Jumat, 17 Februari 2012

Mengkaji Penerapan Epistemologi Dalam Kajian Politik Islam”

Oleh:
Cholid Ma’arif, S.Hum

Abstraksi

Politik menjadi realitas sekaligus idealitas yang kerapkali bersinggungan dengan segenap aspek yang melingkupi kehidupan sosial masyarakat. Hal ini akan menjadi mentah manakala politik dipahami secara sepihak menurut kepentingan masing-masing baik itu sebagai jalan kekuasaan maupun jalan perjuangan. Disinilah peran kajian dan pemikiran politik memainkan perannya ketika dihadapkan pada beberapa wacana pemerintahan baik secara sistem maupun ideologis. Tulisan ini mencoba untuk mengulas sedikit diskursus politik dalam perspektif epistemologi Islam pada ranah penerapan teoritis maupun praksis.

Kata kunci: politik, epistemologi, Islam ,negara.

A. Pendahuluan; Suatu Pembenahan Awal

Antara Realita dan Idealita

Sejarah mengatakan bahwa Islam tumbuh dan berkembang dalam situasi dan kondisi yang tidak bisa lepas dari aspek politik. Peristiwa Fathul Makkah-nya Nabi Muhammad Saw hingga kejayaan masa kekhalifahan Islam adalah fakta yang tidak terbantahkan. Namun demikian, jalinan hubungan antara nilai Islam dan sikap politik kekinian mungkin tidak lagi berimbang ketika tindakan politis murni menjadi lebih dominan tanpa diiringi pemahaman atas epistemologinya.

Terlebih dalam kaitannya dengan gerakan sosial keagamaan, seringkali terjadi perselingkuhan antara politik dan agama menjadi sesuatu yang sangat krusial dan cenderung menimbulkan instabilitas masyarakat. Salah satu titik tolak berbagai arus pergerakan dari sejumlah organisasi massa Islam (Harakah Islamiyah, Ikhwanul Muslimin) –misalnya- adalah konsep ‘trans-historis’ tentang ke-jahiliyah-an dan utopia era keemasan Nabawiyah yang dengan emosionil memerangi rezim pemerintahan sahnya Naser dan Sadat di Mesir.

Untuk mengatasi ambiguitas dalam perilaku politik praktis sekaligus memahami secara mendalam pemikiran politik teoritis, terlebih dahulu perlu diurai dengan sudut pandang filosofis. Dalam hal ini epistemologi menjadi landasan filosofis bagi kemunculan metodologi dan metode dalam merumuskan kebenaran politik dan politik yang benar. Diskursus politik dalam tulisan ini berusaha untuk menjawab pertanyaan: bagaimanakah penerapan epistemologi Islam dalam kajian politik? Lalu, apakah hakikat nilai-nilai politik Islam yang dapat diejawantahkan di segala zaman? Terutama berdasarkan pada khazanah politik Islam yang telah ada dan sedang berkembang.

Epistemologi Islam; Sebuah Pengantar

Mengacu pada rumusan masalah di atas, perlu disepakati bahwa untuk mengarahkan politik pada jalur yang benar harus dimulai dari pembenahan epistemologinya itu sendiri. Karena sesungguhnya epistemologi bukan hanya sekadar problem filsafat, melainkan juga problem seluruh disiplin keilmuan Islam, termasuk ilmu politik dan dinamika di dalamnya. Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani ‘episteme’ yang berarti ‘pengetahuan’, dan ‘logos’ berarti ‘teori’. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Akal (verstand), akal budi (vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model-model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dengan berbagai variasinya. Masing-masing model epistemologik juga mempunyai kelebihan dan kelemahan berdasarkan tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) yang melahirkan teori-teori seperti koherensi, korespondensi, pragmatis, dan teori intersubjektif.

Sepenting epistemologi, bahkan dalam logika Islam dapat dikatakan bahwa sebab Adam as dikeluarkan dari surga adalah karena ia tidak mengamalkan peringkat keempat dari pengetahuannya. Peringkat pertama adalah epistemologi, kemudian “pandangan dunia”, kemudian ideologi, lalu ideologi mengharuskan ia untuk melaksanakan suatu amal perbuatan. Di sinilah peran penting penerapan epistemologi ditekankan secara teologis.

Politik; Antara Diamati dan Dikaji

Politik merupakan salah satu cabang ilmu sosial karena karakternya yang empiris, dapat diamati, dan dapat berubah sesuai zaman. Ia adalah ilmu yang mempelajari pemerintahan sekelompok manusia termasuk negara. Baik itu berkaitan dengan konsep, sistem, dan struktur sosial dan dinamika yang ada di dalamnya.

Politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani politicos, artinya (sesuatu yang) berhubungan dengan warga negara atau warga kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis yang bermakna kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), pengertian politik sebagai kata benda ada tiga. Jika dikaitkan dengan ilmu maka artinya (1) pengetahuan tentang kenegaraan (tentang sistem pemerintahan, dan dasar-dasar pemerintahan); (2) segala urusan dan tindakan ( kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan atau terhadap negara lain; dan (3) kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah). Jadi, dapat dikatakan bahwa hakikat politik itu adalah perilaku manusia baik berupa aktivitas ataupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi atau mempertahankan tatanan suatu masyarakat dengan mempergunakan kekuasaan (Abd. Muin Salim, 1994: 37).

Kecenderungan untuk memposisikan politik sebagai pilihan diantara ‘jalan kekuasaan’ atau ‘jalan perjuangan’ sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari konstruk pemahaman atas hakikat politik itu sendiri. Untuk menuju pada pemahaman tersebut, kiranya perlu diketahui pembedaan antara pemikiran (filsafat) politik, teori politik, dan ilmu politik.

Untuk mencakup ketiga unsur di atas, penulis sepakat dengan wacana (discourse) tentang teori politik – Vernon Van Dyke sebagaimana dikutip A. Rahman Zainuddin yang menyatakan bahwa pengertian tentang teori diantaranya: pemikiran (thoughts), dugaan (conjecterus), juga gagasan (ideas). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik yang berawal dari pemikiran yang mendalam dan penuh renungan akan mempengaruhi ekpresi gagasan politik atau dengan istilah lain filosofi pemerintahan.

Selama ini orientasi kajian politik, khususnya politik Islam, berbicara tentang peristiwa-peristiwa politik mutakhir di dunia Islam kontemporer, dengan sedikit upaya untuk mengkaji secara lebih mendalam aspek-aspek teori politik yang sungguh dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Pada wilayah ini, menurut penulis, epistemologi menjadi basis paling prinsip dari dimunculkannya teori-teori politik tersebut dan penting untuk dikaji terlebih dulu. Sedangkan untuk mengarah pada pembahasan epistemologi, kiranya perlu diketahui metodologi studi pemikiran politik yang mencakup kajian tentang tujuan, ukuran kriteria, dan jenis penelitian.

B. Al-Qur’an Sebagai Sumber Epistemologi Politik Islam

Politik yang adil bagi setiap umat dimaksudkan sebagai pengaturan urusan negara dalam menerapkan sistem dan peraturan yang menjamin keamanan bagi individu dan golongan serta untuk merealisasikan kemaslahatan Islam. Dasar-dasar Islam dijadikan acuan sistem keadilan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia disetiap zaman dan tempat. Hal itu merupakan bukti dari al-Qur’ȃn dan al-Hadȋs, yang menjadi dasar dan sumber utama Islam, meskipun al-Qur’ȃn tidak menjelaskan sistem tersebut secara rinci, tetapi menetapkan dasar-dasar dan kaidah-kaidah kulliyah tentang sistem pengaturan urusan umat dalam tatanegara Islam atau pemerintahan.

Sama halnya dalam epistemologi Islam bahwa al-Qur’ȃn menaruh perhatian pada ihwal batin tanpa menafikan ihwal yang lahir. al-Qur’ȃn tidak hanya mengandung satu, dua atau sepuluh ayat saja yang mengingatkan manusia agar memperhatikan alam, sejarah, dan berbagai sistem sosial –termasuk aspek politik, jiwa dan bagian dalam diri yang merupakan salah satu dari alam ini.

Sehingga dapat dikatakan, politik Islam -sebagai salah satu persinggungan tersebut- adalah aktifitas politik yang didasari oleh nilai dan prinsip Islam, baik dari titik tolak (starting point), program, agenda, tujuan, sarana dan lainnya harus sesuai dengan petunjuk Islam, yaitu al-Qur’ȃn. Selain itu, ada variabel lain yang harus diperhatikan, seperti etika Islam, ketentuan hukum Islam dan lain sebagainya. Pandangan ini mengakui bahwa “dimana-mana”, kehadiran Islam selalu memberikan “panduan moral yang benar bagi tindakan manusia”.

Menurut aliran pemikiran ini, bahkan istilah negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’ȃn. Meskipun “terdapat berbagai ungkapan dalam al-Qur’ȃn yang merujuk atau seolah-olah merujuk kepada kekuasaaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. Karena “al-Qur’ȃn bukanlah buku tentang ilmu politik.”

Pengertian secara umum dari politik diartikan sebagai urusan yang ada hubungan lembaga yang disebut negara. Pemerintahan dapat diartikan sebagai politik. Sehingga belajar tentang ilmu politik berarti belajar mengenai lembaga-lembaga politik, legislatif, eksekutif dan yudikatif (trias politika) yang sebenarnya justru konsep dari Barat, Immanuel Kant. Namun setelah era tahun 1950-an, pemikiran politik berkembang kepada pendekatan perilaku terhadap ilmu politik (behavioral approaches to politics).

Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Di dalam Islam, kekuasaan politik kait mengait dengan al-hukm. Perkataan al-hukm dan kata-kata yang terbentuk dari kata tersebut digunakan 210 kali dalam al-Quran yang dapat dialih-bahasakan menjadi istilah peraturan, undang-undang, patokan atau kaidah, dan keputusan (vonis) pengadilan. Disini tampak bahwa politik merupakan aspek konsekuensi yang sangat penting dari ajaran Islam namun bukanlah satu-satunya aspek terpenting karena –seperti menurut Ibn Taymiyyah- lebih membutuhkan keputusan rasionalis dari sekedar perintah agama.

C. Sejarah sebagai Sumber Lain Epistemologi Politik

Al-Qur’an mengakui sejarah sebagai suatu sumber pengetahuan karena sejarah adalah kumpulan kumpulan masyarakat yang tengah bergerak dan berjalan. Sehingga pemikiran politik Islam pada umumnya merupakan produk “perdebatan besar” yang tidak bisa dilepaskan dari peristiwa sejarah dan masalah religi politik dimana salah satunya melahirkan konsep Imamah dan Kekhalifahan sejak zaman Nabi Muhammad Saw masih hidup.

Walaupun filsafat sejarah dengan sosiologi dalam definisi sesungguhnya mempunyai perbedaan, namun dalam teori maupun praktik Nabi Saw menempati suatu posisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber spiritual undang-undang Ketuhanan sekaligus juga pemimpin pemerintahan Islam yang pertama. Kerangka kerja konstitusional pemerintahan ini terungkap dalam sebuah dokumen terkenal yang disebut dengan “Konstitusi Madinah” atau “Piagam Madinah”.

Dalam dokumen tersebut terdapat langkah pertama dan sangat penting bagi terwujudnya sebuah badan pemerintahan Islam atau Ummah. Piagam tersebut juga memuat beberapa konsep penting diantaranya yakni mengenai konsep suku tentang pertalian darah digantikan dengan ikatan iman yang bersifat ideologis. Menyuguhkan landasan bagi prinsip saling menghormati dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang mengikuti, bergabung dengan dan, berjuang bersama mereka”.

Sejarah Piagam Madinah membuktikan diri sebagai satu hasil usaha Nabi dalam upaya merealisasikan ajaran al-Qur’an untuk hidup bermasyarakat dan bernegara; bahkan Piagam Madinah dikenal sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang sampai kepada kita. Menurut konstitusi itu pula, orang-orang Islam dan semua warga yang tinggal di Madinah tergabung dalam suatu masyarakat (pasal 1) yang secara fisik dan politis berbeda dengan kelompok-kelompok lain (pasal 1 dan 39). Tidak ada pengertian lain mengenai siapa yang harus mencegah tampuk pimpinan dalam konfederasi semacam itu. Pada pasal 23, 36, dan 42 secara tegas menyebutkan Allah dan Nabi Muhammad Saw sebagai hakim terakhir serta sumber segenap kekuasaan dan kekuatan (wewenang).

Sejak hijrah ke Madinah sampai wafatnya, Nabi Muhammad Saw berperan sebagai pemimpin yang penuh bagi negara Islam yang baru lahir tersebut. Sebagai Nabi, beliau meletakkan prinsip-prinsip agama Islam, memimpin shalat serta menyampaikan berbagai khutbah. Sebagai negarawan, beliau mengutus duta ke luar negeri, membentuk angkatan perang dan membagikan rampasan perang. Hingga sepeninggal beliau tidak pernah menyampaikan wasiat siapa yang berhak menggantikan beliau sebagai pemimpin negara Islam. Inilah yang menjadi pemicu lahirnya perdebatan sengit dan berkepanjangan mengenai syarat-syarat Imam atau pemimpin umat Islam.

Setelah masa kenabian Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin umat Islam kala itu, tampuk kepemimpinan berikutnya dipegang oleh para sahabat Nabi saw. yang lebih dikenal sebagai era “Khulafaur- Rasyidin”, yang terdiri dari para sahabat dekat Rasulullah : Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Masa-masa itu merupakan cermin kejayaan Islam yang diraih dengan berbagai perangkat dan tetap selalu berada di bawah prinsip konsultasi dan akomodasi.

D. Nalar Politik [Arab] Islam; Dari Akar ke Implementasi

Salah satu rujukan terpenting tentang epistemologi politik Islam terdapat dalam karya Mohammed Abid al Jabiri yang berjudul al-‘Aql as Siyȃsiy al ‘Arȃbiy (Nalar Politik Arab). Dalam karyanya tersebut Jabiri menggunakan epistemologi bayȃni yang menyatakan bahwa pada dasarnya politik Islam mencari legitimasinya dari al-Qur’ȃn dan Hadȋth, namun dalam perkembangan nilai –untuk memudahkan konsepsi- kesejarahannya kondisi ini didominasi setidaknya oleh tiga deskripsi motivasi, yaitu: kabilah (kesukuan), ‘aqȋdah (Islam), dan ghanȋmah (harta rampasan perang) Dari ketiga premis tersebut kemudian muncullah doktrin perjuangan politik Islam yang dilandasi pada konsep kepemimpinan suku Quraisy, kepentingan agama, dan kepentingan ekonomi.

Imȃmah dan Khalifah; Ulasan Kitȃb al-Ahkȃm al-Sulthȃniyyah

Ada fenomena penting dalam sejarah politik Islam. Pertama, identitas kesukuan tetap memiliki peranan penting dalam arus utama masyarakat Islam. Kedua, beberapa ciri tertentu masyarakat kesukuan langsung diperkenalkan ke dalam hubungan sosial dan persepsi kultural. Ketiga, beberapa ciri masyarakat kesukuan dimasukkan dengan halus ke dalam struktur umat sebagai keutuhan.

Ajaran tentang jihad menyempurnakan persaudaraan kaum lelaki dan menegaskan batas antara orang dalam dan orang luar. Hak untuk menguasai dan merampas dalam Islam diadopsi dari tradisi nomad pra-Islam; “Tuhan Muhammad telah mengubah militansi dan keserakahan suku-suku Arab menjadi sebentuk amal agama yang luhur”. Sehingga proses terbentuknya syariat sendiri cenderung bersifat informal dan personal, tidak institusional. Pemimpin agama adalah para ulama yang berfungsi utama sebagai penyampai dan menerapkan aturan-aturan moral.

Secara khusus, beberapa gagasan muncul di seputar konsep Islam tentang komunitas (ummah) yang didasarkan pada “islȃm” (tunduk kepada Tuhan dan “masuk ke dalam kesepakatan damai” , inilah kesatuan antara agama dan kekuasaan. Setelah Nabi Muhammad wafat kemudian diasumsikan bahwa seseorang harus menggantikan perannya sebagai pemimpin (imȃm) komunitas sekaligus sebagai khalifah.

Pandangan Ahlisunnah mengenai kekhalifahan salah satunya dikembangkan oleh seorang pengikut Syafi’i, yaitu Abu al-Hasan Ali al-Mawardi (Bashrah 974-Baghdad 1058), seorang ahli hukum reformis yang terkenal dengan karya utamanya Kitȃb al-Ahkȃm al-Sulthȃniyyah (Prinsip-prinsip [Ordonansi/Peraturan] Kekuasaan) –merupakan karya dari genre fikih yang ditulis antara 1045 dan 1058, persis ketika Saljuk menduduki Abbasiyah. Di awal sekali ia berpendapat bahwa sumber-sumber keteraturan sosial adalah (1) sebuah agama yang mapan dapat mengatur nafsu manusia dengan benar; (2) seorang penguasa yang kuat sebagai instrumen pendukung agama dengan ciri otoritas superior; (3) keadilan untuk menjamin terjaganya hubungan cinta dan ketundukan antara rakyat dan penguasa menuju kemakmuran negara; (4) hukum dan tata tertib yang menghasilkan rasa aman universal; (5) kemakmuran ekonomi secara umum dari sumber daya dan pendapatan; (6) harapan orang banyak akan terpeliharanya berbagai aktifitas produksi.

Dalam Sulțȃniyyah (kekuasaan), al-Mawardi bersikeras bahwa pemerintahan keagamaan Islam memiliki suatu bentuk organisasi politik baik itu imȃmah maupun khilȃfah yang dikenali oleh bantuan wahyu teks suci dan bukan sekedar nalar akal. Jabatan-jabatan publik dalam komunitas Islam yang paling penting adalah hakim, muhtasib (pencegah praktik penipuan dan pengatur hubungan antar pekerja), dan mazalim.

Al-Mawardi menggunakan dua konsep untuk memformulasikan hubungan antara khalifah dan para pejabat pemerintahan: wazir (menteri), dan amir (komandan). Ia membedakan dua kelompok wazir: (1) wazir reguler, yaitu yang diangkat (tawhȋb) oleh khalifah untuk melaksanakan kekuasaan secara penuh, dan (2) wazir temporer (tanfȋdz), yaitu yang diangkat oleh khalifah untuk menjalankan tugas-tugas khusus (Bab 2).

Secara metodologis, ia membagi amir menjadi dua jenis. Pertama, amir yang diperluas kedudukannya -dimana pada awalnya hanya berarti jabatan militer- menjadi amir golongan pertama di bawah wazir yang meliputi fungsi kehakiman, ekonomi, dan keagamaan. Kedua, seorang penguasa yang ditaklukkan dan menguasai otoritas Khalifah.

Bila tidak mungkin maka dengan menempatkan pengawas fungsi publik terhadap keamiran seseorang. Walaupun hal ini bertentangan dengan syariat namun dibolehkan dengan dua alasan: (i) harus dijalankan karena syarat-syarat yang dimaksud mustahil dipenuhi, dan (ii) khawatir akan melukai kepentingan publik, sehingga dibolehkan untuk melonggarkan syarat yang dalam keadaan tertentu tidaka akan dibenarkan (dalam Lambton, 1981: 101). Kasuistik seperti inilah yang mungkin dimaksud dengan penerapan epistemologi politik.

Etika Kekuasaan; Nașȋhah al-Mulk dan Genre Sejenisnya


Salah satu rujukan terpenting dalam khazanah politik Islam selanjutnya adalah Nașȋhah al-Mulk (Nasihat kepada Raja) karya al-Ghazali sebagai genre yang lebih pragmatis. Pengaruhnya karya ini mampu mereproduksi dan menyebarkan ideologi kesultanan Sunni. Gerakan pemikiran ini menyiarkan gagasan Islam-Iran ke berbagai belahan dunia dan bermacam bangsa, serta menyampaikannya dari satu dinasti ke dinasti lain.

Dalam terminologi keagamaan, posisi sultan dianggap sebagai bagian integral, bahkan bagian terpenting paham Sunni. Seperti poin gagasan-gagasan al-Ghazali –juga Nizam- berikut ini:
Fondasi negara (dawlah) dan dasar kewenangan terletak dalam pelaksanaan hukum Tuhan... dan dalam teladan yang diberikan untuk mengangkat panji-panji agama serta penegakan kembali tanda-tanda dan praktik Syariat, juga dalam penghargaan dan penghormatan kepada para sayyid (keturunan Nabi) dan para ulama, yang merupakan para pewaris Nabi (dalam CH Iran, 5: 210).

Representasi kekuasaan dan keagamaan ini menemukan bentuknya khususnya pada masa dinasti Saljuk Rum yang telah memantapkan posisi Ahlisunnah sebagai mitra penuh penguasa politik-militer. Sejak saat itu, paham Sunni tidak hanya memiliki otoritas sosial, namun juga diintegrasikan dalam kehidupan politik. Otoritas moral dan hukum para ulama didukung penuh kekuatan koersif Sultan juga sebaliknya. Seperti mengembangkan kebijakan agama pro-aktif dengan pembentukan lembaga peradilan syariat, madrasah, yayasan amal, dan dana untuk pendidikan gratis mualaf.

Salah satu karya yang menjelaskan penerapan gagasan Sunni dalam kehidupan politik berjudul Bahr Al-Fawȃid (Lautan Kebajikan) yang mengungkapkan bahwa agama dan dunia merupakan saudara kembar dan bermakna bahwa ulama dan raja harus bekerjasama bahkan cenderung mendukung ulama. Di sisi lain, juga membolehkan pemberontakan terhadap raja yang memerintahkan bid’ah atau hal yang bertentangan dengan syariat.

Akhirnya karya genre semacam ini turut pula menjadi wahana penyebaran doktrin keagamaan yang penting untuk memasuki lingkaran kekuasaan karena disuguhkan dalam semangat kebijaksanaan dan kepraktisan, luas dan lugas. Konsep Lingkaran Kekuasaan dikutip untuk menegaskan tugas utama para gubernur Sanjar, yakni menjalankan keadilan:
Fondasi kerajaan dan dasar kepemimpinan terkandung dalam usaha menyejahterakan (dunia); dan dunia menjadi sejahtera hanya melalui keadilan dan persamaan; dan keadilan serta persamaan seorang penguasa hanya dapat dicapai berkat para gubernur yang bertindak efisien dan para pejabat yang kuat imannya serta menjalani cara hidup yang terpuji. Hanya dengan itu kemakmuran bisa menjangkau umat manusia di seluruh dunia. Stabilitas kerajaan (dawlah) dan pengaturan masalah-masalah kerajaan (mamlakȃt) adalah buah dari tersebarnya keadilan dan kasuh sayang (CH Iran, 5: 209-210).

Satu aspek penting dari keadilan ini adalah terpeliharanya perbedaan status antar berbagai kelompok masyarakat:
Keadilan diwujudkan dalam usaha untuk menjaga setiap orang yang merupakan bagian dari umat manusia –baik rakyat, pelayan, pejabat, maupun orang yang bertanggungjawab dalam urusan agama dan dunia– tetap dalam tingkatan yang sesuai dan dalam statusnya masing-masing” (CH Iran, 5: 210).

