Kamis, 10 Maret 2011

"Kapitalisasi [Pemahaman] Keagamaan"

oleh خالد معارف pada 27 Februari 2011 jam 11:02

‘NGUPING’ DARI ‘WANGSIT’ MERAPI



Beberapa menit menunggu hujan tak kunjung reda dengan agak nekat ku pegas motor menyibak keramaian rintik malam. Malam itu memang bukan malam biasa karena hanya jarak beberapa hari dari “berdehem”nya Gunung Merapi yang ada di ujung utara Daerah Istimewa Yogyakarta, tempatku ‘ngangsu kawruh’ setelah tamat ‘mondok’ di Jombang, Jawa Timur, empat tahun lalu. Berbekal selimut jaket abu-abu warna kesukaanku, bukan bermaksud mewakili sikapku yang suka ‘abu-abu’ dalam menjajaki sesuatu. Namun lebih pada kehati-hatian yang tanpa henti hingga memang nampak abu-abu, bukan tanpa karakter jika tidak dikatakan standarisasi yang belum mumpuni. Pun pegasan ini mendorongku untuk berangkat selayak Koordinator Instruktur yang pada masanya ditakuti generasi baru yang enggan untuk maju. Cobalah agar tidak narsis sedikit bahkan di dunia ini tidak ada yang bernama ketua, pemimpin, kepala, pimpinan, direktur, manajer, bahkan presiden. Itu hanya bahasa ‘orang sudra’ yang menyebut ‘raja’nya. Budak memanggil majikannya. Dan kini buruh memanggil bosnya.



Nguping Pertama

Indah dan Malu; Duluan Mana?!



Segala pemanggilan tersebut tidak lebih dari sekedar ‘laqob’ (julukan) yang melekat. Ia bukan merupakan hakikat dari wujud maupun entitas benda yang dijuluki. Karena bisa saja Muhammad dipanggil Pak Amin. Pak Ahmad dipanggil Pak Bakso. Bahkan Pak Cikrak dijuluki Pak Kiai. Semua serba mungkin karena memang mata dan kacamata kita seringkali mampu melihat yang ‘dhohir’. Entah itu berdasar status, pekerjaan, perbuatan yang sering dilakukan, hobi, atau bahkan iseng-isengan akibat narsis yang berkepanjangan. Nah, sekarang presiden, direktur, kades, kurap, kutu air, panu, dan kawan-kawan itu masuk golongan mana kalau bukan orang sudra dan budak dan kawan-kawan yang memanggilnya. Karena kita tidak sadar secara tersistematis dalam benak dan embrio kita telah terbenam stigma “oh, ini lho Presiden jadi mesti dihormati”, “Wah inilah Pak Direktur yang wajib kita patuhi”, atau malah “Oh ini lho Dekan yang wajib junjung tinggi”, entah ilmunya atau mungkin bau keteknya.



Pada pembodohan awal kita tetap akan merasa nyaman karena dengan julukan yang demikian kita akan terkesan lebih tinggi, lebih akrab, lebih soulmate, dan bahkan lebih maju dibanding kemajuan kelamin dan dubur kita sendiri. Pikir kita, lha wong ‘mereka’ saja pakai sarung, celana, rok, mukena, dan saudaranya sehingga nampak pada satu kesimpulan dengan satu tujuan; indah. Kita merasa indah jika kita memakai baju. Bahkan saya yakin nabi Adam tidak pernah mengajari seperti ini. Andaikan mbah Adam masih hidup siapa bilang pakaian yang pertama kali ia pakai alasan pertama yang ia katakan adalah untuk keindahan. Bahkan ia sendiri baru saja turun dari surga yang tanpa banding keindahannya. Tiada satu alasan kecuali satu kata; MALU. Adam malu karena ia selevel dengan para makhluk lainnya di bumi yang sama dan andaikan di surga tidak malu karena ia memang pantas di depan Penciptanya.



Beda jauh seribu trilyun persen dengn rasa kemaluan para presiden, direktur, ketua, pemimpin, manajer, mandor, kepala, bahkan setinggi pimpinan bajingan saja tidak pantas merasa indah karena ia jauh dari malu tersebut. Alih-alih memang agama mengajari kita berpikir kapital, sedangkan Tuhan tidak mengajari. Terlebih sejak agama dianggap sebagai lembaga, penggelaran dari Tuhan semisal ‘khalifah’ pun oleh lembaga kekuasaan Islam direduksir menjadi lebih keren sang penguasa, lagi-lagi jiwa sudra yang menganggapnya dan parahnya dulu lebih banyak sudranya yang mau mendewakan diikuti mantan musuhnya. Temurun pada pengkultusan yang tiada hentinya. Dari sini agama memang tameng keindahan daripada menjadi tameng kemaluan terlebih dahulu.



Ini kadang menjadi ayat pertama kali yang bisa saja mengkapitalisasikan peran manusia, .:

“wa idz qaala rabbuka lil malaaikati inniy ja’ilun fil ardhi khaliifah’...”

Tafsirnya nanti, sekarang filosofi makna bahasanya saja dulu. Akan lebih dalam jika ‘khalifah’ dicocokan dengan asal katanya ‘khalafa-yukhalifu-....khaliifah’’ yang berarti ‘yang dibelakang’ dan dalam adat jawa adalah orang yang ‘meladeni’ atau melayani. Sedikit kita panjangkan salah satu hurufnya ‘. Kalaupun madzhab bid’ah yang paling parah mengandaikan dengan ‘khaalafa-yukhaalifu...” dilanjutkan menjadi bermakna ‘orang yang membeda’, dalam arti yang istimewa, ujung-ujungnya yang paling berkuasa. Belum lagi dalam derivasi kata yang lain yang mengacu pada fungsinya sebagai ‘pengganti Tuhan’ walaupun bahkan di bumi sungguh angkuh tetap makna ini dipahami. Sekali lagi coretan ini bukan untuk keindahan tapi untuk kemaluan kita yang paling dalam menuju kesadaran yang paling jernih. Bukan urusan tindakanmu nanti demi keindahan lagi hingga nampak kemunafikan yang paling alami tanpa harus diimpor lagi. Dan setan pun dirasuki oleh manusia berhati besi. Aku berlindung dari manusia yang terkutuk., yaitu para penyandang ‘laqob’-laqob’ penuh kemaluan yang dijadikan keindahan paling nyata di depan..... to be continued.



Jogjakarta, 26 Februari 2011, 02:12 WIB, di kantor maskam dengan perut sunyi.

Cholidmaarif.blogspot. SANGKANPARAN