Senin, 27 September 2010

PELUH TOPENG (1)

Cerbung:

PELUH TOPENG (1)

oleh: Cholid Ma’arif *

Teratah teras rumah itu masih saja seperti dulu. Menimbulkan suara renyah “kriut-kretek” bagi jejak-jejak yang melangkah diatasnya. Apa adanya memang rumah di desa yang kami tinggali ini sebagai warisan dua keturunan silam. Berubin selonjoran jati jawa. Terpanggung oleh balok-balok kayu setengah meteran kiranya. Beratapkan genting yang jika hujan, ember pun harus tersedia untuk menampung kebocoran atapnya. Mungkin desain seperti inilah yang menjadi ciri khas moyang kami turun temurun. Ditumbuhi tanaman ubi-ubian di halaman depan menambah keasrian lingkungan. Terlebih sederhana jika diiringi cericit burung gereja mengirama dengan simfoni mentari pagi. Gemericik ranting-ranting patah bak nada yang menggelayut pada kesunyian pagi. Semakin membuai penghuni hati tanpa cela diri.

Diseberang pandang sejauh mata menghadap. Kudapati semakhluk perempuan terampil mengais dedaunan sampah mencengkeram erat seikat biting (baca; lidi) yang sudah tidak rata lagi ujung-ujungnya. Membuatnya sesekali harus mempersilahkan delir keringatnya mengucur memeluh raga. Dialah tidak lain anak perempuanku dengan kenisbian masa lajangnya setelah dipinang oleh selaki mantan perjaka beranak tiga yang tidak dikehendakinya. Tidak juga aku sebagai ayahnya. Ayah yang tak berantah tanpa tahu arah untuk mengambil hikmah. La dharara wala dhurara. Aku tidak tersesat, tidak pula aku menyesatkan. Nyatanya kami semua merasa tersesat dalam belenggu penyesatan sesal.

Sayangnya itu semua malah menjadi topeng cita yang kadang bisa membohongi perasaanku semenjak beberapa tahun lalu. Tidak seasri dan sesederhana bintik-bintik memoriku. Sambil beringsut memperbaiki posisi dudukku di bangku mewah satu-satunya di rumah ini. Karena bersusun besi dan beroda mengonggok di pojok teras, selalu kumainkan setiap kepulan asap rokok yang membumbung dari mulut ini. Mulut yang selalu berlomba dengan kepala empat usiaku semakin mendesah demi mengingat kelamnya masa lalu. Dan asap Djarum’76 pun seakan membantu melukiskan peristiwanya untuk terulang kembali dalam angan.

Dimulai kepulan asap pertama. Mengisyaratkan pertengkaranku dengan istriku tujuh tahun yang lalu. Tanpa alur yang jelas, tanpa aral yang kandas, kami pun akhirnya berpisah dengan permufakatan yang nafi sepakat. Sungguh suatu demokrasi tanpa demo diantara kami. Hingga sampai pada kesimpulan bahwa antar dua keluarga kami pun sinkretik merunut. Kini tinggal aku dan kedua anakku, Sulimi yang sudah menikah menetap di rumah, dan Karmin yang masih kuliah jauh di Yogya sana. Mungkin juga korban demokrasi tak berisi Orba jualah kedua anakku ini. Bisa dibilang “dua anak cukup”, kata orang-orang. Tapi itu dulu.

“Ayah, kok melamun melulu sih, ada apa, toh?”, sapa Sulimi, anak sulungku yang tiba-tiba muncul dari balik gorden pintu depan. Baru kusadari akan berakhirnya tugas menyapunya, malah ia kemudian bergegas membakti padaku menyajiku. Sambil membawa secawan Nescafe lengkap dengan sepiring kecil tape goreng kesukaanku. Sejenak kuhentikan suling rokok yang sisa setutup Pilot dari jemari tangan kananku. Kalau bukan karena dia mungkin tidaklah ada lagi dari keluargaku ini yang dapat kubanggakan. Mungkin juga karena dia sudah mapan berkeluarga dengan duda kaya dari desa seberang. Aku tersentak dari pengembaraan khayalku oleh karena sapaan tulus Sulimi tadi, anak perempuanku satu-satunya.
“Ayah, kok malah semakin bengong?”, sapanya lagi mengulang penuh selidik.
‘Oh, tidak apa-apa, nduk. Ayah Cuma ingin istirahat sebentar, biasa, melepas lelah. Maklum. Khan sabtu ini ayah weekend”, jawabku manja menutup-nutupi.

“Ayah ini ngomongnya kayak anak gaul saja, pakai wikan-wiken segala”, cetusnya sambil mulai memainkan tangan terampilnya menjamuku bak seorang raja. Pikirku dia pasti tidak jadi menyelidikku karena lamunan panjangku tadi. Hingga akhirnya ku mulai mengendalikan pembicaraan.
“Oh ya, ngomong-ngomong”, kataku memulai obrolan seiring gerakan tangan kananku meraih jamuan, sampai akhirnya kubicara lagi.“...Dimana Si Karmin, adikmu itu, lah dari tadi pagi nggak kelihatan?”, tanyaku menyambung.

“Ah, anak itu lagi. Nggak tahulah, yah. Sejak dari tadi pagi dia pamitan”, jawabnya cemberut dengan mulut membentuk huruf U terbalik. “Katanya sih cuman sebentar mau main ke rumah Si Parmin, teman MI-nya dulu, eee sampai sore gini, sumpellah dia”, gerutunya yang mulutnya malah berpola huruf V terbalik.
“Oe e e.e...”, komentarku melucu meniru gaya Mbah Darmo di ANTEVE. “Cantik-cantik kok ngomongnya gitu toh, mbok ya jangan gitu. Dia khan juga adikmu. Lagian dia mudik ke kampung sini khan cuma dua minggu, ya mungkin wajarlah dia keluyuran”, kataku mencoba menghibur menenangkannya.

Demi memperhatikan rona wajahnya yang semakin menenang, aku pun coba menyeruput secangkir kopi susu yang membisu di depanku sedari tadi. Nikmat sementara trasa. Bersamaan kulihat sepintas jarum jam tangan tua di tangan kananku menunjukkan pukul lima lebih dua puluh tiga menit, spontan kuteringat sesuatu.
“Lalu, suamimu sendiri apa sudah pulang?”, tanyaku balik menyelidik. Bagai mendengar gelegar petir, mulut Sulimi membentuk pola huruf O sempurna.

“Astaganagabonarjadidua!”, ucapnya terkejut. “Saya benar-benar lupa belum menyiapkan air hangat untuk Mas Supangat nanti. Kalau begitu, saya ke belakang dulu ya, yah. Banyak yang belum saya siapkan untuk nanti”, pintanya tiba-tiba setengah semangat setelah teringat kebiasaan suaminya untuk mandi menggunakan air hangat setiap kali berkunjung ke rumahku hanya tiap akhir pekan. Air hangat dari hongkong?!, pikirku menggerutu demi membayangkan beban kesibukan di rumah yang akan dijelang lagi oleh putriku semata wayang.
“Ya sudah sana, siapkan segala sesuatunya. Takutnya malah menjadi-jadi marahnya Mas Supangat-mu nanti”, kataku sedikit menggertak menakuti-nakuti.
“Ya, ayah”, timpalnya singkat menyanggupi suatu hal yang sebenarnya tidak dia sanggupi.

Cukup beralasan memang anggapanku ini terhadap anakku satu yang mulai beranjak meringsuk masuk ke dalam rumah kembali. Seakan segala piring-sendok, meja-kursi, gula-garam, panci-kompor, dan segala perabotan beku-kaku lainnya sudah menjadi teman akrab dalam dunia dapur miliknya. Diakui atau tidak, Kartini akan menangis menjumpai pemandangan ini. Aku bisa bilang begini pun hanya karena lulusan sarjana muda satu dekade silam. Hanya bisa berspekulasi dan beridealisasi. Sungguh koloni terselubung. Tak urung benda-benda mati tadi pun naik statutanya menjadi “anak” yang terpaksa diasuhnya karena memang sejak pernikahannya dengan duda tiga anak dari Winongo, desa seberang, tidak selalu menampakkan hubungan yang simbiotis, alias putriku tidak pernah digaulinya. Atau pun tidak terciptanya sikap asah, asih, dan asuh antara keduanya, penilaian bapakku dulu, yang juga kakek Sulimi sendiri memang terbukti.

Tapi apa lacur mau dibilang, nasi sudah menjadi bubur, bahkan bubur pun telah membusuk menyisakan geliatan liat-liat kcil yang siap menggerogoti apa-apa di sekitarnya, tanpa pandang makanan atau pun busukan. Dan akulah bagian terbesar dari busukan itu. Membusuk diantara pembusukan yang sistematis terjalin diantara topeng-topeng penuh penyematan semu. Aku semakin sadar akan benalu masa laluku. Bahkan semakin penuh sadar lagi aku ketika sebuah avanza masuk berparkir di halaman rumahku. Membeceki tanah yang seakan-akan tak bertanah lagi karena matinya penguasa tanah. Aku hanya diam menggerutu bisu menyaksikan tilasan ban-ban mobil keangkuhan anak mantuku melindas pinggiran tanaman pagar halaman rumahku. Apalah artinya aku, diam membisu, karena memang di kursi roda ini kuterpaku kaku. Sejak empat tahun lalu.

Benarlah aku kemudian. Menantuku yang kebacut (baca; terlalu) tua itu menderap langkahnya dengan sangat seakan berjingkat pada tumit belakang. Seragam jas yang ia pakai bukanlah dalam arti sama dengan jas-jas yang dipakai orang “tempoe doeloe”. Tidak lagi bersimbol intelektual kecuali mantan terdidik yang amoral.
Sambil menyunggingkan senyum palsunya, seraya ia menyapa. “ selamat sore, pak. Suliminya ada? Saya masuk dulu”, sapanya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku setelah menorehkan kedua kakinya dari tangga-tangga bisu. Cukup menjelaskan sebagai suatu sapaan yang tidak butuh jawabanku sebagai mertua yang hanya teronggok di pojok dianggapnya. Dan aku hanya mampu berharap cemas menduga apa yang terjadi kemudian pada Sulimi, anakku. Dia yang sudah kebiasaan. Ataukah aku yang.semakin terbiasa untuk menyaksikan pertunjukan ini..(bersambung...)

[pernah dimuat dalam buletin LITERASIA LPM Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2008]

2 komentar: