Senin, 27 September 2010

"PRESENSI 75% DI UIN JOGJA; KONTRA INTEGRASI-INTERKONEKSI"


oleh خالد معارف pada 25 Juni 2009 jam 6:09
 
Opini:

KONTESTASI KETERPISAHAN INTEGRASI-INTERKONEKSI
Oleh: Cholid Ma’arif *

“Seorang nenek pernah berharap kepada cucunya, -aku ingin cucuku pandai, maka dari itu aku tidak mengijinkannya duduk di bangku sekolah”.

Apa yang diharapkannya bukanlah sekedar utopis belaka jika kita tengok sebentar dengan kondisi akademik di fakultas baru-baru ini. Semuanya serba “wah” memang. Mau buang air kecil, air kran mengucur sendiri secara otomatis dari selangnya. Mau makan tinggal geser selangkah sudah bisa ambil piring di ruang sebelahnya kamar mandi. Tanpa peduli sebagian yang melaksanakan sholat ikut keleletan air liur berada di samping tempat yang di sebut-sebut sebagai kantin. Mau jajan di laboratorium komputer, tinggal pesan jajanan di sampingnya. Konkritnya, segala kebutuhan bisa diinterkoneksikan dengan –mungkin saja- baik oleh institusi secara menyeluruh.

Fakta kecil, dalam sebuah brosur UIN………..
Memang Fazlurrahman pernah berpendapat bahwa untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan islam selama ini adalah dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara organis dan menyeluruh (Fazlurrahman, 1967: 323). Namun, permasalahannya adalah bagaimanakah pola pandang selama ini institusi UIN secara umum dan fakultas pada khususnya dalam mendefinisikan kata ‘menyeluruh’ disini. Layakkah melingkupi pengaturan materi fisik yang –terkesan- dipaksakan, lebih-lebih dengan sistematisasi presensi 75 persen pada gerak kreatifitas mahasiswa.

Fenomenor inilah yang –mungkin- secara mentah-mentah disebut insitusi UIN sebagai ‘integrasi-interkoneksi’ walau sebatas materi. Ternyata memang tidak hanya menyentuh dalam ranah penggabungan dua macam keilmuan, umum dan agama saja. Tetapi juga merangsuk pada ranah –sebagian- gaya kehidupan kampus (style of campus life) yang justru tidak nampak hubungan simbiosis-dialektisnya. Didukung dengan sederetan pagar menjulang menjadikan institusi tidak lebih sekedar sebagai tempat karantina. Terciptalah kemudian ‘gap’ sosial antara insan akademik dengan realita masyarakat sekitarnya. Patut dipertanyakan dimanakah letak ‘integrasi-interkoneksi’ itu terkandung.

Meminjam istilah Emha Ainun Najib, aksentuasi keterpisahan antara berbagai bidang kehidupan sebagai disiplin yang sendiri-sendiri dan berbeda-beda, di satu pihak telah menghasilkan pendalaman-pendalaman spesialistis yang hasilnya sebagai peningkatan peradaban manusia, telah kita rasakan bersama. Tetapi di lain pihak, cara baru yang moderen tersebut kurang memberi peluang pada mobilisasi dialog, kaitan-kaitan kausalitif, dialektika serta kemenyeluruhan dari pelbagai bidang kehidupan yang ada (Emha Ainun Najib, 1984:28).

Hal ini rupa-rupanya –tanpa sengaja- hampir sejalan dengan implikasi konversi IAIN ke UIN yang mengusung tema integrasi dan interkoneksi. Memang pada awalnya hanya berkutat pada ranah keilmuan, namun realita generalisasi-kausalitas di dalamnya kemudian tidak dapat dihindari. Konklusi pun tercipta hanya dengan ‘follow-up’ aktif dari satu perspektif berbanding balik dengan ‘feed-back’ dari perspektif yang lain.
Dengan penjabaran, selama ini mungkin kita memaknai integrasi dan interkoneksi dengan mentah-mentah sebagai wujud dimunculkannya dua fakultas umum, Saintek dan Ishum. Paling tidak dengan pemahaman adanya system manajerial yang baru tanpa sama sekali ada acung interupsi dari mahasiswa –yang baru-baru ini- sebagai insan akademik an sich bias peka sosial.

Sekedar info klasik, paradigma semacam integrasi-interkoneksi versi UIN Malang –sebagai tetangga jauh kita- direspon sebagai wacana islamisasi keilmuan. Dimana setiap fakta keilmuan berusaha dicarikan dalil pembenarannya dalam kitab suci menjadi wilayah ‘untouchable critism’. Tidak aneh kemudian kalaupun tidak banyak kita temukan upaya-upaya untuk memikirkan kembali implikasi terselubung pada hari berikutnya menjalar di aspek lain. Semuanya diterima sebagai sesuatu yang rapi dan tertata apik –sadar atau tidak- tanpa menyisakan celah sedikitpun memberikan ruang pada mahasiswa untuk berdialektika.

Dalam pandangan komunikasi entertainment, fakta masyarakat kita sekarang ini memiliki kecenderungan untuk menonton daripada membaca. Bukan hanya secara eksplisit kemudian kita terjemahkan dengan asumsi meningkatnya konsumeritas porsi untuk mendapatkan informasi via televisi sebagai audio-visual approach, sekaligus mengalami deklinasi pencapaian informasi via koran dan buku sebagai reading-visual approach.
Dengan analisis penerapan pada audio-visual approach kurang begitu mengena tepat sasaran bagi konsumen karena hanya memberi satu kali kesempatan kepadanya melalui gambar yang ditampilkan dan suara yang diperdengarkan. Setelah kedua unsure proses komunikasi itu selesai, maka selesailah sudah tanpa ada rekaman dan upaya pembacaan ulang dari konsumen atas informasi yang didapat. Berbeda halnya dengan reading-visual approach melalui media riil buku atau koran di tangan konsumen akan terjadi dialektika sebagai wujud terbukanya kesempatan untuk berkontemplasi atas informasi yang didapat. Inilah yang seharusnya secara intensif kita jadikan pisau analisis pembacaan ulang atas fenomena implikasi integrasi-interkoneksi, yaitu eksistensi ‘something else behind the screen’.