Bahkan dalam ungkapan lain oleh Kai Kawus (1082-1083) seorang sufi di Tabaristan, konsep Lingkaran Kekuasaan adalah:
Ketahanan seorang raja bergantung pada kekuatannya dan kemakmuran kaum petani di pedesaan. Jadikanlah program untuk memakmurkan dan memerintah dengan baik sebagai perjuangan yang kau lakukan terus menerus. Karena... pemerintahan yang baik akan dicapai dengan adanya pasukan bersenjata, pasukan bersenjata terwujud dengan adanya kekayaan, kekayaan diperoleh melalui pengolahan, dan pengolahan akan berjalan baik jika para petani mendapat pembayaran yang adil dan jujur. Untuk itu berlakulah adil dan tak berpihak.

Mașlahah al-Ra’iyyah; Celah Kritis Khazanah Politik Islam

Mașlahah al-ra’iyyah dipandang mampu mengelaborasi nilai sesungguhnya dari aspek pemikiran politik Islam hingga kini yaitu kemaslahatan rakyat dengan ‘core-values’nya pemberdayaan umat (civil society). Salah satu asumsi yang diangkat adalah pengembangan konsep maslahah yang mesti dibedakan menjadi dua, yaitu kemaslahatan yang bersifat sosial-obyektif, dimana peran civil society berperan, dan kemaslahatan yang bersifat individual-subyektif, dimana ruang untuk penafsiran tunggal penguasa dapat diselewengkan –jika selamanya menganut konsep kekuasaan sebagai orientasi politik Islam klasik.

Karena itulah langkah untuk memperkaya fikih sebagai diskursus civil society merupakan salah satu langkah penting untuk memberdayakan fikih sebagai alat transformasi sosial agar tidak terjebak pada politik kekuasaan ansich. Langkah ini diklaim mempunyai tujuan untuk memprioritaskan dan mematangkan demokratisasi yang saat ini sedang bergeliat dalam komunitas muslim.

Untuk tujuan tersebut, al Jabiri menegaskan bahwa dunia Arab dan dunia Islam dalam hal politik dan ranah kebudayaan pada umumnya membutuhkan dua hal: demokrasi dan rasionalitas, bahkan sebagai alternatif dari sekularisme. Menurutnya, demokrasi dan rasionalitas merupakan pertaruhan terakhir bagi tatanan politik yang lebih adil dan damai. Demokrasi akan lebih menghargai hak-hak sipil, baik individu maupun kolektif. Sedangkan rasionalitas akan memotivasi lahirnya praktek-praktek politik yang rasional dan bermoral.

Tentu saja menurut al Jabiri kedua hal tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Karena Islam justru merupakan salah satu rujukan penting untuk menumbuhkan demokrasi. Islam menjadi salah satu pilar penting dalam membentuk nalar kolektif umat Islam karena di dalamnya juga terdapat moralitas dan peradaban sehingga umat Islam bisa hidup berdampingan dengan masyarakat non-muslim.

Dalam paradigma politik Islam yang lebih luas, menurut Zuhairi Misrawi, intelektual muda NU, umat Islam harus mampu memberdayakan dan mengembangkan tradisi-tradisi keilmuan yang tersedia dalam khazanah Islam, misalnya konsep musyawarah (syura) yang berpotensi menjadi pengantar untuk memahami nalar demokrasi dan mengisi salah satu elemen terpenting di dalamnya, yaitu konsep public-sphere (ruang publik). Dalam konsep ruang publik, masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menyampaikan aspirasinya guna menyelesaikan masalah kerakyatan. Bahkan dalam fikih siyasah sendiri ada konsep ijma’ yang memberikan inspirasi bagi terwujudnya pastisipasi yang ideal, yaitu partisipasi yang kualitatif, representatif dan komprehensif, sehingga dapat mendorong terciptanya perubahan bersifat radikal.

Singkatnya, untuk reaktualisasi dan rekonstruksi pemahaman keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan politik dengan tujuan kemaslahatan umat sebagai pengejawantahan dari pemberdayaan umat atau civil society, ada beberapa peran yang harus dimainkan umat Islam dalam mengawal proses transisi menuju demokrasi –sebagai salah satu cara. Pertama, komitmen pada konstitusi. Kedua, komitmen untuk menebarkan keadaban (civility). Ketiga, komitmen untuk memberdayakan ruang masyarakat sipil.

E. Penutup

Al-Qur’ȃn sebagai sumber epistemologi Islam sangat mementingkan agama dan etika serta hanya sedikit mengulas hukum terlebih masalah pemerintahan. Namun, Islam dan politik pada dasarnya dalam wacana pemikiran kontemporer mempunyai tiga poros pemikiran yaitu: Pertama, menyatakan bahwa Islam tidak mengatur persoalan politik. Kedua, Islam mengatur masalah politik sampai kepada hal spesifik. Ketiga, menyatakan bahwa Islam mempunyai perangkat-perangkat dan nilai yang mengatur persoalan politik.

