Senin, 27 September 2010

"CUMA MASALAH BAHASA, ISLAM SUDAH BAHAS ITU SUDAH LAMA"


oleh خالد معارف pada 25 Juni 2009 jam 5:58

Oleh: Cholid Ma’arif,

Wawancara Eklusif bersama:
Dr. Phil. H. M. NurKholis Setiawan

“NUR KHOLIS SETIAWAN: ITU HANYA MASALAH BAHASA SAJA…”

Akar-akar progresifitas dalam Islam sejatinya sudah ada sejak zaman Nabi dan para sahabat dengan berorientasi pada wahyu Ilahi. Terlebih dalam rangka merespon problematika umat kekinian kerap kali pemikiran ‘nakal’ itu sangat diperlukan. Inilah komentar Dr. Phil. H. M. Nur Kholis Setiawan, -Ketua dewan Pakar Ma’had Ali PP. Wahid Hasyim- Yogyakarta, ketika diwawancarai di kediamannya, tadi malam, Selasa (21/10).

Red: Bagaimana tanggapan Bapak tentang perkembangan islam kontemporer ? di Indonesia khususnya.

Koresponden: Baru-baru ini saya cukup gusar dengan pengecapan beberapa kelompok –yang mengaku kanan- kepada kelompok islam progesif sebagai sesuatu yang liberal. Padahal dalam substansinya, progesif itu merupakan embrio pemikiran yang positif. Lha wong liberal itu juga bukanlah sesuatu yang haram asalkan tidak salah memahami.

Red: Secara konkrit, apa yang paling melatar-belakangi kegelisahan Bapak dalam hal ini ?

Koresponden: Saya memandang perlu untuk meluruskan hal ini terkait dengan tulisan Hartono Ahmad Jaiz dan Adian Husaini dalam bukunya yang sudah terbit. Mereka terlalu apostik untuk menilai islam liberal sebagai sesuatu yang kafir. Dalam bukunya dikatakan dengan penuh emosional tanpa argumentasi yang mendasar.

Red: Lalu, langkah nyata apa yang Bapak tempuh untuk menindaklanjutinya ?

Koresponden: Dalam buku saya yang terbaru berjudul “Akar-Akar Pemikiran Progresif Dalam Kajian Al Qur’an”, disitu saya menelusuri akar progresifitas pemikiran adalah memang bersumber dalam al Qur’an. Dalam kajian ini saya membantah pandangan mereka dengan banyak mengambil rujukan pada penafsiran al Qur’an. Tanya kenapa .. Karena saya tahu mereka –Hartono, Cs- adalah orang yang nggak bisa ngaji. Otomatis mereka tidak akan mampu berdebat lagi lebih lanjut untuk hal semacam ini.

Red: Apakah berarti Bapak setuju alias mendukung gerakan islam liberal di Indonesia ?

Koresponden: Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak dalam posisi mendukung atau tidak mendukung. Kalaupun dianggap setuju, mungkin lebih karena nilai progresifitas pemikiran islam itu sendiri. Memang sebagai orang yang beragama kita harus fanatik. Bukan beragama namanya kalau kita tidak fanatik percaya pada tuhan. Artinya kefanatikan kita itu tetap kita tempatkan pada tempatnya. Karena beragama itu beda dengan kehidupan beragama.

Red: Sejauh mana Bapak mengenal JIL di Indonesia ini ?

Koresponden: Disisi lain mereka –JIL- ini kasihan juga. Karena sebenarnya mereka juga dalam rangka ‘golek upo’ (baca; cari nafkah). Dulu suatu hari saya pernah duduk bareng Ulil Abshar Abdalla –perintis JIL Indonesia- ketika di Jakarta sana, kita pas lagi ngobrol, saya tanyai dia. ‘sakjane iki kowe nyapo sudi ngelem-ngelem Amerika? Lha wong aku wis urip nang kono 8 tahun ora aku nggumun, trimo kowe dikon ngomong liberal nang kene gelem bae disanguni’. Saya gini kan karena saya tahu kalau mereka itu memang sebenarnya di-funding oleh Amerika.

Red: Apa yang dapat disimpulkan dari pengalaman pertemuan Bapak dengan JIL ini ?

Koresponden: Menarik disini adalah ketergantungan mereka –liberal- pada kecenderungan dunia Barat hanya untuk mengusung pemikiran yang sebenarnya juga bukan barang baru kita. Karena sesungguhnya nilai-nilai liberal, progresif, pluralis dan sebagainya itu sudah dinyatakan oleh al Qur’an dan Hadits, terlebih-lebih dalam kitab Jam’ul Jawami’. Sedangkan kenyataannya selama ini kita dengan bangganya mengatakan bahwa referensi kita adalah semacam Foucalt, Derrida, dan lain sebagainya. Nah, ini yang tidak diperhatikan oleh kaum intelektual islam Indonesia. Yaitu menerangkan sesuatu yang memang benar tetapi tidak menggunakan bahasa kaumnya. Yaitu kitab-kitab salafus shalih sebagai rujukan yang memang juga sudah mengurat akar dalam khazanah islam khususnya tradisi pesantren di Indonesia. Jadi hanya masalah bahasa, hingga sampai saat ini liberal masih agak di-emohi oleh banyak kalangan sesepuh pesantren. Tidak aneh kemudian kalau kerap kali aktornya dianggap ‘kafir’ .

Red: Harapan Bapak solusi apa untuk menengahi sekian permasalahan tersebut ?

Koresponden: Ya, seperti yang saya katakan tadi. Kalaupun kita menularkan sesuatu ya mbok jangan terlalu dengan bahasa idealis ke-Barat-an lah dengan menjadikan semisal Derrida dan Foucalt sebagai referensi progresifitas pemikiran Islam. Artinya, saya yakin kalaupun kita melakukan hal itu tetapi dengan merujuk pada kitab Jam’u al-Jawami’ misalnya, toh itu khan juga tradisi kita sebagai insan pesantren. Sehingga mereka bahkan kiai salaf semuanya pasti akan memahami dan menyetujui wacana tadi.

Red: Kalaupun masih saja belum mempan dengan solusi tersebut ?

Koresponden: Dalam hal ini mungkin saya sepakat untuk meminjam istilah almarhum Prof. Mukti Ali dengan ‘agreement in disagreement-nya. Atau bisa juga mengikuti hasil Perjanjian Wina yang menyimpulkan bahwa ‘religion defined, mission uinted’. Jadi, agama atau keyakinan boleh beda, tapi kita tetap satu misi untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia. (red.cho)

sangkanparan: KONSEP PENEGAKAN PLURALISME DALAM PERSPEKTIF PARTA...

sangkanparan: KONSEP PENEGAKAN PLURALISME DALAM PERSPEKTIF PARTA...: "Oleh: CHOLID MA’ARIF NIM. 06110006 JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS ADAB UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2009 BAB I PENDAHULUAN I..."

KONSEP PENEGAKAN PLURALISME DALAM PERSPEKTIF PARTAI NASIONALIS DAN PARTAI ISLAMIS DI INDONESIA

Oleh:
CHOLID MA’ARIF
NIM. 06110006


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2009

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia adalah salah satu bangsa dan Negara yang sangat beragam agama, suku, etnis, bahasa dan budanyanya. Sebagai bangsa yang beragam isisnya, Indonesia merupakan salah satu bangsa yang merepresentasikan apa yang kemudian dikenal dengan bangsa yang multicultural. Dalam konteks ke-Indonesiaan, hal itu lazim disebut dengan bhinneka.  Dilengkapi dengan peristilahan tunggal ika menyadarkan akan tujuan utama untuk selalu berpijak dalam Negara kesatuan Republik Indonesia.

Ke-bhinneka tunggal ika-an tersebut termanifestasikan dalam bahasa yang lebih kontemporer dikenal dengan istilah pluralisme. Seiring dengan dinamika tersebut di atas pada saat memang kekinian kontras dalam seremoni Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 yang telah dilaksanakan –walaupun tidak secara serentak- beberapa hari lalu. Kontras karena sudah selayaknya praktek demokrasi menjadi ungkapan dehumanisasi politik di Indonesia ini dijalankan sebagai bentuk simbolisasi pluralisme bernegara –walaupun hal ini kadang perlu kritikan yang konstruktif.

Dalam perhelatan perpolitikan bangsa Indonesia pasca pemilu 2009 beberapa hari yang lalu sampai kini telah menunjukkan hal-hal yang monumental. Lepas dari permasalahan yang masih disisakan dalam proses pemilu -baik berupa pelanggaran adminstratif maupun pelanggaran pidana-2, beberapa partai sudah mulai nampak merespon hasil dari pemilu walaupun belum mencapai titik final. Diantaranya adalah seperti yang dilakukan oleh partai- partai yang masuk dalam sepuluh suara terbanyak pada tahun ini.

