Senin, 27 September 2010

"CUMA MASALAH BAHASA, ISLAM SUDAH BAHAS ITU SUDAH LAMA"


oleh خالد معارف pada 25 Juni 2009 jam 5:58

Oleh: Cholid Ma’arif,

Wawancara Eklusif bersama:
Dr. Phil. H. M. NurKholis Setiawan

“NUR KHOLIS SETIAWAN: ITU HANYA MASALAH BAHASA SAJA…”

Akar-akar progresifitas dalam Islam sejatinya sudah ada sejak zaman Nabi dan para sahabat dengan berorientasi pada wahyu Ilahi. Terlebih dalam rangka merespon problematika umat kekinian kerap kali pemikiran ‘nakal’ itu sangat diperlukan. Inilah komentar Dr. Phil. H. M. Nur Kholis Setiawan, -Ketua dewan Pakar Ma’had Ali PP. Wahid Hasyim- Yogyakarta, ketika diwawancarai di kediamannya, tadi malam, Selasa (21/10).

Red: Bagaimana tanggapan Bapak tentang perkembangan islam kontemporer ? di Indonesia khususnya.

Koresponden: Baru-baru ini saya cukup gusar dengan pengecapan beberapa kelompok –yang mengaku kanan- kepada kelompok islam progesif sebagai sesuatu yang liberal. Padahal dalam substansinya, progesif itu merupakan embrio pemikiran yang positif. Lha wong liberal itu juga bukanlah sesuatu yang haram asalkan tidak salah memahami.

Red: Secara konkrit, apa yang paling melatar-belakangi kegelisahan Bapak dalam hal ini ?

Koresponden: Saya memandang perlu untuk meluruskan hal ini terkait dengan tulisan Hartono Ahmad Jaiz dan Adian Husaini dalam bukunya yang sudah terbit. Mereka terlalu apostik untuk menilai islam liberal sebagai sesuatu yang kafir. Dalam bukunya dikatakan dengan penuh emosional tanpa argumentasi yang mendasar.

Red: Lalu, langkah nyata apa yang Bapak tempuh untuk menindaklanjutinya ?

Koresponden: Dalam buku saya yang terbaru berjudul “Akar-Akar Pemikiran Progresif Dalam Kajian Al Qur’an”, disitu saya menelusuri akar progresifitas pemikiran adalah memang bersumber dalam al Qur’an. Dalam kajian ini saya membantah pandangan mereka dengan banyak mengambil rujukan pada penafsiran al Qur’an. Tanya kenapa .. Karena saya tahu mereka –Hartono, Cs- adalah orang yang nggak bisa ngaji. Otomatis mereka tidak akan mampu berdebat lagi lebih lanjut untuk hal semacam ini.

Red: Apakah berarti Bapak setuju alias mendukung gerakan islam liberal di Indonesia ?

Koresponden: Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak dalam posisi mendukung atau tidak mendukung. Kalaupun dianggap setuju, mungkin lebih karena nilai progresifitas pemikiran islam itu sendiri. Memang sebagai orang yang beragama kita harus fanatik. Bukan beragama namanya kalau kita tidak fanatik percaya pada tuhan. Artinya kefanatikan kita itu tetap kita tempatkan pada tempatnya. Karena beragama itu beda dengan kehidupan beragama.

Red: Sejauh mana Bapak mengenal JIL di Indonesia ini ?

Koresponden: Disisi lain mereka –JIL- ini kasihan juga. Karena sebenarnya mereka juga dalam rangka ‘golek upo’ (baca; cari nafkah). Dulu suatu hari saya pernah duduk bareng Ulil Abshar Abdalla –perintis JIL Indonesia- ketika di Jakarta sana, kita pas lagi ngobrol, saya tanyai dia. ‘sakjane iki kowe nyapo sudi ngelem-ngelem Amerika? Lha wong aku wis urip nang kono 8 tahun ora aku nggumun, trimo kowe dikon ngomong liberal nang kene gelem bae disanguni’. Saya gini kan karena saya tahu kalau mereka itu memang sebenarnya di-funding oleh Amerika.

Red: Apa yang dapat disimpulkan dari pengalaman pertemuan Bapak dengan JIL ini ?

Koresponden: Menarik disini adalah ketergantungan mereka –liberal- pada kecenderungan dunia Barat hanya untuk mengusung pemikiran yang sebenarnya juga bukan barang baru kita. Karena sesungguhnya nilai-nilai liberal, progresif, pluralis dan sebagainya itu sudah dinyatakan oleh al Qur’an dan Hadits, terlebih-lebih dalam kitab Jam’ul Jawami’. Sedangkan kenyataannya selama ini kita dengan bangganya mengatakan bahwa referensi kita adalah semacam Foucalt, Derrida, dan lain sebagainya. Nah, ini yang tidak diperhatikan oleh kaum intelektual islam Indonesia. Yaitu menerangkan sesuatu yang memang benar tetapi tidak menggunakan bahasa kaumnya. Yaitu kitab-kitab salafus shalih sebagai rujukan yang memang juga sudah mengurat akar dalam khazanah islam khususnya tradisi pesantren di Indonesia. Jadi hanya masalah bahasa, hingga sampai saat ini liberal masih agak di-emohi oleh banyak kalangan sesepuh pesantren. Tidak aneh kemudian kalau kerap kali aktornya dianggap ‘kafir’ .

Red: Harapan Bapak solusi apa untuk menengahi sekian permasalahan tersebut ?

Koresponden: Ya, seperti yang saya katakan tadi. Kalaupun kita menularkan sesuatu ya mbok jangan terlalu dengan bahasa idealis ke-Barat-an lah dengan menjadikan semisal Derrida dan Foucalt sebagai referensi progresifitas pemikiran Islam. Artinya, saya yakin kalaupun kita melakukan hal itu tetapi dengan merujuk pada kitab Jam’u al-Jawami’ misalnya, toh itu khan juga tradisi kita sebagai insan pesantren. Sehingga mereka bahkan kiai salaf semuanya pasti akan memahami dan menyetujui wacana tadi.

Red: Kalaupun masih saja belum mempan dengan solusi tersebut ?

Koresponden: Dalam hal ini mungkin saya sepakat untuk meminjam istilah almarhum Prof. Mukti Ali dengan ‘agreement in disagreement-nya. Atau bisa juga mengikuti hasil Perjanjian Wina yang menyimpulkan bahwa ‘religion defined, mission uinted’. Jadi, agama atau keyakinan boleh beda, tapi kita tetap satu misi untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia. (red.cho)

3 komentar:

  1. yang jadi topik di sini kan kitab jimjim (jam'ul jawami')yang isinya rata rata ushul fiqh dan aqidah nah alangkah indahnya ada referensi kitab tersebut...siap buat pa dibuatin ki??kebetulan udah khatam wolak walik pas di kwagean dulu...

    BalasHapus
  2. kalau anansmile007 tanggapi kitab, aku tanggapi tentang ulil-nya. Ya, memang sebagian referensial ulil adalah barat. Namun untung-nya ulil sebenarnya juga berangkat dari kaum santri. jadi kalau tentang ulil, kaya'e bukan soal kwalitas, tapi pilihan sikap aja.
    pesan pada Dr. Nurkholis; mohon dekati JIL.

    BalasHapus
  3. @anansmile007: jam'ul jawami' versi terjemahan sdh ada pa blm pak? bisa jd proyek tuh.. :)

    @hitampolos: bahkan the wahid institute trmsuk depag pun jg difunding barat,intiy misi kemanusiaan tetap jalan it.s ok. ya pesenan kamu ku sabotase dulu ya na.. :)

    BalasHapus