Kamis, 07 Oktober 2010

DILEMATIKA KEMUNCULAN BAHASA AKKADIA



Terj. Fiqh Lugoh

Oleh: Cholid Ma’arif 

Abstraksi

Arbitrasi bahasa merupakan satu terma yang menyimpulkan pergulatan berbagai bahasa di dunia ini dengan satu sama lainnya.  Salah satunya adalah bahasa Akkadia yang seakan menjadi bahasa wasit antara tarik menarik dua bahasa; Babilia dan Assyuria. Proses persentuhan ini tentu dilator belakangi oleh banyak factor, diantaranya adalah politik dan kekuasaan yang pada ujungnyaberdampak sistemik pada aspek bahasa, budaya, dan peradaban. Lalu, bagaimanakah prosespanjang ini mampu dilalui oleh bahasa Akkadia di bekisaran wilayah Mesopotamia zaman dulunya? Berikut dalam tulisan singkat  ini disuguhkan dilematika kemunculan bahasa Akkadia; baik latar belakang maupun pengaruh dan peninggalannya.

A.    Pergulatan Tiga Bahasa; Akkadia, Babilia, dan Assyuria

Dalam literatur tentang ilmu bahasa disebutkan bahwa kemunculan dan perkembangan bahasa Akkadia tidak bisa dilepaskan dari factor politik dan budaya yang mengitarinya. Dilematika ini menjadi penting ketika dalam sejarah penting mencatat adanya peristiwa imigrasi besar-besaran bangsa Semit menuju ke Irak yang masih dikenal dengan wilayah subur Mesopotamia. Tidak ayal lagi daerah ini menjadi lading rebutan antar bangsa sekitar.

Kaitannya dengan bahasa Akkadia, peristiwa imigrasi tersebut terjadi sejak masa-masa klasik, yaitu sekitar abad ke-36 SM. Sebelumnya, wilayah ini merupakan daerah kekuasaan bangsa Sumeria yang menjadi bangsa pribumi. Suatu bangsa yang telah memiliki peradaban yang terkenal, struktur bahasa, serta penulisan yang dikenal bangsa Arab dengan nama khath Mismariy, sedangkan oleh orang Eropa dikenal dengan Dzu Zawaya, dan nama khath Autad oleh bangsa Ibrani.

Berawal dari proses imigrasi masal tersebut, bangsa Semit mampu menduduki wilayah ini, lalu mendirikan kerajaan Semit yang besar. Pusat kerajaan ini berdiri di wilayah bagian utara -suatu dataran yang lebih tinggi dari sungai Tigris- Mesopotamia dengan nama negara Akkad sebagaimana penyebutan oleh bangsa Sumeria. Kemudian berpindah ke daerah bagian selatan yang lebih rendah dan disebut juga oleh bangsa Sumeria dengan wilayah Sumer. Kemudian berpindah lagi ke daerah utara dimana Babilonia waktu itu menjadi ibukota kerajaan Semit. Sehingga pada masa ini menjadi tonggak sejarah penting bagi berdirinya kota Babilonia yang dinisbatkan pada bangsa Semit yang kemudian masyarakatnya dikenal sebagai orang Babilia, sedangkan negaranya dikenal dengan kerajaan Babil.

Proses imigrasi ini terus berlanjut sampai pada sekitar abad ke-25 SM dan berpusat di bagian utara negara Irak yang merupakan daerah tinggi sungai Tigris. Sebelum imigrasi bangsa Semit, daerah ini telah ditempati oleh  bangsa-bangsa selain Semit, namun Semit berhasil menaklukkan kerajaan mereka dan berkembang menjadi negara dan peradaban orang-orang Semit dengan membangun kota Assur. Sehingga dalam sejarah, mereka orang-orang Semit dikenal juga dengan nama orang-orang Assuria, sedangkan negara mereka terkenal dengan nama bangsa  Assur. Bahasa orang Semit di selatan dan utara ini bergulat dengan bahasa penduduk asli dalam yang akhirnya dimenangi oleh bahasa Semit. Sehingga seluruh warga berkomunikasi dengan bahasa Semit, termasuk bangsa pribumi.

Dengan bahasa ini kemudian para pakar linguistik menamakannya dengan nama bahasa Akkadia, dinisbatkan pada daerah Akkad.[1] Atau juga bahasa Babil-Assuria sesuai dengan nama dua daerah Babil dan Assur. Mayoritas lebih sering menggunakan kata yang terakhir tadi walaupun tersusun dari dua kata agar menaungi dialek seluruh daerah-daerah yang tersebar. Karena juga penamaan yang pertama istilah Akkadia dimunculkan oleh sebagian bangsa kuno kedua daerah tersebut yaitu bangsa Sumeria yang merupakan pribumi daerah selatan.

Selain itu, sebagian ahli menggunakan istilah Akkadia justru karena kesulitan mengunakan pada dua kata Babilia-Assuria. Untuk mengatasi hal ini mereka sempat mencoba untuk meringkas dan mengesampingkan daerah satu dengan daerah lain yang kemudian disebut dengan nama bahasa Babil saja. Karena Babil merupakan daerah yang paling tua. Atau dengan nama bahasa Assuria saja karena yang pertama kali mempengaruhi dialek bahasa adalah daerah Assur. Namun kebanyakan pakar lingusitik modern tidak sepakat dengan istilah bahasa Babilia saja  yang sebenarnya hanya menempati di daerah Selatan. Juga tidak sepakat dengan kata bahasa Assuria karena dialeknya digunakan di daerah utara saja.

Penggunaan bahasa-bahasa ini belum mewakili dua bangsa Babil dan Assuria, bahkan sampai meluas pada masa keemasan dua negara ini di negara-negara tetangganya. Hingga akhirnya ditemukan di al Imaranah, sebuah ibukota Mesir masa Okhnaton, surat-surat yang menggunakan bahasa Akkadia yang merujuk pada sejarah akhir abad ke-15 dan pertengahan pertama abad ke-14 SM (1411 – 1358 sm). Surat ini berisikan tentang berita-berita yang terjadi antara kerajaan-kerajaan di Mesir pada masa Amnopes III, Amnopis IV, dan Akhnathon, serta para gubernur timur dan khususnya gubernur Kan’an. [2] Peninggalan ini juga ditemukan di Asia Kecil yang waktu itu menjalin hubungan dengan bahasa Akkadia yang menunjukkan bahwa bahasa ini telah digunakan dalam banyak wilayah.
B.     Dilematika Bahasa Akkadia
Bahasa Semit mengalami proses yang panjang untuk berinteraksi dengan bahasa-bahasa pribumi yang pada akhirnya jusru bisa menyaingi bahasa pribumi secara bertahap. Sehingga bahasa yang dilindas habis ini dipastikan tidak ada yang tersisa. Justru bahasa yang bersentuhan dengan bahasa yang mampu menyaingi ini meninggalkan pengaruh yang sangat besar.[3] Inilah yang terjadi pada bahasa Semit yang dipengaruhi oleh bahasa Sumeria. Pengaruh ini nampak pada kosakata.

Bahasa Semit meminjam banyak kosakata istilah dari bahasa Sumeria khususnya dalam hal kata-kata yang menunjukkan pada sesuatu yang menyangkurt tentang peradaban Sumeria yang belum banyak diketahui oleh orang Semit pada adaptasi pertama kali. Sehingga dalam hal ini kata-kata asli dari bahasa Semit mengalami penyimpangan pada pengucapan komunikan yang baru. Mereka adalah orang-prang pribumi di negera ini. Semakin lama semakin menyimpang fonologinya dari posisinya dan membentuk bahasa yang disepakati bersama oleh mereka dalam hal suara dan kosa kata serta struktur kalimatnya. Perubahan yang terjadi adalah; penggantian fonem bahasa Semit  klasik dengan fonem yang lain,. Perubahan tempat keluar suara huruf, dan penyimpangan dalam pengucapan. Misalnya adalah; huruf ya dan wawu jatuh pada awal kalimat, ini terjadi pada hampir semua bahasa Akkadia.[4]
 
Bahasa Akkkadia tidak terpisah dari saudaranya bahasa Semit yang digunakan sampai daerah ujung timur dan digunakan pada urusan sosial, serta adat istiadat daerah yang tersebar di dalamnya. Juga persentuhannya dengan bahasa penduduk asli dan bahasa yang berasal dari warisan peradaban dan kebudayaannya. Sehingga dalam hal ini mempunyai pengaruh yang sangat besar, salah satunya pada pembentukan kaidah kata, contoh dalam kata kerja yang memiliki tiga zaman pekerjaan: yaitu dua masa ditunjukkan dengan kata suara yang jatuh diawal kata kerja yaitu kata kerja madhi yang sempurna “Iksudu” misalnya yang bermakna “mereka mengakhiri” dari kata “ak khazuw”. Kata kerja mudhari’ lil istiqbal “Ikasadu” yang berarti “yaghzawna” atau “sayaghzawna”.[5] Sedangkan kata kerja yang ketiga ditunjukkan dengan huruf yang ada pada akhir kata kerja, yaitu masa yang diungkapkan dari kelanjutan “ghazasu” misalnya “kasadu” yang berarti mereka telah mengakhiri. Pada saat yang sama, bahasa-bahasa Semit yang lain hanya mempunyai dua zaman yang asli yaitu kata kerja yang telah dilakukan dan kata kerja yang belum dilakukan.[6]

Dalam aspek tulisan, bangsa Semit meniru khot Mismari dari bangsa Sumeria dan menggunakannnya dalam penyusunan bahasa Akkadia. Pada awal pertama kalinya dahulu dikenal dengan nama tulisan ma’nawiyyan Bahtan “Ideagraphique”.[7] Yaitu simbol-simbolnya menunjuk pada makna tidak pada suara. Contohnya disimbolkan dengn gambar bintang sebagai istilah yang menunjukkan pada langit (“ana” dalam bahsa Sumeria) atau istilah yang menunjukkan pada peralatan (misal: “dinjir” dalam bahasa Sumeria).

Setelah itu kemudian baru berkembang dengan tulisan simbol suara “Sylabique”. Sehingga beberapa tandanya menunjukkan  pada potongan suara saja dan setiap potong terdiri dari dua suara atau lebih. Misal; bentuk sebuah bintang, menunjukkan dengan potongan suku suara “an”.

Bangsa Semit telah menggunakan simbol maknawi bahasanya sendiri, satu sisi merujuk pada penggunaan simbol bahasa Sumeria. Tetapi mereka membacanya dengan kosakata bahasa mereka sendiri juga. Misalnya, bentuk gambar sebuah bintang mempunyai dua makna yang masing-masing berbeda. Walaupun sama-sama dari bahasa Sumeria, dua arti itu adalah langit dan tuhan. Namun bangsa Semit membacanya dengan “Samu” yang berarti langit dan “Ilu” yang berarti tuhan.

Bangsa Semit juga memakai simbol suku kata untuk penulisan ini. Tetapi mereka tidak menggunakan semuanya, namun memasukkannya pada tanda bahasa yang sebagiannya diambil secara seimbang dari kosakata bahasa  mereka. Misalnya: gambar sebuah bintang yang kadang-kadang mensimbolkan suku kata itu sendiri dalam bahasa Sumeria dengan potongan “an”, pada saat yang sama sebuah gambar tangan misalnya lagi disebutkan dengan kata “Su”,, yaitu suku kata awal dari kata tangan dalam bahasa Sumeria. Orang Semit menggunakannya untuk menggambarkan pada suku kata “qat”, yaitu suku kata awal dari kata “qatu” yang artinya juga tangan dalam bahasa Akkadia. [8] Adapun tulisan Mismariy bahasa Akkadia itu terpisah hurufnya. Tapi dibaca secara bersambung keseluruhannya dari arah kiri ke kanan. Sedangkan sebelumnya dibaca dari atas ke bawah.

Dalam aspek dialek bahasa, pengaruh yang sampai pada kita tersusun dengan tulisan ini itu tidak menunjukkan adanya perbedaaan yang mencolok antara dialek bahasa Akkadia. Misalnya bahasa Babilia yang ada di daerah selatan hampir tidak berbeda dengan peninggalan dialek Assyuria yang ada di daerah utara. Kecuali memang yang sampai pada saat ini melalui cara pengaruh ini adalah bahasa sastra atau bahasa tulisan. 

Sedangkan dialek-dialek yang modern di daerah itu belum kita dapatkan kecuali hanya sedikit terdapat di sebagian prasasti. Peninggalamn  ini tidak lantas menunjukkan dengan kuat perbedaan dialek. Namun menunjukkan pada aturan-atuaran yang ditundukkan oleh bahasa –bahasa selama masih hidup dan berkembang. Yaitu ungkapan bahasa yang berkembang di daerah-daerah yang luas dan digunakan oleh banyak kelompok. Sehingga sangat mustahil mempertahankan satu dialek untuk waktu yang lama. Tidak juga berdiam hanya pada peninggalan yang ditemukan antara daerah-daerah yang berbeda baik secara alami maupun geografimya.

C.    Kesimpulan; Fase Perjalanan Bahasa Akkadia

Di sini dapat kita simpulkan bahwa bahasa Akkadia mempunyai perbedaan masa yang saling mempengaruhi secara hierarki dan empiris. Beberapa factor diantaranya adalah adanya kepentingan politik dan perpecahan kekuasaan antara Babilonia dan Assyuria. Latar belakang tersebut memunculkan beberapa kesimpulan fase-fase perkembangan bahasa Akkadia sebagai berikut:

1.      Fase Awal (Abad ke-20 M)
Pada fase ini garis politik berada di kerajaan Babilonia. Bukti ini dapat ditemukan pada prasasti-prasasti dan beberapa buku serta surat rahasia yang ada pada porselin.

2.      Fase Perjalanan I (Abad ke-20 sampai akhir abad ke-7 atau awal abad ke-6 SM)
Pada masa ini kerajaan Babilonia mengalami kemunduran dengan adanya keserakahan para pemimpinnya. Sehingga berujung pada kejatuhan di tangan kerajaan Assyuria yang tampil lebih kuat pada kesempatan emas ini. Imperium Assyuria ini bertahan sampai pada tahun 606 SM. Bukti peninggalan masa ini dapat ditemukan di beberapa daerah di Assyuria.

3.      Fase Perjalanan II(Akhir abad ke-7 sampai akhir abad ke-6 SM)
Pada periode ini imperium Babilonia bangkit kembali pada tahun 626 SM. Namun tidak berjalan lama kemudian jatuh di tangan Persia pada tahun 539 SM. Kerajaan yang baru inilah kemudian dikenal dengan nama kerajaan Babilia Baru. Peninggalan masa ini dapat ditemukan pada bukti-bukti perkembangan bahasanya. Sehingga sampai pada saat ini para peneliti menyebutnya dengan Neo-Babilia.  

4.      Fase Perjalanan II (Dari Akhir Abad ke-6 sampai awal Abad Ke-4 SM)
Pada tahap perkembangan ini pasukan berkuda kabilah Aramiyah mulai mengambil alih Irak secar perlahan-lahan. Sehingga bahasa Aramiyah semakin memojokkan bahasa Akkadia dan menceraiberaikannya. Tidak sampai pertengahan abad ke-4 SM bahasa Aramiyah telah menguasai seluruh wilayah. Sedangkan bahasa Akkadia menjadi salah satu bahasa yang punah pada masa pembaruan. Namun setelah beberapa abad kemudian ternyata bahasa itu masih dipakai pada beberapa bahasa penulisan, sastra, dan agama. Dari sini kita ketahui bahwa bahasa Akkadia masih digunakan pada aspek ini walaupun hanya sampai sebelum tahun Masehi.


DAFTAR PUSTAKA
            Al Wahid Wafie, ‘Abdul ‘Aliy, 1945. “Fiqh l-Lughoh“. Daarul  Nahdhah. Fujjalah, Kairo


[1] Orang yang pertama kali menggunakan penamaan ini adalah sang pakar, Opperrt
[2] Jumlah  lembar  ini ada 400 lembar dan satu7 l;embar ditemukan dari prasasti aslinya dengan khot mismariy.
[3]  Lih. Penjelasan undang-undang  dan pengaruhnya serta contoh-contohnya pada hal. 233-239 dari buku ilmu lugah ctakan ketujuh.
[4] Brockekmann. Op.cit., hal. 16
[5] V. Languages Du Monde, hal. 62
[6]  Ditemuikan kata kerja yang ketiga tidak asli karena dengan mengiidhofahkan kata kerja pembantu dengan kata kerja yang dikembalikan pada ungkapannya seeprti “hal” dalam bahasa phoenic dan arab.
[7] Lih. Penjelasan al kalam dalam tulisan dan macam-macamnyaserta sejarahnya di halaman 268 – 279 dari buku Ilmu Bahasa cetakan ketujuh.
[8]  Lebih baik digunakan pada deskripsi maknawi sehingga dibaca “Qatu” yatiu tangan.

0 komentar:

Posting Komentar