Hal ini Nampak sekali pada partai politik yang berpotensi menjadi “oposisi” di Dewan Perwakilan Rakyat mulai Nampak merapatkan barisan, yaitu Partai Demikrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Sementara itu Partai Golkar dan sejumlah partai menengah, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), melakukan pendekatan kepada partai “pemenang”, yaitu Partai Demokrat.

Titik temu ini kemudian menjadi menarik manakala penulis mencoba memfokuskan pada pembahasan nilai-nilai transenden di balik upaya koalisi tiga partai hasil Pemilu 2009 kali ini. Mereka adalah Partai Demokrat, PKS dan PKB. Disini penulis tidak akan melihat unsur ketertarikan pada jumlah perolehan suara yang masing-masing mereka dapat, melainkan semata pada platform dan nilai pergerakan perjuangan politik yang diusung oleh masing-masing partai. Partai Demokrat dengan sikap perjuangan berbasis nasionalis-religiusnya, sementara PKB dengan sedikit perbedaan tetap dalam nilai religius-nasionalisnya, sedangkan PKS mengandung religious-parlementarisnya.

Secara global, penulis hendak menguraikan tentang nilai-nilai humanis yang terkandung dari sebuah upaya koalisi partai yang mungkin memang benar-benar akan tercipta ke depannya nantinya bagi bangsa ini. Untuk itu, tulisan ini bermaksud untuk membahas kecenderungan sikap pluralistik gerakan partai dalam merespon nuansa politik di Indonesia, dengan melihat profil dari masing-masing ketiga partai tersebut. Jelasnya untuk kemudian bagaimana kita kembali pada pokok persoalan pluralisme yang niscaya untuk tidak dinafikan dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga dapat dikatakan nantinya dengan pasti bahwa pluralisme mengandung pranata social yang antara lain berfungsi sebagai defense mechanism4 untuk memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat (Azyumardi Azra, 2003).
Struktur kajian tulisan ini dibagi menjadi empat bab:

Bab pertama, berisi tentang pendahuluan
Bab kedua, berisi tentang Konsep Penegakan Pluralisme Dalam Organisasi Politik
Bab ketiga berisi tentang Tiga Pendekatan Pluralisme Dalam Berpolitik
Bab keempat, berisi Ikhtisar; Etika berpolitik di tengah masyarakat plural

Penguraian tentang profil masing-masing partai ini berguna untuk mengetahui cara pandang dan pola gerak perjuangan politik setiap dirinya. Sehingga akan diketahui aspek-aspek pluralitas dan unsur-unsur kesamaan mana saja yang dominan mampu mempengaruhi upaya koalisi ketiga partai tersebut nantinya. Tentunya disini penulis tidak memandang dari pola kedekatan, prestasi, maupun perjalanan kariernya masing-masing. Terlebih memang tanpa bermaksud mendukung atau menjatuhkan salah satu partai yang ada di dalam pembahasan ini.
Dengan demikian tulisan ini difokuskan kepada studi bibliografik-analitik guna menghimpun pendapat para ahli dalam suatu organisasi atau untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai suatu hasil-hasil pemikiran yang telah ditulis dalam bidang tertentu. Termasuk dalam studi bibliografik ini, penulisan karya tertentu dari seorang penulis lain, dengan atau tanpa ulasannya (Winarno Surachman, 1972: 128).

Pertama sekali perlu kita memahami definisi partai adalah –menurut J. Friedrich, partai politik adalah:
is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leader to control of a government, with the further objective of giving to members of the party, through such control idel and material benefits and advantages
Artinya: partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan pengusaan terhadapa pemerintah bagi pimpinan partai-partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan ideal maupun materiil.













BAB II
KONSEP PENEGAKAN PLURALISME DALAM ORGANISASI POLITIK

1.OPENED-PLURALISME PARTAI KEBANGKITAN BANGSA

Partai Kebangkitan Bangsa adalah sebuah partai yang didukung oleh elit-elit organisasi sosial keagamaan NU serta didukung secara kultural oleh jam’iyah NU untuk menyikapi munculnya era reformasi.

Dengan upaya yang maksimal tidak hanya warga NU saja yang mengusulkan agar NU mempunyai suatu wadah politik sebagai aspirasi politik warga NU, tetapi secara kelembagaan banyak pengurus NU dari berbagai daerah juga meminta agar NU mempunyai lembaga politik yang dapat menampung dan memperjuangkan aspirasi warga NU.

Melihat fenomena tersebut, maka pada rapat harian Syuriah dan Tanfidliyah PBNU tanggal 3 Juni 1998, PBNU membentuk Tim Lima9 guna memnuhi berbagai macam tuntutan warga NU tersebut. Tim Lima yang dibentuk oleh PBNU tersebut juga dibantu oleh tim asistensi10 sebanyak Sembilan orang guna mempercepat kinerja dari Tim Lima tersebut.

Akhirnya partai yang dinanti-nantikan dan diharapkan dapat menampung berbagai aspirasi politik warga NU pada khususnya dan juga bagi seluruh rakyat Indonesia pada umumnya berdiri dan dideklarasikan pada tanggal 23 Juli 1998 di halaman Pondok Pesantren Luhur KH. Wahid Hasyim Ciganjur Jakarta Selatan dengan nama Partai Kebangkitan Bangsa yang akrab disingkat dengan PKB.

PKB didirikan oleh NU sebagai satu-satunya partai warga Nahdliyyin yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana tercantumdalam pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara lahir batin, material maupun spiritual dan mewujudkan tatanan politik yang demokratis, bersih dan terbuka serta ber-akhlakul karimah.

Meskipun berdirinya PKB yang dibidani dan difasilitasi oleh PBNU telah menyebabkan berbagai macam konflik internal dalam organisasi NU, apalagi setelah PKB menyatakan diri sebagai partai terbuka dan inklusif, tetapi para elit NU tetap menyatakan PKB bukanlah partai Islam sebab PKB tidak mencantumkan asas Islam dalam anggaran dasarnya melainkan mencantumkan Pancasila.

PKB adalah partai nasionalis yang ingin memperjuangkan bangsa dan negara. Ia menyadari bahwa cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka, bersatu, adil dan makmur, serta untuk mewujudkan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Cita-cita tersebut harus tetap dijaga dan dilestarikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Bahwa wujud dari bangsa yang mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran kebenaran, dipercaya, setia dan tepat janji serta mampu memecahkan masalah social yang bertumpu pada kekuatan sendiri, bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi, tolong-menolong dalam kebajikan, serta konsisten menjalankan garis/ ketentuan yang telah disepakati bersama.

PKB berpendapat, perwujudan dari cita-cita kemerdekaan tersebut menghendaki tegaknya demokrasi yang menjamin terciptanya tatanan kenegaraan yang adil serta pemerintahan yang bersih dan terpercaya, terjaminnya hak-hak asasi manusia, dan lestarinya lingkungan hidup bagi peningkatan harkat dan martabat bangsa Indonesia yang diridhop Allah Swt.

Dalam asas dan perjuangan PKB disebutkan bahwa partai ini berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyata, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.16 Bahkan dua tokoh terkemuka pada saat itu, KH. Abdurrahman Wahid dan juga Matori Abdul Jalil, secara terbuka dan blak-blakan menyatakan bahwa PKB bukanlah partai Islam, tetapi partai yang menginginkan berdirinya Negara sekuler karena melihat kemajemukan bangsa dan negara Indonesia.

Artinya perjuangan PKB terhadap hukum Islam bukan hanya dalam masalah politik, akan tetapi penegakan moralitas dan akhlak bangsa.18 PKB hanya ingin memperjuangkan nilai-nilai universal Islam seperti nilai kemerdekaan, keadilan, kebenaran, kejujuran, kerakyatan, persamaan, kesederhanaan, keseimbangan, dan persaudaraan sebagai cita-cita politiknya sesuai tertuang jelas pada lambing partai sembilan yang diartikan idealism partai yang memuat 9 (Sembilan) nilai, yaitu kemerdekaan, keadilan, kebenaran, kejujuran, kerakyatan, persamaan, kesederhanaan, keseimbangan, dan persaudaraan.

Dasar partai juga disebutkan fungsi PKB sebagai partai yang tidak eksklusif, toleran, demokratis, tidak memihak, menghargai HAM, demokrasi menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, local wisdom dan persamaan serta sangat menghargai adanya pluralism yang ada di Indonesia.20 Dengan ini tujuan partai adalah:

a)Mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945;
b)Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara lahir dan batin, material dan spiritual;
c)Mewujudkan tatanan politik nasional yang demokratis, terbuka, bersih dan berakhlakul karimah.

Keterbukaan dan inklusifisme PKB tidak hanya dalam AD/ART saja tetapi dari sepuluh prinsip dan dasr perjuangan partai memang partai ini sama sekali tidak mencamtumkan simbol-simbol Islam. Kesepuluh prinsip dasar perjuangan PKB tersebut adalah:

1.Partai Kebangkitan Bangsa bertumpu pada nilai-nilai kebangsaan yang dilandasi dan dipadukan dengan nilai-nilai kebenaran, kebebasan, keterbukaan, kemerdekaan, kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan, kejujuran, persamaan, persaudaraan, non-diskriminasi, dan kesetaraan gender.

2.PKB merupakan parpol yang akan menjunjung tinggi etika dan moralitas yang bersumber dari spiritualitas kebangsaan yang otentik Indonesia untuk mewujudkan kebangsaan yang lebih manusiawi dan beradab, serta menghormati kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia yang secara pro aktif melakukan dan mendorong kerjasama antar bangsa untuk mewujudkan tatanan dunia baru yang lebih adil, aman dan sejahtera.

3.PKB merupakan partai politik yang mengakui dan menjaga kemajemukan bangsa dalam berbagai aspeknya.

4.PKB adalh parpol yang memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, keadilan social, kesejaheraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.

5.PKB adalah parpol yang berjuabng menciptakan tata pemerintahan yang bersih, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh rakyat.

6.PKB merupakan parpol yang berkehendak mencipatakan masyarakat yang terbuka, mandiri dan kuat berdasarkan persamaan, perdamaian, persatuan dan persaudaraan.

7.PKB adalah parpol yang akan memperjuangkan supremasi hokum berdasarkan kepada penghargaan dan penghormatan terhadapa HAM.

8.PKB merupakan parpol yang secara tegas menolak kesewenang-wenangan, kekerasan, kediktatoran, totaliarianosme, rasialisme, fasisme, dan diskriminasi dalam segala bentuk dan manifestasinya.

9.PKB adalah parpol yang berjuang mencipatakan kemandirian rakyat yang bertumpu pada kekuatan sumber daya alam, pertanian dan maritime.

10.PKB merupakan parpol yang mempunyai kepedulian yang mendalam pada persoalan-persoalan dunia yang berpenhgaruh secara langsung maupun tidak langsung kepada eksistensi manusia dan kemanusiaan.

Selain hal-hal diatas, dalam bidang pemerintahan PKB akan menegakkan sistem demokrasi dengan mengusahakan pemisahan secara tegas dan jelas antara lembaga-lembaga negara sesuai dengan fungsi masing-masing,23 sesuai dalam maqashid al-Syari’ah disebutkan bahwa tujuan syari’ah adalah menuju akal, jiwa, menjaga harta benda, menjaga garis keturunan, dan menjaga kebebasan beragama.

Dalam bidang ekonomi PKB hanya menginginkan agar ekonomi pasar nantinya dapat memberdayakan masyarakat yang bertumpu pada kemampuan individu dan kemampuan sesama anggota masyarakat utnuk memaksimalkan potensi masing-masing. Selain itu, PKB juga merasa bahwa perhatian terhadap ekonomi kelas menengah ke bawah yang dilakukan selama ini kurang maksimal, sehingga PKB ingin menciptakan infrastruktur yang dapat memberdayakan masyarakat kelas menengah ke bawah.

Dalam bidang sosial, PKB ingin memperjuangkan seluruh rakyat Indonesia agar sejahtera lahir batin, akan konsisten memperjuangkan kemerdekaan bagi seluruh warganegara untuk memperoleh pekerjaan dan pengupahan yang layak tanpa membedakan suku, etnis, budaya dan agama dengan terbangunnya Jaring Pengaman Sosial (solidaritas nasional) yang kuat agar masyarakat mempunyai resistensi terhadap krisis.

PKB ingin memperjuangkan pendidikan yang berbasis dan berorientasi kebangsaan, kerakyatan, pendidikan murah dan berkesinambungan agar pendidikan nasional dapat membebaskan rakyat dari segal bentuk belenggu dan ketertindasan dalam berfikir maupun berkreatifitas.
Melihat ideologi, pemikiran, AD/ART, garis perjuangan PKB, maka partai ini termasuk partai modern yang bersifat inklusif dan toleran pada watak para pendirinya yang juga mengakui adanya modernism, pengakuan terhadap pendekatan ajaran agama menggunakan hermeneutika, pengakuan terhadap pluralism, pengakuan terhadap perkembangan dan soiologis dari agaa, mengakui ijma’, ijtihad dan hikmah.

Selain itu, partai modernis juga mempunyai pemahaman agama yang egaliter, tidak menggunakan symbol-simbol agama tertentu, tidak mau memperjuangkan formalisasi syariat Islam demi tegaknya negara Islam, keanggotaan partai terbuka serta mempunyai program-program yang tidak menggunakan symbol dan nama-nama islami seperti ekonomi Islam, negara Islam, politik Islam dan lain sebagainya.30

B. CLOSED-PLURALISME PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan sebuah partai yangberasal dari gerakan tarbiyah (pendidikan) atau lebih sering disebut dengan Gerakan Dakwah Kampus (GDK) yang berembrio mulai awal tahun 1980-an secara pesat di perguruan tinggi elit di Indonesia seperti UI, UGM, ITB, IPB dan perguruan tinggi umum lainnya.31Partai ini didirikan pada tanggal 9 Agustus 1998 dengan nama pertama kalinya adalah Partai Keadilan.

Menurut para pendirinya, kata “keadilan” (al-‘adalah) adalah prinsip dan doktrin politik Islam (siyasah syar’iyyah) yang memandang dan menegaskan tentang kesatuan manusia.33 Islam memandang bahwa manusia diciptakan dari asal yang satu. Seperti firman Allah dalam al Qur’an yang artinya:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu- sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Kata “keadilan” dipilih menjadi nama partai ini karena kata “keadilan” juga berarti membukakan jalan bagi nilai-nilai kebenaran, kebaikab, ketaqwaan, keindahan dan kebahagiaan. Sekaligus sebagai konsep dan prinsip politik Islam yang harus ditegakkan serta telah menjadi nilai universal yang harus diwujudkan oleh seluruh manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Partai ini mempunyai lambang yang sangat bernuansa simbolis dan beraroma keislaman, yaitu padi tegak lurus di tengah berwarna kuning emas dalam perisai empat persegi panjang berwarna hitam bergambar Ka’bah. Di bagian atas bertuliskan Partai Keadilan Sejahtera dengan warna kuning emas. Arti dari bentuk lambang tersebut adalah sebagai berikut:

1.Kotak persegi empat berarti kesetaraan, keteraturan dan keserasian.
2.Kotak hitam berarti pusat peribadatan dunia Islam, yaitu Ka’bah.
3. Bulan sabit berarti lambing kemenangan umat Islam, dimensi waktu, keindahan, kebahagiaan, pencerahan dan kesinambungan sejarah.
4.Untaian padi tegak lurus berarti keadilan, ukhuwah, istiqomah, berani dan ketegasan yang mewujudkan kesejahteraan.

Sedangkan makna warna lambing dari PKS adalah sebagai berikut:

1.Putih berarti bersih dan kesucian
2.Hitam berarti aspiratif dan kepastian
3.Kuning berarti kecemerlangan, kegembiraa dan kejayaan.

Dalam mewujudkan tujuan dan sasarannya, partai menggunakan cara, sarana dan prasarana yang tidak bertentangan dengan norma-norma hokum dan kemaslahatan umum, antara lain: pertama, seluruh sarana dan manajemen politik, ekonomi, social, budaya dan IPTEK yang dapat mengarahkan dan mengatur kehidupan masyarakat serta dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahannya. Kedua, ikut serta dalam lembaga-lembaga pemerintahan, badan-badan penentu kebijakan, hukum dan perundang-undangan dan lembaga swadaya masyarakat. Ketiga, menggalakkan dialog konstruktif disertai argumentasi yang kuat dengan semua kekuatan politik dan social. Keeempat, aktif berpartisipasi dalam berbagai lembaga dan organisasi serta yayasan yang sesuai dengan tujuan partai.

Visi PKS dibagi menjadi dua bagian, yaitu isi umum dan visi khusus. Visi umum partai ini adalah: “Sebagai partai dakwah penegak sistem Islam dalam bingkai persatuan umat bangsa” Sedangkan visi khususnya adalah: “Partai berpengaruh baik secara kekuatan politik maupun opini dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani”.

Visi PKS tersebut menjadi pijakan perjuangan yang dapat mengarahkan partai Islam ini utnuk memperjuangkan:
1.Partai dakwah yang memperjuangkan Islam dan politik dengan doktrin organisasi: “al hizbu huwa al jama’ah wa al jama’ah hiya al hizb”
2.Kekuatan transformatif dari nilai ajaran Islam di dalam proses pembangunan kembali umat dan bangsa dalam berbagai bidang.
3.Kekuatan yang mempelopori dan menggalang kerjasama dengan berbagai kekuatan yang secita-cita dalam menegakkan nilai dan sistem Islam.
4.Akselerator bagi perwujuudan masyarakat yang madani di Indonesia

Sedangkan misi partai ini adalah:
1.Menyebarluaskan dakwah Islam dan mencetak kader-kadernya sebagai anasir taghyir.
2.Mengembangkan institusi-institusi kemasyarakatan yang Islami di berbagai bidang sebagai markaz taghyir.
3.Membangun opini umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi penerpan ajaran Islam.
4.Membangun kesadaran politik masyarakat, melakukan pembelaan dan pemberdayaan hak-hak kewarganegaraan.
5.Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar terhadap kekuasan secara konsisten dan continue.
6.Secara aktif melakukan komunikasi, silaturahmi, kerjasama dan ishlah dengan berbagai unsur atau kalangan umat Islam untuk mewujudkan ukhuwwah Islamiyyah dan wihdatul ummah.
7.Ikut memberikan kontribusi positif dalam pembelaan terhadap negeri-negeru muslim yang tertindas.

Dalam kehidupan manusia, hukum perlu memiliki supremasi, sehingga dalam bidang hukum PKS akan memperjuangkan:
1.Mendukung terwujudnya supremsi hukum di dalam kehidupan bermasyaraklat dan bernegara.
2.Membangun kesiapan masyarakat untuk secara bertahap menerima syariat Islam.
3.Memperjuangkan secara struktural pemberlakuan hukum Islam yang masyarakat telah siap menerimanya.40

C. REAL-PLURALISME PARTAI DEMOKRAT

Banyak diketahui khalayak bahwa Partai Demokrat beserta dengan kehebatannya tidak lepas dari sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pendiri partai, seorang putra asli Pacitan (Palembang Sripo, 11/12/2008). Walaupun pada akhirnya polemik pengkultusan ini direspon oleh beberapa pihak seperti menurut Akbar yang memiliki kriteria tersendiri tentang calon pemimpin Partai Demokrat masa mendatang. Kriteria itu di antaranya berani menyatakan pendapat kepada publik bahwa perolehan suara 2009 mencapai 15 persen. Hal tersebut supaya bisa terukur. Selain itu struktur pimpinan di Partai Demokrat 40 persennya terdiri dari kalangan muda. Sementara Sarjan mengingatkan agar menjauhkan pengkultusan terhadap SBY, karena tidak ada ketokohan yang langgeng. Jika sejak saat ini tak disiapkan SBY lain, maka akan terjadi krisis kepemimpinan. Diingatkan juga kader tidak terlena dengan kemenangan.

Menurut derivikasi istilahnya, demokrat berarti penganut paham demokrasi dengan menempuh jalur perjuangan demokratisasi. Yaitu pergerakan untuk merombak bentuk pemerintahan dengan yang demokratis dengan penerapan sistem demokrasi.

Generalisasi dari penyikapan partai berbintang segi tiga ini termanifestokan ke dalam ideologi Partai Demokrat, yaitu: nasionalis yang horisontal, dan religius yang vertikal. Nasionalis artinya, secara horisontal, mempertahankan NKRI. Selain itu memupuk kecintaan kepada bangsa dan negara. Religius artinya, secara vertikal, membangun manusia Indonesia dengan dilandasi semangat keagamaan, juga beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan menebarkan kasih sayang.

Dengan ini kemudian Partai Demokrat menuntut diri untuk bersifat terbuka, artinya mampu dan siap menerima dari golongan, agama, suku, maupun ras mana saja untuk dapat menjadi anggota partai. Otomatis mengartikulasikan bahwa trilogi perjuangan partai adalah, demokrasi, kesejahteraan, dan keamanan. Begitu juga dengan wawasan dari PD adalah, humanisme, nasionalisme dan religius.

Seiring dengan percaturan politik pasca Pemilu 2004, dengan dominasi partai pemenang (baca: Partai Demokrat) mencanangkan beberapa komitmen perjuangannya melalui: biaya pendidikan murah dari SD-SMA, percepatan pembayaran utang luar negeri, hukuman mati kepada koruptor kakap, pertumbuhan ekonomi 7,6 persen, mengurangi angka kemiskinan, tidak ada pembredelan pers juga tokoh pers yang dipenjara.

Pada perjalanannya kemudian SBY –sebagai Presiden RI sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai- selalu menyampaikan lima program utama yang mesti dilakukan para kader dalam partainya. Di antaranya adalah partisipasi dan kontribusi Partai Demokrat dalam mengurangi kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendidikan dan kesehatan, dan good governance.

Sedangkan dalam pengelolaan kader partai lebih kanjut ke dalam, gerakan pluralitas partai diwujudkan dalam pembentukan Pemuda Partai Demokrat (PPD) yang lahir lebih dahulu dari organisasi kepemudaan di Partai Demokrat. Setelah itu, antara lain lahir Angkatan Muda Demokrat lalu Komite Nasional Pemuda Demokrat. Namun, kehadiran PPD di Partai Demokrat berkeinginan memberikan nuansa baru dalam kehidupan politik, terutama bagi Partai Demokrat. Ada beberapa lagi organisasi sayap kepemudaan yang besar basis massa dan jaringannya. Misalnya Generasi Muda Demokrat, Komite Nasional Pemuda Demokrat, Kader Muda Demokrat, Barisan Muda Demokrat dan lain-lainnya sebagai segenap potensi dan anggota keluarga besar Partai Demokrat.

Gerakan PPD berbasis intelektual dan riset berkeinginan membesarkan partai ini dengan berbasiskan intelektual dan riset sehingga kedepan Partai Demokrat ini menjadi partai yang modern. Makanya di dalam PPD ini, tergabung beberapa mantan wartawan, aktivis LSM, dan akademisi. Jadi cara pandangnya jelas berbeda dalam melihat obyek masalah yakni dengan melontarkan wacana-wacana yang bersifat intelektual dan hasil riset yang kami lakukan. Sehingga apa yang kami lakukan dapat mendorong perubahan yang terjadi di Partai Demokrat ini.

Partai Demokrat sebenarnya tidak sesulit partai baru lainnya. Sebab, program pemerintah yang secara politis didukung Partai Demokrat adalah program yang pro rakyat. Di antaranya pengurangan kemiskinan, peningkatan kesehatan, kecukupan pangan, program khusus untuk petani, nelayan, buruh, guru, pemuda, pesantren, pengangkatan pegawai honor dan peningkatan status sekretaris desa menjadi pegawai negeri sipil. Kini, tinggal bagaimana Partai Demokrat mensosialisasikan program tersebut di tengah kritikan masyarakat dan partai oposisi yang dimaknai sebagai masukan positif. Cara mempolitisasi kasus kemiskinan, busung lapar, antre minyak tanah, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), lumpur lapindo, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau kasus tebang pilih koruptor untuk tujuan tertentu adalah cara yang mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.

Partai Demokrat mempunyai jaringan yang kuat dan khususnya dalam hal penyampaian informasi perkembangan di masyarakat di seluruh daerah melalui kaderkader Partai Demokrat sebagai wujud dan langkah kepedulian kader Partai democrat ini menjadi concern (perhatian) perjuangan DPLN Demokrat Malaysia, untuk memperjuangkan hak–hak dan kepentingan warga Negara Indonesia di Malaysia dan pada waktu yang sama tidak lupa untuk ikut memberikan perhatian yang sama pula kepada warga tempatan Malaysia yang terkena musibah. Dengan begitu diharapkan kehadiran partai Demokrat di Malaysia, tidak hanya memberi rahmat bagi WNI tapi juga menjalin ukhuwah dengan warga tempatan, dan metode perjuangan ini diharapkan akan menjadi simbol perpaduan antara warga tempatan dan WNI di Malaysia. Hal ini juga untuk semakin memperkokoh image building yang sudah dipelopori oleh Presiden SBY dengan Kerajaan Malaysia untuk saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lain, lebih dari itu inilah bentuk konkrit komitment Indonesia untuk menunjukkan bahwa kita adalah bangsa serumpun, rumpun Melayu.

Nilai pluralisme perjuangan partai kepada rakyat juga nampak pada Slogan/Jargon yang sering diserukan sebagai berikut:
1.Saatnya kita bersatu, bangkit dan maju
2. Apapun partainya, apapun agamanya, etnis dan sukunya. kita bersatu membangun negeri
3. Harga pangan dunia mahal? Mari kita kembali pada ketahanan pangan rakyat























BAB III

TIGA PENDEKATAN PLURALISME DALAM BERPOLITIK

Berangkat dari pembacaan pada konsep perjuangan politik ketiga partai sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya, maka tulisan berikut mencoba mengungkap pluralisme dengan menggunakan pendekatan normatif, historis, dan transformative. Ketiga pendekatan tersebut –menurut pemahaman saya- akanmampu memberikan pemahaman komprehensif tentang pluralism. Sehingga pluralism tidak sekadar berputar-putar pada ranah teks, tetapi diharapkan mampu membebaskan umat manusia dari keterbelakangan ekonomi (kemiskinan, kefakiran), keterbelakangan sosial (teralienasi dari komunitasnya karena arus modernisasi, globalisasi, teknologi informasi), keterbelakangan budaya (bahasa, pergaulan, sikap, dan mentalitas).

A.NORMATIF

Nurcholis Majid (2000) mengatakan bahwa Allah Swt menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memlihara keutuhan bumi dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam”. (Al Qur’an, S. Al Baqarah/2:251). Untuk itu, inklusifitas menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bias memperkaya saha manusia dalam mencari kesejahteraan intelektual dan moral.
Realitas pluralitas yang bisa mendorong kea rah kerja sama dan keterbukaan public itu secara jelas telah diserukan oleh Allah Swt dalam Q.S. Al Hujurat ayat 14. Dalam ayat itu, tercermin bahwa plurallitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar manusia saling mengenal dan membuka diri untuk bekerjasama. Pandangan normatif ini jelas akan mendorong bangsa untuk menghargai kemajemukan bermasyarakat lewat sikap-sikap toleransi, keterbukaan, dan fairness seperti dicerminkan dalam konsep tentang siapa yang digolongkan sebagai Ahli Kitab.
Dengan demikian, pembacaan inklusif pluralis terhadap teks-teks al Qur’an tentu saja menjadi sebuah kewajiban umat Islam juga untuk menghindari prasangka-prasangka teologis yang berakibat pada munculnya stigma politis yang tidak jarang akan melahirkan konflik horizontal. Jika tidak, hubungan antar umatberagama dan bermasyarakat tentu akan selalu mengahntui peradaban yang dengan susah payah dibangun oleh para leluhur kita, founding fathers pertiwi ini.

Kecenderungan paradigma ini lebih melekat pada platform Partai Demokrat yang mengemuka dengan ideologi nasionalis-religiusnya yang pro-rakyat. Dan terbukti ampuh dengan dimenangkannya Koalisi Kerakyatan pada pemilihan presiden 2004 didasarkan pada hasil penelitian Danareksa Research Institute yang mengatakan:
“…Yudhoyono-Kalla was eventually supported by Koalisi Kerakyatan (Coalition of the People) which consisted of Partai Demokrat, PKS, PBB, PKPI, PPDK, PP and PPDI….”.

B. HISTORIS

Fathi Osman, yang menulis buku Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan Pandangan Alqur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Pearadaban mampu menyajikan data-data historis bagaimana mesranya hubungan Islam dengan agama-agama lain yang memiliki sejarah panjang menjalankan pluralisme. Wawasan historis tentang pluralism akan abnayak memberikan pemahaman dan manfaat pada umat Islam.
Kemesraan hubungan Islam dan Kristen, yang dilontarkan oleh Nabi Muhammad bersama umat Kristiani di masanya akan menjadi modal berharga dan inspirasi bagi pembentukan kehidupan damai antara Islam dan Kristen. Dan hakukatnya juga pada agama-agama lain. Dalam sejarah, dikisahkan oleh Ibnu Hisyam, dalam al-Syirah al Nabawiyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran yang berjumlah 60 orang.

Menurut Muhammad Ibn Ja’far Ibn al Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju Masjid. Saai itu, Nabi sedang salat ashar bersama para shabatnya. Mereka dating dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim digunakan Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya. Ketika waktu kebaktian tiba, mereka ppun tak harus mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang di dalam masjid.

Kaum muslimin juga punya sejarah panjang menjalankan pluralisme, yang tersedia dalm sumber-sumber dan khazanah Islam. Kaum muslim dapat mengambil inspirasi dari sumber-sumber agama dan pengalaman sejarahnya, sambil mendorong tindakan-tindakan lebih jauh menuju pluralisme dewasa ini, dengan segala problematikanya yang sarat dengan diskursus.

Pemahaman prinsip menegakkan kepastian hukum dan persamaan di depan hukum secara literal didominasi oleh Partai Keadilan Sejahtera mewakili Islam dalam nilai-nilai fundamental politik Islam yang harus ditegakkan oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi, karena yang membedakan manusia di hadapan Allah adalah ketaqwaan dan amal salehnya bukan kedudukan sosial dan derajatnya. Seperti firman Allah dalam Q.S. al Hujurat, (49):13.

C.TRANSFORMATIF

Dari wawasan normative-historis di atas, terasa belum lengkap jika belum diikutsertakan wawasan transformative. Pandangan normatif Alqur’an tentang pluralisme tersebut tidak boleh berhenti pada lembaran-lembaran teks dan pengalaman historis pluralism menuntut suatu pendekatan yang serius terhadap upaya memahami pihak lain dan kerjasama yang membangun untuk kebaikan semua.

Muslim Abdurrahman, pemikir Islam yang mengagas teologi transformatif, mengatakan, bahwa pluralism yang tidak memihak kepada kaum tertindas hanya akan berhenti pada ranah wacana. Tidak mempunyai implikasi sosial. Dalam bahasa lain, gagasan pluralism yang tidak mempunyai kaki tentu tidak banyak bermanfaat bagi masyarakat secara umum.

Karenanya, pluralisme harus mendahulukankepentingan masyarakat yang tertindas. Kaum muslim tidak akan mampu menangkap kehendak Tuhan tanpa memiliki kemampuan membaca sejarah dan pergulatan hidup yang dihadapi umat manusia, baik dalam perbedaan kurun dan lokus kebudayaannya. Inilah yang menjelaskan sesungghunya makna wahyu adalah empiris yang mampu mempersenjatai masyarakat untuk bisa bangkit dan keluar dari keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.

Dengan begitu, kerja pemikiran Islam bukanlah memperbincangkan teks dalam alam kemerdekaan intelektual, namun pada dasarnya adalah bagaimana menemukan ide Tuhan kembali ikut secara partisipatoris dalam pergumulan umat manusia yang sekarang ini menghadapi proses dehumanisasi melalui refleksi yang bersumbr dari sejarah perjuangan hidup sehari-hari.

Kaitannya dalam hal ini adalah pola pemahaman elit politik PKB yang notabene-nya berpandangan bahwa hubungan antara Islam dan politik hanyalah sebatas simbiotik, dimana nilai-nilai universal agama Islam seperti nilai musyawarah, keadilan, persatuan dan kesatuan, saling tolong menolong, kebenaran, mengangkat harkat dan martabat kaum lemah tertindas yang harus diperjuangkan, bukan formalisasi syariat Islam secara kaffah (menyeluruh).

BAB IV

IKHTISAR

Dalam konteks Indonesia, terdapat tiga karakter yang berbeda dalam memahami sekaligus aplikasi pluralisme bermasyarakat dan berpolitik dengan pendekatannya masing-masing. Ketiga karakter tersebut adalah sebagai berikut:

1.Opened-pluralism; adalah suatu sikap yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi dan muncul dari sekelompok partai yang berbasis Islam namun lebih cenderung pada pemahaman nilai-nilai universalitas Islamnya tanpa pengikutsertaan symbol dan label keagamaan. Karakter ini lebih ada pada Partai Kebangkitan Bangsa yang melakukan pendekatan atas realita yang ada dengan paradigma transformatif.

2. Closed-pluralism; adalah pemahaman segolongan Islam literalis terhadap fenomena pluralistik atas kondisi kekinian sehingga tetap berpedoman dengan adanya simbolisasi Islam secara formal dan tetap berkeyakinan bahwa cita-cita tegaknya Islam seutuhnya akan terwujud pada kemudian hari. Paradigma pendekatan historis ini lebih cenderung pada Partai Keadilan Sejahtera.

3.Real-pluralism; adalah bentuk penyikapan secara nyata atas ke-bhinneka tunggal ika-an bangsa Indonesia saat ini dengan sama sekali tidak bermuara maupun berhilir pada tendensi golongan atau kelas apapun, melainkan semata dengan semangat nasionalis yang beriman pada Tuhan Yang Maha Esa. Jawaban dalam kategori ini adalah Partai Demokrat dengan pemahaman pada pendekatan normatif atas realita pluralistik bangsa.

Saran-Saran Yang Perlu Direnungkan

Ada beberapa saran yang sangat penting untuk penulis sampaikan, antara lain;

1.Keberadaan partai nasionalis dan partai islamis ataupun sebagainya mempunyai arti yang penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara asalkan disikapi dengan kedewasaan yang tinggi mengingat keberagaman perbedaan satu sama lain. Sehingga perlu mendapat perhatian dan kontrol secara penuh baik dari pemerintah maupun dari masyarakat sendiri secara kontinyu dan berkesinambungan.
2.Wacana koalisi antara partai nasionalis dan partai islamis pasca Pemilu legislative saat ini menjadi suatu kemungkinan jalur parlementariat dalam pluralitas Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA


Harahap, Nasruddin. “Pengembangan Masyarakat Multikultural Dalam Perspektif Islam”, dalam Jurnal PMI Vol. II Nomor 2, Maret 2003.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Multukultural; Membangun Kembali Indonesia Bhinneka Tunggal Ika”, dalam Majalah Tsaqafi Vol. 1 No. 2, 2003.
Surachman, Winarno. Dasar dan Teknik Researh. Bandung: Tar-ito, 1972.
Friedrich, Carl J. Constitutional Government and Democracy; Theory and Practice in Europe and America (5th ed: Weltham, Mass.: Blaisdell Publishing Company, 1967)
DPP PKS, Sekilas Partai Keadilan (Jakarta: DPP Partai Keadilan, 1998)
Partanto , Pius A. & Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer., Surabaya
.Penerbit Arkola. 1994.
Shofan, Moh. Menegakkan Pluralisme,. Jakarta, LSAF Universitas Paramadina. 2008
Anam, Khoirul, M.SI., Legitimasi Politik Tuhan; Membongkar Konsep Penegakan Syariat Islam PKB dan PKS. Yogyakarta. Cipta Kumala Pustaka. 2007.
Terjemahan Al Qur’an Al Karim
www.News DEMOKRAT.com













BIODATA PENULIS

Nama : CHOLID MA’ARIF
N.I.M : 06110006
Tempat, tanggal lahir : Madiun, 15 Juni 1987
Agama : Islam
Alamat : Sekretariat Takmir Masjid Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta / Gedung Multipurpose Sayap Timur UIN.
Phone. 085 233 934 616
Riwayat Pendidikan
A.Pendidikan Formal
MI Miftahul Khoirot Sambirejo , Geger, Madiun : (1996-2000)
MTs Al Islamiyah Uteran, Geger, Madiun : (2000-2003)
MAKN Denanyar Jombang : (2003-2006)
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta : (2006-sekarang)
B.Pendidikan Non Formal
PP. Simuniyah Sambirejo, Geger, Madiun : (1999-2003)
PP. Mualimien Al Islamiyah Uteran, Geger, Madiun : (2001-2003)
PP. Mambaul Ma’arif Denayar Jombang : (2003-2006)

Pengalaman Organisasi
Sek.Jend. PSHT Komisariat Denanyar Jombang : (2004-2005)
Dept. Pendidikan OSIS MAN Denanyar Jombang (2004-2005)
Dept. Bahasa MAKN Denanyar Jombang : (2004-2005)
Dept. Pengkaderan UKM Al Mizan UIN Yogyakarta : (2007-2008)
Koor. Dept. Media Jaringan PMII Rafak Adab UIN : (2008-2009)
Bendahara PH Takmir Maskam UIN Yogyakarta : (2007-2008)
Sekretaris PH Takmir Maskam UIN Yogyakarta : (2008-sekarang)
Ketua BEM-J BSA Fakultas Adab UIN Yogyakarta : (2009)

sangkanparan: PELUH TOPENG (1)

sangkanparan: PELUH TOPENG (1): "Cerbung: PELUH TOPENG (1) oleh: Cholid Ma’arif * Teratah teras rumah itu masih saja seperti dulu. Menimbulkan suara renyah “kriut-kretek..."

PELUH TOPENG (1)

Cerbung:

PELUH TOPENG (1)

oleh: Cholid Ma’arif *

Teratah teras rumah itu masih saja seperti dulu. Menimbulkan suara renyah “kriut-kretek” bagi jejak-jejak yang melangkah diatasnya. Apa adanya memang rumah di desa yang kami tinggali ini sebagai warisan dua keturunan silam. Berubin selonjoran jati jawa. Terpanggung oleh balok-balok kayu setengah meteran kiranya. Beratapkan genting yang jika hujan, ember pun harus tersedia untuk menampung kebocoran atapnya. Mungkin desain seperti inilah yang menjadi ciri khas moyang kami turun temurun. Ditumbuhi tanaman ubi-ubian di halaman depan menambah keasrian lingkungan. Terlebih sederhana jika diiringi cericit burung gereja mengirama dengan simfoni mentari pagi. Gemericik ranting-ranting patah bak nada yang menggelayut pada kesunyian pagi. Semakin membuai penghuni hati tanpa cela diri.

Diseberang pandang sejauh mata menghadap. Kudapati semakhluk perempuan terampil mengais dedaunan sampah mencengkeram erat seikat biting (baca; lidi) yang sudah tidak rata lagi ujung-ujungnya. Membuatnya sesekali harus mempersilahkan delir keringatnya mengucur memeluh raga. Dialah tidak lain anak perempuanku dengan kenisbian masa lajangnya setelah dipinang oleh selaki mantan perjaka beranak tiga yang tidak dikehendakinya. Tidak juga aku sebagai ayahnya. Ayah yang tak berantah tanpa tahu arah untuk mengambil hikmah. La dharara wala dhurara. Aku tidak tersesat, tidak pula aku menyesatkan. Nyatanya kami semua merasa tersesat dalam belenggu penyesatan sesal.

Sayangnya itu semua malah menjadi topeng cita yang kadang bisa membohongi perasaanku semenjak beberapa tahun lalu. Tidak seasri dan sesederhana bintik-bintik memoriku. Sambil beringsut memperbaiki posisi dudukku di bangku mewah satu-satunya di rumah ini. Karena bersusun besi dan beroda mengonggok di pojok teras, selalu kumainkan setiap kepulan asap rokok yang membumbung dari mulut ini. Mulut yang selalu berlomba dengan kepala empat usiaku semakin mendesah demi mengingat kelamnya masa lalu. Dan asap Djarum’76 pun seakan membantu melukiskan peristiwanya untuk terulang kembali dalam angan.

Dimulai kepulan asap pertama. Mengisyaratkan pertengkaranku dengan istriku tujuh tahun yang lalu. Tanpa alur yang jelas, tanpa aral yang kandas, kami pun akhirnya berpisah dengan permufakatan yang nafi sepakat. Sungguh suatu demokrasi tanpa demo diantara kami. Hingga sampai pada kesimpulan bahwa antar dua keluarga kami pun sinkretik merunut. Kini tinggal aku dan kedua anakku, Sulimi yang sudah menikah menetap di rumah, dan Karmin yang masih kuliah jauh di Yogya sana. Mungkin juga korban demokrasi tak berisi Orba jualah kedua anakku ini. Bisa dibilang “dua anak cukup”, kata orang-orang. Tapi itu dulu.

“Ayah, kok melamun melulu sih, ada apa, toh?”, sapa Sulimi, anak sulungku yang tiba-tiba muncul dari balik gorden pintu depan. Baru kusadari akan berakhirnya tugas menyapunya, malah ia kemudian bergegas membakti padaku menyajiku. Sambil membawa secawan Nescafe lengkap dengan sepiring kecil tape goreng kesukaanku. Sejenak kuhentikan suling rokok yang sisa setutup Pilot dari jemari tangan kananku. Kalau bukan karena dia mungkin tidaklah ada lagi dari keluargaku ini yang dapat kubanggakan. Mungkin juga karena dia sudah mapan berkeluarga dengan duda kaya dari desa seberang. Aku tersentak dari pengembaraan khayalku oleh karena sapaan tulus Sulimi tadi, anak perempuanku satu-satunya.
“Ayah, kok malah semakin bengong?”, sapanya lagi mengulang penuh selidik.
‘Oh, tidak apa-apa, nduk. Ayah Cuma ingin istirahat sebentar, biasa, melepas lelah. Maklum. Khan sabtu ini ayah weekend”, jawabku manja menutup-nutupi.

“Ayah ini ngomongnya kayak anak gaul saja, pakai wikan-wiken segala”, cetusnya sambil mulai memainkan tangan terampilnya menjamuku bak seorang raja. Pikirku dia pasti tidak jadi menyelidikku karena lamunan panjangku tadi. Hingga akhirnya ku mulai mengendalikan pembicaraan.
“Oh ya, ngomong-ngomong”, kataku memulai obrolan seiring gerakan tangan kananku meraih jamuan, sampai akhirnya kubicara lagi.“...Dimana Si Karmin, adikmu itu, lah dari tadi pagi nggak kelihatan?”, tanyaku menyambung.

“Ah, anak itu lagi. Nggak tahulah, yah. Sejak dari tadi pagi dia pamitan”, jawabnya cemberut dengan mulut membentuk huruf U terbalik. “Katanya sih cuman sebentar mau main ke rumah Si Parmin, teman MI-nya dulu, eee sampai sore gini, sumpellah dia”, gerutunya yang mulutnya malah berpola huruf V terbalik.
“Oe e e.e...”, komentarku melucu meniru gaya Mbah Darmo di ANTEVE. “Cantik-cantik kok ngomongnya gitu toh, mbok ya jangan gitu. Dia khan juga adikmu. Lagian dia mudik ke kampung sini khan cuma dua minggu, ya mungkin wajarlah dia keluyuran”, kataku mencoba menghibur menenangkannya.

Demi memperhatikan rona wajahnya yang semakin menenang, aku pun coba menyeruput secangkir kopi susu yang membisu di depanku sedari tadi. Nikmat sementara trasa. Bersamaan kulihat sepintas jarum jam tangan tua di tangan kananku menunjukkan pukul lima lebih dua puluh tiga menit, spontan kuteringat sesuatu.
“Lalu, suamimu sendiri apa sudah pulang?”, tanyaku balik menyelidik. Bagai mendengar gelegar petir, mulut Sulimi membentuk pola huruf O sempurna.

“Astaganagabonarjadidua!”, ucapnya terkejut. “Saya benar-benar lupa belum menyiapkan air hangat untuk Mas Supangat nanti. Kalau begitu, saya ke belakang dulu ya, yah. Banyak yang belum saya siapkan untuk nanti”, pintanya tiba-tiba setengah semangat setelah teringat kebiasaan suaminya untuk mandi menggunakan air hangat setiap kali berkunjung ke rumahku hanya tiap akhir pekan. Air hangat dari hongkong?!, pikirku menggerutu demi membayangkan beban kesibukan di rumah yang akan dijelang lagi oleh putriku semata wayang.
“Ya sudah sana, siapkan segala sesuatunya. Takutnya malah menjadi-jadi marahnya Mas Supangat-mu nanti”, kataku sedikit menggertak menakuti-nakuti.
“Ya, ayah”, timpalnya singkat menyanggupi suatu hal yang sebenarnya tidak dia sanggupi.

Cukup beralasan memang anggapanku ini terhadap anakku satu yang mulai beranjak meringsuk masuk ke dalam rumah kembali. Seakan segala piring-sendok, meja-kursi, gula-garam, panci-kompor, dan segala perabotan beku-kaku lainnya sudah menjadi teman akrab dalam dunia dapur miliknya. Diakui atau tidak, Kartini akan menangis menjumpai pemandangan ini. Aku bisa bilang begini pun hanya karena lulusan sarjana muda satu dekade silam. Hanya bisa berspekulasi dan beridealisasi. Sungguh koloni terselubung. Tak urung benda-benda mati tadi pun naik statutanya menjadi “anak” yang terpaksa diasuhnya karena memang sejak pernikahannya dengan duda tiga anak dari Winongo, desa seberang, tidak selalu menampakkan hubungan yang simbiotis, alias putriku tidak pernah digaulinya. Atau pun tidak terciptanya sikap asah, asih, dan asuh antara keduanya, penilaian bapakku dulu, yang juga kakek Sulimi sendiri memang terbukti.

Tapi apa lacur mau dibilang, nasi sudah menjadi bubur, bahkan bubur pun telah membusuk menyisakan geliatan liat-liat kcil yang siap menggerogoti apa-apa di sekitarnya, tanpa pandang makanan atau pun busukan. Dan akulah bagian terbesar dari busukan itu. Membusuk diantara pembusukan yang sistematis terjalin diantara topeng-topeng penuh penyematan semu. Aku semakin sadar akan benalu masa laluku. Bahkan semakin penuh sadar lagi aku ketika sebuah avanza masuk berparkir di halaman rumahku. Membeceki tanah yang seakan-akan tak bertanah lagi karena matinya penguasa tanah. Aku hanya diam menggerutu bisu menyaksikan tilasan ban-ban mobil keangkuhan anak mantuku melindas pinggiran tanaman pagar halaman rumahku. Apalah artinya aku, diam membisu, karena memang di kursi roda ini kuterpaku kaku. Sejak empat tahun lalu.

Benarlah aku kemudian. Menantuku yang kebacut (baca; terlalu) tua itu menderap langkahnya dengan sangat seakan berjingkat pada tumit belakang. Seragam jas yang ia pakai bukanlah dalam arti sama dengan jas-jas yang dipakai orang “tempoe doeloe”. Tidak lagi bersimbol intelektual kecuali mantan terdidik yang amoral.
Sambil menyunggingkan senyum palsunya, seraya ia menyapa. “ selamat sore, pak. Suliminya ada? Saya masuk dulu”, sapanya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku setelah menorehkan kedua kakinya dari tangga-tangga bisu. Cukup menjelaskan sebagai suatu sapaan yang tidak butuh jawabanku sebagai mertua yang hanya teronggok di pojok dianggapnya. Dan aku hanya mampu berharap cemas menduga apa yang terjadi kemudian pada Sulimi, anakku. Dia yang sudah kebiasaan. Ataukah aku yang.semakin terbiasa untuk menyaksikan pertunjukan ini..(bersambung...)

[pernah dimuat dalam buletin LITERASIA LPM Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2008]

"PRESENSI 75% DI UIN JOGJA; KONTRA INTEGRASI-INTERKONEKSI"


oleh خالد معارف pada 25 Juni 2009 jam 6:09
 
Opini:

KONTESTASI KETERPISAHAN INTEGRASI-INTERKONEKSI
Oleh: Cholid Ma’arif *

“Seorang nenek pernah berharap kepada cucunya, -aku ingin cucuku pandai, maka dari itu aku tidak mengijinkannya duduk di bangku sekolah”.

Apa yang diharapkannya bukanlah sekedar utopis belaka jika kita tengok sebentar dengan kondisi akademik di fakultas baru-baru ini. Semuanya serba “wah” memang. Mau buang air kecil, air kran mengucur sendiri secara otomatis dari selangnya. Mau makan tinggal geser selangkah sudah bisa ambil piring di ruang sebelahnya kamar mandi. Tanpa peduli sebagian yang melaksanakan sholat ikut keleletan air liur berada di samping tempat yang di sebut-sebut sebagai kantin. Mau jajan di laboratorium komputer, tinggal pesan jajanan di sampingnya. Konkritnya, segala kebutuhan bisa diinterkoneksikan dengan –mungkin saja- baik oleh institusi secara menyeluruh.

Fakta kecil, dalam sebuah brosur UIN………..
Memang Fazlurrahman pernah berpendapat bahwa untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan islam selama ini adalah dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara organis dan menyeluruh (Fazlurrahman, 1967: 323). Namun, permasalahannya adalah bagaimanakah pola pandang selama ini institusi UIN secara umum dan fakultas pada khususnya dalam mendefinisikan kata ‘menyeluruh’ disini. Layakkah melingkupi pengaturan materi fisik yang –terkesan- dipaksakan, lebih-lebih dengan sistematisasi presensi 75 persen pada gerak kreatifitas mahasiswa.

Fenomenor inilah yang –mungkin- secara mentah-mentah disebut insitusi UIN sebagai ‘integrasi-interkoneksi’ walau sebatas materi. Ternyata memang tidak hanya menyentuh dalam ranah penggabungan dua macam keilmuan, umum dan agama saja. Tetapi juga merangsuk pada ranah –sebagian- gaya kehidupan kampus (style of campus life) yang justru tidak nampak hubungan simbiosis-dialektisnya. Didukung dengan sederetan pagar menjulang menjadikan institusi tidak lebih sekedar sebagai tempat karantina. Terciptalah kemudian ‘gap’ sosial antara insan akademik dengan realita masyarakat sekitarnya. Patut dipertanyakan dimanakah letak ‘integrasi-interkoneksi’ itu terkandung.

Meminjam istilah Emha Ainun Najib, aksentuasi keterpisahan antara berbagai bidang kehidupan sebagai disiplin yang sendiri-sendiri dan berbeda-beda, di satu pihak telah menghasilkan pendalaman-pendalaman spesialistis yang hasilnya sebagai peningkatan peradaban manusia, telah kita rasakan bersama. Tetapi di lain pihak, cara baru yang moderen tersebut kurang memberi peluang pada mobilisasi dialog, kaitan-kaitan kausalitif, dialektika serta kemenyeluruhan dari pelbagai bidang kehidupan yang ada (Emha Ainun Najib, 1984:28).

Hal ini rupa-rupanya –tanpa sengaja- hampir sejalan dengan implikasi konversi IAIN ke UIN yang mengusung tema integrasi dan interkoneksi. Memang pada awalnya hanya berkutat pada ranah keilmuan, namun realita generalisasi-kausalitas di dalamnya kemudian tidak dapat dihindari. Konklusi pun tercipta hanya dengan ‘follow-up’ aktif dari satu perspektif berbanding balik dengan ‘feed-back’ dari perspektif yang lain.
Dengan penjabaran, selama ini mungkin kita memaknai integrasi dan interkoneksi dengan mentah-mentah sebagai wujud dimunculkannya dua fakultas umum, Saintek dan Ishum. Paling tidak dengan pemahaman adanya system manajerial yang baru tanpa sama sekali ada acung interupsi dari mahasiswa –yang baru-baru ini- sebagai insan akademik an sich bias peka sosial.

Sekedar info klasik, paradigma semacam integrasi-interkoneksi versi UIN Malang –sebagai tetangga jauh kita- direspon sebagai wacana islamisasi keilmuan. Dimana setiap fakta keilmuan berusaha dicarikan dalil pembenarannya dalam kitab suci menjadi wilayah ‘untouchable critism’. Tidak aneh kemudian kalaupun tidak banyak kita temukan upaya-upaya untuk memikirkan kembali implikasi terselubung pada hari berikutnya menjalar di aspek lain. Semuanya diterima sebagai sesuatu yang rapi dan tertata apik –sadar atau tidak- tanpa menyisakan celah sedikitpun memberikan ruang pada mahasiswa untuk berdialektika.

Dalam pandangan komunikasi entertainment, fakta masyarakat kita sekarang ini memiliki kecenderungan untuk menonton daripada membaca. Bukan hanya secara eksplisit kemudian kita terjemahkan dengan asumsi meningkatnya konsumeritas porsi untuk mendapatkan informasi via televisi sebagai audio-visual approach, sekaligus mengalami deklinasi pencapaian informasi via koran dan buku sebagai reading-visual approach.
Dengan analisis penerapan pada audio-visual approach kurang begitu mengena tepat sasaran bagi konsumen karena hanya memberi satu kali kesempatan kepadanya melalui gambar yang ditampilkan dan suara yang diperdengarkan. Setelah kedua unsure proses komunikasi itu selesai, maka selesailah sudah tanpa ada rekaman dan upaya pembacaan ulang dari konsumen atas informasi yang didapat. Berbeda halnya dengan reading-visual approach melalui media riil buku atau koran di tangan konsumen akan terjadi dialektika sebagai wujud terbukanya kesempatan untuk berkontemplasi atas informasi yang didapat. Inilah yang seharusnya secara intensif kita jadikan pisau analisis pembacaan ulang atas fenomena implikasi integrasi-interkoneksi, yaitu eksistensi ‘something else behind the screen’.

Sesuatu yang lain di balik layar haruslah muncul dari paradigma critism-constructive. Yakni berangkat dari suatu penolakan atas struktur yang baru bukan berarti kemudian tidak mau ‘akhdu al jadid al ashlah’, namun ibarat anak dengan segala fitrahnya dituntut memiliki gigi terlebih dahulu untuk mengunyah sebelum kemudian menelan makanannya. Begitulah cara kerja ilmiah mahasiswa, gigi ibarat bekal keilmuan dan pengetahuan yang dimilikinya, mengunyah adalah proses kontekstualisasinya dan menelan adalah sikapnya untuk ‘deal or no deal’.

Presensi 75 Persen; Keterpisahan Berbagai Kreativitas

Lepas dari visi misi fakultas Adab dampaknya bagi mahasiswa sastra yang formalnya bertujuan mencetak ahli sastra an sich dan mengesampingkan mahasiswa yang sastrawan memang tidak dapat dihindarkan. Dengan pengertian institusi fakultas sebagai ‘pabrik’ akademik sastra arab berupaya menciptakan ‘suku cadang’ ahli sastra daripada menciptakan sastrawan itu sendiri. Disini kita melihat kontestasi keterpisahan yang berusaha diciptakan birokrasi terhadap mahasiswa yang notabenenya sebagai subyek aktif dari dialektika akademik di dunianya sendiri.

Hal ini terbukti pada sistem yang sedang berjalan seiring diberlakukannya presensi 75 persen sebagai jalur penguatan akademik. Dengan jam terbang terkonsentrasi di dalam kelas selama 5 hari penuh dan tuntutan belajar keseharian di kelas selama hampir 10 jam dalam sehari. Hitung-hitung 75 persen lalu kemudian mencuatkan satu solusi dari fakultas yaitu dengan hanya memberikan keringanan ijin 3 kali pertemuan dari total 12 kali pertemuan dirasa tidaklah cukup efektif bagi perkembangan kreatifitas mahasiswa bergerak di luar kampus.

Perlu dicamkan adalah di luar kecerdasan intelektual akademik masih banyak terdapat kecerdasan emosional bahkan kecerdasan spiritual yang belum secara maksimal digali oleh mahasiswa. Dengan keaktifan mereka selalu dan selalu berproses di lingkungan non-formal, lebih-lebih sekedar ‘talk-show’ di kelas bersama dosen yang kini menjadi ‘trend’ baru di UIN ini otomatis menyudutkan kearifan berkreativitas di sisi lain.. Tambahan persoalan yang dihadapi oleh ‘prototype’ mahasiswa yang ‘nyambi’ bekerja demi memenuhi kebutuhan kesehariannya di negeri seberang sini jauh dari pantauan orang tua. Atau bahkan orang tua itu adalah mahasiswa itu sendiri yang layaknya kini masih harus kuliah sambil lalu bekerja mencukupi nafkah lahir anak istrinya.

Dalam hal ini manajemen waktu bukanlah menjadi solusi utama. Menilik pada ukuran standar kesuksesan pribadional, usia minimal dua puluh tahun yaitu setara dengan usia pelajar di tingkatan perguruan tinggi, merupakan patokan kesuksesan seseorang. Kesuksesan ini tertuang dalam bentuk kreatifitas, produktivitas, dan efektivitas pribadi dampaknya pada perubahan di sekitarnya. Sedangkan kenyataan ini berbanding balik manakala terdapat suatu sistem yang mengukung dalam lingkungannya. Dalam hal ini, Tuhan hanya menciptakan potensi atau daya-daya yang ada dalam diri manusia, sedangkan perkembangan selanjutnya terserah pada manusia itu sendiri (Mastuhu, 1999:25).

Singkatnya, dalam praktek pemberlakuan presensi 75 persen tersebut sangat membatasi gerak langkah mahasiswa yang sejatinya tidak hanya berkutat pada misi pembentukan insan akademik, tetapi juga insan perubahan sosial (agent of social change) di masa mendatang. Dan ini tidak bisa diikuti hanya dengan hasrat layaknya ‘jumpa fans club’ dosen dalam kelas, melainkan juga dengan pembelajaran yang intens luar kelas sebagai sesuatu yang otodidak. Perlu dikontekskan pula dengan permasalahan rakyat dan bangsa ke depan yang lebih pelik menuntut tanggung-jawab pengemban pendidikan masa sekarang. Karenanya terdapat sebuah adagium menyebutkan “addibuu awladakum, liannahum ya’isyuuna fighoiri zamaanikum..”. (didiklah anak-anak kalian, karena mereka hidup di zaman yang berbeda selain zaman kalian..). Tidak salah kiranya jika kita berambisi untuk meneriakkan: “my future is out-of there”. Tinggal pilih, keaktifan presensi atau kearifan kreasi yang mau dikorbankan.



Ditulis awal Mei 2008

[pernah dimuat dalam buletin dan mading rayon PMII Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta]