Jumat, 18 Maret 2011

MENELUSURI JEJAK I’JAZ AL-BALAGHIY (Antara Dua Sejoli Amin al-Khulli dan Bint al-Shati’)

Oleh: Cholid Ma’arif


A. Pendahuluan

Syeikh Abdullah Darraz pernah mengatakan bahwa “Alqur’an itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya. Kalau saja Anda berikan kesempatan pada rekan Anda untuk melihat kandungan ayat Alqur’an boleh jadi ia akan melihat lebih banyak dari yang Anda lihat. Dalam ranah akademis, Alqur’an berkembang dalam proses pembacaannya terhadap realitas kekinian. Ia tidak hanya cukup dibaca dengan kacamata nasikh mansukh saja, namun juga banyak komponen lainnya yang harus digunakan, seperti: munasabah ayat, mutsyabihat, I’jaz alqur’an, asbabun nuzul, qawa’id l-tafsir, dan banyak lagi lainnya yang kesemuanya itu terangkum dalam pembahasan ‘ulumul qur’an.

Implikasi dari adanya komponen tersebut menimbulkan sebuah pernyataan sebagaimana menurut Fazlur Rahman bahwa Alqur’an tidak hanya sebatas menjadi “undang-undang” bagi hokum Islam, namun ia lebih dari “semangat religious” dari hukum Islam. Alqur’an dengan seperangkat ilmunya tidak cukup berhenti dalam ranah buku sumber semata yang kemudian bersifat mutlak tanpa penafsiran yang dapat dipertanggungjawabkan sekalipun. Namun, kekayaan khazanah Alqur’an ini kadang menjadi bias kepentingan jika tidak disertakan dengan metodologi dan cara pandang yang otentik akan muatannnya. Alih-alih bisa saja mungkin menjadi “kendaraan akan kepentingan suatu golongan atau individu” sebagaimana lingkup ruang dan waktu Alqur’an itu dibaca.

Berangkat dari kegelisahan inilah kemudian muncul dua tokoh besar tafsir kontemporer yang bermaksud mengawali dalam pengungkapan I’jaz Alqur’an secara objektif dan nyata. Mereka adalah Amin al-Khulli dan Bint al-Shati’, yang melandaskan pada kajian sastrawi dan lughawi Alqur’an dan relevansinya dengan problematika kekinian. Dalam hal ini Amin al-Khulli pernah mengatakan bahwa pembaharuan selalu diawali dengan ikhtiar merekonstruksi pemahaman masa lalu. Bagaimanakah ketokohan dan metode praktis I’jaz yang digunakan akan sedikit dijelaskan sebagai berikut.

B. Selayang Pandang Amin al-Khulli dan Bint al-Shati’

Nama lengkap Amin al-Khulli adalah Amin ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Amir ibn Ismail ibn Yusuf al-Khulli. Keluarganya adalh keluarga pendekar Arab yang gagah pemberani dan kental nuansa keagamaannya. Kakek Amin al-Khulli dari pihak ibunya (Fatimah) ini adalah Syeikh Ali Amir al-Khulli yang terkenal dengan sebutan “al-Sibhi”, seorang alumni al-Azhar dengan spesialisasi Qira’at. Dia lahir pada awal bulan Mei 1895.
Pada usia tujuh tahun Amin tinggal bersama pamannya dan di-gembleng dengan pendidikan agama yang sangat ketat seperti menghafal Alqur’an, menghafal tajwid al Tuhfah dan Al Jazariah, fiqh, dan nahwu. Adapun kitab yang wajib dihafal adalah al-Samsia, al-Kanz, al-Jurumiah dan matan Alfiah. Dalam penghafalan itu dia diberi keistimewaan yakni di usia yang kesepuluh tahun dia sudah hafal Alqur’an khususnya Qira’at Hafs dalam waktu singkat 18 bulan.

Sedangkan pada usia yang ke-15, selama enam bulan enam hari Amin al-Khulli masuk akademi hukum (Madrasah al-Qada Al-Syar’i) dengan mata ujian masuk hafalan Alqur’an lengkap, membaca kitab dan mengarang dalam bidang fiqih dan nahwu. Selain itu juga mempelajari ilmu pengetahuan yang lain seperti Aljabar, matematika teoritis, astronomi, fisika, kimia, sejarah, sampai geografi. Di samping itu juga aktif dalam organisasi yang diikuti Ikhwan al-Shofa dengan aktifitas di bidang seni dan sastra.
Kemudian pada tahun 1917 dia menulis tesisi dengan judul “al-Jundiyyah al-Islamiyyah wa Nadhmuha” yang diterbitkan tahun 1960 dengan judul “al-Jundiyyah wa Silmu Waqi’ wa Nissal” dan artikel yang ditulis “al-Madinah al-Jundiyyah fi Siqhiyyah, al-Ashlihah al-Nariyyah fi al-Juyus al-Islamiyyah, dan Jundiyyah fi al-Islam.
Setelah mengecam berbagai aktifitas intelektual maupun sosial politik dengan penuh semangat dan tanggungjawab, semata demi kemajuan agama, negara, dan bangsa yang penuh segala suka, baik di bidang seni dan sastra, ada akhirnya yakni bertepatan pada hari Rabu tanggal 06 Maret 1966 dalam usia yang ke-71 tahun sang Pendekar Sastra dan Pembaharu ini meninggal dunia.

