanan negatif dari ‘yang menguasai’ atau ‘yang lebih kuat’ terhadap ‘yang dikuasai’ atau ‘yang lebih lemah’. Jika term ini dipahami dalam ranah Islam, maka sebenarnya pola perbudakan ini telah terjadi sejak Nabi Adam, yaitu sejak peristiwa yang terjadi antara dua orang bersaudara, Qabil dan Habil, dimana saling terjadi permusuhan dan pembunuhan pertama kali di dunia, porsinya pun lebih besar daripada perbudakan.

Peristiwa ini sedikit banyak menurun pada anak cucu Nabi Adam sebagai dua sisi yang saling kontradiksi; antara yang kuat dan yang lemah, yang berkuasa dan yang dikuasai, yang jahat dan yang baik, serigala dan anak kambing, kucing dan tikus. Di Arab sendiri kemudian dikenal dengan perilaku saling menguasai antar kabilah dan suku bangsa dalam menjalankan misi ekspansi mereka. Termasuk di Eropa dikenal dengan misi penjajahan ke pada bangsa lain dengan tujuan ‘gold’ (kekayaan), ‘glory’ (kejayaan), dan ‘gospel’ (agama).

Pada level yang lebih modern, tindakan penindasan ini mewujud dalam bentuk yang lebih ‘halus’ yaitu berbentuk penjajahan ideologi, seperti: kapitalisme, imperialisme, hedonisme, sekularisme, dan sebagainya. Demikianlah beberapa unsur dan makna perbudakan dalam arti luas yang telah dan sedang melintasi ruang dan waktu.
Akar pemikiran tentang budak ini secara radikal bisa kita temui dalam tradisi pemikiran Atena dan Roma sebagai representasi produk peradaban kuno tepatnya suatu masa sebelum dan setelah Islam datang. Yaitu pemikiran Aristoteles yang menyatakan bahwa ketaatan dan perintah merupakan dua hal yang sangat bermanfaat. Lebih lanjut, ia menyatakan bahkan benda mati pun mempunyai unsur ‘yang dituankan’ dan ‘yang diperbudak’ ketika keserasian lagu tercipta dari adanya kombinasi antara suara-suara ber-ritme lemah dengan suara-suara kuat membentuk suatu alunan yang syahdu.

Pada pemahaman tentang manusia, jiwa dan jasad merupakan implementasi dari “tuan” dan “budak”. Ketika seseorang tidak mampu mengendalikan nafsunya, maka sesungguhnya ia telah memperbudak jiwanya. Sebaliknya ketika ia menguasakan jiwanya lebih dari nafsu jasadiahnya, maka ia sedang memperbudak jasadnya. Dari sini dimunculkan pra syarat manusia yang sempurna adalah manusia yang bisa mengolah dan memelihara keselarasan antara roh dan jasadnya.

Dengan demikian yang ingin disampaikan adalah pola “pembudakan” sebenarnya telah ada dalam diri manusia yang dirupakan dengan pembudakan antar sesama. Walaupun Abdul Karim al Khatib sendiri dalam versi karya aslinya yang berjudul ‘At-Ta’rȋf Bi Al-Islȃm Fi ‘Ashri At-Tahaddiyat’ hendak menyatakan filsuf inilah yang mempengaruhi corak pemikiran Eropa Modern dalam mengabsahkan praktek perbudakan dengan sistem kolonialisasinya. Di luar maksud tersebut, penulis lebih sepakat untuk mengakui bahwa bagaimanapun kerasnya suara hati kecil manusia untuk menolak perbudakan bahkan sebagai bentuk dari kezaliman dan penindasan, namun di sisi lain akal tidak dapat memungkiri realita yang lacur terjadi di masyarakat secara nyata dengan varian bentuknya.

C. Faktor-faktor Perbudakan; Dalam Realita Sosiologis

Perbudakan (slavery), salah satu cirinya secara umum adalah pemilikan orang tertentu oleh orang lain, telah menjadi hal yang lazim dalam sejarah dunia. Perbudakan paling sering dijumpai pada masyarakat pertanian dan paling jarang dijumpai pada masyarakat pengembara, terutama pemburu dan pencari makanan (Landtman 1936/1968). Ketika kita mempelajari sebab-sebab utama dan kondisi di masa perbudakan, kita akan mengetahui sangat beragamnya perbudakan di seluruh dunia.

Penyebab perbudakan berlawanan dengan asumsi yang dianut banyak orang, karena perbudakan memang tidak disebabkan oleh rasisme. Adapun beberapa faktor penyebab terjadinya perbudakan adalah salah satu dari tiga faktor berikut:

Faktor pertama, adalah hutang. Dalam kebudayaan beberapa negara atau daerah orang yang menghutangi akan memperbudak orang yang tidak mampu membayar hutang. Kecenderungan akan kasus ini lebih sering kita jumpai pada era klasik bahkan nomaden, dimana belum ada status hukum yang konvensional di bawah pengakuan luas dalam menjalankan sistem ini.

Faktor kedua, adalah kejahatan. Seorang pembunuh atau pencuri mungkin tidak dihukum mati, melainkan diperbudak oleh keluarga korban sebagai ganti rugi atas derita kehilangan kepemilikan seharusnya yang dilakukan oleh pembunuh atau pencuri tersebut.

Faktor ketiga, ialah perang. Jika suatu kelompok manusia berhasil menundukkan manusia lain, mereka sering memperbudak sebagian diantara pihak yang dikalahkan. (Starna dan Watkins; 1991). Sejarawan Gerda Larner (1986) mencatatkan bahwa orang-orang pertama yang diperbudak karena peperangan adalah kaum perempuan. Ketika kaum laki-laki menyerbu suatu wilayah maupun perkampungan secara umum pasti berhadapan dan berperang dengan sesama laki-laki sehingga terjadi pembunuhan antar kedua belah pihak. Setelah itu, salah satu pihak yang kuat akan memperkosa dan menangkapi kaum perempuan dari pihak lawan untuk dibawa pulang. Kaum perempuan inilah yang dipergunakan pihak musuh untuk dijadikan sebagai komoditi seks, pekerjaan, dan reproduksi dalam kapasitasnya sebagai budak mutlak.

Pola ini lazim dilakukan pada masa perang era kuno juga, dimana perampasan harta perang termasuk sumber daya musuh lawan dijadikan tawanan perang untuk dipekerjakan di negara atau pihak yang memenangkan perang. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw, menurut sejarah Islam, mempunyai cara pandang tersendiri untuk memperlakukan tawanan perang dengan cara tetap memanusiaakan mereka.

Sekitar 2.500 tahun yang lalu, ketika Yunani masih menjadi sekumpulan negara kota, perbudakan merupakan sesuatu yang lazim. Suatu kota yang lebih kuat dan mampu menundukkan kota lain akan memperbudak sebagian warga dari kota yang dikalahkan. Baik budak maupun pemilik budak adalah sama-sama orang Yunani. Demikian pula ketika Roma menjadi Penguasa Tertinggi di kawasan Laut Tengah sekitar 2.000 tahun lalu, kaum Romawi memperbudak sebagian kaum Yunani yang berhasil mereka tundukkan. Karena lebih berpendidikan daripada penguasa, sebagian budak ini dipekerjakan sebagai pengajar di rumah orang Romawi. Dengan demikian, perbudakan merupakan hutang, kejahatan, dan perang, dan bukan merupakan persoalan ras yang secara hakiki lebih rendah atau bukan.

Kondisi perbudakan di negara satu dengan yang lain berbeda. Dalam sejumlah kasus, perbudakan bersifat sementara. Para budak kaum Israel dibebaskan tiap tahun jubilee yang terjadi setiap 50 tahun. Budak kaum Romawi biasanya berhak menebus dirinya dari perbudakan. Mereka mengetahui harga beli mereka sendiri dan beberapa orang dapat membayar harga ini dengan cara menjalin kesepakatan dengan pemilik mereka dan dengan jalan menjual jasa mereka ke orang lain. Namun pada umumnya perbudakan merupakan suatu keadaan seumur hidup. Beberapa orang penjahat, misalnya dijatuhi hukuman seumur hidup menjadi pendayung di kapal perang Romawi. Disana mereka bekerja sampai akhir hayat mereka, dan sering tidak berlangsung lama di bawah tekanan kerja yang sangat melelahkan.

Terdapat kenyataan yang berkembang di lapangan perbudakan terkait pergeseran peran dan karakternya, yaitu:

1. Perbudakan tidak secara otomatis diwariskan.

Di kebanyakan tempat, anak-anak para budak otomatis akan menjadi budak pula. Namun dalam sejumlah kasus, anak seorang budak yang lama mengabdi dalam suatu keluarga akan diadopsi menjadi seorang anak dari keluarga tersebut. Menjadi ahli waris yang menyandang nama keluarga dan bersanding putra-putri mereka dalam rumah tangga tersebut (Lantman 1938/1968: 271).

2. Para budak tidak secara otomatis tidak berkuasa dan miskin.

Dalam hampir semua kasus, para budak tidak memiliki kepemilikan dan kekuasaan. Namun dalam beberapa kelompok, budak dapat mengakumulasikan kepemilikan bahkan mendapatkan posisi tinggi dalam komunitas. Kadang-kadang seorang budak dapat menjadi kaya dan meminjamkan uang kepada majikannya, dan di kala ia masih menjadi budak, ia dapat mempunyai budak sendiri (Lantman 1938/1968). Namun kejadian ini sangat jarang terjadi.

Karena perbudakan mempunyai beberapa penyebab, beberapa analis menyimpulkan bahwa rasisme tidak termasuk penyebab perbudakan, melainkan perbudakanlah yang menyebabkan rasisme. Karena memperbudak orang lain seumur hidup itu menguntungkan dan orang Amerika membuat suatu ideologi yang membenarkan pengaturan sosial. Ideologi menghasilkan suatu gambaran mengenai pengaturan sosial menjadi sesuatu yang tak terelakkan, perlu, dan terkesan adil. Para kolonis mengembangkan pandangan bahwa para budak lebih rendah dan mengatakan bahwa mereka tidak sepenuhnya manusia.
Ringkasnya, para kolonis mengembangkan pembenaran rinci atas perbudakan bahwa yang dibangun atas asumsi keunggulan kelompok mereka sendiri daripada yang lain.

Akar perbudakan menjadi semakin menguntungkan, negara-negara bagian yang memiliki perbudakan mengesahkan undang-undang yang melegalkan bahwa perbudakan merupakan sesuatu yang dapat diwariskan. Artinya bayi yang dilahirkan budak menjadi hak milik pemilik budak (Stampp 1956). Anak-anak ini dapat dijual, dipertukarkan, atau diperdagangkan. Untuk memperkuat pengendalian mereka, negara-negara bagian mengesahkan undang-undang yang melarang para budak untuk berkumpul atau meninggalkan rumah majikan tanpa suatu surat jalan (Lerner 1972). Sedangkan untuk konteks di zaman yang setahap lebih maju lagi seperti saat ini, situs inthesetimes.com mengungkap beragam faktor penyebab meluasnya fenomena model baru perbudakan yang dimotori utama oleh faktor meluasnya ketidakadilan di berbagai belahan negara yang semakin diperparah oleh faktor krisis ekonomi.

D. Perbudakan Dalam Bingkai Modernitas Zaman; Contoh Kasus

Perbudakan di masa kini telah banyak pula menampilkan wajah buruknya, seperti di Sudan, Pantai Gading, dan Mauritania (Tandia 2001; Balles 2002; Del Castillo 2002). Perbudakan di wilayah ini mempunyai sejarah panjang dan baru pada tahun 1980-an perbudakan menjadi sebuah pelanggaran hukum (Ayittey 1998). Meskipun telah dihapuskan secara resmi, namun perbudakan sebenarnya masih tetap berlangsung.

Perbudakan di dunia baru ini semakin meningkat karena kebutuhan akan tenaga kerja, beberapa negara kolonis mencoba untuk memperbudak orang Indian, namun upaya ini gagal. Salah satu sebabnya adalah ketika orang Indian melarikan diri, mereka dapat bertahan hidup di hutan dan mendirikan komunitas baru disana. Orang Afrika kemudian menjadi sasaran perbudakan dengan di bawa ke Amerika Utara dan Selatan oleh orang Belanda, Portugis, dan Spanyol.

Seiring perkembangan zaman, pola pemanfaatan sumber daya manusia semacam ini masih saja menggiurkan. Dapat disebutkan misal Tenaga Kerja Indonesia (TKI), utamanya tenaga kerja wanita di luar negeri, terlebih yang bekerja di Negara-negara Arab. Banyak kasus kekerasan yang dialami oleh mereka walaupun sudah diatur sedemikian rupa baik oleh hukum Internasional maupun hubungan kerjasama bilateral. Kasus terakhir terhadap Darsem yang lolos dari hukuman pancung karena bantuan pemerintah yang membayar denda atau diyat sebesar Rp.4,5 milyar diakui mampu menyelamatkannya dari hukuman pancung. Namun, akhir perjalanan yang berbeda dialami oleh Ruyati, TKI wanita yang tertuduh melakukan pembunuhan terhadap majikannya, telah kehilangan hak hidupnya sebagai manusia hanya karena alasan hukum Islam yang diterapkan secara radikal di negara tersebut.

Bukan hanya di negara Timur Tengah, di negara Barat pun yang mencita-citakan sebagai polisi dunia, perbudakan masih saja tidak terbendung, walaupun penghapusan perbudakan itu sendiri telah dilakukan sejak 150 tahun lalu. Mengutip laporan tahun 2010 dari Departemen Perdagangan Manusia (TIP), Departemen Luar Negeri AS menyebutkan masih adanya praktek global perdagangan manusia hingga kini layaknya barang milik pribadi marak dipraktekkan di AS.

Laporan tersebut mengindikasikan bahwa meskipun katanya Amerika Serikat berupaya untuk memerangi perdagangan manusia, tetapi korban 'perbudakan' ala baru ini tetap tersebar di seluruh negeri, tersembunyi dari pandangan: baik perbudakan para migran, pelacur yang terikat oleh utang penyelundupan, para pembantu rumah tangga yang bekerja tanpa dibayar. Meskipun relatif negara kaya dan dengan sistem hukum yang canggih, perbudakan model baru masih menetes ke Amerika Serikat melalui celah-celah dalam undang-undang tenaga kerja dan imigrasi.

Titik tegang antara realita dan dogma dalam merespon perbudakan salah satunya dijembatani dengan paradigma Hak Azasi manusia (HAM). HAM adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat pada dirinya dimanapun dan kapanpun ia berada. Perlindungan akan cakupan dari HAM inilah yang sedang disepakati oleh dunia internasional walaupun –sebagian bangsa- kemudian belum menemukan standar bakunya terkait aspek lokalitas, realitas, maupun isu politik global di tiap negara yang berbeda kadar dan jenisnya.

Secara historis, ide mengenai HAM sendiri sangat dilatar belakangi oleh isu maraknya perbudakan. Tepatnya ide ini muncul pada abad ke-17 dan ke-18 ketika terjadi keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu terhadap rakyat yang mereka perintah maupun manusia yang dipekerjakan sebagai masyarakat lapisan bawah.
Konsensus HAM inilah yang disinyalir masih bisa dikesampingkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam melegalkan praktek perbudakan, penindasan, dan kekerasan melalui cara yang selalu baru sesuai perkembangan zaman.

E. Islam dan Solusi Perbudakan; Menuju Teologi Pembebasan

Keadaan perbudakan di dunia pada saat Islam datang adalah seperti perlakuan tuan terhadap binatang perahannya. Hingga saat ini, bangsa Negro Amerika masih menempati perkampungan-perkampungan terpencil atau kandang. Revolusi budak di Roma pimpinan Parakus yang mampu mengguncang pasukan imperium Romawi, bahkan hampir saja memusnahkan imperium itu sendiri, membuktikan para budak ini hidup di daerah khusus, seolah mereka telah membentuk negara di dalam negara, yang rakyatnya terdiri atas para budak itu.

Untuk itulah Islam memberikan porsi yang tidak sedikit dalam memperhatikan kesejahteraan dan memperjuangkan kemerdekaan budak. Seperti dalam menyelesaikan masalah perbudakan, Islam melakukan dua hal sebagai berikut:

Pertama, seruan umum untuk bersaudara dalam persaudaraan Islam dan kemanusiaan. Dalam hal ini Islam telah melahirkan semua manusia dengan satu cara yang sama dan dari rahim yang sama, yaitu bumi. Kesadaran ini diharapkan mampu menggugah sisi ego manusia untuk tidak merasa paling unggul diantar manusia yang lain, termasuk dalam hal muamalah. Jika kita kembalikan dalam terminologi sunnatullah, maka akan dipahami bersama bahwa kebutuhan akan keberagaman peran dan fungsi sosial menemukan bentuknya yang satu, yaitu kesalingketergantungan dalam kapasitasnya sebagai makhluk.

Kedua, seruan untuk memerdekakan budak dalam rasa keadilan bersama. Berangkat dari pemahaman bahwa budak awalnya dianggap sebagai harta yang mempunyai nilai khusus sehingga orang akan sulit untuk melepaskannya kecuali dengan imbalan yang menarik. Dalam pasar ini, Islam menawarkan berbagai bentuk pertukaran hingga dapat menampung semua orang yang memiliki dan sekaligus menyediakan imbalan menarik jika mereka mau pergi ke pasar ini.

a. Imbalan dalam bentuk harta
b. Imbalan yang sebanding dengan harta atau tenaga; meliputi kasus-kasus:
- Pelanggaran sumpah maka kafaratnya adalah memerdekakan budak
- Juga ketika terjadi pembunuhan seorang muslim tanpa sengaja
- Jika melakukan sumpah zihar , kafaratnya juga memerdekakan budak.

Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Bin Shalih Ali Bassam, penulis kitab Taisir ‘Allam, menawarkan salah satu cara Islam dalam menyelesaikan masalah perbudakan, diantaranya adalah:

1. Mempersempit sebab-sebab perbudakan.

Islam menyatakan bahwa seluruh manusia adalah merdeka dan tidak bisa menjadi budak kecuali dengan satu sebab saja, yaitu orang kafir yang menjadi tawanan dalam pertempuran. Panglima perang memiliki kewajiban memberikan perlakuan yang tepat terhadap para tawanan, bisa dijadikan budak, meminta tebusan atau melepaskan mereka tanpa tebusan berdasar kemaslahatan umum.

2. Menyikapi para budak dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang.

Hal ini hanya dapat dilakukan ketika memandang budak layaknya saudara sendiri, yaitu dengan memberikannya makanan, minuman, pakaian, serta manajemen waktu yang profersional. Di Indonesia, hal ini lazim disebut dengan Upah Minimum Regional (UMR), misalnya, yang masing-masing besarannya di tiap daerah berbeda sesuai dengan pendapatan dan pemasukan teritorial ekonominya. Walaupun memang pengertian buruh dalam kasus ini lebih pada pekerja kasar atau karyawan.

Kemudian Islam memiliki beberapa sebab kemerdekaan seorang budak, baik merdeka secara terpaksa atau merdeka secara ikhtiari. Jalan merdeka secara paksa adalah seperti:
- Barang siapa melukai tubuh budaknya maka ia wajib membebaskan budaknya tersebut.
- Seorang budak dimiliki oleh beberapa orang, lalu salah seorang pemilik membebaskan bagiannya, maka pemilik tadi harus membebaskan bagian sekutunya secara paksa.
- Barang siapa memiliki budak yang ternyata masih kerabat dekatnya (mahramnya) maka wajib atas pemiliknya untuk membebaskan secara terpaksa.

Agar tidak terjadi pemahaman bahkan pembenaran secara ‘sepihak’ dalam penyelesaian masalah perbudakan, menarik untuk mendalami gagasan besar Ashgar Ali Enginerr, seorang pemikir kontemporer, yang mencanangkan teologi pembebasan untuk melawan segala bentuk penindasan –termasuk soal perbudakan- dalam Islam. Tentunya dengan tahapan mengubah teologi klasik menjadi teologi praksis pembebasan dalam memandang perbudakan khususnya. Adapun teologi pembebasan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, konsep tauhid. Tauhid disini tidak semata dimaknai keesaan Allah namun juga sebagai kesatuan manusia (unity of mankind). Dalam konteks ini masyarakat Islam tidak dibenarkan melakukan diskrimanasi dengan bentuk apapun, ras, agama, kasta, maupun kelas.

Kedua, konsep jihad. Dalam teologi ini, jihad dimaknai sebagai berjuang dalam menghapus eksploitasi, korupsi, dan pelbagai bentuk kezaliman terlebih penindasan dalam perbudakan. Perjuangan ini harus dilakukan secara dinamis dan istiqomah hingga pengaruh destruktif musnah dari muka bumi.

Ketiga, konsep iman. Iman yang berarti; selamat, damai, perlindungan, dapat diandalkan, terpercaya, dan yakin pada Tuhan, sudah saatnya dan harus mempunyai implikasi secara sosiologis. Jadi, tidak sekadar mencakup dimensi akan aspek eskatologis semata, namun yang lebih penting juga menciptakan ketertiban, kedamaian, dan keyakinan pada nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan.

F. Penutup

Dari pembahasan mengenai perbudakan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam mempunyai perhatian besar terhadap isu ini. Dikatakan perbudakan bukanlah sesuatu yang mustahil namun ada cara dan pengaturan khusus yang harus diterapkan dalam menyikapinya sebatas aspek perlindungan kemanusiaan. Tentunya hal itu semua dilakukan dengan terlebih dahulu memahami hakikat manusia dan ajaran serta nilai dari Islam itu sendiri.



*********

Saran dan Kritik:
- cholidmaarif@yahoo.com
- http://www.sangkanparan.blogspot.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Karim al Khatib, “Islam Menjawab Tuduhan; Kesalahan Penilaian Terhadap Islam” (terj.), (Solo: Tiga Serangkai), 2004

Drs. A. Khudori Soleh, MA, (ed.), “Pemikiran Islam Kontemporer”, (Yogyakarta: Penerbit Jendela), 2003

Erma S. Tarigan, “Derita TKI dan Buruh Menurut Islam”, Mimbar Jum’at, Medan, edisi: 15 Juli 2011

James M. Henslin, “Sosiologi; Dengan Pendekatan Membumi, Jilid 1” (terj.) Prof. Kamanto Sunarto, S.H, Ph.D, (Yogyakarta: Erlangga), 2007

Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Listafariska Putra), 2000

Yefrizawati, “Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam”, Program Studi Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, 2005

http://www.eramuslim.com/berita/dunia/deplu-as-akhirnya-akui-ada-perbudakan-model-baru-di-amerika.htm

http://almanhaj.or.id/content/3062/slash/0