Sabtu, 09 April 2011

“Intelegensi dan Pendidikan” (Perspektif Psikologi Untuk Pendidikan Islam)*


Oleh:
Cholid Ma’arif**

A. Manusia Dalam Pusaran Intelegensi; For Warming-Up

Dalam konsep pendidikan Islam, telah menjadi maklum bahwa subjek sekaligus objek dari pendidikan itu sendiri adalah manusia. Manusia dengan seperangkat anatomi tubuhnya sebagai bagian dari jasmani, sedangkan ruhani serta spiritualnya sebagai bagian lain dalam sudut pandang yang berbeda. Jika jasmani merupakan sesuatu yang nyata dan dapat ditelaah secara ilmiah, begitupun juga dengan ruhani yang meliputi dunia kejiwaan manusia, walaupun bisa saya katakan wilayah ini merupakan daerah “abu-abu”, yaitu sesuatu yang dapat ditelaah ilmiah namun tidak sekonkrit kajian pada objek jasmani yang mampu diamati dan disentuh. Karena sifat kejiwaan ini dapat diamati –dengan disiplin khusus-, dan dirasakan saja.

Termasuk dalam hal ini adalah dunia spiritual yang bersifat transeden menyangkut masalah keimanan, ketuhanan, dan alam eskatologi lainnya yang hingga kini pun belum selesai diperdebatkan. Namun di tangan olahan psikologi, sisi transcendental manusia tetap bisa ditelaah secara empiris untuk menambah wacana pemikiran dalam bidang kecerdasan ruhaniah.

Salah satu alasan yang tidak bisa dibantah atas kelebihan manusia adalah aspek kecerdasannya (baca: intelegensi). Disinilah sebuah akal memainkan peran untuk mengistimewakan makhluk bernama manusia dengan makhluk lainnya. Bahkan ada statement terkini yang menyebutkan: “secanggih-canggihnya alat teknologi pada zaman modern saat ini, tetap saja tak lebih canggih dari manusia karena ia yang menciptakan semua itu”. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa bicara tentang manusia seutuhnya yang dimaksud disini bukanlah saja persoalan akal, logis, maupun rasionalitas ansich. Khususnya dalam dunia pendidikan, teori yang terbilang baru mengatakan bahwa manusia yang cerdas intelegensinya adalah sosok yang bisa menguasai dan menerapkan banyak kecerdasan yang kemudian sering disebut sebagai kecerdasan ganda atau multiple-intellegences.

Istilah ‘multiple-intellegences’ diperkenalkan oleh Gardner pada tahun 1983, sebagai suatu konstruk intelegensi. Untuk mendukung teorinya Gardner melakukan penelitian dari berbagai macam bidang, seperti: psikologi perkembangan, antropologi, psikologi kognitif, psikometri, neoropsikologi, dan studi biografi. Gardner menunjukkan bahwa intelegensi yang dipahami oleh manusia baru sebagian saja dari kecerdasan manusia, misalnya dalam proses pendidikan selama ini penilaian hanya berdasarkan pada kecerdasan verbal dan numerial saja. Sehingga dia mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah dan menciptakan produk yang bernilai budaya.

Selanjutnya, Gardner menyatakan bahwa ada delapan yang profilnya berbeda antara manusia satu dengan yang lain. Kedelapan intelegensi tersebut adalah: 1) aspek linguistic; kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif baik tulis maupun lisan, 2) aspek logis-matematis; kemampuan mengolah angka atau menggunakan logika akal sehat, 3) aspek visual-spasial; kemampuan memvisualisasikan gambar dalam bentuk dua atau tiga dimensi yang abstrak, 4) aspek musical; kemampuan menyanyikan lagu, mengingat melodi music, mempunyai kepekaan irama, dan menikmati music, 5) aspek kinestetik-jasmani; kemampuan melakukan gerakan tubuh atau anggota badan, 6) aspek naturalis; kamampuan untuk mengenali bentuk-bentuk alam di sekitar, 7) aspek intra-pribadi; kemampuan untuk mengenali dan memahami diri sendiri, 8) aspek antar-pribadi; kemampuan berkomunikasi dan empati pada orang lain.

Erat kaitannya dengan pendidikan, Gardner (1993) menyatakan kalau saja keragaman profil kecerdasan tersebut dipahami dan didukung lewat pemberian kesempatan dan fasilitas, maka siswa akan lebih dapat mewujudkan kemampuannya. Hal ini sejalan dengan maksud dari Depdiknas (2002), bahwa esensi pendidikan siswa adalah membantu siswa untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik perkembangannya dalam konteks fisik dan social siswa.

Namun demikian, dalam makalah ini hanya sedikit mengulas tentang dua jenis kecerdasan saja kaitannya dengan pengembangan pendidikan Islam dari aspek psikologi perkembangan anak didik, yaitu kecerdasan emosi dan kecerdasan social. Karena kembali pada argument di atas tadi, bahwa aspek yang bersinggungan langsung dengan kejiwaan manusia yang “abu-abu” adalah dua unsur tersebut. Ia bisa saja muncul karena dirinya sendirinya (pedagogik) maupun dari lingkungan sekitarnya (behavioristik), bahkan berpotensi besar untuk kemungkinan terjadinya akomodasi dari kedua unsurnya (konstruktivistik) sebagai kecerdasan ruhani (transcendental intelligences).

B. Bahaya Emosinal dan Sosial; All Beginning Are Difficulties

Untuk menilik kedua aspek tersebut pada perkembangan anak didik, baik pasca kanak-kanak maupun remaja, tidak bisa dilepaskan dari pengalaman dan pandangan mereka ketika masih kanak-kanak, bahkan ketika masih bayi ataupun balita. Perlakuan yang mereka dapat ataupun dengan pembuktian terbalik yakni respon yang diberikan oleh orang dewasa di sekitarnya cukup cukup memberikan dampak psikis yang begitu berarti jika orang dewasa tidak mau mencoba dan memasuki dunia mereka, seperti halnya cara ‘active learning dalam pembelajaran. Sehingga seperti apakah bahasa emosinal dan social tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Bahaya Emosional
Bahaya emosional awal masa kanak-kanak yang dominan terlihat pada mayoritas sebagai berikut: Pertama, emosi yang kurang baik, terutama amarah; kalau anak mengalami terlalu banyak emosi yang kurang baik dan hanya sedikit mengalami emosi-emosi yang menyenangkan maka hal ini akan mengganggu pandangan hidup dan mendorong perkembangan watak yang kurang baik. Kedua, ketidakmampuan melakukan empathic-complex, yaitu suatu ikatan emosional antara individu dan orang-orang yang berarti. Ketiga, perkembangan kasih sayang yang terlalu kuat dari satu orang, biasanya ibu, karena hal ini menyebabkan anak merasa kurang aman dan gelisah pada saat perilaku orang yang dicintai tampaknya mengancam atas ketidaksetujuan kekeliruannya, termasuk dengan dominasi berbagai alat permainan.

2. Bahaya Sosial
Sejumlah bahaya terhadap berkembangnya penyesuaian social yang baik pada awal masa kanak-kanak yang mengancam bahkan ada lima, yaitu: Pertama, ketika pembicaraan atau perilaku anak menyebabkan ia tidak popular di antara teman-teman sebaya, maka ia tidak hanya akan merasa kesepian tetapi yang lebih penting lagi ia kurang mempunyai kesempatan untuk belajar berperilaku sesuai dengan harapan teman sebaya. Kedua, anak yang secara keras dipaksa untuk bermain sesuai dengan seksnya saja, maka ia justru akan bertindak secara berlebihan dan hal ini membuatnya dibenci oleh teman sebayanya. Ketiga, sebagai akibat perlakuan teman-teman sebayanya, anak mungkin dan seringkali mengembangkan sikap social yang tidak sehat. Keempat, penggunaan teman khayalan dan binatang peliharaan untuk mengimbangi kurangnya teman. Kelima, dorongan orang tua untuk lebih banyak menggunakan waktu dengan anak-anak lain dan tidak terlalu banyak menghabiskan waktu sendiri.

Selanjutnya, dalam rangka membebaskan kecerdasan yang sebenarnya masih terhambat dengan bahaya-bahaya masa kanak-kanak, konsep ‘socio-emotional development’ menawarkan strategi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Hasil riset menganjurkan empat kunci untuk mengembangkan penghargaan diri anak didik (Bednard, Wells, & Peterson, 1995; Harter, 1999):

1. Mengidentifikasi factor-faktor yang menyebabkan penghargaan terhadap diri sendiri menurun dan wilayah kompetensi yang penting bagi dirinya.
2. Dukung selalu emosionalnya dengan pendekatan social.
3. Bantu anak meraih prestasi
4. Mengembangkan kemampuan anak dalam menyesuaikan diri.

Pembahasan masa kanak-kanak untuk mengamati perilaku di masa remaja pada perkembangan anak didik bukanlah hal yang naïf. