Sabtu, 26 November 2011

“Sharīa, Fiqh, And Qanūn; A Review For Yusuf Qardawi’s Thought On Islamic Jurisprudence”

Abtraksi

Sharȋa becomes the basic of Islamic discourses, aspecially in determination of law. it has been showing any thoughts from many thinkers within, both of eastern or weastern. This article tell us reviewing of book which based on Yusuf Qardawi’s thought, during the differentials of Sharȋ’a, Fiqh, and Qanūn and their classifications. Here it is the writer also tries to see unfixed-statement of Qardawi’s thought depend on his ‘Madkhȃl li Dirȃsah l-Syarȋ’ah l-Islȃmiyyah’. Thus, from this review of the book, writer find some unconsistenly thought of Qardawi on his discourses about Sharia, Fiqh, and Qanun each other.

Keywords: syariat, fikih, qanun, hukum

A. Pendahuluan

Dalam proses interaksi antara manusia satu dengan lainnya bahkan manusia dengan lingkungan dan Tuhan penciptanya tidaklah berjalan secara frontal apa adanya. Namun ia dikendalikan oleh satu tatanan, sistem, dan nilai yang saling dijunjung satu sama lain yang difungsikan sebagai peraturan bersama. Adakalanya peraturan yang bersifat artifisial karena ia buatan makhluk, baik berupa kesepakatan-kesepakatan atau adat istiadat maupun peraturan yang tertuang dalam bentuk aturan baku yang biasa disebut dengan hukum.

Kesadaran masyarakat akan terciptanya ketertiban umum baik pada aspek horizontal maupun vertikal mengindikasikan kemajuan peradaban suatu bangsa. Peradaban manusia yang taat pada adat istiadat maupun hukum telah terjadi sejak lama dan mampu mempengaruhi perilaku masyarakat di sekitarnya. Pada kasus bangsa Arab, misalnya, dimana hukum agama dimainkan secara komprehensif untuk mencapai zaman kebesaran negara Islam di Asia Barat bahkan di Afrika Utara. Jadi, ada kesinambungan fungsi yang saling jalin berkelindan antara agama sebagai seperangkat kepercayaan dan agama sebagai seperangkat adat istiadat yang membakukan hukum pada konteks tertentu demi kepentingan penganutnya itu sendiri.

Lazim diketahui bahwa Islam memperkenalkan konsep syariah dalam aspek hukum, terutama kaitannya demi kemaslahatan umat. Karakter Islam yang shumūl (komprehensif) dan kȃmil (paripurna) memang tidak bisa dipungkiri lagi. Hal ini nampak, misalnya, pada aspek keilmuan syariah yang telah mencangkup permasalahan keluarga (al-ahwȃl al-shakhșiyyah), hukum pidana dan politik (al-jinȃyah wa al-shiyȃsah), perdagangan (mu’ȃmalȃh), perbandingan mazhab dan hukum serta keuangan Islam sebagai sense tersendiri namun terpadu.

Namun demikian, istilah syariah itu sendiri pada hakikatnya bermakna luas. Dalam artian tidak hanya berkaitan dengan urusan hukum Islam ansich. Walaupun memang tidak dapat dipungkiri frekwensi penggunaan istilah ini lebih sering cenderung pada aspek hukum. Adapun dalam khazanah Islam, syariah selain dimaknai sebagai seperangkat bidang hukum Islam, ia juga jelmaan dari sebuah jalan hidup paling awal sebelum tȧrȋqȧt dan ma’rȋfat, yaitu tingkatan-tingkatan seorang muslim sejati dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhannya berdasarkan aspek ritual dan spiritual.
Perbedaan paradigma dalam memandang syariah ini tidak bisa lepas dari subjek yang menilai dan objek zaman yang mengitarinya. Satu misal, ketika Gus Dur menganggap syariah sebagai jalan hidup, maka hal ini menjadi cukup beralasan karena pengamatannya akan sebuah realitas dan tuntutan zaman dalam perkembangan dan dinamika baru Islam yang berbeda antara satu bangsa satu dengan yang lainnya. Bahkan secara lebih liberal, ia menempuh cara bahwa syariah sebagai forum saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, bahkan juga pandangan dari agama-agama lain.

