Jumat, 18 Maret 2011

ترجمة الكتاب دردير معراج لنجم الدين الغيطى و مشكلاتها


PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Diseminarkan Dalam Sidang Proposal
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga
















Disusun oleh:
Cholid Ma’arif
NIM. 06110006


Dosen Pembimbing:
Drs. Khoiron Nahdhiyyin, M.A




JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010




A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka penggiatan khazanah islam klasik maupun modern, jembatan perbedaan budaya dan bahasa masih menjadi momok tersendiri yang harus diselesaikan antar bahasa dari bangsa yang tidak sama satu sama lain. Salah satu cara yang menjadi trend sampai kekinian adalah tradisi penerjemahan dari referensi utama yang notabene bukan berasal dari bahasa pembaca menuju pada pencapaian pemahaman bahasa pengguna referensi tersebut. Kendala seperti ini sebagaimana telah diungkapkan oleh Hans Wehr (1960: vii) bahwa “…as actual usage demonstrates, the purits have been unable to cope with the sheer bulk of new linguistic material which has had to be incorporated into the language to make it current with advances in world knowledge.

Satu catatan disini adalah penerjemahan dari gaya bahasa penulisan arab klasik kepada bahasa pembaca yang modern. Sebelumnya perlu diketahui bahwa penerjemahan berarti mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa dalam bahasa lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan itu. Secara terminologi, menurut Larson (1987: 3) menyebutkan bahwa terjemahan terdiri atas pentransferan makna bahasa pertama ke dalam betuk bahasa kedua dengan memperhatikan struktur semantiknya. Pendefinisian ini dilengkapi oleh Bell (1991: 6) yang menyatakan bahwa penerjemahan merupakan penggantian sebuah representasi teks yang sama ke dalam bahasa kedua khususnya yang berkaitan dengan kesamaan semantik, konteks, tata bahasa, leksis, dan sebagainya dan pada tataran yang berbeda (kata –untuk- kata, frasa –untuk- frasa, kalimat- untuk –kalimat).

Berkenaan dengan perbedaan cara pandang para pakar dalam mendefiniskan terjemahan, secara prinsip dasar mereka sepakat pada pertimbangan makna sebagai pertimbangan yang paling penting (Astika , 1993: 66 dalam Nababan, 2007: 203 vol. 10) Sehingga nantinya terjadilah sebuah kesepakatan bahasa dan pemahaman makna baik yang tersurat maupun yang tersirat dari bahasa ‘ke-disana-an’ sebagai sumber dan bahasa ‘ke-disini’an’ sebagai bahasa sasaran secara total melalui segala kompetensi yang ada. Di sisi lain, kompetensi penerjemahan terdiri atas dua kemampuan pokok, yakni (1) kemampuan menurunkan serangkaian teks target yang memungkinkan bagi teks sumber yang ada dan (2) kemampuan memilih dari serangkaian teks tersebut, secara cepat dan dengan kepercayaan diri yang benar ‘etis’ versi tertentu yang sangat tepat bagi pembaca.

Salah satu kendala dalam penerjemahan adalah belum tercapainya kompetensi yang disebutkan di atas, terlebih kompetensi dalam menerjemahkanh teks-teks keagamaan klasik sebagai rujukan yang sampai saat ini berkembang di Indonesia. Lemahnya kualitas terjemahan ke dalam bahasa Indonesia didasarkan pada pernyataan S. Belen (1983 merujuk pada Alisyahbana 1984) bahwa kualitas penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Indonesia masih jauh dari standar.

Khusus menyinggung terjemahan naskah keagamaan, Rohwani (2009: 18) memberikan pernyataan tersendiri bahwa terjemahan yang menyangkut teks-teks keagamaan khususnya kitab suci, paling tidak harus memiliki dua kriteria, yang justru saling bertentangan, karena kriteria yang satu melihat ke belakang (sejarah latar belakang), dan yang satu lagi melihat ke depan (masa depan pemeluknya). Pertama, terjemahannya harus sesuai akurat, tepat mewakili makna yang ada pada sumber aslinya. Yang kedua, terjemahannya harus dapat diterima oleh pengguna bahasa tersebut –yang dalam praktiknya- dapat dimengerti-, secara estetika menyenangkan, dan mampu menghubungkan dengan kecenderungan masa kini, khususnya dalam kecenderungan pemikiran keagamaan, tekanan-tekanan sosial, dan perubahan bahasa.
Kitab Dardiir Mi’raj merupakan karya karya al ‘allamah Najmuddin al Ghaitiy pada abad ke-14. Teks yang tergolong literatur klasik ini sarat dengan nuansa imajinatif-kontemplatif yang bercerita tentang peristiwa sakral Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Sebuah dramatologi dan kronologi yang penuh holistik memuat ajaran-ajaran moral spiritual dan sosial melalui pemikiran yang realistik. Isra’ dan Mi’raj sendiri berarti suatu perjalanan malam (isra’) Nabi Muhammad Saw dari Masjidil Haram (Mekah) ke Masjidil Aqsha (Palestina), dan kenaikan beliau (Mi’raj) ke ufuk terjauh langit semesta (Sidratul Muntaha) yang penuh makna dan berlangsung pada tahun kedua kenabian.

Dalam kitab tersebut dapat diperoleh ringkasan beberapa informasi tentang alam yang dilalui oleh Nabi Muhammad Saw, yaitu: bumi sebagai alam Jin (alam antara bumi dan langit pertama), alam barzakh, alam akhirat (surga dan neraka), ditambah dengan Sidratul Muntaha, serta alam Qalam dan Lauh Mahfudz atau alam munculnya wahyu dan ilmu pengetahuan Tuhan secara aktual, Arasy dan Ahahabah, juga alam Jabarut. Dalam perjalanan tersebut Nabi Muhammad Saw dikejar oleh Ifrit yang membawa obor api. Kemudian memasuki alam barzakh dimana Nabi Saw melihat berbagai peristiwa yang ganjil khususnya berkaitan dengan siksaan terhadap manusia karena berbagai sebab yang berhubungan dengan amaliahnya selama hidup di dunia. Kemudian ia pun mengalami godaan dari berbagai golongan umat manusia yang disimbolkan dengan golongan umat Yahudi, Nasrani, kemewahan dunia, Iblis, dan tentang usia alam semesta yang disimbolkan dengan nenek-nenek tua renta yang genit. Di sana beliau juga dikisahkan bertemu dengan nabi-nabi sebelumnya, yaitu Nabi Adam As, Nabi Isa, Nabi Harun As, Nabi Musa As, Nabi Ibrahim As, setelah itu di Baitul Makmur, meninjau Al Kautsar, dan sampai di Sidratul Muntaha.

Salah satu contoh problematika objek terjemahan di sini dapat ditemukan pada sepenggalan frasa lafadz yang menyebutkan tentang perbedaan antar kata الحمار" " dan "بغال " sebagai upaya pendefinisian istilah "البراق". Lebih lengkapnya definisi tersebut berbunyi: "ثم أتى بالبراق مسرجا ملجما وهو دابة أبيض طويل فوق الحمار و دون البفال" . Definisi dari BSu (bahasa sumber) tersebut berarti "..kemudian Jibril datang dengan membawa Buraq yang berpelana dan bertali kekang. Buraq adalah seekor binatang kendaraan yang berwarna putih, tingginya melebihi 'khimar', dan tidak sependek 'bighal'.

Pemahaman melalui penerjemahan di atas akan nampak belum jelas walau berusaha sesetia mungkin menggambarkan sosio-konteks dimana dimensi kejadian itu terjadi, yaitu dengan tetap mempertahankan penggunaan istilah 'bagal', namun menerjemahkan pasangan katanya – himar- dengan “keledai”. Karena jika dijelaskan langsung dalam narasi teks terjemahan secara otomatis akan menghasilkan penggunaan bahasa yang tidak efektif ke dalam bahasa Indonesia sebagai BSa (bahasa sumber). Sehingga salah satu istilah tersebut mutlak dicarikan padanan kata keduanya ke dalam bahasa Indonesia dengan menilik pada beberapa referensi bahasa asli yang mendekati pada makna sesuai dimensinya.

Pencapaian pada pemahaman makna “الحمار” kemudian dapat peneliti peroleh dari literatur kamus Al Munjid mempunyai arti: "hewan yang dikenal jinak juga ada yang liar". Berbeda halnya dari literatur kamus Al Munawwir yang menyebutkan makna kata tersebut hanya berarti 'keledai'. Sedangkan kata "البفال" nampak lebih asing lagi dalam kosakata bahasa Indonesia yang hampir tidak bisa ditemukan. Namun kesulitan pemahaman ini akan terpecahkan ketika merujuk pada kamus Al Munawwir bahwa makna kata tersebut digambarkan dengan penjelasan 'peranakan kuda dengan keledai' tanpa ada satu istilah khusus di dalamnya. Terlebih dalam kamus bahasa asal seperti Al Munjid hanya mendeskripsikannya dengan 'sekawanan hamir dalam perjalanan' juga belum cukup menjelaskan.

Berkaitan dengan permasalahan penerjemahan kasus padanan makna di atas peneliti menempuh dua penyelesaian; dengan tetap mencamtumkan padanan kata BSu jika memang terdapat pada BSa, dan atau dengan menjelaskan pada redaksi tersendiri pada bagian footnote jika tidak ditemukan padanan katanya dan membutuhkan penjelasan yang cukup pada bagian redaksi lain. Sehingga terjemahan bahasa Indonesia yang sesuai dengan konsepsi tersebut adalah: “…Buraq adalah kendaraan yang berwarna putih, tingginya melebihi keledai, namun tidak setinggi ‘baghal”. Dengan penambahan catatan footnote bahwa ‘baghal’ adalah hewan hasil peranakan kuda dengan keledai’.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup persoalan yang akan diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah. Berkenaan dengan latar belakang di atas dan sesuai dengan judul yang diangkat, maka dalam penelitian ini peneliti membatasi masalah-masalah yang hendak dibahas menjadi sebagai berikut:

1. Bentuk kalimat atau kata maupun frasa mana sajakah yang mengandung padanan makna dalam kitab Dardiir Mi’raj karya Najmuddin Al Ghaitiy?

2. Bagaimana cara menerapkan teknik ekuivalensi dalam penerjemahan kitab Dardiir Mi’raj karya Najmuddin Al Ghaitiy?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan sebuah kajian atau penulisan adalah rumusan singkat dalam menjawab masalah penulisan sebagaimana yang di jelaskan oleh Kaelan, (2005:234). Sehingga, sesuai dengan batasan masalah di atas, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan dan manfaat. Di antara tujuan-tujuan itu adalah:

1. Mengetahui problem penerjemahan padanan makna yang terdapat dalam kitab Dardiir Mi’raj karya Najmuddin Al Ghaitiy.

2. Memberikan solusi penerjemahan ekuivalensi dari frasa-frasa kalimat yang belum terurai secara lebih kompleks dan detil ke dalam bahasa Indonesia yang lebih komunikatif.

Sedangkan manfaat-manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan eksplanasi tentang padanan makna kata, frasa, maupun kalimat secara tepat .

2. Membantu mengatasi problematika penerjemahan naskah keagamaan klasik.

3. Memperkaya khazanah keislaman sebagai literatur penting dan mudah dipahami.

D. Landasan Teori

Penerjemahan, merujuk pada pendapat Chakraborty (1976:5) menyatakan bahwa: translation is an important activity with high cultural significance…… Thus translators are among the oldest profession. They first liquidated the void of the linguistic space …… translators are, then, the annihilators of the void created by linguistic time. Karena sangat penting peran dan fungsinya, sampai-sampai seorang penerjemah dituntut untuk menguasai kesesuaian antara dua kebudayaan tinggi dari BS dan BP yang ia kaitkan. Mengingat aktifitas penerjemahan menjadi sebuah profesi yang paling lama ada sejak dahulu, bahkan boleh dikatakan tiap kali manusia menjalani akifitas terjemah pada dasarnya bermula dari relasi dengan objek di luat dirinya.
Penerjemahan sebagaimana dikatakan oleh Simson (1984:30) mengungkapkan bahwa: “the advantages of translation study are as a means of communication, as the aid to eliminate misunderstanding due to cultural differences and to prevent war among nations”. Tanggung jawab penerjemahan ini sudah barang tentu sama urgennya dengan hubungan sebuah jalinan komunikasi, yaitu berusaha menghindari seminimal mungkin kesalahpahaman yang mungkin saja terjadi antara dua budaya yang berbeda khususnya antar bangsa-bangsa.

Lebih lanjut, untuk mendalami bidang ini Jakobson (1959/2000: 114), -dengan pendekatan sifat makna linguistik dan padanan kata- mengelompokkan terjemahan ke dalam tiga kelompok:

- terjemahan intralingual, atau penyusunan kata-kata kembali (rewording); suatu interpretasi tanda-tanda verbal dengan menggunakan tanda-tanda lain dalam bahasa yang sama .

- terjemahan interlingual, atau terjemahan yang sebenarnya: suatu interpretasi tanda-tanda verbal dengan menggunakan bahasa lainnya.

- Terjemahan intersemiotik, atau transmisi: suatu interpretasi tanda-tanda verbal dengan menggunakan sistem tanda non-verbal.

Dari, ketiga hasil pengelompokkan tersebut dalam perjalanannya terjemahan interlingual merupakan terjemahan tradisional yang menjadi fokus kajian-kajian terjemahan (translation studies) dan memiliki tujuan utama sebagai berikut:

- Untuk mendeskripsikan fenomena penerjemahan dan terjemahan sebagaimana keduanya nyata di dunia pengalaman kita.

- Untuk menetapkan prinsip-prinsip umum dengan menggunakan fenomena-fenomena yang dapat dijelaskan dan dapat diprediksikan.

Dari sini dapat peneliti garis bawahi bahwa dalam proses penerjemahan seorang penerjemah berusaha sebisa mungkin mengacu pada fenomena penerjemahan dan terjemahan serta prinsip-prinsip umum dengan fenomena yang dapat dijelaskan dan diprediksikan tersebut. Artinya, ia dituntut untuk menjembatani tidak hanya makna teks BS saja, namun juga mampu mempersempit nuansa ruang dan waktu antara BS dan BP dan bahkan prediksi yang mungkin mengarah pada ketepatan maksud yang tersirat.

Dalam hal ini, Holmes (dalam Sorvali, 1996: 21) membagi studi penerjemahan menjadi dua jenis, yaitu studi penerjemahan deskriptif dan studi teori penerjemahan. Studi penerjemahan deskriptif selanjutnya dibagi menjadi studi penerjemahan yang berorientasi pada (1) produk, (2) fungsi, dan (3) proses. Bahkan, paradigma baru penelitian penerjemahan memandang proses penerjemahan sebagai objek utama kajian penelitian penerjemahan (Hatim dan Mason, 1990).

Penelitian yang berorientasi pada proses berusaha mengungkap proses kognitif atau “kotak hitam” (black box) penerjemah. Karena proses kognitif itu tidak bisa diamati secara langsung, para peneliti di bidang ini memanfaatkan teknik TAP (Think-Aloud Protocol) dan wawancara untuk menggali data tentang proses pengambilan keputusan sebagai objek utama kajian mereka.

Teknik TAP ini menghendaki penerjemah memverbalisasi segala sesuatu yang dipikirkannya pada saat dia menerjemahkan (lihat House & Blum-Kulka, 1986; Gerloff, 1988 & 1986; Krings, 1986; Kiraly, 1997, 1995 & 1990; Ritta, 1989). Informasi inilah kemudian dianalisis dan dipandang sebagai indikator proses penerjemahan.
Dalam konteks penerjemahan kitab Dardiir Mi’raj karya al hafidz Najmuddin al Ghaitiy, peneliti banyak menemukan "kotak hitam" yang masih perlu diterjemahkan bahkan kadang dijelaskan secara lebih detil pada bagian tertentu. Problem "kotak hitam" itu adalah padanan makna yang mesti dikembangkan secara lebih serius mengingat beberapa istilah kata, kalimat, maupun frasa ditemukan terjebak dalam sosio-budaya BSu dan cenderung tidak minim dalam daftar kosakata bahasa Indoneisia sebagai BSa dimana ia dibaca dan diterjemahkan.

Berdasarkan teori tersebut, peneliti akan mencoba menerapkannya dalam mencari acara menerjemahkan dan member solusi penerjemahan dalam terjemahan kitab Dardiir Mi’raj karya al hafidz Najmuddin al Ghaitiy.

E. Metodologi Penerjemahan

Model penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dalam sebuah ruangan kepustakaan dengan mengumpulkan sumber-sumber data, menelaah, dan mengkaji berbagai literature atau bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan judul penelitian. Sehingga peneliti memperoleh data dan informasi dari berbagai media baik buku maupun melalui media teknologi yang ada. Adapun sumber data tersebut ada dua yakni berupa data primer dan data sekunder.

a. Data Primer adalah sumber data yang dijadikan objek penelitian secara langsung. Yakni berupa kitab Dardiir Mi’raj karya al hafidz Najmuddin al Ghaitiy.

b. Data Sekunder adalah sumber data yang berfungsi untuk mendukung dan menunjang proses penelitian. Yaitu berupa kamus dan literatus lain yang juga mutlak digunakan. Seperti kamus Al Munawwir; Arab – Indonesia, kamus Hans Wehr; Arab – Inggris, kamus al Munjid; Arab –Arab, dan buku-buku teori terjemahan seperti buku “Teori dan Praktek Penerjemahan Arab Indonesia” karya Syihabuddin.

Adapun untuk mendapat solusi yang tepat, peneliti menggunakan metode penerjemahan komunikatif sebagaimana yang telah dijelaskan pada landasan teori dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data, yaitu peneliti mengumpulkan frasa-frasa kalimat yang mengandung ekspresi dalam kitab tersebut.

2. Analisis data, yaitu peneliti menganalisis frasa-frasa kalimat yang mengandung ekspresi dalam kitab tersebut.

3. Solusi penetuan terjemahan dengan menggunakan teknik TAP, sebagaimana dijelaskan di atas yaitu dengan merujuk pada beberapa literature klasik maupun kontemporer lainnya, juga korespondensi wawancara pakar bahasa Indonesia.

F. Kajian Pustaka

Berdasarkan tahapan observasi, peneliti tidak menemukan hasil terjemahan kitab Dardiir Mi’raj karya al hafidz Najmuddin al Ghaitiy. Baik pencarian melalui browsing internet, kepustakaan, took buku bahkan para pegiat terjemah. Termasuk disini adalah belum adanya skripsi yang mengkaji tentang problematika padanan makna dalam istilah kitab klasik sebagaimana terdapat dalam kitab Dardiir Mi’raj karya al hafidz Najmuddin al Ghaitiy. Dengan demikian, peneliti menilai penelitian ini layak dilakukan.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk menunjukkan arah dan konsistensi penelitian serta mempertegas korelasi antar bab dalam penelitian ini agar sesuai dengan objek yang dikaji, sistematika yang alan digunakan adalah sebagai berikut:

Bab Pertama adalah Pendahuluan; terdiri dari: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, sistematika pembahasan, dan kerangka teori.

Bab Kedua adalah Profil; tentang Kitab Dardiir Mi’raj karya al hafidz Najmuddin al Ghaitiy berikut hasil terjemahannya meliputi: identitas, ringkasan buku, biografi penulis, dan hasil terjemahan.

Bab Ketiga adalah Analisis; mencakup inventarisasi padanan makna terjemahan yang terjadi dengan ekspresinya yang ada dalam kitab Dardiir Mi’raj karya al hafidz Najmuddin al Ghaitiy sekaligus cara penerjemahan dan solusi penerjemahannya.

Bab Keempat adalah Penutup; berisi kesimpulan dan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.

Pada bagian akhir disertakan lampiran teks asli dari kitab Dardiir Mi’raj karya al hafidz Najmuddin al Ghaitiy.

H. Kerangka Skripsi

HALAMAN JUDUL
MOTO DAN PERSEMBAHAN
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAKSI
DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
d. Landasan Teori
e. Metodologi Penelitian
f. Kajian Pustaka
g. Sisrematika Pembahasan
h. Kerangka Skripsi

BAB II: PROFIL KITAB DARDIIR MI’RAJ KARYA NAJMUDDIN AL GHAITIY DAN TERJEMAHANNYA
a. Identitas Buku
b. Ringkasan Buku
c. Biografi Penulis
d. Hasil Terjemahan

BAB III: ANALISIS KITAB DARDIIR MI’RAJ KARYA NAJMUDDIN AL GHAITIY DAN PROBLEMATIKA PENERJEMAHANNYA
a. Inventarisasi Frasa Kalimat yang Mengandung Ekspresi Penerjemahan
b. Proses Penerjemahan Unifikasi Penerjemahan Konten dan Catatan

BAB IV: PENUTUP
a. Kesimpulan
b. Saran dan Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
CURRICULUM VITAE


I. Daftar Pustaka

Ahmad Watson Munawwir, Kamus Al Munawwir karya, (Surabaya: Pustaka Progresif), tahun 1997

Drs. Abdurrahman Suparno, MApp So, Ph.D & Mohammad Azhar, Mafaza; Pintar Menerjemahkan Bahasa Arab – Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Absolut), tahun 2005.

Hans Wehr, An Introduction in A Dictionary of Modern Written Arabic, (cetakan ke-3), (Beirut: Librarie Du Liban), 1980

Halimatussa’diah, An Investigation Into The Translation of Computer-Related Terminology in A Computer Magazine: With Special Reference to Chip Computer and Communication Magazine, (Thesis for The Degree Of Master of Arts In USM University Sains Malaysia), June 2008

M.R. Nababan. Aspek Genetik, Objektif, dan Afektif Dalam Penelitian Penerjemahan (Dalam Jurnal LINGUISTIKA., Vol. 14 No. 26 Universitas Sebelas Maret Surakarta), Maret 2007

Pius A. Partanto & M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola), tahun 1994

Rohwani Siregar, Analisis Penerjemahan Dan Pemaknaan Istilah Teknis; Studi Kasus Pada Penerjemahan Dokumen Kontrak”, (sebuah Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara), 2009,

Syihabuddin, Teori Dan Praktek Penerjemahan Arab – Indonesia, (Jakarta: P4T Dirjen PT Depdiknas), tahun 2002.

MENELUSURI JEJAK I’JAZ AL-BALAGHIY (Antara Dua Sejoli Amin al-Khulli dan Bint al-Shati’)

Oleh: Cholid Ma’arif


A. Pendahuluan

Syeikh Abdullah Darraz pernah mengatakan bahwa “Alqur’an itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya. Kalau saja Anda berikan kesempatan pada rekan Anda untuk melihat kandungan ayat Alqur’an boleh jadi ia akan melihat lebih banyak dari yang Anda lihat. Dalam ranah akademis, Alqur’an berkembang dalam proses pembacaannya terhadap realitas kekinian. Ia tidak hanya cukup dibaca dengan kacamata nasikh mansukh saja, namun juga banyak komponen lainnya yang harus digunakan, seperti: munasabah ayat, mutsyabihat, I’jaz alqur’an, asbabun nuzul, qawa’id l-tafsir, dan banyak lagi lainnya yang kesemuanya itu terangkum dalam pembahasan ‘ulumul qur’an.

Implikasi dari adanya komponen tersebut menimbulkan sebuah pernyataan sebagaimana menurut Fazlur Rahman bahwa Alqur’an tidak hanya sebatas menjadi “undang-undang” bagi hokum Islam, namun ia lebih dari “semangat religious” dari hukum Islam. Alqur’an dengan seperangkat ilmunya tidak cukup berhenti dalam ranah buku sumber semata yang kemudian bersifat mutlak tanpa penafsiran yang dapat dipertanggungjawabkan sekalipun. Namun, kekayaan khazanah Alqur’an ini kadang menjadi bias kepentingan jika tidak disertakan dengan metodologi dan cara pandang yang otentik akan muatannnya. Alih-alih bisa saja mungkin menjadi “kendaraan akan kepentingan suatu golongan atau individu” sebagaimana lingkup ruang dan waktu Alqur’an itu dibaca.

Berangkat dari kegelisahan inilah kemudian muncul dua tokoh besar tafsir kontemporer yang bermaksud mengawali dalam pengungkapan I’jaz Alqur’an secara objektif dan nyata. Mereka adalah Amin al-Khulli dan Bint al-Shati’, yang melandaskan pada kajian sastrawi dan lughawi Alqur’an dan relevansinya dengan problematika kekinian. Dalam hal ini Amin al-Khulli pernah mengatakan bahwa pembaharuan selalu diawali dengan ikhtiar merekonstruksi pemahaman masa lalu. Bagaimanakah ketokohan dan metode praktis I’jaz yang digunakan akan sedikit dijelaskan sebagai berikut.

B. Selayang Pandang Amin al-Khulli dan Bint al-Shati’

Nama lengkap Amin al-Khulli adalah Amin ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Amir ibn Ismail ibn Yusuf al-Khulli. Keluarganya adalh keluarga pendekar Arab yang gagah pemberani dan kental nuansa keagamaannya. Kakek Amin al-Khulli dari pihak ibunya (Fatimah) ini adalah Syeikh Ali Amir al-Khulli yang terkenal dengan sebutan “al-Sibhi”, seorang alumni al-Azhar dengan spesialisasi Qira’at. Dia lahir pada awal bulan Mei 1895.
Pada usia tujuh tahun Amin tinggal bersama pamannya dan di-gembleng dengan pendidikan agama yang sangat ketat seperti menghafal Alqur’an, menghafal tajwid al Tuhfah dan Al Jazariah, fiqh, dan nahwu. Adapun kitab yang wajib dihafal adalah al-Samsia, al-Kanz, al-Jurumiah dan matan Alfiah. Dalam penghafalan itu dia diberi keistimewaan yakni di usia yang kesepuluh tahun dia sudah hafal Alqur’an khususnya Qira’at Hafs dalam waktu singkat 18 bulan.

Sedangkan pada usia yang ke-15, selama enam bulan enam hari Amin al-Khulli masuk akademi hukum (Madrasah al-Qada Al-Syar’i) dengan mata ujian masuk hafalan Alqur’an lengkap, membaca kitab dan mengarang dalam bidang fiqih dan nahwu. Selain itu juga mempelajari ilmu pengetahuan yang lain seperti Aljabar, matematika teoritis, astronomi, fisika, kimia, sejarah, sampai geografi. Di samping itu juga aktif dalam organisasi yang diikuti Ikhwan al-Shofa dengan aktifitas di bidang seni dan sastra.
Kemudian pada tahun 1917 dia menulis tesisi dengan judul “al-Jundiyyah al-Islamiyyah wa Nadhmuha” yang diterbitkan tahun 1960 dengan judul “al-Jundiyyah wa Silmu Waqi’ wa Nissal” dan artikel yang ditulis “al-Madinah al-Jundiyyah fi Siqhiyyah, al-Ashlihah al-Nariyyah fi al-Juyus al-Islamiyyah, dan Jundiyyah fi al-Islam.
Setelah mengecam berbagai aktifitas intelektual maupun sosial politik dengan penuh semangat dan tanggungjawab, semata demi kemajuan agama, negara, dan bangsa yang penuh segala suka, baik di bidang seni dan sastra, ada akhirnya yakni bertepatan pada hari Rabu tanggal 06 Maret 1966 dalam usia yang ke-71 tahun sang Pendekar Sastra dan Pembaharu ini meninggal dunia.

Sedikit kesamaan setting akademis dengan Bint al-Shati’ yang memiliki nama asli ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman, seorang guru besar sastra dan bahasa Arab pada Universitas ‘Ain al-Syams, Mesir. Juga guru besar tamu pada Universitas Umm Durman, Sudan, dan guru besar tamu pada Universitas Qarawiyyin, Maroko. Dia lahir di Dumyat, sebelah barat delta Nil pada tanggal 06 November 1913, dari keluarga muslim yang saleh. Ayahnya, ‘Abd al-Rahman, adalah tokoh sufi dan guru teologi di Dumyat. Namun demikian, ia bukan orang asli Dumyat, melainkan dari daerah Syubra Bakhum, sebelah wilayah di Manufiyah. Setelah menyelesaikan pendidikan di al Azhar, ia menikah dengan putra Ibrahim Damhuji al Kabir, seotrang Syaikh al Azhar.

Pendidikan Bint al-Shati’ dimulai dari belajar membaca dan menulis Arab pada Syaikh Mursi di Shubra Bakhum, di tempat asal ayahnya, ketika ia berumur lima tahun. Selanjutnya ia masuk sekolah dasar untuk belajar gramatika bahasa Arab dan dasar-dasar kepercayaan Islam, di Dumyat. Setelah menjalani pendidikan lanjutan, pada tahun 1939, ia berhasil meraih jenjang Licence (Lc) jurusan Sastra dan Bahasa Arab, pada Universitas Fuad I, Kairo. Dua tahun kemudian Bint al-Shati’ menjalani jenjang Master, dan tahun 1950 meraih gelas doktor pada bidang yang sama dan lembaga pendidikan yang sama pula, dengan disertasi berjudul al-Ghufran li Abu al-‘Ala l-Ma’ari.

Karier akademik Bint al-Shati’ dimulai sebagai guru sekolah dasar khusus perempuan di al Mansuriah, 1929. Tahun 1932 menjadi supervisor pendidikan di sebuah lembaga bahasa untuk Inggris dan Perancis, tahun 1939 menjadi asisten lektur pada bahasa Arab di Universitas Kairo, menjadi inspektur bahasaArab pada Koran al Ahram, menjadi lektur pada bahasa Arab di Universitas ‘Ain l-Syam tahun 1950, menjadi asisten professor sastra Arab pada sebuah universitas yang sama pula tahun 1957, menjadi professor penuh untuk sastra Arab pada Universitas ‘Ain al-Syam tahun 1967.
Di samping minat dalam bidang pendidikan dan sastra, Bint al-Shati’ juga mempunyai bakat jurnalistik yang besar. Ia telah menulis artikel di mass media sejak di pendidikan lanjut, suatu prestasi yang jarang terjadi di lingkungannya. Bakat ini kemudian dikembangkan dengan penerbit majalah al-Nahdhah al-Nasiyah, tahun 1933, dimana ia sekaligus bertindak sebagai redakturnya.

C. Metodologi Pemahaman Alqur’an Menurut Amin al Khulli

Nama Amin al Khulli dalam dunia tafsir mungkin tidak terlalu banyak didengar. Nama tokoh yang sejak dini (10 tahun) sudah menghafal Alqur’an dan beberapa matan kitab Hadist ini justru tenggelam, sementara murid-muridnya banyak mendapat sorotan masyarakat. Diantara murid-murid beliau yang mampu memberikan pemikiran segar bagi studi Alqur’an adalah Nashr Hamid Abi Zaid, Muhammad Ahmad Khalf Allah, Syukri Ayyad, dan Bint al-Shati’.

Sumbangsih al Khulli setelah ia bergelut di dalam menelaah turats Arab Islam terutama dalam bidang humaniora, terletak pada gagasan prosedur memproduksi teks, dalam konteks ini Alqur’an. Meskipun beliau bukan yang pertama, namun kesadaran para ulama dalam pandangannya terhadap Alqur’an, sebelumnyamemiliki kecenderungan yang tidak sepadan dengan beliau. Para sarjana sebelum Abduh melihat Alqur’an dari sisi dogamtis-teologis. Sehingga memunculkan corak-corak tafsir ideologis yang sangat sectarian dan cenderung eksklusif untuk secara lapang dapat menerima gagasan di luar dirinya.

Untuk merenovasi bangunan tafsir semacam ini, Amin al Khulli merasa perlu merancang dari dasar pondasi yang baru. Prinsip yang harus dipegang mufassir sebelum menafsirkan Alqur’an, supaya tidak terjebak pada upaya mencari pembenar dari Alqur’an atas kecenderungan pribadinya, diusulkanlah olehnya dengan cara memandang Alqur’an sebagai sebuah karya sastra agung sebelum memandangnya sebagai kitab suci.

Pertama sekali Alqur’an harus dianggap sebagai kitab al ‘Arabiyyah al Kubra. Karena Alqur’an mengabadikan bahasa Arab, menjadi kebangan bahasa Arab dan ke-Arab-annya diakui oleh semua orang Arab apapun agama mereka. Dengan cara pandang ini Amin al Khulli memprediksi bahwa hasil akhir kesimpulan tentang Alqur’an akan sama oleh mufassir yang muslim, maupun orang Kristen, kaum pagan, materialis, atau bahkan atheis.

Untuk mewujudkan cita-cita penafsiran ini Amin al Khulli menetapkan tugas pokok seorang mufasssir dalam aksi penafsiran dengan langkah studi eksternal teks (dirasah ma hawla Alqur’an) dan studi internal teks (dirasah maa fi Alqur’an nafsihi).
Dua persyaratan ini menjadi keharusan bagi seorang mufassir yang ingin melahirkan tafsirnya bersifat sastrawi. Jadi seorang mufassir harus melacak terlebih dahulu lingkungan material maupun non-material yang ada ketika Alqur’an turun, hidup, dihimpun, dibaca, dan dihafal, juga bagaimana Alqur’an berbicara pada audiensnya yang pertama.

Sedangkan studi aspek internal Alqur’an dimaksudkan bahwa seorang mufassir harus melacak perkembangan makna dan signifikansi kat-kata tertentu Alqur’an dalam bentuk tunggalnya. Kemudian dilacak indikasi makna ini dalam setiap generasinya agar dapat dilihat pergeseran makna dalam berbagai generasi serta pengaruhnya secara psikologis sosial dan peradaban umat terhadap pergeseran makna.

D. Kecenderungan I’jaz Alqur’an Menurut Bint al Shati’

Bint al Shati’ sebagai penerus pemikiran sang suami, adalah sosok yang telah meneruskan al Khulli untuk mengungkap dan memahami Alqur’an perspektif sastra yang dicetuskannya sebagai tawaran yang leih dapat mengarah objektifitas pemahaman non-ideologis-teologis. Secara jujur, Bint al Shati’ mengakui bahwa metode yang beliau pakai ia peroleh dari guru besarnya di Universitas Fuad I.
Bint al Shati’ meyakini bahwa Alqur’an menjelaskan dirinya dengan sendirinya, kedua Alqur’an harus dipelajari dan dipahami keseluruhannya sebagai suatu kesatuan yang karakteristik dalam ungkapan dan gaya bahasa yang khas, dan ketiga penerimaan atas tatanan kronologis Alqur’an tanpa menghilangkan keabadian nilainya.
Berdasarkan tiga dictum atau basis pemikiran di atas, Bint al Shati’ mengajukan metode tafsirnya, yang menurutnya diambil oleh dan dikembangkan dari prinsip-prinsip metode penafsiran al Khulli yang terdiri dari empat langkah:

1. Memberlakukan apa yang ingin dipahami dari Alqur’an secara objektif, dan hal ini dimulai dengan pengumpulan semua surah dan ayat mengenai topic yang ingin dipelajari.

2. Untuk memehami gagasan tertentu yang terkadang di dalam Alqur’an, menurut konteksnya, ayat-ayat di sekitar gagasan itu harus disusun menurut tatanan kronologis pewahyuan, hingga keterangan-keterangan mengenai wahyu dan tempat dapat diketahui.

3. Karena bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam Alqur’an, maka harus dicari arti linguistic aslinya yang memiliki rasa keakraban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya. Dengan demikian makna Alqur’an diusut melalui pengumpulan seluruh bentuk kata dalam Alqur’an dan mempelajari konteks spesifik kata itu dalam ayat-ayat dan surah-surah tertentu serta konteks umumnya dalam Alqur’an.

4. Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, seorang mufassir harus berpegang pada makna nash dan semangatnya (maqashid al syar’i), kemudian dikonfrontasikan dengan pendapat para mufassir. Namun hanya pendapat yang sejalan dengan maksud teks yang bisa diterima sedangkan penafsiran yang berbau sectarian dan israiliyyat bias dijauhkan.

Kesimpulan Bint al Shati’ dari hasil pembacaan terhadap Alqur’an bahwa apa yang oleh sebagian ahli linguistic dipandang sinonim-sinonim, pada kenyataannya tidak pernah muncul di dalam Alqur’an dengan pengertian yang benar-benar sama.

Penggunaan kata kerja di seputar peristiwa kiamat, baik dalam bentuk pasif (majhul) atau lainnya yaitu bentuk-bentuk VII dan VIII. Bint al Shati’ menyatakan para mufassir dan ahli retorika telah menyibukkan diri dengan pertimbangan-pertimbangan tata gaya penekanan Alqur’an pada kepasifan alam raya pada hari kiamat, ketika semua ciptaan secara sponan tunduk kepada peristiwa-peristiwa yang dahsyat pada hari itu. Lebih jauh bentuk kata kerja pasif mengkonsentrasikan perhatian pada peristiwa dan mengabaikan sang pelaku actual, bentuk VII dan bentuk VIII secara kuat menunjukkan ketundukan ketika peristiwa berlangsung.

Dengan aturan bahwa ayat-ayat yang setema disusun secara kronologis pewahyuan, bias diketahui secara lebih meyakinkan tentang proses penetapan hukum dan arah tujuannya. Hal ini antara lain terlihat pada proses dan kronologi pelarangan minuman keras.
Dalam kaitannya dengan pemahaman teologis, bahwa kehendak yang diakui adalah yang berupa tindakan, bukan sekedar abstraksi intelektual atau suatu sifat, serta kehendak ini tidak bisa dipaksakan. Hal ini didasarkan atas studi bahwa kata “arada” (berkehendak) muncul sebanyak 140 kali; 50 kali dinisbatkan kepada Tuhan, 90 kepada makhluk. Kata ini tidak pernah muncul dalam bentuk kata kerja abstrak “iradah”, tetapi dalam bentuk madhi dan kata kerja sekarang serta masa depan.

Salah satu contoh penafsiran Bint al Shati’ dengan pendekatan sastra dapat dilihat bagaimana ia menafsirkan surat ad Dhuha. Menurutnya, surat Dhuha dimulai dengan qasam wawu. Pendapat yang berlaku di kalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa sumpah Alqur’an ini mengandung makna pengagungan terhadap muqsam bih (objek yang digunakan untuk bersumpah). Gagasan ini berkembang luas, sehingga menyeret mereka untuk melakukan pemaksaan di dalam menjelaskan segi keagungan pada setiap hal yang digunakan Alqur’an untuk bersumpah dengan wawu.

Qasam dengan wawu pada umumnya adalah gaya bahasa yang menjelaskan makna-makna dengan penalaran inderawi. Keagungan yang tampak dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik yang kuat. Sedangkan pemilihan muqsam bih dilakukan dengan memperhatikan sifat yang sesuai dengan keadaan. Menelusuri sumpah-sumpah Alqur’an seperti terdapat dalam ayat ad Dhuha, kita menemukannya dikemukakan sebagai latifah (penarikan perhatian) terhadap suatu gambaran materi yang dapat diindera, dan realitas yang dapat dilihat, sebagai inisiatif ilustratif bagi gambaran lain yang maknawi dan sejenis, tidak dapat dilihat dan diindera.

Dengan demikian, Alqur’an dengan sum[pah-sumpahnya dalam surah ad Dhuha menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran, atau kesesatan dan kebatilan. Dengan materi-materi cahaya dan kegelapan. Penjelasan yang maknawi dengan hissi ini dapat kita kemukakan pada sumpah-sumpah Alqur’an dengan wawu. Sehingga dapat diterima tanpa paksaan dalam penakwilan ayat-ayat.



DAFTAR PUSTAKA


Yusron, Drs, HM, MA., dkk, “Studi Kitab Tafsir Kontemporer”, Yogyakarta: Teras Press, 2006.
Rahman, Fazlur, “Tema Pokok Alqur’an”, Bandung: Penerbit Pustaka, 1980.
Setiawan, Nur Kholis, Dr, Phil, HM, “Akar-Akar Pemikiran Prograsif Dalam Kajian Alqur’an”, Yogyakarta: Elsaq Press, 2008
Al Khulli, Amin, Kamil Sa’fan, Kairo: al Haiah al Mishriyyah al Amamah lil Kitab, 1982
Boullata, Issa J, “Pengantar Tafsir Bint al Shati’”, (terj.) Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizan, 1996.
Mansur, Muhammad, “Amin al Khulli dan Pergeseran Paradigma Tafsir Allqur’an”, Jurnal studi Ilmu-Ilmu Alqur’an dan Hadist, Vol. 6 No. 2, Juli, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005
Muhammad Amn, “A Study of Bint al Shati’ Exegesis, Kanada: Tesis Mc gill, 1992
Abdurrahaman, ‘Aisyah, Dr, “Tafsir Bint al Shati’”, Bandung: Mizan, 1996