Sesuatu yang lain di balik layar haruslah muncul dari paradigma critism-constructive. Yakni berangkat dari suatu penolakan atas struktur yang baru bukan berarti kemudian tidak mau ‘akhdu al jadid al ashlah’, namun ibarat anak dengan segala fitrahnya dituntut memiliki gigi terlebih dahulu untuk mengunyah sebelum kemudian menelan makanannya. Begitulah cara kerja ilmiah mahasiswa, gigi ibarat bekal keilmuan dan pengetahuan yang dimilikinya, mengunyah adalah proses kontekstualisasinya dan menelan adalah sikapnya untuk ‘deal or no deal’.

Presensi 75 Persen; Keterpisahan Berbagai Kreativitas

Lepas dari visi misi fakultas Adab dampaknya bagi mahasiswa sastra yang formalnya bertujuan mencetak ahli sastra an sich dan mengesampingkan mahasiswa yang sastrawan memang tidak dapat dihindarkan. Dengan pengertian institusi fakultas sebagai ‘pabrik’ akademik sastra arab berupaya menciptakan ‘suku cadang’ ahli sastra daripada menciptakan sastrawan itu sendiri. Disini kita melihat kontestasi keterpisahan yang berusaha diciptakan birokrasi terhadap mahasiswa yang notabenenya sebagai subyek aktif dari dialektika akademik di dunianya sendiri.

Hal ini terbukti pada sistem yang sedang berjalan seiring diberlakukannya presensi 75 persen sebagai jalur penguatan akademik. Dengan jam terbang terkonsentrasi di dalam kelas selama 5 hari penuh dan tuntutan belajar keseharian di kelas selama hampir 10 jam dalam sehari. Hitung-hitung 75 persen lalu kemudian mencuatkan satu solusi dari fakultas yaitu dengan hanya memberikan keringanan ijin 3 kali pertemuan dari total 12 kali pertemuan dirasa tidaklah cukup efektif bagi perkembangan kreatifitas mahasiswa bergerak di luar kampus.

Perlu dicamkan adalah di luar kecerdasan intelektual akademik masih banyak terdapat kecerdasan emosional bahkan kecerdasan spiritual yang belum secara maksimal digali oleh mahasiswa. Dengan keaktifan mereka selalu dan selalu berproses di lingkungan non-formal, lebih-lebih sekedar ‘talk-show’ di kelas bersama dosen yang kini menjadi ‘trend’ baru di UIN ini otomatis menyudutkan kearifan berkreativitas di sisi lain.. Tambahan persoalan yang dihadapi oleh ‘prototype’ mahasiswa yang ‘nyambi’ bekerja demi memenuhi kebutuhan kesehariannya di negeri seberang sini jauh dari pantauan orang tua. Atau bahkan orang tua itu adalah mahasiswa itu sendiri yang layaknya kini masih harus kuliah sambil lalu bekerja mencukupi nafkah lahir anak istrinya.

Dalam hal ini manajemen waktu bukanlah menjadi solusi utama. Menilik pada ukuran standar kesuksesan pribadional, usia minimal dua puluh tahun yaitu setara dengan usia pelajar di tingkatan perguruan tinggi, merupakan patokan kesuksesan seseorang. Kesuksesan ini tertuang dalam bentuk kreatifitas, produktivitas, dan efektivitas pribadi dampaknya pada perubahan di sekitarnya. Sedangkan kenyataan ini berbanding balik manakala terdapat suatu sistem yang mengukung dalam lingkungannya. Dalam hal ini, Tuhan hanya menciptakan potensi atau daya-daya yang ada dalam diri manusia, sedangkan perkembangan selanjutnya terserah pada manusia itu sendiri (Mastuhu, 1999:25).

Singkatnya, dalam praktek pemberlakuan presensi 75 persen tersebut sangat membatasi gerak langkah mahasiswa yang sejatinya tidak hanya berkutat pada misi pembentukan insan akademik, tetapi juga insan perubahan sosial (agent of social change) di masa mendatang. Dan ini tidak bisa diikuti hanya dengan hasrat layaknya ‘jumpa fans club’ dosen dalam kelas, melainkan juga dengan pembelajaran yang intens luar kelas sebagai sesuatu yang otodidak. Perlu dikontekskan pula dengan permasalahan rakyat dan bangsa ke depan yang lebih pelik menuntut tanggung-jawab pengemban pendidikan masa sekarang. Karenanya terdapat sebuah adagium menyebutkan “addibuu awladakum, liannahum ya’isyuuna fighoiri zamaanikum..”. (didiklah anak-anak kalian, karena mereka hidup di zaman yang berbeda selain zaman kalian..). Tidak salah kiranya jika kita berambisi untuk meneriakkan: “my future is out-of there”. Tinggal pilih, keaktifan presensi atau kearifan kreasi yang mau dikorbankan.



Ditulis awal Mei 2008

[pernah dimuat dalam buletin dan mading rayon PMII Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta]

0 komentar:

Posting Komentar