Rabu, 28 Desember 2011

“SOCIALISM AND ISLAM; A Review on Encyclopedi of Islamic World”

Abstraksi

Pemikiran dan paham keagamaan suatu masyarakat ditentukan oleh sejauh peradaban dan sedalam pengetahuannya terhadap dinamika itu sendiri. Setidaknya begitulah yang mewakili proses lahirnya ideologi sosialisme, dimana ia dilahirkan dalam situasi penindasan hak, ketidak-adilan, dan keterjajahan. Dalam kondisi seperti ini, bagi pelaku pemikiran, agama tidaklah cukup dijumudkan pemahamannya secara tekstualis doktrinal semata, namun bagaimana agama mampu menjadi semacam stimulan awal untuk menyatakan gerakan yang riil dan bisa dirasakan oleh semua pihak. Hubungan saling mempengaruhi di bawah bayang sosialisme ini terjadi di negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Bagaimana mereka memposisikan sosialisme hampir seperti agama itu sendiri, lebih dari sekedar “tongkat Musa”. Tidak dengan menunggu keajaiban untuk mengadakan perubahan. Pada bagian inilah makalah dalam bentuk review akan mengulas sedikit banyak anomali tersebut. Setidaknya tulisan ini didasarkan pada ensiklopedi dunia Islam yang ditulis oleh Selma Botman dengan sedikit penjelasan serta kritik seperlunya dari penulis.

Kata kunci: sosialisme, Islam, ideologi, pembaharu

A. Pendahuluan; Embrio Sosialisme

Arah dan orientasi kehidupan yang dirasakan oleh suatu masyarakat dalam satu wilayah semakin lama menjadi kegelisahan akut yang tak terbendung lagi. Kemunculan satu dua orang pemikir diantara mereka kemudian terbukti mampu menjadi penggerak bagi yang lain untuk bangkit. Namun sebab utama adalah bukan dari ketokohan manusia tersebut, melainkan adalah produk pemikiran dan kontribusi yang ia berikan bagi masyarakatnya. Setidaknya situasi inilah yang salah satunya melatari dengan penuh problematika pelik munculnya ideologi sosialisme sebagai paham perjuangan pembebasan dari keterjajahan “the others”.

Secara literatur, asal-usul term “sosialis” pertama kali dipakai pada 1827 dalam Cooperative Magazine sebagai gambaran umum doktrin kooperatif milik Robert Owen (1771-1858) yang kemudian menjadi bentuk –isme, “sosialisme” dalam La Globe, jurnal milik pengikut tokoh sosialis Comte de Saint-Simon (1760-1825). Sedangkan secara historis,prinsip dasar Sosialisme awal merupakan derivasi dari filsafat Plato, ajaran nabi-nabi Yahudi, dan beberapa ajaran dari kitab Perjanjian Baru. Namun pada perkembangannya kemudian, latar nuansa religius ini mulai bergeser sejak peristiwa “renaissance” di Eropa menuju gerakan pada terbentuknya suatu komunitas ideal bersama-sama atas dorongan kesadaran dari pemilikan pribadi.

Problem utama yang melatari munculnya sosialisme merupakan bentuk reaksi minoritas yang menentang pelaksanaan etika kapitalis dan pengembangan masyarakat industri yang tumbuh secara massif pada abad pertengahan (Revolusi Perancis dan Revolusi Industri di Inggris). Jadi, secara umum term “Sosialisme” digunakan untuk merujuk pada sebuah ideologi, seperangkat kepercayaan komprehensif atau idealisasi tentang sebuah masyarakat dan negara sesuai dengan cita-cita para penggagas bagi gerakannya, yaitu ide-ide atas klaim perjuangan terhadap nilai-nilai persamaan, keadilan sosial, kerjasama, kemajuan, kebebasan individu, nihilitas kepemilikan privat, dan kontrol negara atas barang produksi, baik dengan gerakan konstitusi maupun cara-cara yang revolusioner.

Tulisan di bawah ini merupakan kilasan terjemahan dari sebuah buku Encyclopedi of Islamic World yang disusun oleh John L. Esposito. Adapun pembahasan khusus tentang sosialisme dan Islam di dalamnya merupakan buah tangan dari Selma Botman.

B. Sosialisme dan Islam; Sebuah Ensiklopedi Dunia Islam

Antara Setting Budaya dan Interpretasi Keagamaan

Sosialisme dan Islam merupakan dua isu besar yang terbilang baru melanda aspek sosial dan falsafah keagamaan di negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Walaupun kedua isu ini seringkali menguatkan satu sama lain, namun terkadang juga menimbulkan konflik. Kedua kelompok pemikiran inilah baik, secara individu maupun masal, yang berusaha menancapkan pengaruhnya pada bidang politik dan spiritual di wilayah tersebut.

Pemikiran dan praktek sosialis secara umum diperkirakan berasal dari pribumi asli Eropa, namun juga mempunyai akar pada bangsa di Arab Timur Tengah. Salah satu referensi yang paling awal tentang sosialisme dapat ditemukan pada tulisan Jamaluddin Al Afghani (1838 – 1897), seorang pembaharu Islam kenamaan dari abad ke-19. Al Afghani menemukan konsep ‘Al-Ishtirȃkȋyah (sosialisme) pada masa tradisi badui Arab Pra-Islam. Para ‘founding fathers’ awal negara Islam, menurut Al Afghani, diangkat dari tradisi tersebut, dimana terdapat basis struktural untuk mengorganisir dan mengatur masyarakat. Al Afghani beranggapan bahwa sosialisme merupakan asli doktrin bangsa Arab yang menjelaskan komitmen sejarah komunitas Muslim terhadap kesejahteraan seluruh warga negara.

Di Mesir, pemikir sosialis pertama yang terkemuka adalah Salȃmah Mȗsa (1887–1958), seorang advokat di bidang keadilan sosial sejak menjadi mahasiswa di Inggris pada awal tahun 1900-an. Pada tahun 1913, sekembalinya ke Mesir, dia mempublikasikan esai pertamanya dengan judul Al-Ishtirȃkȋyah (Sosialisme), sebuah upaya untuk mengenalkan tema sosialis kepada generasi intelektual Arab dan aktifis yang tertarik pada strategi pembaharuan demi modernisasi dan kemajuan. Dengan dipengaruhi oleh pemikiran Fabian, Mȗsa mempublikasikan 50 judul tentang sosial, ekonomi, dan filsafat menjadi buku yang sangat diminati.

Salȃmah Mȗsa juga aktif di organisasi politik, dan pada tahun 1920 dia berpartisipasi dalam Partai Sosialis Mesir, yang kemudian berganti menjadi Partai Komunis Mesir pada tahun 1923 dan dikawal oleh ideologi Marxisme. Mengamati perubahan ide-ide radikal dalam partai, Salȃmah Mȗsa dan pembaharu lainnya memutuskan keluar dari aktifitas organisasi oposisi. Partai Komunis akhirnya memarjinalkan penganut sosialis Fabian, yang kemudian juga tidak bisa bertahan lama berjalan.

Di Mesir, para sosialis sekuler bergerak secara legal maupun rahasia sejak Perang Dunia I, tetapi para pembaharu Islam tidak langsung menerima dasar ide-ide keadilan sosial secara religius sampai tahun 1930-an dan 1940-an. Organisasi Ikhwanul Muslimin misalnya, yang didirikan tahun 1928, tidak serta merta merapat pada ideologi sosialis, tapi melalui eksistensinya, interaksi pun terjalin, sebagai sikap perlawanan baik terhadap paham sekuler maupun sosialis. Secara pemikiran, Ikhwanul Muslimin mengusung visi gerakan kebangkitan Islam abad ke-19 yang mendukung penegakan sebuah sistem Islam pemerintahan yang berazaskan Alqur’an dan Sunnah Nabi. Organisasi ini melakukan perlawanan terhadap penetrasi Barat di dunia Islam, termasuk pemikiran sosialis, yang dipahami sebagai bentuk lain ideologi kolonisasi yang disusupkan ke dalam masyarakat muslim.

Hasan al Banna (1906-1949), pemimpin tertinggi Ikhwanul Muslimin Mesir, dan pribumi lainnya mereprensentasikan diri sebagai generasi baru nasionalis yang telah kehilangan kepercayaan pada bujuk rayu liberal, ekonomi, dan kemajuan model Barat. Mereka merasa terpanggil atas nama kemerdekaan nasional, modernisasi sosio-ekonomi, dan keadilan sosial ekonomi, mereka mengadvokasi kelahiran kembali masyarakat melalui konsep-konsep yang terinspirasi secara keagamaan. Serta menekankan universalitas dan komitmen Islam untuk mewariskan keadilan kemanusiaan dan ekonomi, para pembaharu Islam kembali pada Alqur’an itu sendiri sebagai bentuk konfirmasi spiritual dan material keimanan mereka dalam merespon perkembangan sosial. Diiringi dengan proses identifikasi cara yang relevan berdasar kitab suci dan teladan hidup Nabi Muhammad Saw, para pemikir Islam berkeyakinan bahwa doktrin keagamaan tidak hanya mengandung petunjuk bagi hubungan antara pengiman dan Tuhan, tapi juga mengamandatkan bagaimana sebuah masyarakat mesti mengorganisasikan dirinya sendiri dan bagaimana rakyat mampu terwakili kepentingannya. Ideologi Ikhwanul Muslimin merujuk pada zaman Nabi dan khalifah setelahnya untuk mereformulasikan kembali sebuah paradigma kekinian secara kontekstual.

Pasca Perang Dunia II, Sosialisme Islam (penyebutan ini kadang dapat ditukar dengan istilah Sosialisme Arab) mengambil seting akarnya di Timur Tengah dan Afrika Utara. Mesir, Syiria, Libia, Irak, Iran, Tunisia, Algeria, dan Yaman Selatan secara terpisah dan zaman yang berbeda masing-masing mempunyai variasi Sosialisme Islam. bagaimanapun juga, Gamal Abdul Naseer-lah orang yang pertama kali mengkaitkan antara Islam dan sosialisme dan digunakan untuk mengkonsolidasikan serta melindungi rezimnya.

Revolusi sosialis Nasser sangat terbantu oleh partisipasi kalangan pemuda pada tahun 1952 dengan turut menyumbangkan tulisan-tulisan intelektual muslim progresif di Mesir. Terutama sekali, Syeikh Khalid Muhammad Khalid (lahir tahun 1920), dalam bukunya Min Hunȃ Nabda’ (Dari Sini Kami Memulai) berargumentasi bahwa sosialisme dilahirkan oleh Islam dan patut menjadi sebuah alternatif untuk menangkal perkembangan ekonomi kapital di negaranya. Walaupun gagasan Khalid diilhami dari gerakan demokratis sosial Eropa, interpretasinya tentang Mesir modern berakar dengan kuat dengan kondisi pada masanya; kuasa penuh penjajahan Inggris, keterbelakangan ekonomi, dan kemerosotan moral. Mesir, menurutnya, tidak akan bisa maju baik secara spiritual maupun ekonomi hingga ia mampu memajukan kehidupan warganya dan memperlakukan mereka dengan baik berdasar keadilan yang ditetapkan oleh Alqur’an. Khalid yakin bahwa revolusi 1952 dapat menjadi permulaan kemajuan sosial yang penuh makna dan pertumbuhan spiritual Islam.

Sebuah kritik mainstream Islam terhadap pemikiran dan praktek di al Azhar, Khalid berpendapat bahwa perilaku agama kebangsawanan merupakan reaksi keagamaan yang memperkuat status kesejahteraan dan menyebabkan kemiskinan bagi kebanyakan lainnya. Darinya, kebenaran Islam menjadi pedoman, keterbukaan, dan berpijak pada komitmen keadilan ekonomi.

Salah satu teoritikus paling berpengaruh pada masa Nasseer adalah Mustafa al Siba’i (1915- 1964), dekan Fakultas Hukum Islam dan Madzhab Hukum di Universitas Damaskus dan Ketua Ikhwanul Muslimin cabang Syiria (dikenal sebagai Front Sosialis Islam) antara tahun 1945 dan 1961. Sebagai seorang sekutu Nasser, al Siba’i membubarkan Ikhwanul Muslimin cabang Syiria pada tahun 1958 ketika semua partai politik dan organisasi rakyat Syiria ditiadakan dalam rangka persiapan membangun Republik Arab Serikat.

Pada tahun 1915, al Siba’i mempublikasikan Ishtirȃkȋyat al-Islam (The Socialism of Islam) dimana ia berargumentasi bahwa sosialisme dan Islam itu tidak setara, tapi bahwa adopsi sosialisme itu tetap harus menjadi target masyarakat. Menurut al Siba’i, sosialisme lebih penting daripada nasionalisasi hak kepemilikan, lebih signifikan daripada perpajakan progresif, dan lebih bermakna daripada pembatasan kepemilikan individu; sosialisme sebagai sebuah perangkat pembangunan menjadi cara untuk menciptakan kemakmuran dan pendewasaan masyarakat. Lebih dari itu, sosialisme merupakan sebuah garansi untuk melawan eksploitasi manusia dan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk mengawasi pembangunan ekonomi. Sosialisme merupakan formulasi al Siba’i untuk mengeliminasi kemiskinan dan memberikan kesempatan kepada individu untuk mengembanngkan potensinya.

Dalam rangka untuk menggencarkan bahwa sosialisme melindungi hak kepemilikan, al Siba’i mendefinisikan Islam sebagai ideologi yang tidak lebih kaku daripada komunisme. Dalam kenyataannya, sosialisme Islam berbeda dari sosialisme keilmuan atau komunisme yang mengupayakan kepemilikan pribadi harta dan produksi serta hanya merampas kekayaan dengan anggapan bahwa kekayaan para pemilik itu menjadi barang eksploitasi. Sosialisme Islam mengupayakan sektor publik agar dapat eksis satu sama lain bersama sektor pribadi dan mengadvokasi hubungan yang harmonis antara kelompok-kelompok masyarakat, dan bukan kelas perang. Masyarakat juga memungkinkan terjadi perbedaan kelompok penjabatan untuk eksis dan mengangkat pembagian tenaga kerja dalam masyarakat, tetapi kelompok-kelompok tersebut diharapkan menjadi hubungan kerjasama dan bukan permusuhan.

Basis pokok solidaritas sosial dalam model sosialis Islam, menurut al Siba’i, adalah al-takȃful al-ijtimȃ’ȋ atau sebuah kombinasi persamaan, keadilan, saling menguntungkan, dan bertanggungjawab. Ketika masyarakat sosialis mencapai tujuannya, ia akan menegakkan, situasi yang bebas konflik, berdasar pada prinsip moralitas dan kolektivitas.

Al Siba’i menekankan bahwa sosialisme Islam meletakkan lima pilar, yaitu; hak untuk hidup terlindungi dan sehat, hak untuk bebas, hak untuk berilmu pengetahuan, hak untuk bermartabat, dan terpenuhinya hak untuk kepemilikan. Dia juga menekankan bahwa Islam mengakui keinginan personal untuk berkreasi dan menghimpun kesejahteraan serta untuk memiliki harta. Walaupun al Siba’i percaya dalam kewajiban sosial berkaitan erat dengan kemakmuran, seperti zakat. Selain itu dia juga berpendapat bahwa kewajiban bukanlah konstitusi sosialisme. Dia berempati pada keyakinannya bahwa satu-satunya cara untuk mengelimanisi kelaparan, wabah penyakit, dan ketidakadilan adalah melalui legislasi nasional yang didukung oleh wewenang pemerintah.

Walaupun al Siba’i memainkan sebuah peran besar dalam menyediakan justifikasi intelektual bagi sosialisme Islam, tapi tidak semua pemikir Islam atau aktifis sepakat dengan pendekatan ini. Sayyid Qutb (1906-1966), sebagai contoh, ideolog utama Ikhwanul Muslimin Mesir pada masa Nasseer, mencela terma sosialisme Islam, dengan mengimani bahwa Islam sendiri sudah diwahyukan bagi manusia memang demi tujuan keadilan ekonomi, nilai moral dan spiritual, dan persamaan. Qutb menganggap Islam sebagai satu-satunya bagi persoalan sosial, ekonomi, nasional, dan moral yang dihasilkan oleh kapitalisme dan komunisme.

Bagi Qutb, hanya ada dua ideologi masyarakat yang dapat diikuti; yaitu jalur Islam atau disebut Jȃhilȋyah, atau kebodohan pra-Islam. Qutb mengasumsikan bahwa kapitalisme, sosialisme, dan komunisme itu tidak ada bedanya dengan Jȃhilȋyah dan tidak akan pernah bisa didamaikan dengan Islam. Islam, di lain pihak, adalah satu-satunya aspek yang mampu memuaskan dan memenuhi semua kebutuhan manusia. Sikap oposisi Qutb terhadap sosialisme Nasseer dan militansi tulisan-tulisannya menjadikannya sebagai musuh bagi rezim Nasseer. Sehingga ia ditahan selama beberapa tahun dan akhirnya dieksekusi pada tahun 1966.

Dalam perwujudannya, negara Islam berlandaskan pada Syariah sebagai sebuah perintah, menurut Sayyid Qutb; tipe lain masyarakat selain landasan tersebut adalah tidak sah. Qutb banyak menulis buku tentang Islam, dan berpendapat bahwa semua muslim memberikan diri mereka sendiri secara total dalam usaha untuk meraih masyarakat Islam yang sejati.

Di luar Mesir, suku Ba’ats baik di Syria dan di Irak mengadopsi seperangkat besar sosialisme Islam. Ideologi Ba’ats selalu konsisten dengan sikap anti kolonialis, Pan-Arabisme, dan intervensi dalam legislasi sosial di bidang kesehatan, pendidikan, dan hak-hak pekerja. Kolonialisasi yang dilawan seperti nasionalisasi industri-industri pokok, perbankan, dan perdagangan asing serta bualan perencanaan ekonomi.

Menurut Michel ‘Aflaq (1910-1989) dan Șalȃḥ al-Dȋn al Bayțȃr (lahir tahun 1912), seorang pemikir politik Syria dan filsuf, ideologi Ba’ats merayakan budaya Arab dan pengalaman historis Nabi Muhammad. Pada prinsipnya, paham Ba’ats menolak sikap intoleransi keagamaan dan menjanjikan manusia yang paling agung dan kebebasan masyarakat.

Sosialisme di Wilayah Maghribi

Libya juga menyuguhkan peristiwa yang dramastis dalam upaya konsistensi perjuangan revolusi untuk mengubah dunia Arab pada tahun 1950-an dan 1960-an. Pada tahun 1969, Mu’ammar al-Qadhdhȃfi (lahir 1942) dan sekelompok tentara muda menggulingkan monarki Raja Idris dan secara radikal membangun masyarakat baru berlandaskan Pan-Arabisme, sosialisme, dan Islam.

Qadhdhȃfi mengikuti jejak revolusi dan model ideologisasi yang diatur oleh mentornya, Nasser, dan mencanangkan sebagai komimen paling baru untuk kesatuan Arab, kualitas ekonomi, dan anti-imperialisme. Tapi Qadhdhȃfi meninggalkan Nasseer dan memposisikan garapan idiosinkretiknya di Lybia dengan mengadakan islamisasi kehidupan sosial. Dalam hal ini, Qadhdhȃfi melarang praktek perjudian, penggunaan alkohol, dan diskotik sebagai upaya untuk memperbaiki moralitas publik. Dia juga menerapkan hukuman dengan hukum Islam terhadap kejahatan seperti pencurian, perzinaan, dan praktek riba.

Qadhdhȃfi menghimpun ide-idenya ke dalam tiga volume bukunya dengan judul The Green Book. Pada volume pertama, “The Solution to the Problem of Democracy”, dipublikasikan pada tahun 1975, Qadhdhafi menggaris bawahi Teori Internasional Ketiga-nya (juga dikenal sebagai Jalan Ketiga), yang dia pahami sebagai sebuah alternatif baik untuk kapitalisme dan komunisme. Dalam The Green Book, Qadhdhȃfi mengkritik kedua bentuk kolonialisasi Barat dan dominasi Soviet, dengan argumentasi bahwa pengaruh asing telah mengkontaminasi masyarakat-masyarakat Muslim dan membuat moral dan teologi para penganutnya rusak.

Sebagai sebuah cara untuk menentang tekanan imperialis, Qadhdhȃfi menciptakan sebuah doktrin yang diilhami dari Alqur’an dan konstitusi negara untuk mencetak Muslim anti-kolonialis di Timur Tengah dan Dunia Ketiga. Dalam pengajaran Alqur’an, dia secara tidak langsung telah menyarankan solusi-solusi yang dapat ditemukan bagi semua problem kemanusiaan –rangkaian dari peristiwa-peristiwa personal bagi hubungan internasional. Bagi Qadhdhȃfi, aplikasi sosialis Islam dan model demokrasi mampu mencegah penjajahan asing maupun domestik serta mampu membimbing masyarakat.

The Green Book bukan sekedar sebuah teks keagamaan, tapi lebih sebagai ajakan yang provokatif dan inspirasional, dan dapat diakses oleh pembaca secara luas. Karya Qadhdhȃfi tersebut memberikan pengaruh yang luas dari Libya hingga Timur Tengah, Afrika Utara, dan Dunia Ketiga lainnya.

Islam juga mewacanakan gerakan pembebasan nasional pada beberapa wilayah bagian Maghribi (dikenal sebagai Arab Timur atau Afrika Utara), setelah nasionalisme terkalahkan, rezim sosialis pun terbentuk. Perkembangan gerakan kemerdekaan mendapatkan reaksi yang keras oleh kebijakan kolonial Perancis yang telah berkuasa pada abad ke-19 dan ke-20. Bangsa Arab Afrika Utara dan Barbarian sangat membenci upaya bangsa Perancis dalam membasmi tradisi politik lokal dan meruntuhkan kekhasan para pemimpinnya. Sebagaimana masyarakat lainnya yang dijajah pada saat ini, mereka mengalami penderitaan di bawah tekanan atas perilaku, kejijikan bangsa Perancis atas adat istiadat lokal, dan penolakan mereka terhadap budaya khas Afrika Utara dan Barbarian. Bagi rakyat Afrika Utara, luka yang sangat menyakitkan adalah dipaksakannya bahasa Perancis menjadi bahasa pokok di wilayah jajahan tersebut.

Pasca Perang Dunia Pertama, para pembaharu Islam di Maghribi masih sedikit. Sehingga mereka menggunakan pengaruhnya, walaupun, dengan cara bergabung bersama tokoh nasionalis sebagai pemimpin besar yang lebih populer. Meskipun orientasinya secara mendasar berbeda dari nasionalis sekuler, mereka tetap fokus pada perjuangan warisan Arab Islam yang dibuktikan dengan penyatuan aspek lain terpecahnya politik dan tekanan rumpun bangsa. Dalam kenyataannya, Islam turut berkontribusi bagi identitas gerakan nasionalis dan membantunya dalam mengalahkan kekuatan kolonial.

Peperangan yang sangat lama dan paling berdarah dalam pembebasan nasional telah berkobar di Algeria dimana kolonialisasi terakhir terjadi sejak tahun 1847 sampai 1962. Perancis masih ngotot memaksakan budaya mereka terhadap bangsa Algeria. Dalam perang suci ini juga dimaksudkan untuk merusak budaya Islam melalui penutupan secara sistematis lembaga-lembaga dan madrasah Alqur’an, termasuk mengubah masjid-masjid menjadi gereja. Generasi muda pembaharu yang terdidik dan nasionalis waspada dalam situasi pertahanan, menjunjung Islam dan menggunakannya sebagai kekuatan untuk menyatukan masyarakat. Para pembaharu berpendapat bahwa Islam selaras dengan dunia modern dan karena itulah rakyat Algeria ingin menjadi yang terbaik dengan mengadaptasikan Islam pada perjuangan politik dan sosial mereka. Islam menjadi komponen yang penting secara khusus bagi perjuangan pembebasan lintas belahan yang dilakukan tokoh nasionalis Algeria.

Di Tunisia, dimana orang Perancis pernah menjadi tuan kolonial sejak tahun 1881 sampai adanya pengakuan kemerdekaan secara formal pada tahun 1956, serta pengakuan atas warisan Islam-Arab yang berkembang pada periode setelah kemerdekaan. Tunisia mencoba untuk menuangkan kembali identitas nasional dan pencitraannya di bawah pimpinan Habib Borguiba (lahir tahun 1903), ketua Partai Neo-Destour (berganti nama menjadi Partai Sosialis Destour pada tahun 1959) dan mengepalai partai pemerintah hingga kejatuhannya di tahun 1987.

Dipengaruhi oleh tulisan Al Afghȃnȋ dan Muhammad ‘Abduh (1849-1905), para pemimpin gerakan Salafiyah di Timur Arab, para pembaharu Maghribi menekankan pentingnya khazanah Islam mereka. Dalam menganalisa masyarakat, mereka tidak hanya mengkritik bangsa Perancis, tapi dalam memperjuangkan kesetaraan, mereka juga menolak pemimpin-pemimpin Sufi lokal karena keterlibatannya dengan penjajahan asing. Para pembaharu juga menekankan pentingnya pemahaman dunia modern bagaimana memandang keagamaan sama baiknya dengan perspektif keilmuan dan menjadikannya demi kebangkitan dalam kajian Islam.

Sebuah golongan gerakan oposisi Iran pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang berhasil menggulingkan kekuasaan Muhammad Shah Reza, juga melandaskan pada Islam untuk melakukan perubahan. Jalal Ȃl Ahmad, yang pernah menjadi seorang intelektual sekuler bersama jaringan Partai Komunis Iran (Tudeh), ikut terpanggil untuk mempolakan kembali tujuan, identitas, dan nasib bangsa. Dalam karya pentingnya Gharbzadegi (Westernisasi), dipublikasikan tahun 1962, dia mengutuk westernisasi masyarakat Iran, yang membawa pada sikap pemujaan terhadap kebudayaan asing yang destruktif dan menyebabkan tunduknya identitas nasional sejati. Jalal Ȃl Ahmad datang untuk meyakinkan bahwa Islam dapat menginspirasi massa masyarakat Iran agar bangkit melawan peraturan Shah. Temanya tentang Islam dan sosialisme telah memotivasi banyak orang untuk merefleksikan masyarakatnya serta mengambil tindakan demi status quo.

Diantara para intelektual dan aktifis yang mempunyai visi Islam perubahan pada tahun 1960-an dan 1970-an adalah Mehdi Bȃzargȃn (lahir tahun 1907), pernah menjadi perdana menteri sementara Republik Iran pada tahun 1979, ‘Ali Sharȋ’atȋ (1933-1977), dan Ayatullah Ruhollah Khomeini (1902-1989).

Pengaruh ‘Ali Sharȋ’atȋ dalam masyarakat Iran pada tahun 1970-an, terutama sekali kalangan mahasiswa dan pemuda yang membaca karyanya, kuliah dengannya, dan pernah mendengarkan pidato provokatif yang disampaikannya, sangat dalam. Para pengikut Sharȋ’atȋ digembleng oleh doktrinnya tentang keadilan sosial dan kebangkitan Islam. Dengan bergabung bersama kelompok-kelompok agama dan organisasi-organisasi politik sekuler, mereka berpartisipasi dalam berbagai kegiatan revolusi yang mampu mengubah arah dan orientasi masyarakat Iran.

Sharȋ’atȋ bukan hanya dipengaruhi oleh teks asli keagamaan, tapi juga karya interpretasi al-Afghani dan pembaharu Islam Pakistan, Muhammad Iqbal. Dia mampu menggambarkan dari kesimpulan teori revolusi yang terjadi pada aktifis dari Dunia Ketiga seperti Frantz Fanon dan Che Guevara. Merasa terpanggil demi renaissanse komunitas Muslim, Sharȋ’atȋ mengawal modernisasi dan perubahan ilmiah yang diinformasikan oleh budaya Iran dan tradisi masyarakat Islam. Pengajaran Sharȋ’atȋ adalah kutukan bagi Shah, yang telah memenjarakannya. Pada akhirnya Shar’atȋ diijinkan melakukan perjalanan ke Inggris, dimana meninggal dengan sebab yang mencurigakan. Mehdi Bȃzargȃn, di pihak lain, menarik banding dengan audiens yang berbeda yaitu masyarakat kelas menengah. Dia mempopulerkan sebuah pandangan modern tentang Islam yang bertemakan keadilan, ilmu, dan kebenaran. Pada tahun 1979, Ayatollah Khomeini menambahkan nilai pada semangat revolusi besar yag dicanangkan oleh inisiatif Jalal Ȃl Ahmad, Mehdi Bȃzarȃn, dan ‘Ali Sharȋ’atȋ serta mendirikan Republik Islam Iran.

Sintesis pemikiran sosialis dengan teologi Islam merupakan hal yang kompleks dan luar biasa. Walaupun sering terjebak dalam konflik, aliran-aliran pemikiran terkadang menguntungkan satu sama lain. Secara politik, gerakan nasionalis dihayati oleh pemikiran Islam, walaupun pemerintah independen itu sendiri dihasilkan oleh sebuah gerakan yang menyandarkan pada prinsip sosialis secara teratur dalam menciptakan tatanan masyarakat. Satu pemikiran yang tercipta dari perpaduan dan saling-mengembangkan ini mungkin dapat dilanjutkan di dunia muslim.

C. Kesimpulan

Sosialisme di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi gerakan ‘people power’ yang berpengaruh bagi tumbangnya rezim otoritarian, baik bagi kalangan internal seperti halnya di Lybia maupun bagi tekanan eksternal seperti kasus di Afrika Utara. Walaupun sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor pendorong, yaitu reaksi untuk keluar bebas dari situasi kolonialisme teritorial, kapitalisme ekonomi, imperialisme budaya, yang diperparah dengan sikap individualisme sesama.

Kendati pun demikian, sosialisme yang terjadi pada kawasan Dunia Ketiga tersebut memiliki kekhasan sendiri, yaitu ketika kondisi sosial coba ditarik permasalahannya pada wilayah agama sebagai solusinya. Indikasi kesaling-sapaan antara kombinasi politik, ekonomi, budaya, kemanusiaan, yang terangkum dalam ranah antropologi mampu didamaikan dengan baik pada ranah agama sehingga muncul dua term; sosialisme dan Islam. Pada akhirnya dua term secara sinkretis memunculkan ideologi sosialisme Islam –jika kemudian paduan term tersebut disamakan dengan Sosialisme Arab, dalam hal ini penulis tidak sepakat.

Dari uraian di atas, kita mungkin perlu menganalisis secara kritis catatan Selma Botman tersebut khususnya di paragraf terakhir dengan sudut pandang politik wacana. Dalam beberapa frasa kalimat tersebut seakan ‘the author’ hendak menyampaikan pada akhir kesimpulan bahwa walaupun sosialisme terbukti mampu membebaskan masyarakat dari ketertindasan, pun demikian ideologi nasionalisme juga tidak lebih buruk daripada sosialisme sebagai solusi dan bentuk sosialisme murnilah -dalam arti teratur- yang mampu membentuk pemerintahan sosialis yang kukuh. Wallahu a’lam bish shawȃb.



**********

Daftar Bacaan

Eko Supriyadi, “Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syariati”, (Yogyakarta: Rausyan Fikr) 2010

Selma Botman, “Socialism and Islam”, dalam John L. Esposito (ed), Encyclopedi of Islamic World, Oxford University, 1997