Sedikit kesamaan setting akademis dengan Bint al-Shati’ yang memiliki nama asli ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman, seorang guru besar sastra dan bahasa Arab pada Universitas ‘Ain al-Syams, Mesir. Juga guru besar tamu pada Universitas Umm Durman, Sudan, dan guru besar tamu pada Universitas Qarawiyyin, Maroko. Dia lahir di Dumyat, sebelah barat delta Nil pada tanggal 06 November 1913, dari keluarga muslim yang saleh. Ayahnya, ‘Abd al-Rahman, adalah tokoh sufi dan guru teologi di Dumyat. Namun demikian, ia bukan orang asli Dumyat, melainkan dari daerah Syubra Bakhum, sebelah wilayah di Manufiyah. Setelah menyelesaikan pendidikan di al Azhar, ia menikah dengan putra Ibrahim Damhuji al Kabir, seotrang Syaikh al Azhar.

Pendidikan Bint al-Shati’ dimulai dari belajar membaca dan menulis Arab pada Syaikh Mursi di Shubra Bakhum, di tempat asal ayahnya, ketika ia berumur lima tahun. Selanjutnya ia masuk sekolah dasar untuk belajar gramatika bahasa Arab dan dasar-dasar kepercayaan Islam, di Dumyat. Setelah menjalani pendidikan lanjutan, pada tahun 1939, ia berhasil meraih jenjang Licence (Lc) jurusan Sastra dan Bahasa Arab, pada Universitas Fuad I, Kairo. Dua tahun kemudian Bint al-Shati’ menjalani jenjang Master, dan tahun 1950 meraih gelas doktor pada bidang yang sama dan lembaga pendidikan yang sama pula, dengan disertasi berjudul al-Ghufran li Abu al-‘Ala l-Ma’ari.

Karier akademik Bint al-Shati’ dimulai sebagai guru sekolah dasar khusus perempuan di al Mansuriah, 1929. Tahun 1932 menjadi supervisor pendidikan di sebuah lembaga bahasa untuk Inggris dan Perancis, tahun 1939 menjadi asisten lektur pada bahasa Arab di Universitas Kairo, menjadi inspektur bahasaArab pada Koran al Ahram, menjadi lektur pada bahasa Arab di Universitas ‘Ain l-Syam tahun 1950, menjadi asisten professor sastra Arab pada sebuah universitas yang sama pula tahun 1957, menjadi professor penuh untuk sastra Arab pada Universitas ‘Ain al-Syam tahun 1967.
Di samping minat dalam bidang pendidikan dan sastra, Bint al-Shati’ juga mempunyai bakat jurnalistik yang besar. Ia telah menulis artikel di mass media sejak di pendidikan lanjut, suatu prestasi yang jarang terjadi di lingkungannya. Bakat ini kemudian dikembangkan dengan penerbit majalah al-Nahdhah al-Nasiyah, tahun 1933, dimana ia sekaligus bertindak sebagai redakturnya.

C. Metodologi Pemahaman Alqur’an Menurut Amin al Khulli

Nama Amin al Khulli dalam dunia tafsir mungkin tidak terlalu banyak didengar. Nama tokoh yang sejak dini (10 tahun) sudah menghafal Alqur’an dan beberapa matan kitab Hadist ini justru tenggelam, sementara murid-muridnya banyak mendapat sorotan masyarakat. Diantara murid-murid beliau yang mampu memberikan pemikiran segar bagi studi Alqur’an adalah Nashr Hamid Abi Zaid, Muhammad Ahmad Khalf Allah, Syukri Ayyad, dan Bint al-Shati’.

Sumbangsih al Khulli setelah ia bergelut di dalam menelaah turats Arab Islam terutama dalam bidang humaniora, terletak pada gagasan prosedur memproduksi teks, dalam konteks ini Alqur’an. Meskipun beliau bukan yang pertama, namun kesadaran para ulama dalam pandangannya terhadap Alqur’an, sebelumnyamemiliki kecenderungan yang tidak sepadan dengan beliau. Para sarjana sebelum Abduh melihat Alqur’an dari sisi dogamtis-teologis. Sehingga memunculkan corak-corak tafsir ideologis yang sangat sectarian dan cenderung eksklusif untuk secara lapang dapat menerima gagasan di luar dirinya.

Untuk merenovasi bangunan tafsir semacam ini, Amin al Khulli merasa perlu merancang dari dasar pondasi yang baru. Prinsip yang harus dipegang mufassir sebelum menafsirkan Alqur’an, supaya tidak terjebak pada upaya mencari pembenar dari Alqur’an atas kecenderungan pribadinya, diusulkanlah olehnya dengan cara memandang Alqur’an sebagai sebuah karya sastra agung sebelum memandangnya sebagai kitab suci.

Pertama sekali Alqur’an harus dianggap sebagai kitab al ‘Arabiyyah al Kubra. Karena Alqur’an mengabadikan bahasa Arab, menjadi kebangan bahasa Arab dan ke-Arab-annya diakui oleh semua orang Arab apapun agama mereka. Dengan cara pandang ini Amin al Khulli memprediksi bahwa hasil akhir kesimpulan tentang Alqur’an akan sama oleh mufassir yang muslim, maupun orang Kristen, kaum pagan, materialis, atau bahkan atheis.

Untuk mewujudkan cita-cita penafsiran ini Amin al Khulli menetapkan tugas pokok seorang mufasssir dalam aksi penafsiran dengan langkah studi eksternal teks (dirasah ma hawla Alqur’an) dan studi internal teks (dirasah maa fi Alqur’an nafsihi).
Dua persyaratan ini menjadi keharusan bagi seorang mufassir yang ingin melahirkan tafsirnya bersifat sastrawi. Jadi seorang mufassir harus melacak terlebih dahulu lingkungan material maupun non-material yang ada ketika Alqur’an turun, hidup, dihimpun, dibaca, dan dihafal, juga bagaimana Alqur’an berbicara pada audiensnya yang pertama.

Sedangkan studi aspek internal Alqur’an dimaksudkan bahwa seorang mufassir harus melacak perkembangan makna dan signifikansi kat-kata tertentu Alqur’an dalam bentuk tunggalnya. Kemudian dilacak indikasi makna ini dalam setiap generasinya agar dapat dilihat pergeseran makna dalam berbagai generasi serta pengaruhnya secara psikologis sosial dan peradaban umat terhadap pergeseran makna.

D. Kecenderungan I’jaz Alqur’an Menurut Bint al Shati’

Bint al Shati’ sebagai penerus pemikiran sang suami, adalah sosok yang telah meneruskan al Khulli untuk mengungkap dan memahami Alqur’an perspektif sastra yang dicetuskannya sebagai tawaran yang leih dapat mengarah objektifitas pemahaman non-ideologis-teologis. Secara jujur, Bint al Shati’ mengakui bahwa metode yang beliau pakai ia peroleh dari guru besarnya di Universitas Fuad I.
Bint al Shati’ meyakini bahwa Alqur’an menjelaskan dirinya dengan sendirinya, kedua Alqur’an harus dipelajari dan dipahami keseluruhannya sebagai suatu kesatuan yang karakteristik dalam ungkapan dan gaya bahasa yang khas, dan ketiga penerimaan atas tatanan kronologis Alqur’an tanpa menghilangkan keabadian nilainya.
Berdasarkan tiga dictum atau basis pemikiran di atas, Bint al Shati’ mengajukan metode tafsirnya, yang menurutnya diambil oleh dan dikembangkan dari prinsip-prinsip metode penafsiran al Khulli yang terdiri dari empat langkah:

1. Memberlakukan apa yang ingin dipahami dari Alqur’an secara objektif, dan hal ini dimulai dengan pengumpulan semua surah dan ayat mengenai topic yang ingin dipelajari.

2. Untuk memehami gagasan tertentu yang terkadang di dalam Alqur’an, menurut konteksnya, ayat-ayat di sekitar gagasan itu harus disusun menurut tatanan kronologis pewahyuan, hingga keterangan-keterangan mengenai wahyu dan tempat dapat diketahui.

3. Karena bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam Alqur’an, maka harus dicari arti linguistic aslinya yang memiliki rasa keakraban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya. Dengan demikian makna Alqur’an diusut melalui pengumpulan seluruh bentuk kata dalam Alqur’an dan mempelajari konteks spesifik kata itu dalam ayat-ayat dan surah-surah tertentu serta konteks umumnya dalam Alqur’an.

4. Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, seorang mufassir harus berpegang pada makna nash dan semangatnya (maqashid al syar’i), kemudian dikonfrontasikan dengan pendapat para mufassir. Namun hanya pendapat yang sejalan dengan maksud teks yang bisa diterima sedangkan penafsiran yang berbau sectarian dan israiliyyat bias dijauhkan.

Kesimpulan Bint al Shati’ dari hasil pembacaan terhadap Alqur’an bahwa apa yang oleh sebagian ahli linguistic dipandang sinonim-sinonim, pada kenyataannya tidak pernah muncul di dalam Alqur’an dengan pengertian yang benar-benar sama.

Penggunaan kata kerja di seputar peristiwa kiamat, baik dalam bentuk pasif (majhul) atau lainnya yaitu bentuk-bentuk VII dan VIII. Bint al Shati’ menyatakan para mufassir dan ahli retorika telah menyibukkan diri dengan pertimbangan-pertimbangan tata gaya penekanan Alqur’an pada kepasifan alam raya pada hari kiamat, ketika semua ciptaan secara sponan tunduk kepada peristiwa-peristiwa yang dahsyat pada hari itu. Lebih jauh bentuk kata kerja pasif mengkonsentrasikan perhatian pada peristiwa dan mengabaikan sang pelaku actual, bentuk VII dan bentuk VIII secara kuat menunjukkan ketundukan ketika peristiwa berlangsung.

Dengan aturan bahwa ayat-ayat yang setema disusun secara kronologis pewahyuan, bias diketahui secara lebih meyakinkan tentang proses penetapan hukum dan arah tujuannya. Hal ini antara lain terlihat pada proses dan kronologi pelarangan minuman keras.
Dalam kaitannya dengan pemahaman teologis, bahwa kehendak yang diakui adalah yang berupa tindakan, bukan sekedar abstraksi intelektual atau suatu sifat, serta kehendak ini tidak bisa dipaksakan. Hal ini didasarkan atas studi bahwa kata “arada” (berkehendak) muncul sebanyak 140 kali; 50 kali dinisbatkan kepada Tuhan, 90 kepada makhluk. Kata ini tidak pernah muncul dalam bentuk kata kerja abstrak “iradah”, tetapi dalam bentuk madhi dan kata kerja sekarang serta masa depan.

Salah satu contoh penafsiran Bint al Shati’ dengan pendekatan sastra dapat dilihat bagaimana ia menafsirkan surat ad Dhuha. Menurutnya, surat Dhuha dimulai dengan qasam wawu. Pendapat yang berlaku di kalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa sumpah Alqur’an ini mengandung makna pengagungan terhadap muqsam bih (objek yang digunakan untuk bersumpah). Gagasan ini berkembang luas, sehingga menyeret mereka untuk melakukan pemaksaan di dalam menjelaskan segi keagungan pada setiap hal yang digunakan Alqur’an untuk bersumpah dengan wawu.

Qasam dengan wawu pada umumnya adalah gaya bahasa yang menjelaskan makna-makna dengan penalaran inderawi. Keagungan yang tampak dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik yang kuat. Sedangkan pemilihan muqsam bih dilakukan dengan memperhatikan sifat yang sesuai dengan keadaan. Menelusuri sumpah-sumpah Alqur’an seperti terdapat dalam ayat ad Dhuha, kita menemukannya dikemukakan sebagai latifah (penarikan perhatian) terhadap suatu gambaran materi yang dapat diindera, dan realitas yang dapat dilihat, sebagai inisiatif ilustratif bagi gambaran lain yang maknawi dan sejenis, tidak dapat dilihat dan diindera.

Dengan demikian, Alqur’an dengan sum[pah-sumpahnya dalam surah ad Dhuha menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran, atau kesesatan dan kebatilan. Dengan materi-materi cahaya dan kegelapan. Penjelasan yang maknawi dengan hissi ini dapat kita kemukakan pada sumpah-sumpah Alqur’an dengan wawu. Sehingga dapat diterima tanpa paksaan dalam penakwilan ayat-ayat.



DAFTAR PUSTAKA


Yusron, Drs, HM, MA., dkk, “Studi Kitab Tafsir Kontemporer”, Yogyakarta: Teras Press, 2006.
Rahman, Fazlur, “Tema Pokok Alqur’an”, Bandung: Penerbit Pustaka, 1980.
Setiawan, Nur Kholis, Dr, Phil, HM, “Akar-Akar Pemikiran Prograsif Dalam Kajian Alqur’an”, Yogyakarta: Elsaq Press, 2008
Al Khulli, Amin, Kamil Sa’fan, Kairo: al Haiah al Mishriyyah al Amamah lil Kitab, 1982
Boullata, Issa J, “Pengantar Tafsir Bint al Shati’”, (terj.) Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizan, 1996.
Mansur, Muhammad, “Amin al Khulli dan Pergeseran Paradigma Tafsir Allqur’an”, Jurnal studi Ilmu-Ilmu Alqur’an dan Hadist, Vol. 6 No. 2, Juli, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005
Muhammad Amn, “A Study of Bint al Shati’ Exegesis, Kanada: Tesis Mc gill, 1992
Abdurrahaman, ‘Aisyah, Dr, “Tafsir Bint al Shati’”, Bandung: Mizan, 1996

0 komentar:

Posting Komentar