Sabtu, 25 September 2010

"DEMOKRASI; ANDA BERTANYA, KAMI MENJAWAB, LALU ANDA BINGUNG.LHO KOK BISA!?"


oleh خالد معارف pada 25 Juni 2009 jam 6:01
 
“Demokrasi; Anda Bertanya, Kami Menjawab, Lalu Anda Bingung”

Oleh: Cholid Ma’arif

Lebih dari sepekan yang lalu kembali proses demokrasi di negara kita Indonesia ini tercoreng cukup dalam. Sebuah peristiwa unjuk rasa telah menewaskan langsung pemimpin aspirasi masyarakat Sumut sebagai salah seorang kepercayaan mereka sendiri, Ketua DPRD Sumatra Utara, Abdul Azis Angkat. Usut punya usut, kejadian tersebut berawal dari aksi demontrasi pemekaran daerah baru setempat.

Ada tiga elemen penting yang kemudian dalam hal ini patut dipertanyakan terkait kebijakan pemekaran daerah baru dan tindakan-tindakan praktisnya yang berdampak pada publik. Pertama, pemerintah pusat sebagai ‘stake holder’ dalam ‘making-decision’, dimana kran pemekaran ini dalam hitungan awal reformasi dimulai pada masa pemerintahan BJ Habibie hingga masa SBY mencapai 205 daerah baru (Kompas, 6 Pebruari 2009). Kedua, pemerintah daerah –baik DPRD maupun aparat keamanan setempat- yang berposisi pada ‘planning-action’ nyata-nyata terbukti kurang tanggap dengan keberadaan mob massa, bahkan cenderung menganggap enteng. Ketiga, adalah massa itu sendiri yang dalam tindakannya praksis pada mental ‘barbarian-kolektif’, ironis manakala kemudian mengatasnamakan kekuatan rakyat.

Menurut Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah memang sudah jelas. Namun lagi-lagi yang menjadi kendala adalah epistemologinya dimana DPR kerap kali menginisiasi RUU pembentukan daerah baru, sedangkan persyaratan admninistrasinya belum sepenuhnya lengkap.

Hal ini menunjukkan lemahnya koordinasi dan komunikasi antar daerah dan pusat kaitannya dengan masyarakat sipil pada umumnya. Sehingga secara tidak langsung mengidentikkan dengan berjalannya proses demokrasi yang kurang utuh. Ironisnya, kenyataan ini terakomodir secara implisit dalam tubuh tiga elemen tersebut di atas. Apalagi kemudian yang mengarah pada aspek intrapersonal, dimana John Dewey, seorang filsuf pendidikan, pernah mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu kondisi masyarakat yang diresapi oleh karakter penghormatan pada semua anggota masyarakat dalam perbedaan.

Kritis dan Anarkis

Terdapat dua kemungkinan yang selalu menggelayuti proses pendewasaan baik secara individu maupun komunal dalam merespon setiap problematika di dunia ini. Kritis dan anarkis dalam perjalanannya selalu andil hampir berjalan berkelindan mewarnai karakter bentuk respon dan respek seseorang terhadap segala sesuatu, khususnya yang bersifat kepentingan vital, umum, dan permanen adanya.
Pertama, kritis adalah daya kritis sebagai perwujudan karakter seseorang untuk menunjukkan eksistensinya dalam masyarakat. Merupakan aspek kognisi ketika ia menyadari antara ke-aku-annya dan dan ke-nyata-annya menggabung sebagai respon sosial. Aspek motoriknya yang kemudian menjelma dalam bentuk identifikasi dan analisa. Sedangkan pemegang kendali dari korelasi ‘feed-back’ tersebut adalah psikomotorik yang dalam tindakannya selalu merespon keterlibatan faktor luar dirinya bagaimana riil proses perwujudannya.

Dalam kronologinya, kritis berhulu dari rasa keingintahuan yang mendalam akan obyek yang lebih besar dari dirinya. Di tataran formatnya ia memposisikan sebagai titik satu yang terkungkung dalam gabungan beberapa titik lain yang sudahi menyatu lebih dulu. Sedangkan ia kemudian berusaha untuk menghimpun satu titik lainnya untuk berkomitmen menggaet himpunan yang telah ada sebagai perwujudan kritis-eksternal, maupun kepada himpunan baru hasil upayanya sebagai kritis-internal. Walhasil ‘bargaining position’ yang dimiliki nantinya yang akan mendobrak atau malah mengasimilasi dengan obyek himpunan diluar dirinya tersebut.

Kedua, anarkis sebagai salah satu bentuk respon tindakan secara frontal galibnya sangat merugikan banyak pihak. Karenanya dipertegas bahwa yang dimaksud dengan anarkisme dalam domain ini bukan corak pemikiran yang bertujuan untuk bersikap kritis sekalipun terhadap segala bentuk totaliterianisme kekuasaan. Anarkisme adalah suatu keadaan dimana ketika tidak ada lagi otoritas yang mengatur dan mengendalikan.
Tidak aneh jika kemudian dalam konteks peristiwa 3 Pebruari di Medan kemarin banyak memicu kerusakan fiskal akibat ulah mobrokasi demonstran. Padahal dalam ketentuan politik negara bahwa jika tidak ada lembaga sosial yang memakai kekerasan, konep negara mengalami eliminasi, dan kondisi itulah yang memunculkan anarki (HH Gerth dan C Wright Mills, From Max Weber, 1958: 78).

Di sisi lain perlu dipahami akan keberadaan suatu entitas yang menekannya sedangkan ia sendiri tidak ada ruang bagi dirinya untuk berekspresi, maka yang terjadi adalah gerakan frontal-radikal yang malah akan mencuat. Sosiolog, ethel M Albert mengatakan: “Jika seorang bawahan sudah menerima perintah, maka ada peluang baginya untuk menghormati perintah tersebut tanpa bermaksud melaksanakannya. Namun, di sisi lain jika ia dapat mengeluarkan perasaan dendamnya dengan mengajukan protes dan penolakan dan menunjukkan superiotasnya dengan atasannya, dia akhirnya pasti akan melakukan apa yang telah diperintahkan

kepadanya”.
Lalu, bagaimana dengan PEMILWA 2009 di UIN beberapa hari lagi nantinya? Pesta demokrasi atau pesta demontrasi. Wallahu a’lam bish-shawab.


Maskam UIN, 07 Pebruari 2009: 09.45 wib

[pernah dimuat dalam buletin PRM DPW Rafak Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta edisi tahun 2009 sebelum PEMILWA]

"PRINSIP SINTAKSIS BAHASA ARAB DAN KRITIKNYA"


oleh خالد معارف pada 25 Juni 2009 jam 6:13
 
PENDAHULUAN

Menurut sejarahnya, bahasa arab sebagai salah satu referensi yang mutlak bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia secara luas –Islam khususnya- meng-generalisasi-kan adanya formatisasi kebahasaan (linguistic) secara umum pula. Hubungan simbiotik linguistik kemudian terjadi dalam tubuh bahasa arab dengan segala perangkatnya memposisikan ilmu nahwu sebagai 'ibu'-nya bahasa arab, dan ilmu shorof selaku 'bapak'-nya denan adagium (ألنحو ابوها والصرف أمها). Dalam bahasa pesantren memang ilmu nahwu dengan berbagai varian metodiknya sangat berperan sebagai 'ibu' dalam proses analisis ke-bahasa arab-an khususnya. Sehingga pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan konsep ilmu nahwu menjadi suatu yang integral dan komplikatif bagi mind-concepting pemahaman bahasa arab yang memerinci pada bentuk isim (kata benda), fi'il (kata kerja), dan harf (huruf) dan para-mode lain termasuk dlorof zaman (keterangan waktu) yang mempengaruhi, berikut perubahan kalimat akibat hubungan interkoneksitas satu sama lainnya membentuk struktur yang baku.
Kegelisahan atas segala kemapanan pun akhirnya terusik dengan munculnya sikap kritis-konstruktif Ibnu Maymun tidak hanya mempertanyakan kembali efektivitas ilmu nahwu kaitannya bagi daras moral dan teologi masyarakat islam, tetapi juga kepada kredibilitas "empu"-nya ilmu nahwu yang dalam pengamatannya lebih tidak seimbang dengan intelektualitas yang digeluti para ahli nahwu itu sendiri dalam beretika ketuhanan khususnya.
Sedianya dalam penulisan makalah ini akan kami lengkapi dengan berbagai literatur yang ada. Yaitu mengungkap pembahasan yang tidak hanya berkutat pada sistematisasi isim (kata nama), fi'il (kata kerja), dan harf (kata huruf) saja, melainkan juga di situ ada maksud pembahasan tentang i'rab (perubahan awal-akhir kata), bina' (struktur baku kata), dan sebagainya. Termasuk contoh analisa kritis ibnu maymun dengan paradigma tasawufnya terhadap ilmu nahwu secara konkrit. Namun, mengingat segala keterbatasan waktu dan materi, tak ada rotan kayu pun jadi. Singkatnya, segala kritik perbaikan dalam penulisan makalah ini -baik materi maupun redaksi- yang jauh dari harapan sangat kami harapkan demi upaya pembangunan aras ilmiah penulisan selanjutnya. Wallahu l-muwafiq ila aqwami th-thoriq.

Materi:
PRINSIP DASAR SINTAKSIS BAHASA ARAB DAN KRITIKNYA


A. Pengertian dan Prinsip Sintaksis / Nahwu
Secara umum, ada banyak batasan sintaksis yang telah dikemukakan oleh para linguis, Crystal (1980:346) mendefinisikan sintaksis sebagai telaah tentang kaidah-kaidah yang mengatur cara kata-kata dikombinasikan untuk membentuk kalimat dalam suatu bahasa. Tidak beda jauh dengan sintaksis dalam versi bahasa arab yang mengalami penamaan sebagai Ilmu Nahwu, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengetahui hukum kalimat Arab, keadaan susunan i’rab dan bina’nya dan syarat-syarat nawasikh, kembalinya ‘aid yang mengikutinya.
Kemunculan ilmu nahwu bukanlah suatu hal yang tanpa sengaja. Yakni berangkat dari beberapa kasus bahasa pada masa shahabat kaitannya dengan cara baca al-Qur'an. Lebih rincinya telah dipaparkan pada makalah-makalah terdahulu, yaitu contoh kasus pada struktur kalimat: "ma-ahsana s-sama_a"مااءحسن السماء!)), dan juga contoh ayat: ""innallãha barãun minal musyrikina wa rasãluhu" (...اءن الله برء من المشركين ورسوله)... Dari sini kemudian menjadi tolok ukur eksistensi topik ilmu nahwu yang bertujuan mengantisipasi timbulnya kesalahan dan dapat menolong untuk memahami firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Kemuliaan ilmu nahwu berkat kemuliaan kegunaannya. Dengan asumsi dasar keutamaan ilmu nahwu terletak pada keunggulannya sendiri dibandingkan ilmu-ilmu tersebut dan menjadi i’tibar (bahan perbandingan). Hal ini didasarkan pada akar paradigma keilmuan islam yang berhulu pada sumber utama al-Qur'an dan al-Hadits sebagai karakteristik 'ulumul islamiyyah. Kemudian berhilir pada tiga ranah keilmuan islam, meliputi: 'ulumul syari'ah (hukum), 'ulumul lisaniyyah (bahasa), dan 'ulumul jughrafiyyah (geografi). Pada aras 'ulumul lisaniyyah kemudian berujung pada ilmu nahwu salah satunya. Singkatnya, ilmu nahwu sebagai pisau analitik bahasa memegang posisi yang signifikan dalam proses pemahaman bahasa arab, lebih khusus terkait dengan kaidah-kaidahnya.
Konkritnya, ada satu hal yang terlebih penting sebelum mendalami sebuah buku atau kitab arab, yaitu mengenal dasar-dasar ilmu yang sepuluh (al-Mabadi al-'Asyarah) dari buku tersebut. Diantaranya, mengenal siapa pelopor ilmu tersebut [Ahmad bin Muhammad bin as-Suhaimi, Syarah hud hud, 1988, 3]. Teristimewa ilmu nahwu merupakan ilmu yang pertama kali dibukukan dalam Islam, karena berkaitan dengan memelihara lisan dari kesalahan ketika membaca al-Qur an. Disamping itu, ilmu Nahwu juga termasuk kategori ilmu pembantu menjelaskan dalam mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Misalnya, ilmu Usul Fiqh [Muhammad Shidq Hasan Khan al-Qinnaj, al-Jama al-ahkam Wa Usul al-Fiqh, 1998, 7]. Tidak salah kiranya hukumnya mempelajari ilmu nahwu ada yang wajib kifayah di semua jurusan dan wajib ‘ain bagi peminat (spesialis) Ilmu Tafsir dan Hadits.
B. Dasar-Dasar Ilmu Nahwu
Kunci dalam mempelajari bahasa adalah banyaknya kosa kata yang dimiliki (dihafal) dan menerapkannya di dalam kalimat, dengan demikian ia akan mampu berbahasa dalam bahasa tersebut, namun hal itu belum menjamin keselamatan ungkapan dari kepahaman dan ketidakpahaman pendengar atau lawan berbicara yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan suatu kaedah, terutama dalam bahasa arab yang penuh dengan berbagai macam kaedah yang mana bila salah dalam menggunakannya maka akan berakibat fatal terhadap arti dan maksud dari ungkapan tersebut.
Dalam berbicara dan menyampaikan maksud kepada orang lain, tidak akan terlepas dari untaian kata-kata yang terangkai dalam suatu kalimat, dalam bahasa arabnya disebut dengan الكلام yaitu kalimat sempurna, terdiri dari dua kata atau lebih, baik terdiri dari dua isim (kata benda), misalnya الاتحاد قوة (persatuan adalah power), atau terdiri dari fi'íl (kata kerja) dan Isim (kata benda), misalnya عاد المسافر (telah kembali para musafir), atau terdiri dari fiíl amr misalnya, استَقِمْ dan faíl-nya dhamir tersembunyi (mustatir). Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kalimat tesusun dari beberapa kata dan mempunyai arti yang sempurna.
Kata الكلمة secara bahasa berasal dari kata كلم yang berarti melukai dengan anggota tubuh جرح kemudian arti tersebut lebih dikhususkan pada lafadz yang diletakkan terhadap arti tertentu. Kadang kata الكلمة yang digunakan namun makna yang dimaksudkan adalah "kalimah", misalnya dalam Al Quran: (كلا إنَّها كلمة هو قائلها) Lafadz اللفظ mencakup الكلمة dan الكلام yaitu suara yang terdiri dari beberapa huruf, sedangkan القول yaitu apa-apa yang diucapkan baik itu sempurna maupun tidak sempurna.
Macam-Macam Kata
Setiap kalimat tersusun dari beberapa kata yang mempunyai arti yang mana dapat menunjukkan akan kedudukan dari kata tersebut di dalam kalimat, misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah SPO (subjek, predikat dan objek), begitu pun halnya dalam bahasa Arab. Sedangkan "kata" itu sendiri di dalam bahasa Arab terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Isim الاسم (Kata benda): Isim secara bahasa adalah nama, yaitu sebutan yang menunjukkan suatu yang dinamakan, apakah sebutan itu pada jenis atau pada unsurnya. Manusia ناس atau رَجُل adalah nama untuk suatu jenis yang dinamakan manusia atau laki-laki, dan Ahmad أحْمد adalah nama untuk individu yang dinamakan Ahmad. Semua kata ini adalah isim. Dalam pengertian yang paling sederhana merujuk padanan dalam bahasa Indonesia, maka isim adalah nominal. Sedangkan dalam istilah Nahwu, isim adalah suatu kata yang menunjukkan makna tersendiri dan tidak terikat dengan waktu.
- Tanda-Tanda Isim
Ada beberapa tanda yang terletak pada suatu kata yang menunjukkan bahwa jenis kata tersebut adalah isim. Tanda-tanda isim tersebut adalah:
a. Tanda dari Segi Artinya
- Subjek (fail) atau pemulaan kalimat (mubtada). Contohnya عاد المسافرون
- Isim di dini bersandar pada fi'íl (kata kerja) yang menunjukkan ia adalah fa'il, contoh mubtadaمسافر خالد .
b. Tanda dari Segi Lafadz-nya
- Tanwin التنوين yaitu bunyi nun sukun pada akhir kalimat yang ditandai dengan harakat double ــًـ ــٍـ ــٌـ. Contohnya, خالدٌ atau زيدٍ,dan قانتاتٍ.
- Dapat dimasuki dan dihubungkan dengan Alif dan Lam, ألـ pada awal kata. Contohnya, الكاتب = seorang penulis.
- Dapat dimasuki oleh Jarr الجر. Contohnya, الحراس على السطحِ , kata "sathi" dibaca kasrah karena dimasuki oleh huruf jar yaitu Ála.
- Boleh dimasuki oleh harf nida (panggilan) contoh, يا زيدُ (hai Zaid) dimasuki oleh Ya harf nida.
- Kata tersebut dapat dirubah bentuknya menjadi bentuk tashgir التصغير (mengecilkan) contoh, جبل (gunung) menjadi جبيل (gunung kecil).
- Kata tersebut dapat dijadikan mutsanna (yang menunjukan atas dua) dan jama'. Contoh, طالبان، طلاب، طالبون، طالبات
2. Fi'il الفِعل: Fi’il secara bahasa berarti kejadian atau pekerjaan. Dan padanannya dalam bahasa Indonesia adalah kata kerja atau verbal. Sedangkan dalam istilah nahwu, Fi’il adalah kata yang menunjukkan suatu makna tersendiri dan terikat dengan salah satu dari tiga bentuk waktu; masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
Tanda-tanda Fi’il yang paling utama, baik fiíl madhi, mudhari’dan Amar secara umum ketika berada dalam struktur kalimat adalah:
Kata tersebut didahului oleh قد .
Tanda fi’il yang kedua adalah suatu kata itu didahului Huruf sin السينُ atau huruf saufa سوفَ.
Tanda fi’il ketiga adalah ta ta’nis sakinah تاءُ التَّأنيث السَّاكنَة yaitu huruf ta sukun yang masuk pada akhir kata. Tanda ini hanya untuk fi’il madhi saja dan fungsinya adalah untuk menunjukkan bahwa isim yang terpaut dengan predikat ini berbentuk feminin (muannas).
Tanda fi’il keempat adalah suatu kata yang menunjukkan makna tuntutan dan kata tersebut bisa menerima ya mukhathabah ياء المخاطبة atau nun taukid نُونَ التَّوكيد.
3. Huruf الحرف
Huruf adalah jenis kata yang berfungsi sebagai kata bantu, yaitu kata yang mengandung makna yang tidak berdiri sendiri. Maknanya hanya bisa diketahui dengan bersandingan dengan kata lain, baik isim atau Fi’il. sesuai dengan fungsi maknanya, dan terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
- Huruf yang dapat masuk ke isim maupun fiíl, dan huruf tersebut tidak mempunyai kedudukan apa apa dalam I’rab. Contoh, kata "hal" هَلْ dalam وَهَلْ أَتَاكَ حديث الغاشية.
- Huruf yang dikhususkan pada isim, dan huruf tersebut mempunyai fungsi serta kedudukannya dalam I’rab. Contoh, huruf Inna إنّ dan Fi في, dalam Al Quran : إنّ الله يحب الذين يقاتلون في سبيله.
- Huruf yang dikhususkan tehadap Fiíl dimana huruf-huruf tersebut mempunyai kedudukan dan fungsi dalam I’rab. Contoh, huruf Nashab dan Jazam.
C. KRITIK NAHWU IBNU MAYMUN
Kalau soal subyek, ini mungkin biasa. Tapi, soal konteks sangat unik. Entah karena ia pengagum berat kitab Ajurumiyah atau karena ia berdarah Maroko sehingga menulis kitab ini menjadi seperti sebuah parodi yang sengaja ia lemparkan ke hadapan publik. Dalam pengantarnya, Ibnu Maymun bilang: Nahwu ada dua: nahwu mulut dan nahwu hati. Menguasai nahwu hati lebih penting dan bermanfaat dibanding nahwu mulut.
Kitab ini memang jadi ungkapan keprihatinan Ibnu Maymun terhadap para pengemban pengetahuan. Ia bilang, ada orang yang tidak tahu rafa', nashab, tapi budi pekertinya sesuai al-Qur'an dan Sunnah. Sebaliknya, banyak ahli nahwu yang kelakuannya menyimpang. Sebelum anda tahu yang lain, seharusnya anda tahu Allah terlebih dahulu. Sebelum belajar nahwu, seharusnya kita jadi sufi dulu. Itulah paradigma ilmu pengetahuan menurut Ibnu Maymun.
Selain paradigma di atas, Ibnu Maymun memang membaca sebuah kesesuaian antara nahwu dan tasawuf. Ia terilhami oleh ucapan Syaikh al-Ajurumi dalam kitabnya: al-naât tabiâ li al-man'ut. Kalimat ini yang kemudian menjadi kran mengalirnya kesesuaian istilah-istilah nahwu dan tasawuf dalam ide Ibnu Maymun. Makhluk harus tunduk (tabiâ) kepada Khaliq, kata Ibnu Maymun mensyarahi bab na'at.
Tentu saja, Ibnu Maymun harus berjibaku dengan bahasa istilahi dalam mensyarahi nahwu dengan tasawuf. Ia mengartikan setiap istilah dalam nahwu dengan istilah dalam tasawuf. Dari sini terlihat kepiawaiannya dalam menggunakan dan memadukan istilah dalam disiplin nahwu dan tasawuf. Istilah-istilah gramatik menikung menjadi bahasa moral, teologis dan seringkali transenden.
Tapi, betapapun piawainya Ibnu Maymun dalam membidik harmoni terminologis nahwu-tasawuf, ia tetap berhadapan dengan dua dunia yang sama sekali berbeda. Maka, iapun kadang menyajikan harmoni itu secara sepotong-sepotong dan mengabaikan kaitan sintaksis.
Tak jarang, ia membelok tajam dengan memanfaatkan kesenjangan zhahir-bathin dan lafadz-ma'âna. Bila Ibnu Ajurum bilang: Pelaku (fail) berada di belakang kata kerja (fi'il), maka Ibnu Maymun bilang: Pada hakikatnya, pelaku berada di depan pekerjaan. Soalnya, pekerjaan muncul dari pelaku.
Sebagai salah satu referensi tasawuf, wacana yang disajikan al-Risalah al-Maymuniyah tidak terlalu istimewa. Cuma, kemasan dan konteks gramatika yang dipilih penulis betul-betul menjadi daya tarik yang luar biasa. Anda yang membaca akan dibawa pada kepiawaian penulis dalam penggunakan bahasa secara terminologis. Meskipun bisa jadi anda akan menemukan sedikit pemaksaan istilah di sini.
Setelah Ibnu Maymun, Abdul Qadir al-Kuhani juga melakukan hal yang sama. Ia mensyarahi Al-Ajurumiyah dengan tasawuf. Al-Kuhani rupanya terinspirasi oleh Ibnu Maymun. Dalam pengantarnya-pun, ia mengutip motivasi Ibnu Maymun dalam mensyarahi al-Ajurumiyah dengan tasawuf (Buletin Istinbat, Edisi Khusus Bulan Shafar 1425 H)


















IKHTISAR

Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari fungsi suatu kata dalam suatu kalimat bahasa Arab atau disebut juga Sintaksis ( tata kalimat ). Dalam penulisan di atas cukup menggambarkan pemetaan 'principal law' bukan hanya bagi kaidah ilmu nahwu, melainkan juga bagi paradigma keilmuan keislaman khususnya kaitannya dengan bahasa (linguistic).
Pertama, prinsip paradigma keilmuan ilmu nahwu lahir dari daras 'ulumul islamiyyah yang meliputi tiga komponen penting: 'ulumul syari'ah (hukum), 'ulumul lisaniyyah (bahasa), dan ulumul jughrafiyyah (kealaman). Satu hal yang menarik dari komponen tersebut adalah 'ulumul lisaniyyah' sebagai level bahasa terposisikan pada tingkatan kedua setelah 'ulumul syari'ah sebagai level hukum. Dalam hal ini bahasa arab bersama salah satu perangkat nahwunya mengupayakan inklusifitas keilmuan bagi khalayak dengan analisis bahasa yang sistematis.
Kedua, prinsip sistematisasi kaidah ilmu nahwu meruncing pada para-mode 'pisau-pisau' analisisnya bersejajar dengan barikade isim (nama), fi'il (kata kerja), harf (huruf), i'rab (perubahan awal-akhir kata), bina' (struktur kebakuan kata), dhorof zaman wa makan (keterangan waktu-tempat), dan masih banyak komponen lainnya. Hal ini lepas dari adanya perbedaan pandangan kebakuan kaidah-kaidah ilmu nahwu menurut perspektif aliran lain. Namun demikian pembahasan materi di atas -insyaallah- merupakan kaidah nahwu yang aktual dan aktual menurut validitas kenahwuan Abu L-Aswad Ad-Duali dan Imam As-Sibawaih sebagai rangkaian generalisasi dalam ranah formalisasi ilmu nahwu berstempel "akreditasi A" sepanjang sejarah Islam masa kini.
Di lain pihak, kegelisahan atas paradigma intern ilmu nahwu sendiri menemukan kerancuannya. Bertolak dari sosio-kultural keagamaan-teologis, Ibnu Maymun melontarkan kritis atas efektivitas keilmuan ilmu nahwu dan juga kredibilitas para ahli nahwu itu sendiri. Tidak aneh kemudian jika formatur karyanya dalam syarah Ajurumiyyah lebih menonjolkan pada aspek tasawwuf dalam upaya memahami gramatika bahasa dan ilmu nahwu. Dalam istilah lain, ideologisasi mistikisme ibnu maymun merombak formatisasi linguisme dalam perspektifnya. Wallahu a'lam bi sh-showab.


DAFTAR PUSTAKA




Al-Iskanda, Syeikh Ahmad – Al 'Ananiy, Syeikh Musthofa, 1916. Al-Wasith Fi Al-Adab L-'Arabiy Wa Tarikhuhu, Mesir; Daarul Ma'arif.
Al-Rajihy, Abduh, 1988. al-Nahw l-'Arabiy wa l-Durus l-Hadits Baths Fi l-Manhaj, Iskandaria; Darul Ma'rifah l-Jami'ah.
Harjono, Prof. Dr, dkk, 2006. Morfosintaksis, Bandung; Rineka Cipta.
www.google.com / Pondok Pesantren Sidogiri Online - NAHWU SUFI Paradigma Unik Ibnu Maymun di Balik Ajurumiyah.htm
www.google.com / Kafemuslimah

"SUGGESTION OF LIFE"


oleh خالد معارف pada 25 Juni 2009 jam 6:17
 
OUR FUTURE IS OUT-OF THERE

“Kepuasan diri adalah tidak dengan melihat karya lain, tapi dengan menghasilkan karya diri untuk orang lain”. –liscolukys-
“Jadwal diri adalah janji yang harus ditepati, jika terlewat satu saja niscaya akan lebih banyak bualan menghantui”. –liscolukys-
“Di dunia ini tidak ada kecapekan tapi yang ada hanya kemalasan yang selalu menggelayuti.” –liscolukys-
“Orang di sekitar adalah sobat yang perlu diajak bicara, dan bukan diajak bicara jika perlu.” –liscolukys-
“Orang lain adalah wujud tanggung-jawab pribadi, dan bukan tanggungan untuk dikasihani”. –liscolukys-
“Pulang kampung menyisakan dua kemungkinan; kembali dengan semangat atau malah enggan untuk berkutat”. –liscolukys-
“Orang yang kehilangan kesempatan, kehilangan banyak. Orang yang kehilangan sahabat, kehilangan lebih banyak lagi. Tapi ia yang kehilangan keberanian masa depan, ia kehilangan segala-galanya”. –mr.x-
“Demokrasi adalah suatu kondisi masyarakat yang diresapi oleh karakter penghormatan pada semua anggota masyarakat dalam perbedaan”.
–john dewey, filsuf pendidikan-
“Seorang penguasa harus menjaga supaya ia tidak pernah membiarkan apapun keluar dari lidahnya yang tidakdipenuhi lima sifat agar di mata orang yang mendengar dan melihatnya ia sungguh tampak bermurah hati, setia, peramah, jujur, dan religious.” –machiavelli-
“Dalam masyarakat dimana penipuan dibolehkan, berkata jujur bisa jadi justru menjadi salah satu cara untuk berbohong”. –j.a.barnes-
“Jika seorang bawahan sudah menerima perintah, maka ada peluang baginya untuk menghormati perintah tersebut tanpa bermaksud melaksanakannya. Namun, di sisi lain jika ia dapat mengeluarkan perasaan dendamnya dengan mengajukan protes dan penolakan dan menunjukkan superiotasnya dengan atasannya, dia akhirnya pasti akan melakukan apa yang telah diperintahkan kepadanya”. –ethel m.albert, sosiolog, tentang orang burundi-
“Kerja adalah cinta, jika manusia tak sanggup bekerja dengan cinta, maka lebih baik dia mengambil tempat di depan gapura candi, meminta sedekah kepada mereka yang bekerja dengan suka-cita.” –gibran, ‘the prophet’.
Menurut perspektif sosial, usia manusia dikategorikan menjadi: 1) usia 20-30 tahun sebagai proses pematangan diri, 2) usia 31-40 tahun sebagai proses pemantapan profesi dan komposisi, 3) usia 41-55 tahun sebagai proses pengukuhan peran public, 4) usia 56 tahun ke atas sebagai proses pengembangan kearifan. So, how is ur age? What should u do?
Wa qad suila rasulullah Saw, faqiila: “ya rasulullah! ayyu nisaa-in khair?”. Qaala: “allatiy tasurruhu idza nadlara wa tathii’uhu idza amara wa laa tukhaalifuhu fi nafsiha wa fi maalihi bima yakrahu” –al hadits-
“Vision and activism are both necessary, activism without vision is doomed from the start, vision without activism quickly becomes irrelevant” –omid safi-
“Liberaco (liberation) links the concept liber (free) and acao (action). There is no liberation without action” –leonardo boof-
“Adh-dhommatu ‘alaamatu li r-raf’i, al-kasratu ‘alaamatu li l-khifdhi”
“Bersatu kita teguh, bercerai kita teguh” –nahwu shufiyyah-



Selamat Menyimpulkan….!




Maskam UIN, 20 Januari 2009

Belong to,


Cholid Ma’arif

"PARADOKSAL KEHIDUPAN"


oleh خالد معارف pada 25 Juni 2009 jam 6:18
“KIKUK”
Di dalam kehidupan dimana hampir semua orang berkata; “Akulah yang paling benar!”
Tanpa sadar, seorang janin dalam kandungan dengan leluasanya menghisap “darah ibu”-nya.
Darah?
Ibu?
‘Darah’ yang mana?
‘Ibu’ yang mana?
Mana yang ‘darah’?
Mana yang ‘Ibu’?
‘Mana’ yang ‘mana’?
Sementara otak dan hati terus berkelahi dengan berbagai istilah buatan manusia…
“Akankah hakikat manusia terecipta menjadi manusia yang durhaka?”

Katakan: “Tidak!”
Itupun jika kau kini menjadi orang yang paling alim di hadapannya,
Namun masih saja kau bergantung pada dengan manja berkata;”Ma, minta uangnya dong, ku pingin naik haji. Khan gengsi dilihat temanku yang pada sudah berpangkat H”
Maka, masihkah kamu mengaku sebagai orang paling alim di hadapannya,
Dan di hadapan teman-temanmu?...

Katakan; “Tidak!”
Itupun jika kau kini menjadi tokoh di kampungmu..
Namun masih saja kau memainkan kartu Tarot di tetangga kampungmu dengan lantang berkata:
“Hey, coy berapa nomor hari ini?! Ayolah taruhan kok setengah-setengah..”
Maka, masihkah kamu mengaku kutu sebagai tokoh terpandang bagi singgasana hatimu.

Katakan: “Tidak!”
Itupun jika kau kini menjadi orang yang paling intelek di kantormu.
Namun, masih saja kau pintar memainkan otak dan jemarimu untuk menambah dan mengurangi angka dalam laporanmu., sambil berkata: “Demi keamanan bersama..”
Maka, masihkah kamu mengaku otakmu adalah segala-galanya bagimu.
Sedangkan disana terali besi tengah merindukanmu.

Ah, lain kali akan ku katakana dengan lantang.
“Ya, aku adalah anak yang durhaka!”
Aku menendang ‘ibu’-ku, aku memukulinya, menamparinya hingga pingsan, lalu aku memperkosanya hingga sobek-sobek klitorisnya
Namun, masih saja aku bangga dengan apa yang aku lakukan,
Karena “ibu” itu adalah hawa nafsu terbesar dalam hisapanku.

Ah, lain kali ku katakan dengan lancang lagi
“Ya. aku adalah orang durhaka karena korupsi berjuta-juta nilainya”
Aku merekap anggaran, membelanjakannya, menikmatinya, lalu melenyapkannya hingga semua orang bertepuk riuh dengan ulahku itu.
Namun, masih saja mereka bertepuk mendukungku dengan argument yang ‘bla-bla-bla’.
Karena yang aku korupsi adalah hasil korupsi orang kesekian.

Ah, lain kali kuulangi lagi dengan lebih pantang lagi.
“Ya, aku adalah seorang pemberontak semua tatanan tanpa ampun.
Aku berargumentasi, menyelidiki, mengkritisi, memprovokasi memberontak hingga semuanya runtuh tanpa sisi. Tanpa tahu dari sisi mana aku akan dikepung longlongan anjing pelacak.
Namun, masih saja ku terpaku dengan tangan terkepalku hingga beruban rambut ketiakku.
Karena yang ku berontak adalah struktur yang penuh ‘kongkalikong’ yang bangga atas nama.

Masihkah aku, kau, kita, mereka berkata: “Aku, e, kau, e, kita, e, mereka yang paling benar!”

Maskam uin, 17 januari 2009, 18.00 wib.
liscolukys

" Kilometer Nol "


oleh خالد معارف pada 21 Mei 2010 jam 0:47
 
“KM Nol”

KM 0 disini bukanlah titik pusat kota. Ia juga bukanlah temaptr barter budaya dengan devisa pariwisatanya. Dmana para turis tidak segan untuk membeli bahkan sekalipun negera ini. Semuanya bias di beli. Tapi itu nanti. Tidak usah ditunggu mesti akan terjadi susatu saat nanti.
KM 0 disini adalah puisat kesadaran tertinggi. Jika ia kembali pada menyadarkan kita akan keber-nol-an masing0masing diri kita, jiwa kita, bahkan ambisi maupun libido masnusia untuk saling mengguasasi. Mari dengan sadara kembali ke titik nol lagi.
KM 0 juga bisa sebuah perjalanan titik kembali. Ibarat titik strart sekaligus finish dalam event balapannya Rossi. Tapi bisa saja tidak bagi Pak Marji, sang petani yang tetap merugi namun juga tidak kekah meniti jalannya sendiri. Hyanya untuk memutar hari dan menjumpai mentari esok hari.
Tidak juga berlaku bagi Kiai Sopyan. Ia selalu bernyanyi sendiri sampai tua bahkan sampai matyi nanti. Karena nyanyiannya adalah pujian bagi sholawat-sholwat pengabdian pada NABI. Ia hanya meracau dan bisa berdiri tegak di depan para jamaah solat, bisa ju8ga berdiri tegak di bawah tekanan pegawai pajak; “Hayo Pak, pajak tanahnya mana je! Cepet bayar”.
KM 0 adalah adalah masing-masing aku, kamu, dia, kami, kita, kalian, mereka, adilmu, pamanmu, Presdidenmu, bajjianganmu,. Pencoopetmu, juga malakiat dan syetan-syetan di sekelilingmu masing-masing punya KM 0 sebagai titik jalan ia berpijak.
KM 0 adalah NU, Muhammadiyah, Persis, HTI, HMI, KAMMI, IMM, PMII, GMNI, PPP, Golkar, PKB, GeRINDRA, Demokrat, TNI, IPSI, PSHT, PN, PNS, Buruh, dan baju-baju lainnya tak usah dinyana punya TITIK NOL masing-masing.
Nah, itu baru KM 0 DI jalan, gang,, dan jalan alternative masing-masing. Lalu mana jalan besar paling besarnya? Jalan raya paling rayanya? Yang jelas tidak butuh kontraktor untuk membangunnya tidak butuh lampu merha hijau kuning oklat pink ungu biru dan lampu warna lainnya untuk sekedar melewatinya. KM 0-nya nol ya jalan kemanusiaan. Aku buth hidup, kamu pun butuh hidup. Aku buth udara, panas matahari, aku butuh air hujan, kamu pun juga begitu. Karena itu lepaslah helm mu, berhentikan motormu, mobilmu, omtelmu, pesawatmu, mari kitya berkumpul disini di KM Nol ini. Lagi. Karena kendaraan-kendaraan ini sudah tidak kita butuhkan lagi. Mari kita telanjang, mencari jalan buntu menuju titik NOL-Nya. Lagi.

-maskam uin, 190510.17.04.

"Terpojok Di Lemari Masa"

"Terpojok Di Lemari Masa"

oleh خالد معارف pada 03 Juni 2010 jam 0:36
terantuk sendu di masa kecil, ketika ingusku belum pulih benar, dan mencicipi rasa asinnya..
terbatuk di masa remaja, ketika tulangku begitu melar, hingga kini masih tajut ular..
tersuntuk di masa muda, ketika wajah sehitam jelaga, karena luka untuk merupa..
terkantuk di masa dewasa, ketika hamparan padang menjulang terang, namun aku sekedar mengernyipkan mata..

entah apa antuk, apa batuk, apa suntuk, apa kantuk yang akan mengalahkanku di masa depan nanti..
atau mungkin saja ia berhenti cukup sampai disini..
kekinian kedisinian seakan memojokkan aku pada kecemerlangan yang mendayu-dayu..
aku terbuai dengan dunia sekaligus pada keringnya sang waktu..

aarrghh, genggamanku masih begitu kecil, otakku masih cukup nihil untuk mengais yang tersisa..
dari memori-memori cinta yang universal, dan aku pun kembali di pojok bumi, yang ada di dalam lemari..


my net kidul uin, 030610, 01.38 wib.

"Suara Tercekat"

"Suara Tercekat"

pagi ini, tubuh birokrasi masih sepertinya kemarin..
dipenuhi jiwa-jiwa belatung saling menyikut sana-sini..
mengebiri segala yang wajib menjadi hak, medan pelayanan menjadi ajang kekuasaan,,
di luar pendidikan dan keubanan rambut mereka, seakan kampus menjadi ladang kosporasi
mahasiswa disana dan pejabat disini dalam selubung penuh iri
ia semakin manajamkan jeruji taring penuh taji dan tahi,

siang ini, tubuh setengah lunglai..
menyiasatkan sebuah perlawanan tak terkulai,
leher mencekik namun dada masih mampu untuk berpekik,
ada kawan menekan ia menjadi lawan dalam memutuskan.
hingga sedikit bisa aku penuhi akan janji yang pernah tertumpuki

sore ini, biasa-biasa saja tanpa warna,,
sedikit membingungkan publik menjadi sangat berguna,,
hingga semua merasa, ketiadaan ini dicari oleh mereka,,

malam ini, diantara mencorong fatwa dan dalil penuh amplop
di masjid dan musola tanpa stop..
ada seonggok mutiara yang bagi kebanyakan sampah dalam mata pemodal..
kaum pemulung dan preman yang -sempat- terlarang bertobat tanpa binaan.
jauh dari sederhana dalam berbuka dan bersua; iman mereka tetap ada tanpa cara..

masih malam ini, sekali lagi peradaban semakin membuatku geram..
diciptakan untuk memudahkan termasuk penghantar nyawa kawan yang hilang..
di luar dunia kosmis tanpa ampun serampangan mengambil jiwa tenang ke dalam fana yang menyayatkan
selama jalan kawan; doa dan amalmu semakin menghiburmu di alam Tuhan.

berlanjut semakin larut, kegelisahan memuncak semburat tanpa terduga
sumpah serapah rakyat kecil yang terbungkam semakin tersuarakan dalam komunikasi yang tak instan
semoga ini menjadi doa dan harapan; akan penindasan yang semakin menikam.
butuh satu jawab; pengabdian dan kepercayaan

My Net kidul UIN, 00.30 WIB 02 Ramadan 1431 H / 11 Agustus 2010.

"Selamat Hari Kemerdekaan; Untuk Wilayah Istana Negara dan Sekitarnya"

"Selamat Hari Kemerdekaan; Untuk Wilayah Istana Negara dan Sekitarnya"

oleh خالد معارف pada 17 Agustus 2010 jam 7:50
Pagi kala itu, masih sesegar kini. Diirngi riuh rendah ruangan kelas sebelah yang menyoraki kami. Disambut sorak kebanggaan karena terpilihnya aku sebagai salah seorang tim Paskibraka di MI dulunya. Ku awali karir dari barisan paling belakang sejak kelas 4. Hanya karena alasan fisik; postur tubuh tinggi, tampang nggak amat mengecewakan publik, plus anak guru agama, cukup membuatku beralasan terpilih dalam tim ini. Oya, tidak lupa karena termasuk murid yang mudah diatur.

Agak menjelang terik, sembari merapikan kaki-kaki angg berjalan layaknya robot siap tempur dengan semangat Perang Dunia III ,sebuah laten yang mengancam, kami masih berbangga menyeragamkan gerakan barisan penuh dengan seragam ingusan; "pramuka" namanya. Dengan sekali komando: "kanan! kanan kiri kanan kiri kanan! tu! wa! ga! pat! dan seterusnya merupakan pemandangan latihan gerak jalan yang cukup membanggakan di jalanan pedesaan berpeluh harapan para wali mengidamkan putranya akan berguna bagi nusa dan bangsa kelak. Itulah kelas 5 MI, maklum jika kmudian aku sudah berposisi di barisan paling depan. Bahkan menjadi komandan barisan dalam perlombaan gerak jalan antar SD - MI se-Kecamatan.

Ritus-ritus simbol ini masih berlanjut hingga terakhir kalinya masih dalam perwujudan yang sama; lomba gerak jalan agustusan di kelas 1 MTs. Bahkan sampai pada semester ketujuh atau delapan tahun kemudian layaknya mahasiswa KKN di Jogja masih banyak ditemui para warga yang membuatku salut dan bangga. Bukan karena Pemerintahnya, tapi karena negara yang sangat kaya akan masyarakatnya yang berani dan kuat menahan rasa. Entah itu rasa dendam, benci, cinta, ego, gelisah, rindu, phobia, bahkan rasa lapar pun -sementara- para rakyat kecil sekalipun seakan tenggelam begitu saja. Cukup dalam satu hari, tanggal 17 ini saja.

Ya. Topeng kemunafikan dan pegkondisian secara sistemis itu merupa dalam berbagai lomba Agustusan; baik antar anak maupun dewasa, antar jompo dan orang tua, bahkan antara makhluk hidup dan mayat hidup yang gelisah dengan makna kemerdekaan di alam kubur sana. Terang saja suara-suara tercekat itu mencuat dengan bentuk dan rupa yang lain. Termasuk dengan upacara bendera berbagai warna; satu warna merah di bendera bagian atas, satu warna putih di bendera bagian bawah, dan satu lagi bendera warna hitam di kalbu para jiwa yang terjajah oleh hak-hak yang tercerabut dari pang cukong penguasa yang setengah hati. Aku semakin ragu dengan drama upacara bendera, lomba panjat pinang, pagelaran pasukan veteran, terlebih pertunjukkan para anjing-anjing penjilat bak sekompi tak pernah habis dengan senjata lengkap yang siap menggonggong kapan saja dimana saja selai tuan majikannya masih berkuasa.

Menariknya ini terjadi di Istana Negara. Dimana para cukong-mania berkumpul bersatu merapatkan barisan menggelar sesaji kepada para pendahulu yang sebenarnya tidak butuh doa-doa dan pengheningan cipta dari mereka. Ada bapak presiden dengan memakai jas kebesaran dengan kerah baju yang mencekik. Bapak polisi yang tidak puas dengan satu pistol biologis di tengah dan manambahkan satu pistol psikologis di samping badan. Para siswa, murid, guru, dan sebagian mahasisw yan menjadi sampel-sampel kemerdekaan atas  keterwakilan kesejahteraan bangsa Indonesia yang duduk di tribun sana.

Jauh satu keadaan di bawah tribun, lebih jauh lagi di bawah kolong jembatan, lebih dalam lagi nun jauh di alam bawah sadar kemiskinan 17 Agustus tiada arti kecuali hari tanpa libur tersendiri. Dalam kemerdekaan yang tak terperi dalam sedalam sanubari....(bersambung: masih ngantuk banget)

"Filsafat Ramadhan vs Jamaah Bioskop" [Kompilasi Bahasa Budaya dan Filsafat]

"Filsafat Ramadhan vs Jamaah Bioskop"
[Kompilasi Bahasa Budaya dan Filsafat]


Sesuatu yang diperebutkan oleh para ahli nujum -baik itu dalam pengertian ahli falak maupun ahli ramal- akhirnya datang juga. Suatu masa dimana serangkaian dan sekumpulan partikel dan element bahkan pancaran aura layaknya oase setitik di padang panas selangit berada telah ditemukan. Bak penghuni padang mahsyar kini sedikit demi sedikit telah mencecapi dan membasahi lidah dan bibir mereka masing-masing dengan seteguk atau setetes yang mungkin ia dapat dari selama hampir per sepuluh hari oase Ramadhan.

Jamaah Bioskop

Ini belum seberapa jika dibandingkan dengan perdebatan awal dan akhir. Ibarat jamaah yang berebut masuk bioskop, ketika sudah dapat tempat duduk akan nyaman-nyaman saja di dalamnya. Persoalannya sekarang "awas kalo sampe ada yang menghalangi pandanganku ke depan layar". Setengah sadar tempat duduknya memang sedang dilanda tsunami. Jomplang di sana, jomplang di sini.

Pemutar film mulai di jalankan diputar. Dan semua jamaah masih terpana terkesima menanti pada sebidang layar yang masih mencorong putih. Tanpa warna, tanpa gambar. Jamaah yang duduk paling belakang mulai agak risau. Takut ada yang akan berjingkat menghalangi pandangnnya. Jamaah yang duduk di barisan tengah lebih kaku lagi. Seakan mau berdiri namun takut akan karma sosial dari jamaah di belakangnya. Satu sisi jamaah di depannya nampak akan 'kebelet' mengawan hitam menghalang. Sedangkan layar itu masih saja menggoda  merayu penuh penasaran.

Sampai disini pembaca masih kebingungan akan perilaku jamaah penonton bioskop di dalam. Yang jelas bukan karena filmnya apa, atau tempat bioskopnya dimana. Apakah ia film blue, red, green, atau coklat yang manis rasanya itu masih baunya yang seringkali menjebakkan jiwa. Mending kita tarik keterkaitannya dengan perdebatan awal tadi. Dimana perdebatan waktu dimulainya awal Ramadhan layaknya jamaah yang berebut mengantri atas kepastian dirinya masuk gedung bioskop. Menanti dan mengharap penuh kesadaran yang tidak sadar bahwa ruangannya itu tetap akan menampung raganya. Atau bahkan tidak. Ketika ia mati dalam penghujung nyawanya dan gagal menemuinya -Ramadhan.

Ketika sudah tertamping masuk di dalam satu ruangan sekalipun, mau tidak mau orang akan menerima dengan lapang tempat duduknya. Walaupun dalam barisan dan shof serta koridor yang berbeda. Bahwa ada yang duduk di tengah, belakang, atau depan sejauh mata memandang pada setancap layar yang sementara terdiam. Terfokus pada peraturan akan pembagian tiga element dan atau gradualisasi masa dalam Ramadhan. Ini lagi sedikit perlu diperdebatkan agar tidak salah sasaran.

Karenanya hadits sudah mengantarkan bahwa ada keunikan dalam setiap pertiga Ramadhan. Sepuluh hari pertama, Pak Rahmat bermain. Sepertiga kedua Bu Maghfiroh ikutan. Dan sepertiga ketiga Pak Barokah ikutan pula. Lalu, kenapa mesti Pak Rahmat dulu yang bermain? Bukannya Bu Maghfiroh dulu (wah mesti ada pembelaan PSW Pusat Studi Wanita ini, ato bahkan dari tim Studi Pusat Wanita). Dan kenapa juga Pak Barokah yang duluan aja? (dilihat dari namnya kayaknya beliau yang paling tua).

Filsafat Ramadhan

Di tengah keributan, anaknya datang mengingatkan tentang  pelajaran pengantar filsafat semester awal-awalnya saja. Dalam bentara kerangka filsafat yang sok kuat. Aurora fondasi segala sesuatu tidak akan jauh-jauh amat dari tiga hal yang hampir-hampir mirip jika ditilik dari fungsi dan nilai perebutan tiga tokoh pemain di atas tadi. Pembahasan tentang rahmat, maghfiroh, dan barokah; bisa jadi tidak akan jauh amat atau bahkan berdekatan bertetangga dipahami dengan tiga konsepsi filsafat; ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Pertama kali, ontologi yang selalu meributkan diri tentang inti dari(pada) segala sesuatu. Jika 'gathuk'kan dengan keutamaan sepertiga pertama dalam bulan Ramadhan adalah rahmat (inipun jika dianggap benar). Bahwa awal dari segala bentuk dan niat adalah sesuatu yang jadi. Karenanya derivasi istilah "rahmat" sendiri berasal dari "maf'ul" (objek) pada bahasa Arab: "rahima"- "yarhamu" - "rahmatan". Yang bisa berarti bentukan dari hasil dan proses kasih sayang. Seonggok makhluk, bahkan bakteri sekalipun dipastikan tidak akan bisa bertahan hidup kecuali dengan rahmat. Yaitu dengan saling menyayangi dan mengasihi sesama untuk menjalin saling keterkaitan. Seseorang tidak akan mampu mencintai orang lain tanpa ia memiliki rasa dari cinta itu sendiri dalam relung jiwanya yang paling dalam. Itulah mengapa rahmat-lah yang paling pertama kali ditanamkan dalam benak jiwa manusia. Karena Tuhan tidak buta. Sang guru tidak akan mengajari menulis kepada muridnya tanpa ia memegangi mereka polpen dan bukunya. Hanya sebagai awal dan tetap di muka keberadaannya mengawali segala hal. Rahmat. Cinta sebelum semuanya menjadi fa'al.

Setahap kedua lebih maju, carilah jalannya! Bahwa manusia diberi akal dan jiwa untuk mencari jalan pelariannya dari takdir yang kadang menyesatkannya. Karenanya epistemologi menjadi bahasa filsafatnya. Bahwa cara menjadi tumpuan melangkah berikutnya. Sejauh manusia mencari akhirnya ia menemukan Al Qur'an dengan berbagai gelar akademik yang ia punya. Entah itu sebagai "al huda", "al furqon", "al kitab", dan "al", "al" yang lainnya pula. Sungguh konon, ia diturunkan pada hari Nuzulul Qur'an, tanggal 17 Ramadhan. Dimana ia masuk dalam bilangan sepersepuluh kedua dalam tatanan kosmis Ramadhan. Sebagai epistemologi yang tak pernah henti. Sedeikit menjejali manusia dengan sedikit cara bahwa antara Dia dan ia benar-benar ada untuk memperteguh rahmat-Nya.

Selangkah akhir sepersepuluh Ramadhan status "berkah" menunggu di sana. Mendewakan aksiologi sebagai titahnya. Bahwa segala yang sebelumnya menjadi pegangan kini semakin tercengkeram erat dalam genggaman hatinya. Memang mau diapakan lagi kalau tidak semakin memperteguh buah dan buih dari ketakwaannya sepanjang titik oase Ramadhan berada. Dalam seluas mahsyar menerpa. Yang akan ditemui hanyalah cinta-Nya yang Luar Biasa mampu meniadakan yang ada di kanan kiri kita. Dan karena berkah mesti selalu ada sisa-sisa yang kembali pada kita, orang tua kita, anak cucu kita, manusia separahnya hanya menghamba dan mencinta dalam aksiologionya sebagai bentuk pengejawantahan yang nyata tiada tara. Tak pandang Dia jatuh pada malam yang apa dan malam yang mana diantara sepersepuluh akhirnya.

Coba Gathukkan

Sang layar bioskop adalah rahmat yang menjadi fokus para jamaah ketika memasuki bioskop Ramadhan. Duduk bershof-shof dalam barisan yang tidak sama adalah kecenderungan pilihan masing-masing utnuk duduk mendekat atau menjauh dari rahmat yang tersaji di depannya dalam kapasitas pandangan yang berbeda dan kapabilitas penglihatan yang berbeda pula tergantung epsitemologi ketekunannya. Segala bentuk apresiasi dari para jamaah bioskop Ramadhan baik itu ekspresi gembira sedih bahagia sendu tawa cinta duka kecewa gelisah adalah serangkaian aksiologi dari dampak berkah yang ditmapilkan dari bentuk gerak dan warna yang dipancarkan dari sang layar rahmat itu memancarkan berkahnya. Yang duduk paling depan akan sangat terkena psikisnya dengan segala hentakan, menyusul semakin ke belakang hentakan surprise yang diterima akan sedikit berbeda. Terserah para jamaah mau duduk di depan atau di belakang atau di tengah-tengahnya; semua ada resiko dan perjuangannya. Wallahu a'lam bishshowab.

Yogyakarta bagian My Net kidul UIN, 02.38 WIB. 20 Agustus 2010 / 10 Ramadhan 1431 H.