Paradigma sedikit berbeda akan disampaikan oleh tokoh Islam lain dari komunitas masyarakat yang lain pula dalam memandang syariah. Menarik disini adalah mengamati pandangan, pemikiran, dan sikap Dr. Yusuf Qardawi, seorang ulama Islam kontemporer Mesir, yang dikenal lebih dulu ada sebelum Gus Dur dan terpaut hanya beberapa dekade kelahirannya. Dalam hal ini Qardawi menganggap syariah Islam –secara lebih khusus menyebut bentuk idhȃfah dengan al-sharȋ’ah al-islȃmiyyah- sebagai hal yang sangat berbeda dan mempunyai keistimewaan tersendiri daripada ‘syariah’ agama samawi yang lain terlebih dengan ‘syariah’ produk manusia.

Tidak hanya itu, cendekiawan muslim ini juga menarik untuk didiskusikan ulang pemikirannya mengingat concern-nya dalam dunia fatwa hukum Islam. Dimana pada salah satunya karyanya, penulis disini akan sedikit mengulas pandangan beliau khususnya berkenaan dengan relasi antara Syariah, Fiqih, dan Qanūn pada ranah hukum Islam. Walaupun ulasan ini bersifat ‘review’, namun penulis berusaha sebisa mungkin memberikan analisa seperlunya pada teks karyanya dengan merujuk pada referensi pandangan mayoritas ulama. Sehingga dengan demikian, diharapkan -paling tidak- ulasan ini nantinya mampu menemukan gagasan besar dan pokok pikiran Qardawi karyanya langsung yang berjudul Madkhal Li Dirȃsah al-Sharȋ’ah al-Islȃmiyyah.

B. Sekilas Tentang Yusuf Qardawi

Yusuf Qardawi lahir di sebuah perkampungan, Shafth Turaab, Mesir, pada tanggal 9 September 1926. Lingkungan geografis yang memang dikenal sebagai pusat peradaban kuno, terlebih dilahirkan di daerah tengah delta sungai Nil, turut memberikan iklim peradaban tersendiri bagi tumbuh kembang intelektualitasnya. Hal ini dibuktikan dengan prestasinya yang pada usia sepuluh tahun sudah mampu menghapalkan Alqur’an, sebagaimana halnya prestasi masa kecil salah satu pencetus madzhab fikih terbesar hingga saat ini, Imam Syafi’i.

Latar pendidikannya yang hanya berkutat di seputaran Mesir, yaitu pendidikan Ma’had Thanta dan Ma’had Tsanawi lalu berlanjut di Fakultas Usuluddin di Universitas al Azhar yang berhasil ditamatkan pada tahun 1952, turut mendominasi pemikirannya yang terkesan menjaga jarak dengan arus modernitas Barat. Sehingga tepatlah kiranya di usia yang produktif, Qardawi diberi amanat sebagai seorang ketua majelis fatwa sehingga menjadi bahan rujukan atas permasalahan yang terjadi.

Salah satu hal yang menarik dalam perjalanan hidupnya adalah adanya intimidasi dari penguasa Mesir saat itu yaitu ketika kekuasaan Mesir dipegang oleh rezim Raja Faruq. Hal ini tidaklah aneh mengingat keterlibatannya dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi fundamental Islam, dan perlawanannya pada rezim diktator hingga berujung dengan dipenjarakannya Qardawi di usia 23 tahun, tepatnya pada tahun 1949. Termasuk sebab ini pula Qardawi mengalami keterlambatan dalam menyelesaikan program doktornya hingga tahun 1972. Disertasinya berjudul “Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan” yang disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Yaitu sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.

Pengabdiannya dalam bidang pendidikandan pengajaran ia wujudkan dengan mendirikan sebuah institut Fakultas Syariah di Universitas Qatar pada tahun 1961. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Qardawi merupakan ulama dan mujtahid yang tergolong banyak mengeluarkan fatwa pada masanya. Walaupun harus diakui banyak juga yang mengkritisi pendapatnya. Di lain sisi, ia merupakan salah satu tokoh yang menolak dikotomi ilmu pengetahuan antara yang islami dan tidak islami. Baginya, islami atau tidaknya ilmu tergantung sudut pandang individu dan bagaimana menggunakan ilmu tersebut. Hal ini nampak pada sikapnya atas minat ilmu pengetahuan putra-putrinya. Dimana ia membebaskan kepada mereka untuk memilih dan belajar keilmuan sesuai dengan concern masing-masing, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum.

C. Sharȋah, Fiqh, dan Qȃnūn Dalam Kitab Madkhal Li Dirȃsah al-Sharȋ’ah al-Islȃmiyyah

1. Sharȋah

Menurut bahasa, sharȋah, berasal dari lafaz ‘الشيءشرع , yaitu: menerangkannya atau menjelaskannya. Sedangkan menurut Kamus Istilah Alqur’an menyebutkan bahwa sharȋah berasal dari kata ‘ الشرعة و الشريعة “ yaitu: suatu tempat yang mengalirkan air tanpa henti dan tanpa membutuhkan perantara untuk menuju hilir.

Secara terminologi, sharȋah adalah agama yang disyara’-kan oleh Allah kepada hambaNya, atau agama yang dijadikan jalan atau oleh Allah untuk hambaNya yang diperintahkan untuk dipatuhi. Seperti perintah puasa, salat, zakat, haji, dan perbuatan baik lainnya sebagaimana tercantum dalam surah al Jȃtsiyah ayat 18.
Qardawi menambahkan bahwa yang dimaksud sharȋah disini hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat primer dan bukan sekunder, menyangkut keyakinan dan bukan amal perbuatan. Karenanya sharȋah sejak masa Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad Saw pada intinya masih sama yaitu mentauhidkan Allah Swt.

Hal ini dibuktikan dengan turunnya Q.S al Jȃtsiyah ayat 18 yang mengindikasikan makna sharȋah sebagai sebuah jalan (aț țarȋqah) yang diperintahkan kepada kaum kafir Quraisy sebagai ayat yang diturunkan di Mekah, dimana ayat-ayat tentang hukum Islam belum diturunkan kecuali setelah Nabi hijrah ke Madinah sebagaimana makna ayat 48 dari surah al Mȃidah. Karena itulah Qardawi sangat menolak pandangan sekularisme yang hanya menilai bahwa makna sharȋah dalam Alqur’an tidak ada kepentingannya dengan hukum Islam.

Bahkan, dalam ayat-ayat Alqur’an secara pasti mengandung klasifikasi hukum Islam, seperti: ibadah, peradaban dan perdagangan, kriminalitas dan pidana, serta politik dan Negara. Ayat-ayat yang berhubungan dengan empat pembagian tersebut disebut ȃyȃt al-ahkȃm (ayat-ayat hukum).

Beberapa ulama yang concern di bidang ȃyȃt al-ahkȃm, baik ulama klasik maupun modern adalah seperti:
- “Ahkam l-Qur’an” karya Imam Abu Bakar ar Razi al Hanafi (w. 37 h)
- “Ahkam l-Qur’an” karya Imam Abu Bakar Ibn al ‘Arabi al Maliki (w. 543 h)
- “Ahkam l-Qur’an” karya Imam Syafi’I (w. 456 h)
- “al Iklil wa Istinbat l Tanzil” karya al Hafidz Suyuthi (w. 911 h)
- “Tafsir Ayat l-Ahkam” karya Syeikh Muhammad ‘Ali as Sayusi (era modern)

Para ulama klasik berbeda pendapat dalam menentukan jumlah bilangan ayat yang mengandung hukum, namun pendapat yang terkenal adalah berjumlah 500 ayat. Termasuk dalam perbedaan ini yaitu menentukan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Mujtahid dan urgensi pengetahuan tentang Alqur’an.

2. Fiqih

Jika syariah adalah hukum-hukum primer yang di-syara’kan oleh Allah melalui dalil-dalil Alqur’an dan Hadits serta cabang-cabangnya seperti ijma’ dan qiyas. Maka fiqih adalah ilmu yang berkaitan dengan penggalian hukum Islam aplikatif melalui dalil-dalil yang terperinci. Menurut al Jurjani, fiqih adalah ilmu penggali hukum melalui ijtihad dan pendapat yang membutuhkan peran akal. Sedangkan secara etimologi, fiqih berarti الفهم “yaitu pemahaman, memahami, atau mengetahui sesuatu secara mendalam.

Dengan istilah lain, jika syariah sebagai tujuan, sedangkan fiqih sebagai cara atau jalan. Karena fiqih memuat berbagai hukum Islam yang aplikatif dan mendetil. Sehingga bisa dikatakan kitab-kitab fiqih itu sebagai ekspansi penggalian hukum Islam itu sendiri secara mendalam.

Untuk pemahaman lebih lanjut, hukum Islam dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
- نوع ثابت بأدلة مباشرة من نصوص الكتاب و السنة
Yaitu hukum Islam yang langsung bersumber tertulis dari Alqur’an dan Hadits. Dalam hal ini ayat dalam Alqur’an maupun Hadits sangat sedikit, karena akan sangat fatal jika Alqur’an yang berperan sebagai peletak pondasi-pondasi hukum Islam turut menguraikan secara mendetil. Sehingga berakibat pada terbatasnya makna yang sangat ketat. Namun demikian, jenis hukum seperti ini sangat jelas dalam Alqur’an dan tidak ada dualitas pemahaman. .
- و نوع آخر قد عملت فيه عقول أهل الفقه اجتهادا و استنباطا من أدلة الكتاب و السنة
Yaitu dalil-dalil hukum Islam yang digali oleh penalaran para ahli fiqih melalui proses ijtihad dan observasi, dan jika tidak ditemukan dalilnya secara pasti maka ditempuh dengan metode qiyas, istishab, dan lain sebagainya. Kategori ini banyak memuat hukum Islam sebagai wujud ilmu fiqih dan hasil kerja ulama fiqih karena melibatkan olah pikir dan fatwa mereka sehingga menjadi hukum bagi fiqih.

Dari sini dengan jelas dapat kita pahami bahwa syariah dan fiqih merupakan dua hal yang berbeda. Jika syariah berasal dari wahyu ketuhanan, sedangkan fiqih merupakan produk manusia. Qardawi menilai tidak benar jika ada anggapan yang mengatakan bahwa fiqih adalah ilmu syariat walaupun ia dibangun di atas wahyu ilahi.
Adapun kerja akal dalam penggalian hukum juga dibatasi oleh pokok-pokok syariat. Syariah sendiri tidak bisa dipisahkan dari realitas dan perkembangan zaman yang dalam kapasitasnya ini ia merupa ke dalam bentuk fiqih Islami. Pada taraf ini, hukum syariat digali dengan akal para ahli fiqih modern melalui pijakan dasar-dasar dan substansi syariah.

Untuk itulah Qardawi tidak menerima pendapat yang menolak fiqih islami sebagai hukum syariat yang didasarkan pada akal karena bagaimanapun ia merupakan kepanjangan dari syariat itu sendiri. Namun yang dapat ditolelir disini adalah pembaharuan dan perkembangan fiqih, seperti berkenaan dengan hukum yang tersirat, appendiks ( الفهرسة ), التنظير و التقنين.

Gagasan yang paling penting dari Qardawi salah satunya adalah menghidupkan budaya ijtihad. Baik itu dengan ijtihad انتقائيا (netralisasi) yaitu dengan mengambil pendapat yang paling rajih menurut fiqih masa kini berdasar dalil dan ungkapan-ungkapan syariat. Ada pula dengan ijtihad إنشائيا yaitu dengan mengadakan pendapat terhadap permasalahan-permasalahan yang baru digali dari nash hukum dan substansi syariah yang diakui tanpa mengesampingkan pendapat terdahulu. Pengecualian hal ini adalah dalam bidang ibadah.

Ada perbedaan yang signifikan antara Syariah dan Fiqih. Perbedaan antara keduanya adalah:
1. Syariah bersifat ilahiyah, sedangkan fiqih adalah buatan.
2. Syariah tidak bisa terperinci atau fleksibel sesuai kondisi, namun ia sudah terkandung dalam Fiqih Islami dalam merespon perkembangan zaman.

Dengan demikian, keterkaitan dalam proses penggalian hukum, ilmu fiqih menggunakan peran akal namun tetap dibatasi oleh dasar-dasar Syariah. Dalam hal ini, Qardawi bersikap tegas pada upaya penolakan terhadap Fiqih Islami. Karena Fiqih Islami sejatinya merupakan Syariah itu sendiri, karena hukum Islam –dalam hal ini Syariah- melalui Fiqih selalu mengalami pembaruan dan perkembangan sesuai kemajuan masyarakat.

D. Sharȋ’ah dan Qȃnūn Wadh’iy

Setelah kita memahami Syariah tibalah saatnya mempelajari tentang Qȃnūn. Qȃnūn ( قانون ) berasal dari bahasa Arab yaitu:
أمر كلى ينطبق على جميع جزئياته التى تتعرف أحكامها منه , adalah seperangkat hukum yang mengaplikasikan berbagai rincian permasalahan yang diketahui hukumnya. Hal ini senada dengan ungkapan para ulama klasik bahwa Qanun adalah tata aturan yang lengkap dan detil yang didasarkan pada hukum-hukum yang terperinci.

Yusuf Qardhawi menambahkan makna Qanun ketika disandingkan dengan istilah Syariah maka ia akan berfungsi sebagai hukum yang diproduksi oleh manusia untuk mengatur kehidupannya dan hubungannya dengan sesama baik secara individu maupun social, karenanya ia disebut Qȃnūn Wadh’iy . dari sini dapat dibedakan perbedaan mendasar antara Syariah dan Qanun adalah jika syariah berasal dari wahyu Allah, maka Qanun merupakan produk atau buatan manusia.

Qanun –yang dalam istilah umum- disebut juga Undang-undang adalah sekumpulan hukum yang dibuat dengan kasus atau bidang tertentu, semisal undang-undang pidana, dan dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan perselisihan diantara masyarakat dan warga negara.

Undang-undang yang dikenal paling kuno adalah Undang-undang Hammurabi di Babilonia. Sedangkan undang-undang yang paling berpengaruh adalah undang-undang Romawi yang hingga kini diadopsi oleh negara Barat dan sebagian negara Islam pada masa kolonialisme. Hal inilah yang memunculkan dugaan bahwa Fiqh Islami juga mengadopsi dari Romawi. Menurut Qardawi, poin ini tidak bisa dipertanggungjawabkan dan hanya bersifat tuduhan Barat semata terhadap Islam. Karena, masih menurut Qardawi, perbedaan antara hukum Barat dan Fiqih Islami sangat mencolok dalam hal tujuan, metode, dasar, filosofi, dan perkembangannya masing-masing.

Perkembangan Qanun dalam suatu masyarakat berbanding lurus dengan kemajuan peradaban masyarakat itu sendiri. Dengan karakternya yang berbasis lokalitas, permulaan suatu Undang-undang pada awalnya didasarkan pada suatu pedoman bahwa ucapan seorang pemimpin adalah undang-undang bagi pengikutnya dan kadang melalui kesepakatan banyak orang. Namun demikian, ada prinsip yang mesti dipegang dalam membuat Qanun, yaitu: prinsip keadilan, persamaan, kasih sayang, dan kemanusiaan.
Pada kesimpulannya tentang Qanun, Qardawi menegaskan bahwa bagaimanapun juga Undang-undang zaman dahulu dengan sekarang sangatlah berbeda perkembangan dan tahapannya. Dalam arti tidak ada yang baku setelah melalui ribuan tahun lamanya. Terlebih undang-undang dalam satu negara jelas berbeda dengan negara lain.

Adapun perkembangan Syariah bukan seperti Fiqih maupun Qanun yg berawal dari kecil berangsur menjadi banyak. Syariah datang dengan sempurna, universal, dan komprehensif tanpa ada yang kurang. Berlaku bagi keadaan apapun, siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Pun demikian, ia hanya ‘produktif’ sejak kenabian Nabi Muhammad Saw hingga wafatnya saja.

Dari pemaparan karya Yusuf Qardawi dapat disimpulkan perbedaan mendasar antara Syariah dan Qanun adalah:
1. Syariah dari wahyu Allah Swt, sedangkan Qanun merupakan produk manusia.
2. Kaidah Syariah berlaku sepanjang waktu, sedangkan Qanun berlaku dalam waktu tertentu sesuai kebutuhan masyarakat
3. Qanun lazimnya menyangkut hal-hal tertentu, seperti: undang-undang pidana atau undang-undang tentang sanksi pelanggaran hukum.
4. Diciptakannya Qanun bertujuan sebagai rujukan manusia ketika menghadapi perseteruan antar sesama.

E. Syariah Agama Lain

Sebagai bahan untuk membandingkan antara Syariah Islam dengan Syariah agama-agama pendahulunya, seperti Yahudi dan Nasrani, sebagai agama samawi lain selain agama Islam. Dalam arti lain, baik agama Yahudi, Nasrani,dan Islam pada hakikatnya mempunyai sumber yang sama dalam hal Syariah, yaitu Allah Swt. Namun dalam bukunya ini Qardawi menguraikan batasan yang membedakan antar Syariah masing-masing agama tersebut.

1. Syariat Agama Yahudi

Syariat agama Yahudi sangatlah berbeda dengan agama Islam walaupun pada awalnya sama yaitu berkenaan dengan ibadah, muamalah, dan perihal hidup yang bermacam-macam. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Alqur’an surat Al A’raf ayat 145 kepada Nabi Musa sebagai Nabi pada masa kelahiran bangsa Yahudi dengan kitabnya Taurat. Di dalamnya juga termuat persoalan hukum sebagaimana Alqur’an surat Al Maidah ayat 44 – 45.

Sungguh ironis jika kemudian bangsa Yahudi menyelewengkan dan menyimpangkan isi dan kandungan otentik kitab Taurat dengan mengubah dan mempelintir ayat-ayatnya. Sehingga dapat dikatakan kitab Taurat yang ada saat ini bukanlah Kalam Allah secara asli yang diturunkan kepada Nabi Musa, namun telah bercampur mayoritas isinya dengan olah pikir dan tangan manusia. Kenyataan ini didukung dengan firman Allah dalam Alqur’an sebagai kitab suci yang turun jauh setelah kitab Taurat.

Adapun sebagai perbandingan beberapa persoalan kitab Taurat yang saat ini digunakan oleh umat Yahudi dan Nasrani adalah sebagai berikut:

• Fanatisme Rasisme
Yaitu suatu keyakinan yang mengklaim bangsanya sendiri –Bani Israil- paling unggul diantara bangsa lain, bahkan terkadang menghalalkan segala sesuatu bagi bangsanya sendiri dan mengharamkan bangsa lain.
Syariat bagi Bani Israil merupakan alibi yang absah untuk mengokohkan kepentingan mereka sebagai bangsa pilihan yang dikehendaki oleh Allah untuk menguasai seluruh umat manusia di muka bumi. Dengan poin ini pada awalnya mereka menganggap penugasan dari Tuhan untuk menyelamatkan aspek kemanusiaan di dunia. Tentunya dengan melarang keras segala bentuk pembunuhan maupun pengusiran bangsa lain. Namun kenyataannya, dalam internal mereka terjadi perpecahan dalam memahami konteks ini. Sehingga seperti Bani Israil saat ini yang sangat kontradiktif justru menghalalkan pembunuhan, bahkan memerangi bangsa lain, khususnya bangsa Kan’an. Setelah menguasai suatu bangsa mereka membunuh semua kaum lelaki, menjadikan budak kaum perempuan, menjarah dan merampok harta mereka sebagai bentuk tindakan yang sah. Dalam urusan perdagangan, bangsa Israil menjalankan sistem riba bahkan kepada sesamanya sendiri dan tanpa mengambil jaminan dari hutangnya.
Terlebih dalam kitab suci mereka menetapkan bahwa bangsa Kan’an telah di-nash sebagai budak mereka sejak zaman azali. Dengan keyakinan ini mereka tidak akan memberikan kesempatan hidup bangsa Kan’an selain agar menjadi budak mereka. Jika sedikitpun ada celah kebebasan bagi bangsa Kan’an maka mereka akan memeranginya dan hal ini semua dilakukan dengan mengatasnamakan dakwah Nabi Nuh terhadap bangsa Kan’an dan keturunannya.

• Fanatisme Ritus dan Simbol

Syariat bangsa Yahudi yang terkandung dalam kitab suci mereka juga berisikan ajaran tentang fanatisme terhadap materi dan simbol. Di sisi lain, aspek-aspek yang berkaitan tentang dunia spiritual, eskatologi, dan keagamaan sama sekali tidak tercantum dalam kitab Taurat.

Kandungan isi pembahasan dalam kitab Taurat hanya berkaitan dengan materi dan kebendaan, seperti: pengoptimalan harta benda, anak, kesehatan badan, dan menciptakan permusuhan. Hal ini menjadi kontradiktif dengan kitab suci Alqur’an yang berisikan moralitas, perintah berbuat baik dan mencegah kemungkaran, hukuman terhadap orang yang bermaksiat, dan sebagainya sebagaimana tercantum secara komprehensif di dalam Alqur’an.

Selain aspek materi yang banyak disinggung dalam kitab Taurat, di dalamnya juga terkandung tentang pentingnya suatu simbol maupun lukisan. Satu contoh bangsa Yahudi yang memuliakan hari Sabtu, menggunakan pakaian khusus, dan memuja leluhur dengan gambar atau simbol tertentu, sedangkan hati mereka sendiri tidak beriman dan bertaqwa kepada Allah.

Dalam hal ritus mereka membakar hewan untuk dikurbankan, sangat berbeda jauh dengan perintah Allah agar mengkurbankan hewan dengan cara disembelih dan untuk kepentingan taqwa serta disedekahkan kepada fakir miskin. Jadi, ajaran agama mereka sangat keji dan jauh dari upaya memanfaatkan materi dengan baik.

Bahkan dalam kitab Talmud mereka membolehkan seorang anak lelaki berzina dengan ibunya yang janda dengan bebas tanpa denda dan justru dianjurkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang suami ketika istrinya meninggal maka ia juga dibolehkan dengan anak perempuannya tanpa denda dan hukuman.

• Sikap ‘Keras Kepala’

Salah satu karakter khas dalam syariat agama Yahudi adalah sikap mereka yang ‘keras kepala’ dan suka membantah. Hal ini nampak pada bantahan mereka terhadap apa-apa yang diturunkan oleh Allah termasuk melalui nabi Musa dan kitabnya Taurat. Karena sikap dzalim dan pembangkangan yang mereka lakukan inilah Allah mengharamkan bagi mereka yang semestinya dihalalkan, namun mereka pun tetap melanggar dan tidak mematuhi para nabinya.

Akan lebih jelas jika dilihat pebedaan antara karakter kitab Injil dan kitab Taurat. Jika Injil bersifat lunak dan toleran, maka Taurat bersifat keras dan penuh bantahan.

Karakter keras penuh pemberontakan pada Tuhan dalam Syariat Yahudi ini sesuai dengan karakter bangsa Israil sebagaimana di-nash dalam Alqur’an. Kebengalan bangsa Yahudi nampak sekali pada kebiasaan mereka yang senang mengobarkan permusuhan, pertumpahan darah, merampas harta orang lain, memperbudak orang lain, dan menghalalkan yang haram. Lebih fatal lagi, mereka lakukan itu semua atas nama Tuhan demi sebuah ambisi untuk menjadi Bani Israil yang paling tangguh daripada bangsa lain. Sungguh berbeda jauh dengan Syariat agama samawi lainnya.

2. Syariat Agama Nasrani

Syariat agama Nasrani tidak bisa dipisahkan dari syariat yang dibawa oleh Nabi Musa, yaitu seputar pembahasan tentang perjalanan hidup dan bermasyarakat. Bahkan dalam kitab Injil disebutkan bahwa syariat Nasrani ini bukan dimaksudkan untuk menyelamatkan atau menggantikan syariat Nabi Musa, melainkan justru menyempurnakannya.

Namun demikian, Qardawi berpendapat bahwa syariat Nasrani sebenarnya bertindak sebagai penyelamat syariat dalam kitab Taurat. Seperti hukum diharamkannya daging babi, patung, hukuman rajam dan qisas. Penegasan Qardawi ini merujuk dengan ungkapan yang paling populer dalam tradisi Nasrani: “jika seseorang menampar pipi kananmu, maka tamparlah pipi kirinya”.

Yang dimaksud kitab Injil dalam hal ini bukanlah seperti Injil kekinian, dimana sudah ada perubahan mendasar dengan pendahulunya. Salah satu syariat yang terkandung dengan jelas adalah disyariatkannya larangan men-talak istri. Hal ini sangat berbeda dengan syariat sebelumnya terlebih jauh berbeda dengan syariat agama Yahudi. Sebagaimana dikatakan oleh Al Masih tentang keharaman men-talak istri kecuali karena sebab zina tercantum dalam Injil Matius 5: 31, 32 dan Injil Markus 1: 11, 12.

Adapun poin yang tidak disepakati oleh Qardawi dalam hal hukum talak versi kitab Injil ini adalah dalil yang menyebutkan bahwa ‘ilat atau sebab mendasar diharamkannya talak yaitu bertumpu pada Allah sebagai Tuhan yang mempersatukan dua insane sehingga manusia tidak boleh melanggar atau merusak hubungan yang sudah disatukan ini. Menurut Qardawi pemahaman yang sebenarnya bukanlah demikian. Jika demikian adanya, apakah lantas Allah pulalah yang menyebabkan zina diantara salah satu pasangan tersebut? Apakah tidak ada ‘ilat lain yang lebih sahih daripada merujukkan pada kehendak Allah. Karena –masih menurut Qardawi- memang Allah-lah yang mempersatukan kedua insane untuk menikah lalu menjadikan sebab terjadinya anak keturunan diantara keduanya, namun Tuhan hanya mensyariatkan sebab-sebab dibolehkannya talak bukan berarti Tuhan mengijinkan atau bahkan tidak menghadapi talak jika memang ada sebab atau peristiwa yang telah disyariatkan seperti zina dan sebagainya.

F. Penutup

Dari ulasan buku di atas yang merujuk pada salah satu karya berjudul ‘Madkhȃl li Dirȃsah l-Syarȋ’ah l-Islȃmiyyah’, dapat kita katakan bahwa beliau memang seorang mujahid yang moderat. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat kegigihan beliau dalam menjaga kemurnian Islam, baik dari unsur eksternal seperti pemilihannya antara syariat Yahudi dan Nasrani terhadap syariat Islam, maupun dari unsur internal seperti pen-sakral-annya terhadap makna syariat Islam itu sendiri dari wilayah fikih dan qanun.

Namun demikian, tulisan ini tidak bisa merangkum isi keseluruhan dari karya Dr. Yusuf Qardawi khususnya walaupun hanya berfokus pada bab Syariah, Fiqih, dan Qanun. Mengingat segala keterbatasan yang dimiliki oleh penulis utamanya dalam penulisan tugas mata kuliah ‘Reading of Arabic Text’ ini. Untuk kritik dan saran: cholidmaarif@yahoo.com.


Oleh:
Cholid Ma’arif, S.Hum, Mahasiswa Pasca Sarjana Konsentrasi Ekonomi Syariah STAIN Ponorogo, 27 Nopember 2011 / 01 Muharram 1433 H