Kamis, 07 April 2011

“Dinamika Kurikulum Nasional; Dari Pendidikan Islam Hingga Laboratorium Agama”*

Oleh:
Cholid Ma’arif**

A. Setting Pendidikan (Islam) di Indonesia

Pendidikan menjadi kesadaran paling utama bagi bangsa yang ingin maju dan berperadaban yang tinggi. Berdasar pengalaman historis, seperangkat sumber daya alam beserta seluruh kekayaannya akan menjadi sia-sia dan cenderung menjadi jajahan bangsa lain jika sumber daya manusianya sendiri tidak mampu mengolah dan memanfaatkan peradaban yang disuguhkan oleh ibu pertiwi. Kenyataan riil inilah salah satunya yang mendasari perjuangan para pahlawan kemerdekaan untuk mampu berdiri pada kaki sendiri merebut kebebasan sejati yang sama artinya dengan merebut pendidikan untuk kepentingan bangsa sendiri.

Tesis ini terbukti dengan munculnya berbagai gerakan modern yang salah satunya dipelopori oleh organisasi Islam, yaitu seperti sekolah Jami’at Khair di Jakarta, bahkan berdiri pada tahun 1905, atau jauh sebelum proklamasi kemerdekaan itu sendiri dikumandangkan. Maka sejak awal kemerdekaan pun pendidikan di Indonesia di semua lini mulai digencarkan. Politik pendidikan mulai menajamkan pisau analisisnya untuk berusaha menjauhkan pendidikan dari sistem lama kolonialisasi dan imperialisme menuju pendidikan yang mencerdaskan anak bangsa (lih. Pembukaan UUD 1945). Terutama dalam ranah pendidikan tinggi, para founding father berhasil mengupayakan didirikannya Universitas Gajah Mada (UGM) sebagai apresiasi atas perjuangan pahlawan nasionalis, dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN, dulu ADIA) untuk menghargai para pahlawan dari kalangan muslim Indonesia yang waktu itu direpresentasikan oleh organisasi kemasyarakatan berbasis Islam seperti Perti, PSII, Masyumi, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan sebagainya.

Bersamaan dengan dibukanya keran kemerdekaan untuk mengatur pendidikan di Negara sendiri, menjamurlah berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, baik formal maupun non-formal. Dari komunitas belajar masyarakat secara kultural, pondok pesantren, yayasan, madrasah, sekolah, sampai perguruan tinggi. Namun diantara sekian varian institusi pendidikan tersebut, beberapa mengalami perubahan maju yang signifikan, khususnya dialami oleh lembaga yang menerapkan system modern maupun yang menggabungkan system klasikal dengan modern. Kedua ciri lembaga seperti ini tentunya mempunyai seperangkat ‘software’ –selain ‘hardware’ berupa sarana dan prasarana fisik pendidikan- yang mumpuni dalam rangka mengatur, mengkonsep, dan mengevaluasi setiap pelaksanaan pendidikan dalam jangka tertentu. Seperangkat ‘sofware’ ini lazim disebut dengan kurikulum.

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam perjalanannya kemudian, efektifitas kurikulum ini selalu dipertanyakan oleh sebagian kalangan. Khususnya dalam ranah pendidikan Islam yang notabenya merupakan klasifikasi tersendiri. Dalam pendidikan Islam di sini, apakah Islam berperan sebagai agama atau Islam sebagai ilmu? Dan sejauh manakah peran kurikulum dalam mengelaborasi pendidikan Islam? Dalam konteks ‘kekinian’ dan ‘kedisinian’, penulis mencoba mengangkat gagasan dimungkinkannya kurikulum Pendidikan Islam dalam Laboratorium Agama. Lalu, dimanakah kemungkinannya? Mengingat istilah Laboratorium Agama sendiri merupakan suatu konsep yang baru.

B. Kurikulum Pendidikan Islam; In Going Process

Sebelum kita melangkah pada pembahasan teoritis dan teknis dari pertanyaan yang dikemukakan di atas, seyogyanya kita memahami problematika dan dilematika yang sejauh ini berlangsung perbenturan dan persentuhan (baca: asimilasi dan akomodasi) antara keilmuan dan keislaman serta implementasinya pada mainstream pendidikan. Hal ini tentu saja perlu diperjelas karena antara Pendidikan Islam dan Kurikulum Negara merupakan suatu istilah yang mempunyai kesamaan di satu sisi dan perbedaan di sisi lain. Jika keduanya merupakan sama-sama turunan dari identitas suatu nama atau symbol (baca: ‘Islam’ dan ‘negara’), namun di sisi lain kedua identitas tersebut mengikut pada dua epistemologi aktifitas (baca: ‘pendidikan’ dan ‘kurikulum’).

Dalam sejarah pendidikan Islam, peradaban pendidikan Islam pertama kali tumbuh di kota Baghdad dengan berdirinya sekolah yang pertama dalam rangkaian sekumpulan besar dari sekolah-sekolah yang teratur, yang didirikan oleh Nidzamul Muluk, seorang menteri kenamaan dari bangsa Saljuk. Sehingga pada tahun 459 H, dipandang sebagai suatu batas yang memisahkan antara pendidikan kaum muslimin di tahun-tahun yang sebelumnya dengan tahun-tahun sesudahnya berkaitan dengan tempat-tempat yang melaksanakan aktifitas pelajaran. Kondisi ini kemudian terjadi pula di Indonesia, dimana banyak berdiri lembaga pendidikan Islam secara tradisional-klasikal di beberapa mushola, masjid, lalu berkembang menjadi situs pondok-pondok pesantren hingga kini dengan modelnya yang modern sekalipun.

Seiring dengan kemajuan di dunia pendidikan yang mendapatkan momennya pada masa kemerdekaan Republik Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia pun juga mulai mencari bentuknya kembali dengan semangat pembaharuan. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan dikumandangkan pun sebenarnya telah muali muncul semangat untuk berpendidikan modern yang diawali oleh organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan Sarekat Islam tahun 1912.

Secara sederhana, kurikulum pendidikan Islam yang pertama pada masa pembaharuan mengandung komposisi pengajaran ilmu-ilmu agama 70% dan 30% ilmu umum. Tipologi kurikulum seperti ini dilakukan oleh Madrasah Nidzamiyah di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur yang didirikan oleh KH. Muhammad Ilyas dan KH. Wahid Hasyim. Dalam perkembangannya kurikulum ini membagi lembaga pendidikan menjadi dua macam, yakni: Pertama, Madrasah al-‘Aam (Madrasah Umum), yang meliputi: Madrasah Awaliyah (tingkat TK, 2 tahun), Madrasah Ibtidaiyyah (3 tahun), Madrasah Tsanawiyyah (3 tahun), Madrasah Mu’alimin Wustha dan Mu’alimin ‘Ulya (PGA-PGAA masing-masing 3 tahun). Kedua, Madrasah Ikhtishashiyyah (Madrasah Khusus), yang meliputi Madrasah At-Tujar (Sekolah Perdagangan), Madrasah an-Najar (Sekolah Pertukangan) dan beberapa sekolah kejururan lainnya. Selain itu juga, pada tahun 1936 didirikan IKPI (Ikatan Pelajar Islam) yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim sendiri dan berhasil mendirikan Taman Bacaan atau perpustakaan yang menyediakan kitab, buku, majalah dan surat kabar dalam beberapa bahasa. Tujuan pembaharuan kurikulum ini tidak lain untuk mempercepat proses kemajuan di lingkungan pondok sebagai basis pendidikan Islam dalam menghadapi masyarakat luar yang selalu dinamis.

Pada pasca kemerdekaan, pendidikan Islam bagai pucuk ditilam ulam tiba dengan dibentuknya Kementerian Agama. Gagasan kurikulum yang diharapkan lebih efektif pun terwadahi dalam beberapa kebijakan yang diambil Kementerian Agama, diantaranya adalah: menetapkan Jawatan Pendidikan Agama dan Jawatan Penerangan Agama; bersama Menteri PPK menetapkan SK Bersama, tanggal 20 Januari 1951, berisi penetapan Pendidikan Agama harus diajarkan di sekolah-sekolah negeri maupun partikulir di bawah Kementerian PPK, mulai tingkat dasar hingga Perguruan Tinggi; melaksanakan peringatan Maulid Nabi pertama kali secara kenegaraan.

Bahkan di bawah naungan Kementerian Agama juga didirikan berbagai lembaga pendidikan, seperti: SGHN (Sekolah Guru dan Hakim Agama Negeri), PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri), juga merintis pengakuan penyetaraan ijazah yang dikeluarkan Kementerian Agama dengan Kementerian PPK, dengan SK Bersama Menteri Agama ddan Menteri PPK tanggal 17 Juli 1951. Poin penting di sini adalah berhasil disusunnya kurikulum Pendidikan Agama untuk sekolah tingkat dasar dan menengah di bawah Kementerian PPK (kini Kementerian Pendidikan Nasional). Perguruan Tinggi juga berhasil dipelopori bersama-sama oleh KH. Wahid Hasyim, Dr. Muhammad Hatta, KH. Abdul Kahar Muzakir dan lain-lain dengan berdirinya UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta, juga PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam) di Yogyakarta pada September 1951 diikuti Akademisi Dinas Ilmu Dakwah di Jakarta yang kini menjadi cikal bakal IAIN/UIN di seluruh Indonesia.

C. Dinamika Kurikulum dalam Konstelasi Kekuasaan

Dari perjalanan yang terjalin antara Kemendiknas dan Kemenag kemudian, khususnya pada konteks penyeragaman dalam penyusunan kurikulum, mendapatkan respon yang beragam dari sebagian masyarakat yang kritis. Hal ini semata bukan karena penggabungan ansich kurikulum agama dengan pendidikan nasional, namun lebih pada dominasi pemerintah dalam upaya menyeragamkan total pembelajaran yang dinilai tidak efektif bagi siswa keseluruhan juga terkesan politisasi kebijakan kurikulum baru setiap ada pergantian pejabat menteri yang baru pula.

Mengacu pada Foucalt (2000), kekuasaaan seharusnya dilihat sebagai bukan sebuah benda yang bias dimiliki, diberikan atau dipindah-tangankan. Karena kekuasaan merupakan strategi yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan mekanisme tertentu. Implikasi ini terjadi sebaliknya dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah, ketika kekuasaan dianggap yang seharusnya bekerja pada Negara, sehingga kurikulum pun dilihat sebagai salah satu wujud system rumit konstelasi kekuasaan tersebut.
Hal ini bisa kita telusuri dari permulaan kurikulum 1975, 1984, dan 1994 yang dikritik karena memberikan terlalu banyak mata pelajaran, materi yang terlalu padat; dan membuat proses belajar mengajar, buku teks, dan ujian nasional (EBTANAS, sekarang UAN) menjadi seragam. Permasalahan menjadi semakin kompleks ketika kurikulum nasional diterapkan di sekolah dengan kondisi yang tidak seragam di tiap-tiap daerah. Padahal jika cermati memang begitulah adanya ketidakmerataan kesejahteraan di Negara Ketiga yang sedang dalam masa Pembangunan ini, tidak semua kondisi dan situasi dapat disamakan.

Salah satu kritik terhadap kurikulum disampaikan oleh Ella Yulaelawai, staf Litbang Diknas, dalam paper berjudul “National Education Reform in Indonesia: Milestones and Strategies for The Reform Process”, yang disampaikan pada The First International Education Reform,
“Tahun 1975, pembaruan kurikulum didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang signifikan. Pembaruan ini menghasilkan kuriklum 1975 yang sangat sarat beban dan sarat muatan, bahan-bahan yang berat dan sangat berorientasi pada sasaran hasil. Ini dipengaruhi oleh paradigm kerangka instruksional, yang sangat mendasarkan diri pada sasaran, instruksi dan evaluasi. Pembaruan tahun 1984 mencoba menyederhanakan itu semua. Pembaruan yang baru tahun 1994 memadukan teknologi lewat pemecahan masalah, berpikir kritis dan keterampilan bertanya dalam praktek di kelas. Dalam pembaruan ini, wajib belajar 9 tahun diimplementasikan dan pentingnya perkembangan Sumber Daya Manusia sebagai factor ekonomis menjadi tekanan.”
Namun demikian, tidak lama kemudian pada tahun pemerintah sempat menyesuaikan dengan perubahan kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Walaupun memang dirasakan masih kurang berhasil dikarenakan ada factor lain yang belum mendukungnya. Lagi-lagi pemerintah meresponnya dengan ‘over-action’ bertindak secepat mungkin yang justru mengesankan transformasi di bawah naungan konstelasi kekuasaan. Yaitu dengan disusulnya perubahan kurikulum lagi dengan istilah KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sejak tahun 2008. Metode active-learning, joyful learning, dan child-centered learning membuat guru berperan sebagai pendamping anak dan fasilitator.
Inipun belum dianggap efektif karena sebenarnya dari sudut pandang kebutuhan anak miskin, kurikulum yang selama ini dibuat oleh pemerintah tidak sesuai. Problem ini khususnya dialami dalam praktik pendidikan di daerah pedalaman yang belum mampu menjawab kebutuhan riil anak didik. Seperti halnya persoalan pendidikan di Papua yang unik, dimana meskipun sekolah digratiskan, namun anak-anak tetap tidak mau sekolah karena belum sampai melihat pentingnya sekolah. Dari sini semestinya pemerintah secara cermat dan cerdas dituntut lebih bersikap professional dengan tidak hanya menyeragamkan kurikulum maupun kompetensi minus infrastruktur yang memadai, mengingat geografis Indonesia yang luas berpencar juga dengan budaya dan lokalitas masing-masing yang berbeda. Sehingga minat dan tradisi kedaerahan hendaknya menjadi perhatian dalam ranah pendidikan yang lebih akomodatif dan distributif.

Perdebatan, diskusi, dan kontroversi layak menjadi catatan bersama tentang apa yang telah dilakukan oleh bangsa yang telah maju dalam bidang pendidikan sudah menjadi hal yang lumrah, seperti Amerika pada era tahun 70-an misalnya. Di sana telah berkembang lima konsep kurikulum sebagai basis akar dan implikasi bagi perencanaan kurikulum. Yaitu: 1) kurikulum sebagai pengembangan kognitif, 2) kurikulum sebagai teknologi, 3) kurikulum sebagai pengalaman nyata, 4) kurikulum untuk rekonstruksi sosial yang relevan, dan 5) kurikulum sebagai rasionalisme akademik.

Mengaca dari apa yang telah diupayakan oleh Negara maju seperti Amerika kepada bangsanya, kita patut berbesar hati karena saat ini telah sedang mempunyai standar kurikulum yang setidaknya memiliki itikad baik untum memperbaiki kelemahan kurikulum di masa lalu, yaitu kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP itu sendiri merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK), yaitu kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan masing-masing satuan pendidikan/sekolah. Jadi, penulis sepakat pada beberapa kemiripan dengan konsep kurikulum sebagaimana yang digagas di Negara maju walaupun disana sudah hampir 30 tahun yang lalu diberlakukan. Khususnya kesamaan orientasi tersebut pada wilayah penggiatan teknologi informasi, rekonstruksi social yang dalam bahasa KTSP menjadi pengembangan minat budaya lokal, peningkatan potensi kecerdasan atau wilayah kognisi, dan kurikulum dalam menjelang dunia kerja atau pengalaman nyata dalam bahasa “Conflicting Concepting Of Curriculum”-nya Amerika.

Meskipun demikian, dalam hal ini penulis tertarik untuk menelisik beberapa poin dari seluruh perangkat KTSP yang telah dikonsep bahkan sedang dilaksanakan sebagaimana target pemerintah yaitu pelaksanaannya menyeluruh pada tahun ajaran 2009/2010 kemarin. Diantaranya secara garis besar adalah terkait dengan struktur dan muatan kurikulum yang salah satunya menyebutkan bahwa muatan lokal sebagai kegiatan ekstra kurikuler yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan cirri khas dan potensi daerah, namun kontra dengan system penilaian hasil akhirnya yang mendasarkan pada penilaian kuantitatif angka.