Penting untuk dicatat bahwa al-Qur’ȃn mengandung “nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis...mengenai aktifitas sosial dan politik umat manusia.”, yaitu mencakup prinsip-prinsip tentang “keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan”. Konsep pemikiran dan sistem politik Islam adalah konsep politik yang bersifat majemuk. Sebabnya, karena sistem politik Islam lahir dari pemahaman atau penafsiran seseorang terhadap al-Quran berdasarkan kondisi kesejarahan dan konteks persoalan masyarakat para pemikir politik. Hal tersebut dengan dapat dijumpainya pemikiran politik yang telah muncul sejak zaman Rasulullah saw. dan kemudian dikembangkan hingga masa sekarang.

Sebagaimana al Jabiri yang mengasumsikan nalar politik Islam berangkat dari suatu realitas kesukuan sebagai basis rasis, Islam sebagai basis akidah, dan ghanimah sebagai basis ekonomi. Di sini ia mengungkap aspek epistemologis konsep Imȃmah dan Khilafah-nya Mawardi dan Etika Kekuasaan-nya al Ghazali. Selain itu jugaal- Ahkȃm al-Syar’iyyah-nya Ibn Taymiyah yang dalam hal ini penulis mengambil konsep al-mashlahah al-ra’iyyah yang dikembangkan oleh Zuhairi Misrawi sebagai alat analisa untuk menyelidiki kepentingan-kepentingan terselubung dari pemikiran politik Islam klasik sebelumnya. Sehingga dengan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang komprehensif dan kritis terhadap pola penerapan epistemologi Islam di tiap sejarahnya. Wallahu a’lam.


Catatan Kaki:


Dr. Ali Syu’aibi dan Gils Kibil, “Meluruskan Radikalisme Islam” (terj.), (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), h. 6
Dr. Abdul Mustaqim, “Epistemologi Tafsir Kontemporer”, (Yogyakarta: LKiS, 2010)., H. 10
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, “Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2003)., h. 32
Ibid., h. 12
Murtadha Muthahhari, “Pengantar Epistemologi Islam; Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia” (terj.), (Jakarta: Shadra Press, 2010)., h. 27. Keterangan ini juga ditegaskan dengan ajakan Alqur’an terhadap manusia untuk mencari pengetahuan bahwa Alqur’an hendak mengatakan, “Wahai manusia! Kalian memiliki kemampuan untuk menggali pengetahuan yang tidak terbatas, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya”., lih. Murtadha Muthahhari, “Pengantar Epistemologi Islam..., h. 28
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial, diunduh pada 12 Januari 2012
Drs. Muhammad Azhar, MA, “Filsafat Politik; Perbandingan Antara Islam dan Barat”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997)., h. 10
Vernon Van Dyke, “Political Science: A Philosophical Analysis” (Stanford California: Stanford University Press, 1960)., h. 89, dalam A. Rahman Zainuddin, “Pemikiran Politik”, Jurnal Ilmu Politik, AIPI Jakarta, No. 7, 1990, h. 4
Muhammad Azhar, “Filsafat Politik;...., h. 1
Ibid., h. 13
Murtadha Muthahhari, “Pengantar Epistemologi Islam.....”., h. 81
Fazlur Rahman, “Islam”, New York, Chicago, San Fransisco: Holt, Reinhart, Winston, 1966, h. 241., dalam Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998), h. 7
Bahtiar Effendy,” Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998)., h. 13
Qamaruddin Khan, “Political Concepts in the Qur’an”, h. 3., dalam, Islam dan Negara..., h. 13
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum; Perbedaan Konsepsi Antara Hukum Barat dan Hukum Islam”, . dalam Jurnal Al Jami’ah of Islamic Studies IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Indonesia No. 63/VI/1999, h. 34
Muhammad Azhar, “Filsafat Politik....”, h. 12
Dr. Nurcholish Madjid, “Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia”, (Jakarta: Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 18
Murtadha Muthahhari, “Pengantar Epistemologi Islam,...”, h. 96., dengan humanistiknya, Muthahhari menafsirkan ungkapan “berjalanlah di muka bumi” –QS. Al Mukmin: 82- adalah bukan untuk memperhatikan alam, melainkan untuk memperhatikan dan mengkaji sejarah.
Selain ‘imamah’ dan ‘khilafah’, adalah ‘hukumah’, ‘daulah’, ‘dan ‘kesultanan’ merupakan istilah yang mempunyai konsep tentang negara berdasar khazanah Islam., lih. Kamaruzzaman, “Relasi Islam dan Negara; Perspektif Modernis dan Fundamentalis”, (Magelang: Penerbit Indonesiatera, 2001), h. 28
Jika sosiologi menjelaskan hukum-hukum yang berlaku pada suatu masyarakat, tetapi filsafat sejarah menjelaskan perubahan-perubahan hukum-hukum yang berlaku pada suatu masyarakat; disinilah letak pengaruh waktu., lih. “Pengantar Epistemologi Islam,...”, h. 97
R. B. Serjeant, “The Sunnah Jami’ah, Pacts with the Yathrib Jews, and the Tahrim of Yathrib: Analysis and Translation of the Documents Comprised in the so-Called ‘Constitution of Medina;, Bulletin of the Scholl of Oriental and African and African Studies 41 (1978), 1-62,.. dalam Kamaruzzaman, “Relasi Islam dan Negara; Perspektif Modernis dan Fundamentalis”, (Magelang: Penerbit Indonesiatera, 2001), h. liii
Muhammad Abid al-Jabiri adalah dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra, Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko. Karyanya al-‘Aql as-Siyȃsȋ al-‘Arabȋy merupakan karyanya yang kedelapan (1990)., lih. A. Khudori Soleh, “M. Abid Al Jabiri: Model Epistemologi Islam”, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), h. 230.
Hasil wawancara dengan Dr. Aksin Wijaya, M.Ag, dosen Filsafat Islam Pasca Sarjana STAIN Ponorogo, pada tanggal 24 Januari 2012 di kediamannya.
Antony Black, “Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini” (terj.), (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 38-39
Nilai-nilai kesukuan terus menghidupkan tatanan moral yang telah ditegaskan dalam al-Qurȃn: “Mereka yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak dalam Kitab Allah daripada orang beriman yang tidak bersekutu.” (Q.S. 33: 6)
Crone, “Meccan Trade”, h. 245...dalam, Pemikiran Politik Islam;..., h. 42
Crone dan Cook (1997: 20.. dalam, Pemikiran Politik Islam;..., h. 44
Alasan penulis mengambil contoh corak pemikirannya diantara corak pemikir muslim lainnya –seperti: Abu Ya’la (990-1066); yang menulis al-Ahkȃm al-Sulțȃniyyah dan Ibn al-Farra-karena karyanya tersebut telah mampu diterima luas sebagai “penjelasan paling otoritatif tentang doktrin Sunni yang berhubungan dengan Imamah”... lih. “Pemikiran Politik Islam;...” h. 178.
Pemikiran Politik Islam;..., h. 170
Ibid., h. 174
Ibid,. h. 175
Ibid., h. 210.
Ibid., h. 212
Ditulis oleh seorang Sunni bermazhab Syafi’i dalam bahasa Persia pada 1159-1162 di Suriah., lih. Pemikiran Politik Islam,... h. 214.
Ibid., h. 215.
Ibid., h. 216.
Ibid., h. 217.
Ibid., h. 217.
Zuhairi Misrawi, “Fikih Civil Society versus Fikih Kekuasaan: Sebuah Tawaran Pembaruan Politik Islam”,. dalam Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005)., h. 284.
Abdul Moqsith Ghazali, “Merancang (Kaidah) Ushul Fikih Alternatif”,. dalam Islam, Negara, dan Civil Society:....h. 353.
Fikih Civil Society,.... h. 288.
Ibid., h. 289., lih. www.aljabriabed.com
Ibid., h. 290.
Ibid.
Ibid., h. 291.
Ibid., h. 297.
Ibid., h. 299.
" Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Islam as the Basis of State”, h. 33., dalam Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 13






Daftar Pustaka

Azhar, Muhammad, MA, “Filsafat Politik; Perbandingan Antara Islam dan Barat”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997)

Black, Antony, “Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini” (terj.), (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006)

Effendy, Bahtiar,” Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia”, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998)

Kamaruzzaman, “Relasi Islam dan Negara; Perspektif Modernis dan Fundamentalis”, (Magelang: Penerbit Indonesiatera, 2001)

Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia”, (Jakarta: Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina, 1995).

Mahfud MD, Moh. “Politik Hukum; Perbedaan Konsepsi Antara Hukum Barat dan Hukum Islam”, Jurnal Al Jami’ah of Islamic Studies IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Indonesia No. 63/VI/1999

Mustaqim, Abdul, “Epistemologi Tafsir Kontemporer”, (Yogyakarta: LKiS, 2010)
Muthahhari, Murtadha, “Pengantar Epistemologi Islam; Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia” (terj.), (Jakarta: Shadra Press, 2010)

Sadzali, Munawar, (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005)

Soleh, A. Khudori, “M. Abid Al Jabiri: Model Epistemologi Islam”, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003)

Syu’aibi, Ali. Dr., & Kibil, Gils, “Meluruskan Radikalisme Islam” (terj.), (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004)
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, “Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2003)
Zainuddin, A. Rahman, “Pemikiran Politik”, Jurnal Ilmu Politik, AIPI Jakarta, No. 7, 1990.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial