Kamis, 15 Desember 2011

“PERBUDAKAN DALAM ISLAM; Dari Konsepsi Kemanusiaan Menuju Teologi Pembebasan”

Oleh:
Cholid Ma’arif, S.Hum

Abstraksi

Perbudakan menjadi isu sentral tidak hanya karena berkaitan dengan agama, namun juga ia juga bagian dari sejarah, sosial, budaya, dan ekonomi bahkan politik suatu peradaban itu sendiri. Islam sebagai agama paripurna yang mengakhiri dimensi kelam keberagamaan sebelumnya mempunyai cara pandang tersendiri dalam memposisikan persoalan perbudakan. Ia tidak hanya menjustifikasi dengan kebenaran tunggal di satu sisi dan kesalahan di sisi lain. Namun, dengan seperangkat metode keilmuannya, baik dari perspektif fiqih, sejarah, sosial, dan bangunan falsafahnya, tsaqafah maupun hadharah-nya dalam memposisikan manusia, menjadikan perbudakan mempunyai sudut pandang yang luas. Tulisan di bawah ini akan berusaha mengurai polemik tentang perbudakan melalui konsepsinya, agama-agama samawi, sudut pandang Islam, termasuk dalam bentuknya yang modern di era kekinian, disertai dengan pemecahannya baik menurut Islam maupun paradigma kemanusiaan.

Kata kunci: perbudakan, Islam, penindasan, manusia

A. Agama-agama Samawi dan Perbudakan; Mencari Akar Dogmatis

Pada bagian ini penulis sengaja menyuguhkan literatur tentang perbudakan dari kitab suci agama lain. Hal ini tidak lain untuk memperkaya paradigma dan membandingkan pandangan ke-Islaman kita dalam memandang isu-isu yang masih kontemporer hingga saat ini.

Dalam kitab Taurat disebutkan,
“Nuh menjadi petani; dialah yang mula-mula membuat kebun anggur. Setelah ia minum anggur, mabuklah ia dan ia telanjang dalam kemahnya. Maka Ham, bapa Kanaan itu, melihat aurat ayahnya, lalu diceritakannya kepada kedua saudaranya di luar. Sesudah itu Sem dan Yafet mengambil sehelai kain dan membentangkannya pada bahu mereka berdua, lalu mereka berjalan mundur; mereka menutupi aurat ayahnya. Setelah Nuh sadar diri dari mabuknya dan mendengar apa yang dilakukan anak bungsunya kepadanya, berkatalah ia: “Terkutuklah Kanaan, hendaklah ia menjadi hamba yang paling hina bagi saudara-saudaranya”. Lagi katanya: “Terpujilah Tuhan, Allah Sem, tetapi hendaklah Kanaan menjadi hamba baginya. Allah meluaskan kiranya tempat kediaman Yafet, dan hendaklah ia tinggal dalam kemah-kemah Sem, tetapi hendaklah Kanaan menjadi hamba baginya”. (Kitab Kejadian 9: 20-27).

Makna dari kisah di atas adalah walaupun Sem-lah yang sebenarnya menyakiti ayahnya, Nabi Nuh, tetapi yang disalahkan dan dikutuk justru Kanaan, anak Ham. Perasaan akan ‘praduga tak bersalah’ yang tiada mendasar ini rupanya menjadi ‘hantaman’ bagi diri Kanaan. Siapapun akan merasa tertindas dan teraniaya dengan klaim negatif yang menempel pada dirinya. Perasaan ketertindasan dalam kisah inilah yang salah satunya melatar-belakangi perilaku pembudakan. Bahkan secara berlebihan hal ini diyakini sebagai bentuk kutukan ini yang menimpa minimal sepertiga penduduk dunia ini. Dimana sepertiga menjadi budak bagi sepertiga yang lain.

Lebih dari itu, dalam kitab-kitab Taurat terdapat banyak cerita tentang budak dan pembantu yang melayani para rasul dan nabi. Demikian juga Injil yang mengandung cerita permisalan tentang para budak yang melayani para tuan mereka. Al Masih mengatakan:
“Siapakah hamba yang setia dan bijaksana yang diangkat oleh tuannya atas orang-orangnya untuk memberikan mereka makanan pada waktunya? Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang”. (Injil Matius 24: 45-46).
“Siapa diantara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatkanlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterimakasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” (Lukas 17: 7-9).

Dalam turats Islam sendiri, ihwal perbudakan dapat dirunut melalui Alqur’an yang banyak berkisah tentang sejarah manusia terdahulu, dari Nabi Adam As hingga Nabi Muhammad SAW. Tidak ada keterangan pasti, sejak kapan perbudakan dimulai. Tapi jika melihat sejarah para Nabi dan Rasul dapat diuraikan bahwa di jaman Nabi Ibrahim As, sudah dikenal hamba sahaya atau budak. Bahkan beliau memperistri Siti Hajar, yang pernah mengabdi kepada keluarga Ibrahim dan Siti Sarah. Hajar melahirkan Nabi Ismail As, yang bersedia disembelih ayahnya sesuai petunjuk Allah SWT. Yang paling masyhur adalah budak bernama Bilal bin Rabbah, budak kulit hitam yang mempunyai suara amat bagus mengumandangkan azan, dan selalu mengumandangkan azan di Madinah.

Dalam kisah-kisah Alqur’an juga dikenal nama Siti Masyitah yang bekerja dengan Fir’aun sebagai budak di istana Fir’aun. Namun karena ketaatannya pada Allah dan tidak mengakui Fir’aun sebagai Tuhan, konsekuensinya Masyitoh sekeluarga dimasukkan ke tungku raksasa penggorengan. Sehingga Allah memuliakannya dan makamnya sangat harum di Mesir. Selain itu juga terdapat kisah wanita yang paling sufi di dunia yakni Rabiatul Adawiyah. Di masa kecilnya pernah diperjualbelikan sebagai budak, dan setelah dewasa menjadi wanita cantik jelita dan tidak pernah mau menikah meski dilamar oleh ulama besar maupun raja. Rabiah menolak semua pria yang melamarnya karena dia sangat mencintai Allah SWT dan merasa tidak mampu mencintai yang lain. kecuali sepenuhnya mengabdi kepada Allah SWT. Begitu pula Nabi Yusuf As, yang dibuang saudara-saudaranya ke sumur karena cemburu, lalu ditolong oleh seseorang yang kemudian menjadi budak Nabi Yusuf.

B. Perbudakan Dalam Sejarah Manusia; Konsepsi dan Pembenahan

Antara perilaku sosial dan sistematika alam merupakan kombinasi yang tak terpisahkan, bahkan cenderung tidak mempunyai kemampuan untuk menjelaskan suatu fenomena di tengah masyarakat. Terlebih relasi antara profanitas dan sakralitas masih berusaha menemukan pemecahannya jika untuk dapat saling memahami “bahasa” satu sama lain. Karena dimensi satu dengan yang lainnya mencoba untuk saling mempengaruhi; ketika “penghuni bumi” berbuat sesuatu, maka “penghuni langit” pun mencoba untuk mengaturnya. Hingga ada suatu pepatah yuridis yang berbunyi “ibi ius ibi, societas”, dimana ada masyarakat di situ ada hukum.

Salah satu fenomena pelik yang terjadi di bumi dan “benak manusia” adalah masalah perbudakan. Asumsi penulis bahwa perbudakan juga menjadi problem dalam “benak manusia” adalah karena esensi akan jiwa, pikir, dan mental perbudakan itu sendiri pada dasarnya perlu direfleksikan kembali jauh kepada kesadaran manusia itu sendiri. Hal ini menjadi maklum dalam pemahaman falsafati, dimana ada permasalahan tentang objek yang mendasar (ontologi) maka sebelum mengarah ‘kesana’ permasalahan tentang subjek (epistemologi) itu mesti didudukkan secara radikal.

Dari pembenahan awal di atas, mungkin akan kita sepakati bahwa perbudakan adalah salah satu bentuk penindasan manusia terhadap manusia lain. Lebih rinci lagi, penekanan negatif dari ‘yang menguasai’ atau ‘yang lebih kuat’ terhadap ‘yang dikuasai’ atau ‘yang lebih lemah’. Jika term ini dipahami dalam ranah Islam, maka sebenarnya pola perbudakan ini telah terjadi sejak Nabi Adam, yaitu sejak peristiwa yang terjadi antara dua orang bersaudara, Qabil dan Habil, dimana saling terjadi permusuhan dan pembunuhan pertama kali di dunia, porsinya pun lebih besar daripada perbudakan.

Peristiwa ini sedikit banyak menurun pada anak cucu Nabi Adam sebagai dua sisi yang saling kontradiksi; antara yang kuat dan yang lemah, yang berkuasa dan yang dikuasai, yang jahat dan yang baik, serigala dan anak kambing, kucing dan tikus. Di Arab sendiri kemudian dikenal dengan perilaku saling menguasai antar kabilah dan suku bangsa dalam menjalankan misi ekspansi mereka. Termasuk di Eropa dikenal dengan misi penjajahan ke pada bangsa lain dengan tujuan ‘gold’ (kekayaan), ‘glory’ (kejayaan), dan ‘gospel’ (agama).

Pada level yang lebih modern, tindakan penindasan ini mewujud dalam bentuk yang lebih ‘halus’ yaitu berbentuk penjajahan ideologi, seperti: kapitalisme, imperialisme, hedonisme, sekularisme, dan sebagainya. Demikianlah beberapa unsur dan makna perbudakan dalam arti luas yang telah dan sedang melintasi ruang dan waktu.
Akar pemikiran tentang budak ini secara radikal bisa kita temui dalam tradisi pemikiran Atena dan Roma sebagai representasi produk peradaban kuno tepatnya suatu masa sebelum dan setelah Islam datang. Yaitu pemikiran Aristoteles yang menyatakan bahwa ketaatan dan perintah merupakan dua hal yang sangat bermanfaat. Lebih lanjut, ia menyatakan bahkan benda mati pun mempunyai unsur ‘yang dituankan’ dan ‘yang diperbudak’ ketika keserasian lagu tercipta dari adanya kombinasi antara suara-suara ber-ritme lemah dengan suara-suara kuat membentuk suatu alunan yang syahdu.

Pada pemahaman tentang manusia, jiwa dan jasad merupakan implementasi dari “tuan” dan “budak”. Ketika seseorang tidak mampu mengendalikan nafsunya, maka sesungguhnya ia telah memperbudak jiwanya. Sebaliknya ketika ia menguasakan jiwanya lebih dari nafsu jasadiahnya, maka ia sedang memperbudak jasadnya. Dari sini dimunculkan pra syarat manusia yang sempurna adalah manusia yang bisa mengolah dan memelihara keselarasan antara roh dan jasadnya.

Dengan demikian yang ingin disampaikan adalah pola “pembudakan” sebenarnya telah ada dalam diri manusia yang dirupakan dengan pembudakan antar sesama. Walaupun Abdul Karim al Khatib sendiri dalam versi karya aslinya yang berjudul ‘At-Ta’rȋf Bi Al-Islȃm Fi ‘Ashri At-Tahaddiyat’ hendak menyatakan filsuf inilah yang mempengaruhi corak pemikiran Eropa Modern dalam mengabsahkan praktek perbudakan dengan sistem kolonialisasinya. Di luar maksud tersebut, penulis lebih sepakat untuk mengakui bahwa bagaimanapun kerasnya suara hati kecil manusia untuk menolak perbudakan bahkan sebagai bentuk dari kezaliman dan penindasan, namun di sisi lain akal tidak dapat memungkiri realita yang lacur terjadi di masyarakat secara nyata dengan varian bentuknya.

C. Faktor-faktor Perbudakan; Dalam Realita Sosiologis

Perbudakan (slavery), salah satu cirinya secara umum adalah pemilikan orang tertentu oleh orang lain, telah menjadi hal yang lazim dalam sejarah dunia. Perbudakan paling sering dijumpai pada masyarakat pertanian dan paling jarang dijumpai pada masyarakat pengembara, terutama pemburu dan pencari makanan (Landtman 1936/1968). Ketika kita mempelajari sebab-sebab utama dan kondisi di masa perbudakan, kita akan mengetahui sangat beragamnya perbudakan di seluruh dunia.

Penyebab perbudakan berlawanan dengan asumsi yang dianut banyak orang, karena perbudakan memang tidak disebabkan oleh rasisme. Adapun beberapa faktor penyebab terjadinya perbudakan adalah salah satu dari tiga faktor berikut:

Faktor pertama, adalah hutang. Dalam kebudayaan beberapa negara atau daerah orang yang menghutangi akan memperbudak orang yang tidak mampu membayar hutang. Kecenderungan akan kasus ini lebih sering kita jumpai pada era klasik bahkan nomaden, dimana belum ada status hukum yang konvensional di bawah pengakuan luas dalam menjalankan sistem ini.

Faktor kedua, adalah kejahatan. Seorang pembunuh atau pencuri mungkin tidak dihukum mati, melainkan diperbudak oleh keluarga korban sebagai ganti rugi atas derita kehilangan kepemilikan seharusnya yang dilakukan oleh pembunuh atau pencuri tersebut.

Faktor ketiga, ialah perang. Jika suatu kelompok manusia berhasil menundukkan manusia lain, mereka sering memperbudak sebagian diantara pihak yang dikalahkan. (Starna dan Watkins; 1991). Sejarawan Gerda Larner (1986) mencatatkan bahwa orang-orang pertama yang diperbudak karena peperangan adalah kaum perempuan. Ketika kaum laki-laki menyerbu suatu wilayah maupun perkampungan secara umum pasti berhadapan dan berperang dengan sesama laki-laki sehingga terjadi pembunuhan antar kedua belah pihak. Setelah itu, salah satu pihak yang kuat akan memperkosa dan menangkapi kaum perempuan dari pihak lawan untuk dibawa pulang. Kaum perempuan inilah yang dipergunakan pihak musuh untuk dijadikan sebagai komoditi seks, pekerjaan, dan reproduksi dalam kapasitasnya sebagai budak mutlak.

Pola ini lazim dilakukan pada masa perang era kuno juga, dimana perampasan harta perang termasuk sumber daya musuh lawan dijadikan tawanan perang untuk dipekerjakan di negara atau pihak yang memenangkan perang. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw, menurut sejarah Islam, mempunyai cara pandang tersendiri untuk memperlakukan tawanan perang dengan cara tetap memanusiaakan mereka.

Sekitar 2.500 tahun yang lalu, ketika Yunani masih menjadi sekumpulan negara kota, perbudakan merupakan sesuatu yang lazim. Suatu kota yang lebih kuat dan mampu menundukkan kota lain akan memperbudak sebagian warga dari kota yang dikalahkan. Baik budak maupun pemilik budak adalah sama-sama orang Yunani. Demikian pula ketika Roma menjadi Penguasa Tertinggi di kawasan Laut Tengah sekitar 2.000 tahun lalu, kaum Romawi memperbudak sebagian kaum Yunani yang berhasil mereka tundukkan. Karena lebih berpendidikan daripada penguasa, sebagian budak ini dipekerjakan sebagai pengajar di rumah orang Romawi. Dengan demikian, perbudakan merupakan hutang, kejahatan, dan perang, dan bukan merupakan persoalan ras yang secara hakiki lebih rendah atau bukan.