Artinya dari salah satu contoh kecil ini semestinya ada koreksi ulang atas konsep muatan kurikulum yang sedang dipublikasikan dalam buku pedoman KTSP tersebut. Karena mau tidak mau materi pengembangan muatan local adalah sesuatu yang empiris dan dinamis dalam budaya dan estetika tindakan, dan bukan berorientasi pada nominal nilai sebagai parameter keberhasilan anak didik nantinya. Keraguan pada dilematika parameter penilaian yang diterapkan di tingkatan sekolah ini pada akhirnya berimplikasi juga dengan ketidakpercayaan Perguruan Tinggi Negeri terhadap hasil nilai Ujian Nasional (UN) yang akan dihelat tahun 2011 ini. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh sejumlah rector perguruan tinggi negeri yang menolak parameter UN saat ini karena disinyalir masih banyak masalah dalam penyelenggaraan ujian nasional sehingga banyak hal mesti dibenahi terlebih dahulu. Bahkan mereka menilai kebijakan sejumlah daerah yang menaikkan nilai rata-rata UN hanya menyangkut gengsi daerah saja. Kalau sudah begini, lalu yang menjadi pertanyaan besar adalah dimanakah kebijakan pemerintah yang benar-benar bijaksana dan solutif dapat kita temui?

D. Mengenal Laboratorium Agama; Basis Integrasi dan Interkoneksi

Dalam hal ini penulis tertarik untuk sedikit mengulas Laboratorium Agama Masjid Sunan Kalijaga yang berada di bawah naungan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang diresmikan pada tanggal 5 Agustus 2010. Istilah ini menjadi terasa asing didengar pertama kalinya bagi masyarakat umum karena secara identitas bahasa saja merupakan gabungan antara istilah yang konkrit (laboratorium) dan istilah yang abstrak dan holistic (agama).

Sedikit mengulas dari konsep pembelajaran sains fisika –dimana laboratorium merupakan keniscayaan-, bahwa laboratorium dalam pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting. Diantara peran tersebut yaitu: Pertama, sebagai wahana untuk mengembangkan keterampilan dasar (keterampilan generik sains) mengamati atau mengukur dan keterampilan proses lainnya (science process skills) seperti mencatat, membuat tabel, membuat grafik, menganalisis data, menarik kesimpulan, berkomunikasi, dan bekerjasama dalam tim (kelompok). Kedua, laboratorium sebagai wahana untuk membuktikan konsep (verification experiment) atau hukum-hukum alam sehingga dapat lebih memperjelas konsep yang telah dibahas sebelumnya. Ketiga, laboratorium sebagai wahana mengembangkan keterampilan berpikir melalui proses pemecahan masalah dalam rangka siswa menemukan konsep sendiri (inquiry experiment). Melalui peran ini, laboratorium telah dijadikan wahana untuk learning how to learn Wiyanto (Gunawan et al., 2009); Samsudin, Suyana, dan Suhendi (2009).

Dalam implementasi konsep tersebut, Laboratorium Agama Masjid Sunan Kalijaga bukanlah hasil dari upaya untuk memplagiasi prinsip, namun merupakan upaya invantori sebagaimana yang diuatarakan oleh Paulo Freire. Hal ini dapat kita pelajari dari dicanangkannya tiga fungsi dasar service –education- center Laboratorium Agama Masjid Sunan Kalijaga, yaitu: Pertama, sebagai pusat kegiatan ibadah dan keislaman, baik berupa dakwah, kajian, pelatihan, maupun layanan public dalam bidang keislaman di lingkungan UIN Sunan Kalijaga. Kedua, sebagai pusat pengembangan dan kajian core-values UIN Sunan Kalijaga, khususnya integrasi-interkoneksi keilmuan umum dan keislaman yang bermuatan nilai-nilai dedikatif-inovatif, inklusif, dan continous-improvement. Ketiga, sebagai pusat syiar UIN Sunan Kalijaga dalam bidang keislaman dan social kemasyarakatan guna meningkatkan distinctive competitiveness value institusi yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat.

Setelah penulis paparkan secara ringkas mulai dari latar pendidikan Islam di Indonesia sampai dengan polemik tiada akhir dari desain dan aplikasi kurikulum yang digagas oleh pemerintah, ada garis kecil yang hendak penulis sampaikan dalam tulisan ini adalah belum adanya relasi yang terintegrasi antara satu pemahaman dengan yang lainnya dalam menafsirkan kebijakan kurikulum di tingkatan elit pemerintah, juga belum adanya implementasi yang saling terinterkoneksi antar daerah satu dengan yang lainnya. Karena sebenarnya integrasi dan interkoneksi bukan bermaksud untuk menyeragamkan misi dalam satu visi, namun secara total menarik benang merah dari problematika yang seharusnya ada dan seharusnya ditiadakan dalam system kurikulum nasional kekinian. Sehingga implementasi dan aplikasi yang ada tidak terkesan ‘setengah-setengah’ antara gerak dan berhenti.

Merunut dari inti persoalan akan adanya konstelasi kekuasaan dalam pengendalian totalitas kurikulum, ada implikasi yang mesti terjadi karena upaya penguasaan sistematis dari Negara, yaitu kurikulum pendidikan berbasis ‘perlawanan’ positif. Artinya di sini menuntut adanya persaingan dari kreatifitas-kreatifitas dari sebagian manusia yang ingin merdeka dari segala system. Salah satunya adalah dengan menerapkan lembaga pendidikan yang berbasis lokal secara total, seperti yayasan, pondok pesantren, education center, dan sebagainya., namun tidak pula bertentangan secara sistem dengan Negara. Hal inilah yang kemudian termasuk melandasi konsep alternative bernama Laboratorium Agama.

Daftar Pustaka

Eisner, Ellioot W. & Vallance, Elizabeth (ed.), Conflicting Conceptions of Curriculum, California: MrCutrhan Publishing Corporation, 1974

Kompas, “Pendidikan dan Kebudayaan”, Kamis, 31 Maret 2011

Kompas, Pendidikan dan Kebudayaan, edisi Rabu, 6 April 2011

Muslich, Masnur, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; Dasar Pemahaman dan Pengembangan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1980

Pradipto, Y. Dedy, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007

Sya’labi, Prof. Dr. Ahmad , Sedjarah Pendidikan Islam, Djakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1970

Suprapto, H. M. Bibit , SH., MSc., MSi., Ensiklopedi Ulama Nusantara; Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2010

Sunan Kalijaga News. Edisi VII No. 34 / Juli – Agustus 2010


*Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Analisis Materi dan Kurikulum oleh dosen pengampu Drs. HM. Suprapto, M. Pd pada hari Kamis tanggal 7 April 2011
**Penulis adalah mahasiswa program Akta IV Angkatan XXVII di UMY.

Profesionalisme Guru; Dalam Epistemologi Pendidikan Islam* (Sebuah Tinjauan Profetik)

Oleh:
Cholid Ma’arif **

A. Konstruksi Awal; Sebuah Pengantar

Pendidikan merupakan jantung hidup mati peradaban suatu bangsa. Dalam sejarah berdirinya suatu bangsa beserta perkembangan dan kemajuannya tidak bisa dilepaskan dari peran dan arti penting. Sejauh mana sumber daya yang ada memainkan peran dan fungsinya dengan berbagai cara. Mulai dari taktik dan strategi perang, cara berdiplomasi, sampai dengan mencari mata pencaharian bahkan pencarian agama dan Tuhan sekalipun tidak bisa lepas dari proses pendidikan. Seperti halnya yang dialami oleh nabi Ibrahim As melalui proses kontemplasi yang panjang juga melalui pendidikan.Tentunya dengan berguru pada Tuhan, melalui metodologi pola nalar, dan media pembelaran alam semesta.

