Jumat, 25 Maret 2011

“Negara Kesatuan atau Kesaruan”

(Sebuah Catatan Bebas)

Pada saat saya sedang asyik mengedit tulisan karya tulis ilmiah tentang sosok KH A Wahid Hasyim –yang akhirnya terlambat deadline, tiba-tiba tanpa sadar saya tersenyum sendiri demi melihat secarik kalimat yang berbunyi “…Setidaknya hal inilah yang melatar belakangi para founding-fathers dalam berdirinya Negera Kesatruan Republik Indonesia hingga saat ini..”. Jika pembaca membaca kalimat tersebut dengan sekilas mesti akan merasa tidak menemukan sesuatu yang janggal. Namun ketika kita fokuskan pada kata per kata maka kita akan menemukan sebuah kata yang ‘wajib’ untuk diedit. Karena sebentar saja melakukan pembiaran pada kesalahan tersebut akan berdampak pada kesalahan penafsiran dan pemahaman yang sangat kontra dengan penulisan yang dimaksudkan.

Ya. Ada satu kata yang menarik perhatian, ketika “kesatuan” di-plesetkan –sengaja atau tidak menjadi “kesatruan”. Hal ini masih belum menjadi masalah, namun saya takut sekaligus miris jika huruf “t” pada kata tersebut dihilangkan dan menjadilah kata “kesaruan”. Karena tiba-tiba saya kembali pada bahasa ibu sebagai pribumi Jawa yang khas dengan istilah tersebut. “Saru”, dan bukan lagi “satu”. Sebab “saru” (yang berbahasa asli Jawa) mempunyai beberapa arti padanan makna dalam bahasa Indonesia dengan kata “cela”, “buruk”, cacat”, “aib”, “kejelekan”, atau “keburukan” dan makna lainnya yang berkonotasi negatif. Lain halnya dengan istilah “satu” yang tidak asing lagi dimiliki oleh bahasa Indonesia sebagai penunjuk bilangan atau jumlah. Karena ketika Anda ditanya apakah arti “satu” maka pastilah Anda akan mempertahankan jawaban bahwa: “satu” adalah “satu”! Ia bukanlah “dua”, “tiga”, “empat” atau lainnya.

Dalam bahasa saya, “satu” adalah ‘”tunggal”. Kata “tunggal” ini –lagi-lagi- kembali ke bahasa Jawa praktis untuk digunakan, setidaknya begitulah untuk mendefinisikannya. Toh dalam jargon ke-Indonesia-an kita selama ini telah terdoktrin bahwa satu-satunya kalimat yang tercentum di pita pada gambar lambang Negara Indonesia kita adalah “Bhinneka Tunggal Ika”. Dan yang dimaksudkan dengan kalimat ini adalah makna “walaupun berbeda namun tetap satu jua”. Sebuah istilah sederhana dalam bahasa Jawa (sanskerta) namun mempunyai arti dan makna yang panjang dan luas dalam pengertiannya bahasa Indonesia. Permasalahan “tunggal” atau “ika” juga sama berarti satu tapi tetap beda makna. Jika “tunggal” adalah satu untuk menunjukkan jumlah sekumpulan yang satu yaitu berbasis sekumpulan, sedangkan “ika” adalah satu untuk menunjukkan bilangan bahwa pada zatnya wujud itu memang satu dan bukan paduan banyak yang menjadi satu “tunggal”.

Lebih jauh lagi pada aspek pemahaman dan saya katakan refleksikan pada pembacaan situasi kemasyarakatan, kebangsaan, dan keagamaan di Negara Indonesia saat ini. Apakah memang sudah begitu “saru”? Memangkah telah sejauh pungguk merindu bulan jika kebenaran di lubuk dalam nurani para pelaku dan penghuni pertiwi ini benar-benar terlindas oleh kesemena-menaan? Tidak salah dan sangat benar ketika kita mau jujur pada harapan dan cita-cita para pendahulu kita. Dimana nilai-nilai Pancasila pun sudah tidak lagi bergaung secara nyata kecuali hanya di upacara-upacara dinas dan kemerdekaan saja. Atau kah yang dimaknai oleh penerus kita sekarang ini cukup puas dengan menggantungkan foto burung Garuda berikut catatan Pancasila dengan pigura indahnya di dinding-dinding ruang tamu?

Banyak berseliweran di media televisi dan elektronik pemberitaan tentang begitu tidak pernah nyamannya seorang pun bisa bernafas di bumi pertiwi ini. Mulai dari rakyat kecil sebatang kara yang divonis puluhan tahun hanya karena sebiji semangka katakan. Berbeda suasana dengan “pahala” –untuk menyebut hukuman yang kelewatan enak- bagi para koruptor. Bahkan penjara pun bisa disulap menjadi surga narkoba para geng mafia obat terlarang. Ditepuk riuh dengan kasus Gayus yang selesai dengan tetap melenggang-kangkung keluar masuk penjara dengan mudahnya berekreasi keliling dunia. Pun berkutat pada ikan teri dan bukan ikan paus yang masih menjaga rahasisa Badan Intelejen Nasional dan Presidennya. Siapa lagi yang tahu dan paham kondisi semacam ini kalau bukan Presiden kecuali memang ia buta dan menuli diri hati nuraninya demi kepentingan sesaat dan tidak pernah tuntas.

Negara ini memang bener-bener “saru”! Dimana kekerasan atas nama agama dipolitisir tak habis-habis. Dan Barat pun menutup mata dengan tetap menjuluki bangsa ini sebagai Demokratis Award karena sebenarnya sama-sama maklum bahwa insiden kekerasan di seluruh pelosok negeri ini adalah pelaku dan motif yang sama; politisasi isu dan tidak lebih pengalihan isu. Dimana pembiaran yang sesungguhnya dengan pornonya telah lama terjadi. Itulah perampokan besar-besaran telah dan sedang terjadi dari bumi Nusantara yang kaya akan emas dan tambang minyak dan bumi lainnya. Kemana larinya berita ini? Sungguh saru dan aku hanya bisa sesenggukan sementara ini pada arwah nenek moyang dan bukan pada Tuhan karena saya tahu Dia punya cara tersendiri kelak untuk menyikapi ini di dunia lain. Sebab sama saja menghukum pesaru-pesaru tersebut tidak lebih menjadi sumber pengayaan mereka untuk selalu mencari celah kepentingan golongan dan primordial. Bencana pun disikapi penggelaran baliho dan spanduk kampanye partai besar-besaran.

Kesatuan kini telah menjadi kesaruan yang nyata. Kedekatan pada penguasa menjadi penentu akan mati hidup seseorang di Negara antah berantah ini. Ketika para pendahulu bersatu membangun bangsa berangkat dari beda suku dan agama. Kini dicerai-beraikan dengan tali yang tidak lagi kencang mengikat lidi-lidi persatuan yang mulai rapuh dan patah.

Di situlah letak fundamentalis tentang pentingnya bahasa. Hal ini mesti diperjelas sebelum mencoba untuk memahami makna terdalam selanjutnya. Karena tingkatan “arti” itu lebih utama sebelum “makna”. Mau tidak mau perspektif bahasa mutlak dikedepankan jika ingin menafsirkan makna dari arti suatu kata selanjutnya. Termasuk yang ingin saya sampaikan adalah bahwa peran penerjemahan itu lebih utama –untuk tidak mengatakan lebih penting- sebelum peran penafsiran. Karena walaupun hampir mempunyai kemiripan dalam bahasa –setidaknya menurut kacamata awam, selain memang antara penerjemahan dan penafsiran memiliki metodologi yang berbeda namun tetap aspek penerjemahan arti dan makna tidak bisa diabaikan dalam merespon suatu problema bahasa maupun peristiwa nyata. Untuk selanjutnya saya berpesan kepada kawan-kawan; “jangan salah menuliskan kata “kesatuan” dalam pengertian NKRI dengan “kesaruan”! Lebih-lebih kesalahan dalam implementasi tindak laku nyata, bisa berakibat fatal dan tidak bisa diedit lagi.


Cholid Ma’arif
Yogyakarta, 25 Maret 2011, pukul 21.44 WIB.. dalam keletihan akhir pekan…