Kondisi perbudakan di negara satu dengan yang lain berbeda. Dalam sejumlah kasus, perbudakan bersifat sementara. Para budak kaum Israel dibebaskan tiap tahun jubilee yang terjadi setiap 50 tahun. Budak kaum Romawi biasanya berhak menebus dirinya dari perbudakan. Mereka mengetahui harga beli mereka sendiri dan beberapa orang dapat membayar harga ini dengan cara menjalin kesepakatan dengan pemilik mereka dan dengan jalan menjual jasa mereka ke orang lain. Namun pada umumnya perbudakan merupakan suatu keadaan seumur hidup. Beberapa orang penjahat, misalnya dijatuhi hukuman seumur hidup menjadi pendayung di kapal perang Romawi. Disana mereka bekerja sampai akhir hayat mereka, dan sering tidak berlangsung lama di bawah tekanan kerja yang sangat melelahkan.

Terdapat kenyataan yang berkembang di lapangan perbudakan terkait pergeseran peran dan karakternya, yaitu:

1. Perbudakan tidak secara otomatis diwariskan.

Di kebanyakan tempat, anak-anak para budak otomatis akan menjadi budak pula. Namun dalam sejumlah kasus, anak seorang budak yang lama mengabdi dalam suatu keluarga akan diadopsi menjadi seorang anak dari keluarga tersebut. Menjadi ahli waris yang menyandang nama keluarga dan bersanding putra-putri mereka dalam rumah tangga tersebut (Lantman 1938/1968: 271).

2. Para budak tidak secara otomatis tidak berkuasa dan miskin.

Dalam hampir semua kasus, para budak tidak memiliki kepemilikan dan kekuasaan. Namun dalam beberapa kelompok, budak dapat mengakumulasikan kepemilikan bahkan mendapatkan posisi tinggi dalam komunitas. Kadang-kadang seorang budak dapat menjadi kaya dan meminjamkan uang kepada majikannya, dan di kala ia masih menjadi budak, ia dapat mempunyai budak sendiri (Lantman 1938/1968). Namun kejadian ini sangat jarang terjadi.

Karena perbudakan mempunyai beberapa penyebab, beberapa analis menyimpulkan bahwa rasisme tidak termasuk penyebab perbudakan, melainkan perbudakanlah yang menyebabkan rasisme. Karena memperbudak orang lain seumur hidup itu menguntungkan dan orang Amerika membuat suatu ideologi yang membenarkan pengaturan sosial. Ideologi menghasilkan suatu gambaran mengenai pengaturan sosial menjadi sesuatu yang tak terelakkan, perlu, dan terkesan adil. Para kolonis mengembangkan pandangan bahwa para budak lebih rendah dan mengatakan bahwa mereka tidak sepenuhnya manusia.
Ringkasnya, para kolonis mengembangkan pembenaran rinci atas perbudakan bahwa yang dibangun atas asumsi keunggulan kelompok mereka sendiri daripada yang lain.

Akar perbudakan menjadi semakin menguntungkan, negara-negara bagian yang memiliki perbudakan mengesahkan undang-undang yang melegalkan bahwa perbudakan merupakan sesuatu yang dapat diwariskan. Artinya bayi yang dilahirkan budak menjadi hak milik pemilik budak (Stampp 1956). Anak-anak ini dapat dijual, dipertukarkan, atau diperdagangkan. Untuk memperkuat pengendalian mereka, negara-negara bagian mengesahkan undang-undang yang melarang para budak untuk berkumpul atau meninggalkan rumah majikan tanpa suatu surat jalan (Lerner 1972). Sedangkan untuk konteks di zaman yang setahap lebih maju lagi seperti saat ini, situs inthesetimes.com mengungkap beragam faktor penyebab meluasnya fenomena model baru perbudakan yang dimotori utama oleh faktor meluasnya ketidakadilan di berbagai belahan negara yang semakin diperparah oleh faktor krisis ekonomi.

D. Perbudakan Dalam Bingkai Modernitas Zaman; Contoh Kasus

Perbudakan di masa kini telah banyak pula menampilkan wajah buruknya, seperti di Sudan, Pantai Gading, dan Mauritania (Tandia 2001; Balles 2002; Del Castillo 2002). Perbudakan di wilayah ini mempunyai sejarah panjang dan baru pada tahun 1980-an perbudakan menjadi sebuah pelanggaran hukum (Ayittey 1998). Meskipun telah dihapuskan secara resmi, namun perbudakan sebenarnya masih tetap berlangsung.

Perbudakan di dunia baru ini semakin meningkat karena kebutuhan akan tenaga kerja, beberapa negara kolonis mencoba untuk memperbudak orang Indian, namun upaya ini gagal. Salah satu sebabnya adalah ketika orang Indian melarikan diri, mereka dapat bertahan hidup di hutan dan mendirikan komunitas baru disana. Orang Afrika kemudian menjadi sasaran perbudakan dengan di bawa ke Amerika Utara dan Selatan oleh orang Belanda, Portugis, dan Spanyol.

Seiring perkembangan zaman, pola pemanfaatan sumber daya manusia semacam ini masih saja menggiurkan. Dapat disebutkan misal Tenaga Kerja Indonesia (TKI), utamanya tenaga kerja wanita di luar negeri, terlebih yang bekerja di Negara-negara Arab. Banyak kasus kekerasan yang dialami oleh mereka walaupun sudah diatur sedemikian rupa baik oleh hukum Internasional maupun hubungan kerjasama bilateral. Kasus terakhir terhadap Darsem yang lolos dari hukuman pancung karena bantuan pemerintah yang membayar denda atau diyat sebesar Rp.4,5 milyar diakui mampu menyelamatkannya dari hukuman pancung. Namun, akhir perjalanan yang berbeda dialami oleh Ruyati, TKI wanita yang tertuduh melakukan pembunuhan terhadap majikannya, telah kehilangan hak hidupnya sebagai manusia hanya karena alasan hukum Islam yang diterapkan secara radikal di negara tersebut.

Bukan hanya di negara Timur Tengah, di negara Barat pun yang mencita-citakan sebagai polisi dunia, perbudakan masih saja tidak terbendung, walaupun penghapusan perbudakan itu sendiri telah dilakukan sejak 150 tahun lalu. Mengutip laporan tahun 2010 dari Departemen Perdagangan Manusia (TIP), Departemen Luar Negeri AS menyebutkan masih adanya praktek global perdagangan manusia hingga kini layaknya barang milik pribadi marak dipraktekkan di AS.

Laporan tersebut mengindikasikan bahwa meskipun katanya Amerika Serikat berupaya untuk memerangi perdagangan manusia, tetapi korban 'perbudakan' ala baru ini tetap tersebar di seluruh negeri, tersembunyi dari pandangan: baik perbudakan para migran, pelacur yang terikat oleh utang penyelundupan, para pembantu rumah tangga yang bekerja tanpa dibayar. Meskipun relatif negara kaya dan dengan sistem hukum yang canggih, perbudakan model baru masih menetes ke Amerika Serikat melalui celah-celah dalam undang-undang tenaga kerja dan imigrasi.

Titik tegang antara realita dan dogma dalam merespon perbudakan salah satunya dijembatani dengan paradigma Hak Azasi manusia (HAM). HAM adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat pada dirinya dimanapun dan kapanpun ia berada. Perlindungan akan cakupan dari HAM inilah yang sedang disepakati oleh dunia internasional walaupun –sebagian bangsa- kemudian belum menemukan standar bakunya terkait aspek lokalitas, realitas, maupun isu politik global di tiap negara yang berbeda kadar dan jenisnya.

Secara historis, ide mengenai HAM sendiri sangat dilatar belakangi oleh isu maraknya perbudakan. Tepatnya ide ini muncul pada abad ke-17 dan ke-18 ketika terjadi keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu terhadap rakyat yang mereka perintah maupun manusia yang dipekerjakan sebagai masyarakat lapisan bawah.
Konsensus HAM inilah yang disinyalir masih bisa dikesampingkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam melegalkan praktek perbudakan, penindasan, dan kekerasan melalui cara yang selalu baru sesuai perkembangan zaman.

E. Islam dan Solusi Perbudakan; Menuju Teologi Pembebasan

Keadaan perbudakan di dunia pada saat Islam datang adalah seperti perlakuan tuan terhadap binatang perahannya. Hingga saat ini, bangsa Negro Amerika masih menempati perkampungan-perkampungan terpencil atau kandang. Revolusi budak di Roma pimpinan Parakus yang mampu mengguncang pasukan imperium Romawi, bahkan hampir saja memusnahkan imperium itu sendiri, membuktikan para budak ini hidup di daerah khusus, seolah mereka telah membentuk negara di dalam negara, yang rakyatnya terdiri atas para budak itu.

Untuk itulah Islam memberikan porsi yang tidak sedikit dalam memperhatikan kesejahteraan dan memperjuangkan kemerdekaan budak. Seperti dalam menyelesaikan masalah perbudakan, Islam melakukan dua hal sebagai berikut:

Pertama, seruan umum untuk bersaudara dalam persaudaraan Islam dan kemanusiaan. Dalam hal ini Islam telah melahirkan semua manusia dengan satu cara yang sama dan dari rahim yang sama, yaitu bumi. Kesadaran ini diharapkan mampu menggugah sisi ego manusia untuk tidak merasa paling unggul diantar manusia yang lain, termasuk dalam hal muamalah. Jika kita kembalikan dalam terminologi sunnatullah, maka akan dipahami bersama bahwa kebutuhan akan keberagaman peran dan fungsi sosial menemukan bentuknya yang satu, yaitu kesalingketergantungan dalam kapasitasnya sebagai makhluk.

Kedua, seruan untuk memerdekakan budak dalam rasa keadilan bersama. Berangkat dari pemahaman bahwa budak awalnya dianggap sebagai harta yang mempunyai nilai khusus sehingga orang akan sulit untuk melepaskannya kecuali dengan imbalan yang menarik. Dalam pasar ini, Islam menawarkan berbagai bentuk pertukaran hingga dapat menampung semua orang yang memiliki dan sekaligus menyediakan imbalan menarik jika mereka mau pergi ke pasar ini.

a. Imbalan dalam bentuk harta
b. Imbalan yang sebanding dengan harta atau tenaga; meliputi kasus-kasus:
- Pelanggaran sumpah maka kafaratnya adalah memerdekakan budak
- Juga ketika terjadi pembunuhan seorang muslim tanpa sengaja
- Jika melakukan sumpah zihar , kafaratnya juga memerdekakan budak.

Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Bin Shalih Ali Bassam, penulis kitab Taisir ‘Allam, menawarkan salah satu cara Islam dalam menyelesaikan masalah perbudakan, diantaranya adalah:

1. Mempersempit sebab-sebab perbudakan.

Islam menyatakan bahwa seluruh manusia adalah merdeka dan tidak bisa menjadi budak kecuali dengan satu sebab saja, yaitu orang kafir yang menjadi tawanan dalam pertempuran. Panglima perang memiliki kewajiban memberikan perlakuan yang tepat terhadap para tawanan, bisa dijadikan budak, meminta tebusan atau melepaskan mereka tanpa tebusan berdasar kemaslahatan umum.

2. Menyikapi para budak dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang.

Hal ini hanya dapat dilakukan ketika memandang budak layaknya saudara sendiri, yaitu dengan memberikannya makanan, minuman, pakaian, serta manajemen waktu yang profersional. Di Indonesia, hal ini lazim disebut dengan Upah Minimum Regional (UMR), misalnya, yang masing-masing besarannya di tiap daerah berbeda sesuai dengan pendapatan dan pemasukan teritorial ekonominya. Walaupun memang pengertian buruh dalam kasus ini lebih pada pekerja kasar atau karyawan.

Kemudian Islam memiliki beberapa sebab kemerdekaan seorang budak, baik merdeka secara terpaksa atau merdeka secara ikhtiari. Jalan merdeka secara paksa adalah seperti:
- Barang siapa melukai tubuh budaknya maka ia wajib membebaskan budaknya tersebut.
- Seorang budak dimiliki oleh beberapa orang, lalu salah seorang pemilik membebaskan bagiannya, maka pemilik tadi harus membebaskan bagian sekutunya secara paksa.
- Barang siapa memiliki budak yang ternyata masih kerabat dekatnya (mahramnya) maka wajib atas pemiliknya untuk membebaskan secara terpaksa.

Agar tidak terjadi pemahaman bahkan pembenaran secara ‘sepihak’ dalam penyelesaian masalah perbudakan, menarik untuk mendalami gagasan besar Ashgar Ali Enginerr, seorang pemikir kontemporer, yang mencanangkan teologi pembebasan untuk melawan segala bentuk penindasan –termasuk soal perbudakan- dalam Islam. Tentunya dengan tahapan mengubah teologi klasik menjadi teologi praksis pembebasan dalam memandang perbudakan khususnya. Adapun teologi pembebasan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, konsep tauhid. Tauhid disini tidak semata dimaknai keesaan Allah namun juga sebagai kesatuan manusia (unity of mankind). Dalam konteks ini masyarakat Islam tidak dibenarkan melakukan diskrimanasi dengan bentuk apapun, ras, agama, kasta, maupun kelas.

Kedua, konsep jihad. Dalam teologi ini, jihad dimaknai sebagai berjuang dalam menghapus eksploitasi, korupsi, dan pelbagai bentuk kezaliman terlebih penindasan dalam perbudakan. Perjuangan ini harus dilakukan secara dinamis dan istiqomah hingga pengaruh destruktif musnah dari muka bumi.

Ketiga, konsep iman. Iman yang berarti; selamat, damai, perlindungan, dapat diandalkan, terpercaya, dan yakin pada Tuhan, sudah saatnya dan harus mempunyai implikasi secara sosiologis. Jadi, tidak sekadar mencakup dimensi akan aspek eskatologis semata, namun yang lebih penting juga menciptakan ketertiban, kedamaian, dan keyakinan pada nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan.

F. Penutup

Dari pembahasan mengenai perbudakan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam mempunyai perhatian besar terhadap isu ini. Dikatakan perbudakan bukanlah sesuatu yang mustahil namun ada cara dan pengaturan khusus yang harus diterapkan dalam menyikapinya sebatas aspek perlindungan kemanusiaan. Tentunya hal itu semua dilakukan dengan terlebih dahulu memahami hakikat manusia dan ajaran serta nilai dari Islam itu sendiri.



*********

Saran dan Kritik:
- cholidmaarif@yahoo.com
- http://www.sangkanparan.blogspot.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Karim al Khatib, “Islam Menjawab Tuduhan; Kesalahan Penilaian Terhadap Islam” (terj.), (Solo: Tiga Serangkai), 2004

Drs. A. Khudori Soleh, MA, (ed.), “Pemikiran Islam Kontemporer”, (Yogyakarta: Penerbit Jendela), 2003

Erma S. Tarigan, “Derita TKI dan Buruh Menurut Islam”, Mimbar Jum’at, Medan, edisi: 15 Juli 2011

James M. Henslin, “Sosiologi; Dengan Pendekatan Membumi, Jilid 1” (terj.) Prof. Kamanto Sunarto, S.H, Ph.D, (Yogyakarta: Erlangga), 2007

Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Listafariska Putra), 2000

Yefrizawati, “Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam”, Program Studi Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, 2005

http://www.eramuslim.com/berita/dunia/deplu-as-akhirnya-akui-ada-perbudakan-model-baru-di-amerika.htm

http://almanhaj.or.id/content/3062/slash/0