Entitas guru dalam dunia pendidikan merupakan keniscayaan. Sebab guru adalah wasilah atau perantara terjadinya transformasi pengetahuan antara dua medium yang memiliki ranah yang sama, antara subjek dan objek, dan antara yang mempelajari dan yang dipelajari, maka di tengah ada yang mengajari. Sebagaimana turunnya wahyu dalam tradisi setiap keagamaan khususnya Islam. Dimana untuk menyampaikan risalah atau pesan-pesan kebajikan yang merupa sebagai doktrin agama, peran nabi atau rasul mesti sangat dibutuhkan tidak lain dalam rangka memainkan perannya sebagai ‘transformer’ pada proses transformasi wahyu kepada ‘receiver’ atau umat manusia. Konsep relasi antara sumber wahyu ini kemudian dalam filsafat pendidikan dikenal dengan sumber pengetahuan sejati, dengan perantara sang transformer ulung adalah seorang Nabi sebagai guru, untuk menurunkan wahyu sebagai konsep ilmu, agar diterima oleh umat manusia sebagai murid semesta. Demikianlah filosofi pendidikan Islam berjalan saling berkelindan. Peran nabi sebagai pembawa berita atau guru sebagaimana disebutkan dalam surah An Naba’ ayat 1 – 3:

Dalam konteks kekinian, konsep tersebut memang telah nyata diwujudkan oleh pakar pendidikan yang merupa mulai dari model pendidikaan tradisional sampai dengan modern. Terlebih dalam pendidikan agama Islam dimana latar yang membelakangi sebenarnya mempunyai kesamaan visi dan misi dengan dakwah Islamiyah, atau bahkan pendidikan Islam menjadi bagian dari gerakan dakwah itu sendiri. Problematika dalam dunia pendidikan ini muncul manakala mulai muncul pergeseran nilai-nilai dasar dan tujuan hakiki dari pendidikan itu sendiri. Hal ini khususnya meletup setelah didengungkannya apa yang menjadi kekhawatiran Huntington tentang ‘clash of civilization’ (benturan peradaban). Momen ini I memaksa antar komunitas di seluruh pelosok dunia untuk saling menemukan sikap dan jati diri yang sesungguhnya di tengah pusaran komunikasi horizontal lintas suku bangsa. Globalisasi pun mulai menyeruak ke hamparan semesta dunia. Untuk ditolak mentah-mentah dengan resiko tereliminasi dari percaturan dunia global? Atau bahkan menerimanya total tanpa ampun menjelma dan menutupi jati diri identitas yang lekas terselubungi? Di sinilah kemudian langkah asimilasi dan akomodasi dimainkan, khususnya berkaitan dengan kualitas pendidikan Islam.

B. Profesionalisme Guru; Antara Simbol dan Nilai
Dua istilah di atas merupakan sesuatu yang berpasangan dan saling mengisi demi mewujudkan idealisme awal akan pendidikan Islam yang dinamis di segala zaman. Untuk itu perlu kita menempatkan kedua istilah tersebut pada konteks suku katanya masing-masing sebelum merumuskannya dalam pemahaman yang utuh.

Istilah ‘profesionalisme’ mempunyai akar kata dari ‘profesional’ yang berarti ‘mengenai profesi; (mengenai) keahlian; masuk golongan terpelajar / ahli; pemain bayaran. Kemudian mendapatkan tambahan kata ‘isme’ yang berarti paham atau aliran kepercayaan. Jadi profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Sedangkan guru dalam istilah pendidikan merupakan representasi dari seorang pendidik. Bahkan dalam narasi keagamaan dan pendidikan Islam, ulama, kiai, dan pemimpin serta tokoh agama bisa disebut juga sebagai kategori guru. Sebab di dalamnya terdapat misi perbaikan moral manusia, sama halnya dengan tugas besar yang dibawa Nabi, yaitu untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana dikatakan bahwa إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق.

Kedua terminology yang bergabung menjadi satu ini memang mesti diperjelaskan maknanya secara detil lagi seperti di atas. Hal ini untuk mereview akan kesalahan umum atas makna professional yang dilihat dari aspek penampilannya saja, namun sebenarnya di dalamnya ada tuntutan kualitas selain juga kuantitas dalam menggeluti profesi yang sudah menjadi bidangnya. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik.

Dengan demikian ada prasyarat dan ketentuan yang meliputi tolok ukur profesionalitas seorang guru. Adapun karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Sedangkan secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, (4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.

Keistimewaan makna kata professional ini tentunya menemukan transformasi peran yang tidak main-main, mengingat pelabelan ini melekat pada fungsi dan tanggungjawab seorang guru. Sehingga sebelum memasuki ranah karakterisasi profesional guru, jauh sebelumnya peran ini mengkantongi sejumlah kompetensi dan kualifikasi pendidikan. Pertama, adalah kualifikasi pendidikan yang hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.

Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated training and practice). Syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien (authority over clients). Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than self-interest orientation).

Lebih dalam lagi, untuk meningkatkan kesadaran total baik secara spiritual maupun akademik, seorang guru pendidikan Islam khususnya mesti memahami semangat kenabian sebagaimana disinggung sedikit di atas, nilai dan semangat kenabian ini seringkali disebut filsafat profetik. Sintesa awal kembali pada profetik kenabian bukanlah hal yang dibuat-dibuat demi melihat banyaknya ketimpangan social dan dekadensi moral masih menjalar di kehidupan masyarakat dan bangsa. Artinya ada hal-hal yang tidak bias diselesaikan dengan kualifikasi administrative sebagaimana disebutkan pada paragraph sebelumnya, namun konstruk pemahaman awal tentang kesadaran diri manusia sebagai khalifah fi ardhi merupakan keniscayaan untuk menjadi manusia seutuhnya.

C. Falsafah Kenabian Melahirkan Sosial Profetik; Upaya Menarik Akar

Dalam peristilahannya, filsafat atau falsafah adalah pengetahuan tentang asas-asas pikiran dan perilaku; ilmu mencari kebenaran dan prinsip-prinsip dengan menggunakan kekuatan akal; pandangan hidup (yang dimiliki oleh setiap orang); ajaran hokum dan perilaku; kata-kata arif yang bersifat didaktis. Sedangkan profetik adalah kenabian, terkait dengan nilai-nilai dan sikap serta semangat yang sifatnya abstrak dan universal berbasis nabi.

Untuk memahami alur dan setting dari pemikiran filsafat profetik ini, penulis mengacu pada konsep Ilmu Sosial Profetik-nya Kuntowijoyo sebagai basis latar belakang yang mengawali kemudian kemunculan pendidikan berbasis profetik sebagai solusinya. Bahwa dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada problematika yang terjadi di masyarakat adalah terkait relevansi penafsiran agama dalam merespon perubahan dunia yang begitu dahsyat menjadi sebuah tuntutan. Sebagaimana dilansir oleh Mun'im A. Sirry bahwa saat ini umumnya, agama yang kehilangan kemampuan untuk merespon secara kreatif perubahan sosial, kerap menampakkan wajah fundamentalistiknya.

Menurut Kuntowijoyo, pemahaman terhadap ajaran Islam, lebih khusus lagi pada aspek teologi memerlukan penafsiran-penafsiran baru dalam rangka memahami realitas yang senantiasa berubah. Usaha melakukan reorientasi pemahaman keagamaan, baik secara individual maupun kolektif adalah untuk menyikapi kenyataan-kenyataan empiris menurut perspektif ketuhanan. Yaitu dengan cara mengelaborasi ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial. Maka muncullah Ilmu Sosial Profetik (ISP).

ISP adalah ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. ISP secara sengaja memuat kandungan nilai- nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat. Nilai ini diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an Surat Al Imran ayat 110, yang artinya : “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah”
Tiga muatan nilai sebagai karakterik ISP dari ayat di atas adalah : 1) humanisasi (menyuruh kepada yang ma’ruf atau menegakkan kebaikan), 2) liberasi (mencegah kemunkaran), dan 3) transendensi (beriman kepada Allah).5 Asal usul pemikiran ISP Kuntowijoyo ini diilhami oleh tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudi. Dalam buku “Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam” karya Iqbal, diungkapkan pengalaman Nabi Muhammad yang telah sampai ke tempat yang paling tinggi, yang menjadi dambaan setiap insan, tetapi Nabi Muhammad tetap kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya. Nabi Muhammad menjadikan pengalaman itu sebagai kekuatan psikologis untuk mengubah kemanusiaan. Sunnah nabi ini yang dinamakan etika profetik .

Dari Roger Garaudy, konsep filsafat profetik-nyalah yang mengilhami Kuntowijoyo, yaitu anjuran agar umat manusia memakai filsafat kenabian dari Islam dengan mengakui wahyu, karena filsafat barat sudah ‘membunuh’ Tuhan dan manusia (Garaudy, 1982 : 139-168).6 Pemaknaan atas ayat Al Qur’an yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo di atas, dalam pandangan Abdul Munir Mulkhan, ditempatkan sebagai cara atau metode penerapan ajaran Islam dalam realitas kehidupan empirik. Menanggapi konsep ISP Kuntowijoyo ini, M. Syafii Anwar dalam Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia menyebut pemikiran Islam Kuntowijoyo sebagai pemikiran ‘Islam Transformatik’, yaitu pemikiran yang bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan. Ia menambahkan, bahwa transformasi Islam idealnya merujuk pada pemecahan-pemecahan masalah empiris dalam bidang ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial, dan lainnya sehingga masyarakat bebas dari belenggu ketidakadilan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Humanisasi, dalam pandangan Kuntowijoyo dimaksudkan sebagai memanusiakan manusia, yaitu upaya menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang mulia sesuai dengan kodrat atau martabat kemanusiaannya. Berdasarkan pemahaman ini, maka konsep humanisasi Kuntowijoyo berakar pada humanisme-teosentris, yaitu manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia sendiri. Adapun liberasi yang dimaksud Kuntowijoyo adalah nilai- nilai yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu.
Transendensi adalah unsur terpenting dari ajaran sosial Islam yang terkandung dalam ISP dan sekaligus menjadi dasar dari dua unsur lainnya, yaitu humanisasi dan liberasi. Yang dimaksud transendensi dalam pandangan Kuntowijoyo adalah konsep yang diderivasikan dari tu’minuuna bi Allah (beriman kepada Allah), atau bisa juga istilah dalam teologi (misalnya persoalan Ketuhanan, makhluk-makhluk ghaib). Kuntowijoyo melanjutkan, transendensi ini akan memberi arah ke mana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Adapun bagi umat Islam, transendensi tentunya beriman kepada Allah SWT.

Upaya menanamkan dan memupuk nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi akan lebih efektif dilakukan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan, tidak akan pernah lepas dari penanaman nilai-nilai, guna membentuk profil manusia yang dewasa secara pola pikir, sikap, dan tingkah laku serta berakhlakul karimah. Hal ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Barnadib, bahwa tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai- nilai yang ada di dalam ‘gudang’ di luar ke jiwa anak didik. Ini berarti bahwa anak didik itu perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi yang tinggi.

D. Menjadi Guru Profesional-Profetik; Epistemologi Pendidikan Islam

Berangkat dari kedua pembahasan terma di atas, yaitu pergulatan dan setting antara profesionalisme guru dan falsafah social profetik, selanjutnya penulis tertarik untuk mencari sebuah tesis awal kemungkinan dimunculkannya epistemologi pendidikan Islam sebagai basis implementasi. Ada lima epistemology pendidikan Islam yang akan diupayakan bersandar pada aspek teologis, inspirasi pesan-pesan Islam, atau pengalaman para ilmuwan Muslim. Terutama sekali dari hasil perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Alqur’an, hadis Nabi dan penalaran sendiri, untuk sementara didapatkan lima macam metode yang secara efektif untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu: metode rasional (manhaj ‘aqli), metode intuitif (manhaj zawqi), metode dialogis (manhaj jadali), metode komparatif (manhaj muqarani), dan metode kritik (manhaj naqdi). Adapun penjelasan dari kelima metode tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut:

1. Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)

Adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau criteria-kriteria kebenaran yang bias diterima akal, seperti sepuluh lebih banyak daripada lima. Metode ini dapat dipakai dalam mencapai pengetahuan tentang pendidikan Islam, terutama yang bersifat apriori. Dalam situasi ini, seorang guru memungkinkan melakukan hal yang sama seperti yang pernah dilakukan oleh NabiIbrahim As dalam proses menemukan Tuhannya yaitu dengan perenungan yang dalam namun logis dan runut, sehingga anak didik menjadi lebih mantap dalam memahami mata pelajaran ilmu tauhid misalnya.

2. Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)

Menurut substansi pernyataan Marcel, pada mulanya intuisi muncul sebagai suatu apriori, tetapi kemudian muncul dalam kapasitasnya sebagai aposteriori, yaitu pengetahuan yang timbul sebagai hasil dari pengalaman, atau dengan istilah lain adalah pengetahuan setelah pengalaman. Dalam tataran ini, seorang guru yang professional mesti mengajak siswanya untuk studi di luar kelas, yaitu dengan melakukan pengamatan dan penelitian langsung dari alam dan lingkungan untuk kemudian menemukan semisal tentang konsep pasar dan masyarakat pelosok, satu contoh.

3. Metode Dialogis (Manhaj Jadali)

Adalah upaya menggali pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan (tanya-jawab) antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan rgumentasi-argumentasi yang bias dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam konteks pembelajaran siswa, seorang guru harus bisa memainkan peran sebagai moderator dengan siswa sebagai pembicara yang saling berdebat dan berdiskusi dalam forum kelas.

4. Metode Komparatif (Manhaj Muqarani)

Adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan pendidikan Islam) dengan cara membandingkan teori maupun praktek pendidikan, baik sesama pendidikan Islam maupun dengan pendidikan lainnya. Diantara keistimewaan perbandingan pendidikan adalah terbentuknya mutual-understanding between countries, membangun peace-education atas dasar kemanusiaan, meningkatkan wawasan multi-cultural education, juga dapat mempelajari kelemahan dan keunggulan, serta perbedaan teori dan praktek pendidikan di berbagai tempat yang berbeda.

5. Metode Kritik (Manhaj Naqdi)

Adalah usaha menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai alternative pemecahannya. Dengan cara ini, seorang guru yang professional mutlak memiliki curiosity yang tinggi atas pelbagai praktek pendidikan yang digelutinya sebagai syarat berkembangnya situasi dan kondisi keilmuan menuju sumber daya yang tangguh, yaitu dengan mengoreksi dan selalu mengevaluasi langkahnya












Daftar Pustaka


Assegaf, M. Ag, Drs. Abd. Rachman., Internasionalisasi Pendidikan; Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara islam dan Barat, Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2003

Mulkhan, SU, Dr. Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002

Partanto, Pius A. & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola, 1994

Qomar, M. Ag., Prof. Dr. Mujamil , Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritis, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005,






*Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Teori Pendidikan oleh dosen pengampu Dr. HM. Anies, pada hari Kamis tanggal 07 April 2011.

**Penulis adalah mahasiswa program Akta IV angkatan XXVII di UMY.

Menjadi Pengajar Dan Pembelajar “Ala Gue” * (Visi dan Misi Seorang Guru; Perspektif Subjektif-Komparatif )



Oleh:
Cholid Ma’arif **


A.Guru; (Masih-kah) Di-“gugu” dan Di-“tiru”

Dalam interaksi pertama proses perkembangan manusia tidak akan pernah bisa lepas dari peran dan konsep seorang guru. Karena ia begitu berperan dalam mewarnai corak pemikiran, gaya hidup, perilaku, bahkan pada tahap pengambilan keputusan sekalipun seseorang tiada akan pernah bisa lepas dari pengaruh seorang guru. Pun asumsi di atas tidak selamanya benar jika kita jauh sebelumnya mampu mengenal dan memahami konsep pendidikan dengan baik dan benar serta kritis. Sebab, mau tidak mau pendidikan merupakan proses yang telah mengakar tajam dalam setiap hubungan dan komunikasi seseorang dengan lain orang.

Tambahan, dalam konsep Islam dikenal dengan guru kedua selain guru utama sendiri yang ada di ranah pendidikan formal sekolah maupun madrasah, dialah kedua orang tua. Kalau boleh penulis mengatakan, bahkan orang tua adalah guru yang kedua namun setelah Alqur’an sebagai guru yang utama dalam bahasa ketuhanan, baru setelahnya adalah pengajar di lembaga formal sebagai guru yang ketiga. Opini ini tidak lain dimaksudkan untuk mengoptimalkan secara massif atas peran diri sebagai personal yang hendaknya senantiasa merespon untuk selalu mencari “guru” dalam hidupnya. Jika dapat digarisbesarkan akan menemu pada titik aspek pendidikan kehidupan berguru pada Alqur’an, aspek pendidikan kepribadian berguru pada kedua prang tua, dan aspek pendidikan pendewasaan berguru pada guru atau pengajar di lembaga formal semisal sekolah, madrasah, maupun pesantren.

Dari ketiga klasifikasi tentang keguruan di atas, dalam tulisan ini hanya akan menyoroti tentang guru kaitannya dengan idealisasi perspektif penullis sendiri dalam menghadapi konteks kekinian dan masa depan. Hal ini mengingat guru dalam kaitannya di bidang pendidikan merupakan peran vital yang mesti dimainkan secara professional, terukur, bertanggungjawab, bermoral, dan mengutamakan pada proses daripada sekedar tujuan pragmatis. Namun, sejauh pengamatan penulis aspek-aspek tersebut hanya berlaku di ranah formalitas dan terkesan pragmatis. Presumsi ini menjadi maklum ketika di sisi lain tentang sarana dan prasarana yang melingkupinya (baca: seperangkat fasilitas, kurikulum, kebijakan pendidikan, pengaruh politik dan ekonomi, social-budaya, kuantitas dan kualitas SDM, dan lain-lain) juga tengah diserang oleh pengeroposan sistemik –untuk tidak mengatakan secara struktural.

Kenyataan ini menjadi niscaya ketika pada masa kekinian banyak kita dapati kesejahteraan guru yang masih ‘jauh panggang dari api’. Dengan kata lain, tujuan pemerintah untuk melaksanakan amanat UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila berbanding balik dengan implementasi di lapangan yang sedang terjadi. Hal ini bias kita temui dengan banyaknya aksi demonstrasi di sejumlah daerah yang dilakukan oleh tenaga guru sendiri dengan turun di jalanan secara langsung menuntut sebagian haknya yang diabaikan oleh pemerintah. Di sisi lain, ada juga kasus yang bersangkut paut dengan oknum guru secara moral melakukan tindak asusila sebagaimana terjadi di kabupaten Jombang, Jawa Timur beberapa waktu lalu.

Segelintir contoh kasus tersebut sedikit banyak berpengaruh pada cara pandang murid atau siswa kepada gurunya. Walaupun tindakan yang menyisakan stigma negative tersebut dilakukan di luar kelas atau di luar forum pembelajaran formal sebagaimana halnya terjadi secara langsung bersama dengan murid. Namun, secara tidak langsung, didukung dengan derasnya arus globalisasi dan informasi khususnya, siswa sangat mungkin mengkonsumsi mentah-mentah informasi tersebut. Tentunya hal ini berdampak pada psikis dan system motorik siswa untuk kemudian meresponnya menjadi sesuatu yang layak ditiru tanpa analisis yang mendalam. Karena telah terpatri dalam benak dang pengetahuan siswa bahwa seperti dalam falsafah Jawa, guru adalah ‘orang yang mesti di-gugu (baca: ditaati) dan di-tiru (diteladani). Pada konteks kekinian, seberapa jauh kepatutan guru untuk diteladani siswanya? Dan bagaimanakah upaya untuk menjadi guru yang idealis dalam lintas ruang dan waktu?

B.Konsep Guru Dalam Perilaku Semesta

Sudah menjadi sistem keteraturan alam bahwa segala sesuatu yang ada dan sedang berjalan di dunia ini selalu ada pihak kedua dalam membantu keberlangsungannya. Seperti bulan yang selalu mendampingi bumi untk mengitari matahari. Karena dengan sumber daya gravitasi dan system orbit yang mengatur peredaran bumi dan benda-benda planet lainnya sampai kini berhasil menjaga keteraturan. Hubungan antar kedua relasi maupun lebih tersebut bias disebut dengan berguru, dari sesuatu yang paling kecil sampai sesuatu benda yang paling besar. Karena di dalamnya ada proses-proses positif, seperti: hubungan transformasi, keteraturan, kekompakan, keberlangsungan, kebermanfaatan, pengetahuan dan keilmuan, serta kemajuan pada tindak lanjutnya.
Perilaku alam semesta tersebut selama ini –sadar atau tidak- juga telah mutlak terjadi dalam diri seseorang dan personal lainnya –paling tidak- yang menurut istilah penulis disini adalah disebut pendidikan. Ya, pendidikan telah mendarah-daging di sekitar kita bahkan sejak kita masih dalam kandungan sudah mendapatkannya. Proses ketika seorang ibu selalu memakan makanan yang bergizi dan sehat, ketika sang ayah pun berperilaku lemah lembut kepada istrinya yang sedang hamil, adalah sama-sama berorientasi pada perkembangan anak atau janin yang masih dalam kandungan. Dalam tradisi agama-agama, termasuk disini Islam, bahkan nilai pendidikan secara spiritual ditujukan kepada orang yang telah mati sekalipun. Sebagaimana terjadi dalam prosesi pemandian jenazah, pensalatannya, hingga pemakamannya semuanya dilakuakan dengan khidmat dan tulus ikhlas dari orang-orang diluar diri jenazah tersebut.

Dalam terminologi pendidikan itu sendiri, ada konsep yang disebut dengan guru dan murid. Mereka bias juga berperan untuk merepresentasikan fungsi-fungsi dan system yang selama ini berlaku di alam. Ketika seorang murid membutuhkan perlindungan maupun asupan, itu menandakan akan ketidakberdayaan dirinya. Begitu juga ketika ada respon dari sesuatu di luar dirinya yang dengan langsung menjaga dan melindungi bahkan membimbing dirinya hingga menjadi sesuatu yang lebih baik, itulah fungsi yang sama halnya diperankan oleh guru.

Proses pembentukan karakter dan kepribadian seseorang memang tidak bisa lepas dari hasil interaksi antara makhluk yang satu dengan yang lain. Karena berpegang pada satu prinsip bahwa Dzat yang sama sekali tidak membutuhkan dengan lain itulah Sang Khalik. Bahkan tak terkategori semua jenis dan macam makhluk dengan berbagai tipenya mesti memerlukan –paling tidak- pengaruh dari sesuatu di luar dirinya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Hal semacam ini bisa kita lihat dalam perilaku alam di sekitar kita, ketika tumbuhan mulai mekar dan mengarahkan daunnya menuju sinar matahari karena ia tertarik dengan sinar yang menjadi sumber pemanasan klorofilnya, ketika air mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah, bahkan ketika bebatuan yang keras pun mampu terkikis sedikit demi sedikit karena adanya perubahan dari pergerakan air yang menerjangnya maupun udara dan angin yang menimpanya.

Sama halnya dengan proses perkembangan manusia dalam upaya memperkaya jati diri dan meneguhkan eksistensinya kaitannya dengan merespon gejala dan problematika di dunia. Ia senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka mempertahankan hidupnya. Tiba-tiba saya teringat dengan sebuah film “Fighting To The Fitlest” yang mengkisahkan tentang peristiwa nyata dari sekelompok orang yang berupaya mempertahankan hidup setelah terdampar di semananjung luas kutub selatan yang sangat dingin dan bahan makanan yang semakin menipis hingga satu persatu diantara mereka tewas karena cuaca yang memang sangat dahsyat dinginnya. Sampai pada orang terakhir yang masih bertahan berpikir bagaimana cara agar dapat berjuang mempertahankan hidup dalam kondisi yang sangat minus tersebut. Dan dia terpikir untuk menghangatkan badannya dan menjaga suhu badannya agar tetap hangat dengan cara memakan bangkai satu persatu kawan-kawannya yang telah mati sekalipun sambil berjalan kaki mencari pertolongan mengarungi padang salju nan luas dan sunyi.

Penggambaran dari deskripsi di atas adalah beberapa nilai yang terkandung dalam usaha mempertahankan hidup yang panjang. Karena pada era yang serba tidak menentu ini ketahanan materi bukanlah lagi menjadi penentu maupun pelindung seseorang dari derasnya arus globalisasi. Jika demikian halnya yaitu pemenuhan kebutuhan hanya dengan materi, maka semacam itu tidak ada bedanya dengan seekor hewan yang belum tentu bisa membedakan baik buruknya kandungan makanan yang akan dimakannya. Dalam arti lain tidak memperhitungkan secara cermat resiko yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Kembali pada nilai-nilai yang dapat diambil dari kisah alur perjalanan tersebut dan analoginya dapat kita runut sebagai berikut: 1) ada dan keberadaaan orang selalu dipengaruhi oleh tangan lain; 2) ada system di luar diri yang cenderung lebih potensial daripada yang ada dalam diri; 3) relasi yang dibangun antara pengubah dan yang diubah adalah antara subjek dan objek, dimana keduanya saling bertukar peran yang sama sekaligus –walaupun “yang diubah” dituntut untuk lebih aktif; 4) keberanian untuk keluar dari “kotak” kebiasaan yang menjemukan dalam upaya tetap membentuk keteraturan; 5) kreatifitas yang “gila” dalam upaya mempertahankan keberlangsungan; 6) adanya proses reseptasi dan akomodasi atas segala fenomena yang selalu berubah sebagai bagian dari transformasi; dan 7) adanya sense untuk selalu menemukan kebaruan dalam hidup diiringi dengan target dan sasaran tertentu untuk perbaikan langkah selanjutnya.

C.Menjadi “Guru”-nya Guru

Di tengah himpitan ekonomi, dekadensi moral, instabilitas politik kebijakan, inkonsistensi pemerintah, pergeseran budaya, benturan social, dan banyak factor lainnya, pilihan menjadi guru merupakan tantangan tersendiri. Banyak sekali baik factor internal maupun eksternal yang menggelayuti cita-cita menjadi guru sejati yang sebenarnya juga berperan penting dalam partisipasi memajukan kecerdasan anak bangsa. Dalam segaris horizontal, segenap problematika dan dilematika tersebut merupakan turunan dari dampak negatif arus globalisasi yang kurang tepat dalam penyikapan seorang guru.

Poin ini sangat penting mengingat keterlibatan aktif guru dalam proses transformasi pengetahuan, keilmuan, dan pencitraan kepada anak didik semenjak kecil. Karena masa kecil bagi peserta didik merupakan masa yang sangat labil dalam hal penerimaan informasi dan data yang akhirnya menjadikan karakternya di masa mendatang berujung pada satu catatan; bahwa apapun profesi dan cita-cita anak didik nanti tetap morallah yang menjadi taruhan yang sangat mahal untuk merespon krisis karakter seperti terjadi dalam watak birokrasi saat ini.

Jadi, apa yang dilakukan guru saat ini mestilah menjadi langkah awal untuk jangka panjang termasuk dalam mengatasi kebiasaan korupsi, dampak buruk narkoba, dan kasus dekadensi moral lainnya. Sehingga untuk saat ini, sebuah cita-cita harus dibangun dari keadaan yang lebih daripada sekarang. Dalam bahasa saya, saatnya menjadi gurunya guru! Bukanlah sebuah arogansi yang ingin disiratkan dari ambisi di atas, namun sebauh pretensi dalam rangka mengatasi segenap tantangan dan kendala yang telah penulis sebutkan panjang lebar di atas. Adapun tindakan yang mesti dilakukan untuk menjadi gurunya guru adalah sebagai berikut:

1.Pembasisan pada pengetahuan budaya lokal

Budaya merupakan seperangkat sumber budi dan daya dalam diri seseorang. Fokus awal pada sense ini sama halnya berusaha mengenal mereka secara utuh dari aspek antropologi. Dalam budaya telah terkandung aspek norma, adat istiadat, hukum, dan peraturan yang tidak tertulis namun spontan jika kita ajak bersama untuk mengungkapkan. Selain budaya memang sesuatu yang sensitive, sehingga jika kita tunjukkan perhatian kita pada wilayah ini, tentu kita akan mendapatkan respon balik yang positif dari siswa jika kita berhasil menyampaikannya dengan benar dan sesuai pada tempatnya.

Hal ini dapat kita wujudkan dengan mendukung secara konsisten pada porsi mata pelajaran budaya maupun muatan local. Bisa juga dengan menyanyikan lagu daerah setelah sebelum memulai pelajaran setiap harinya Termasuk disini adalah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia raya untuk memupuk rasa nasionalisme. Juga dengan menyanyikan lagu daerah masing-masing daerah secara bergantian dalam tiap harinya. Misalnya hari Senin lagu nasionalisme seperti: Syukur, Ibu Kita Kartini, dan lain-lain. Hari Selasa untuk lagu daerah Jawa, Rabu lagu Irian Jaya, Kamis lagu daerah Kalimantan, dan menyusul hari dan lagu berikutnya. Berdasarkan pengalaman penulis, metode seperti ini belum pernah dilakukan di lembaga formal setingkat sekolah SD – SMP. Penulis yakin dengan penanaman akar kebangsaan dan kebhinnekaan melalui apresiasi singkat di bidang seni semacam ini akan menumbuhkan etos dan semangat belajar yang beraurakan positif dalam suasana pembelajaran.

2.Sublimasi keagamaan yang mencerahkan

Selama ini mungkin yang kita rasakan tentang pendidikan agama adalah suatu pengetahuan yang ‘taken for granted’. Keadaan dan keberadaannya merupakan sesuatu yang sudah terdoktrin untuk kita terima apa adanya tanpa ada upaya membangun konstruksi pemikiran yang mencoba menjelaskan dari dasarnya dan pembuktiannya. Kondisi semacam ini menjadi semakin terkondisikan ketika didukung dengan psikologi perkembangan anak khususnya pada usia SD terhadap agama adalah bersifat reseptif. Artinya penerimaan dan kepatuhannya terhadap agama merupakan sesuatu yang palsu dan rentan terjadi distorsi sikap pada tahap dewasa nantinya.

Tak pelak lagi, kegelisahan ini menjadi problem kedua bagi penulis untuk mengidealkan gurunya guru dalam konteks kekinian. Pengalaman penulis dalam proses pendidikan keagamaan secara klasikal hanya mampu membenamkan pengetahuan agama di ranah kognisi saja. Dalam bahasa psikologi adalah tahap pra-konvensional. Adapun efek paling peka aspek keagamaan ini pun mencapai tahap konvensional, yaitu dimana anak didik merasa berharga dan dihargai oleh orang lain terutama gurunya sendiri ketika ia mampu mempraktekkannya di hadapan orang tua, tentunya dengan mengharap pujian dan sanjungan semata. Walaupun memang dampak dari sikap keagamaan tingkat anak ini tidak begitu mengkhawatirkan di masa muda, namun kemungkinan besar akan terjadi sikap untuk menunjukkan pemberontakan maupun distorsi seiring pada usia remaja kelak.

Dalam rangka inilah pola pendidikan keagamaan dilaksanakan secara motorik dan psikomotorik melalui proses rasionalisasi yang panjang dan argumentasi yang valid. Konstruk nalar bertanya siswa mesti dipancing dari persoalan yang sederhana dan pencapaian pada jawaban yang sederhana pula namun melekat kuat dalam hati dan perasaan siswa, dan bukan sekedar pada akal. Satu misal, selain dengan memberikan materi salat jenazah di kelas dan praktek di laboratorium agama dengan menggunakan boneka mayat sebagai model, siswa juga perlu kita ajak mengadakan kunjungan takziyah langsung ke rumah duka jika ada salah satu keluarga besar sekolah maupun murid yang meninggal dunia. Dari sini hendaknya pengetahuan agama menjadi sesuatu yang konkrit dihadapi meskipun abstrak untuk dipahami dalam tahap awal. Pun antara kognisi, motorik, dan psikomotorik siswa akan bekerja efektif.

3.Pembelajaran yang kreatif dan tepat guna

Situasi kreatif merupakan bagian dari cara persuasive kepada siswa. Karena karakter kreatif itu sendiri sebenarnya sudah melekat pada usia anak SD / SMP berawal dari sikap keingintahuan. Namun pun demikian antara keingintahuan dan respon kreatif mesti di tempatkan pada tempatnya. Salah satu contoh dalam hal ini adalah dengan pembelajaran mata pelajaran jual beli yang juga dapat diselesaikan langsung dengan praktek dan pengamatan terjun di lapangan semisal pasar, took, warung, mal, dan sebagainya. Atau juga pembelajaran menggambar maka yang guru arahkan adalah bukan semata menggambar gunung sebagaimana terbenam dalam benak siswa bahwa pemandangan adalah gunung. Namun katakanlah di tengah lingkungan sekolah yang padat penduduk, sedang di rundung bencana banjir, di pelosok perbukitan, dan lain sebagainya hendaklah menjadi referensi nyata dalam pembelajaran tersebut, khususnya juga pelajaran agama.

4.Kesinambungan perkataan dan tindakan

Dalam pengajaran kepada siswa, sebaiknya guru tidak sekalipun mengeluarkan kata-kata yang bersifat instruktif, namun imitatif. Adalah sebentuk sikap maupun tindakan dengan memberikan contoh langsung kepada siswa bahwa perbuatan maupun ucapan sebagai bagian dari penugasan kita kepada siswa adalah hal yang sama juga dilakukan oleh guru. Semisal ketika menghendaki siswa untuk sekali waktu melaksanakan salat Dhuha, maka yang mesti dilakukan guru adalah dengan bersama-sama melakukan salat itu sendiri, bahkan tidak hanya berposisi menjadi imam, kesempatan menjadi imam mesti juga dipersilahkan kepada salah seorang siswa yang patut. Pun dalam konteks di luar kelas, ketika guru tidak menghendaki muridnya merokok, maka guru mesti juga tidak melakukan hal yang sama khususnya jika bertemu dengan siswa walaupun itu di luar jam pelajaran maupun luar lingkungan sekolah.

5.Penguasaan IT dan pencitraan positifnya

Sudah menjadi maklum bahwa globalisasi menawarkan dua sisi yang saling bertolak belakang dalam hal kamanfaatan dan kemudharatan. Disinilah peran guru seharusnya secara maksimal berperan. Jika dalam suatu sekolah sudah tersedia misalkan hotspot area ataupun laboratorium computer yang terkoneksi dengan jaringan internet, maka semestinya ruang kebebasan dan kreatifitas siswa dalam akses penggunaannya kita maksimalkan dengan pendampingan yang lebih maksimal pula. Tentunya dunia anak penuh dengan hal-hal yang menyenangkan dalam imajinasi mereka, khususnya ketika dihadapkan pada layar internet, entah itu sebenarnya negative atau tidak, seperti: game play-station, situs porno, Facebook, situs berbau SARA, dan sebagainya. Untuk menghadapi gempuran program yang menggiurkan tersebut, guru tidak harus melarang atau reaktif, namun cukup dengan sikap preventif yaitu justru dengan cara kita mengenalkan, tentunya tetap dengan unsure-unsur yang positif. Misalnya dengan mengenalkan game yang edukatif, pembuatan komunitas belajar di Facebook, penugasan berbasis email, publikasi karya melalui blogspot, juga pengenalan situs-situs yang bermanfaat sebanyak mungkin. Sehingga dengan cara ini diharapkan siswa akan sibuk dengan hal-hal yang positif ketika berhadapan dengan dunia TI, termasuk disini adalah menyediakan buku pedoman TI yang sangat lengkap dan mendukung.

6.Menjadikan kelas sebagai ruang kuasa siswa
Dalam pengertian ini adalah memberikan kesempatan seluas—luasnya kepada siswa untuk belajar. System pembelajaran tidak hanya ceramah ansich, namun lebih pada berangkat dari kegelisahan siswa dan guru hanya berfungsi mengantarkan pada pemahaman yang memadai serta tidak perlu menyamakan pemahaman pada hasil akhirnya. Jadi cara ini bertumpu pada siswa misal dengan forum Focus Group Discussion, brainstorming, study-ckub, dan lain sebagainya.

7.Masifikasi dialektika dan karya nyata

Cara ini merupakan salah satu cara untuk memberikan respon terbaik kepada siswa terhadap apa yang telah dilakukannya bersifat positif. Dengan cara seperti ini siswa diharapkan semakin termotivasi dan merasa dihargai atas setiap usaha yang telah mereka kerjakan. Misal dalam hal ini adalah dengan mempublikasikan hasil karya tulis mereka baik berupa gambar, cerita, maupun kliping berita yang kesemuanya berangkat dari penugasan oleh guru di lapangan yang akhirnya berakhir di dinding pajangan maupun blog dan website sekolah. Dengan ini nuansa kompetisi dan apresiasi pun akan terbangun dan termotivasi untuk lebih berkarya dengan baik lagi.

8.Membangun relasi makna antara sekolah dan masyarakat

Pengertian konkrit dari langkah ini adalah membangun komunikasi yang massif baik antara pihak guru dengan wali / orang tua siswa maupun pihak sekolah dengan warga setempat di lingkungan dimana sekolah itu berada. Hal ini sangat perlu untuk dimaksimalkan mengingat kebanyakan waktu siswa dalam setiap harinya justru berlangsung di luar sekolah, entah itu di rumah maupun di lingkungan masyarakatnya. Otomatis guru tidak bisa memantau kegiatan siswa di luar sekolah, sehingga perlu dibangun kesepahaman dengan masyarakat luas dalam pendampingan sifat dan sikap siswa selama di luar pengawasan sekolah. Termasuk dalam hal ini adalah dalam rangka menghindari prasangka yang negative masyarakat terhadap kegiatan yang berlangsung di dalam kelas, sehingga keterbukaan informasi dan komunikasi pun terjadi.

9.Komunikasi dan inisiasi horizontal sesama guru

Terakhir kali menurut penulis untuk bias memiliki kemampuan maksimal di atas guru yang biasa dalam hal kreatifitas adalah dengan saling berbagi kepada sesame guru khususnya di lingkungan kerja sendiri. Hal ini sangat penting untuk mendapatkan keseragaman visi dan misi sesuai yang dibangun di sekolah dimana kita mengajar. Selain itu, dalam tahap yang lebih maju, perlu diadakan pelatihan maupun seminar yang bersifat informal sesama guru dalam rangkan melejitkan kemampuan super masing-masing guru. Seperti acara workshop, seminar, out-bound, pelatihan motivasi, TI, dan sebagainya yang berorientasi pada pengembangan peserta didik dan system belajar yang lebih menarik dan update sesuai perkembangan zaman.

Demikianlah adalah beberapa poin yang dapat penulis sampaikan apa adany dan murni tanpa ada unsure palgiasi dari buku maupun catatan lain selain ide dan gagasan penulis sendiri didasarkan pada pengalaman subjektif dan komparatif. Tentunya masih banyak ditemukan kekurangan dan kelemahan dari segenap tulisan di atas, mohon kritik dan masukan dari segenap pihak demi perbaikan ke depan. Terima kasih.


*Tulisan ini diselesaikan pada hari Senin tanggal 04 April 2011 pukul 08.25 WIB dibuat guna memenuhi salah satu tugas ujian akhir catur wulan pertama pada mata kuliah Psikologi Perkembangan Peserta Didik yang diampu oleh Bapak Yuli Susetyo, M.Psi
**Penulis adalah mahasiswa program pendidikan guru akta IV angkatan 27 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.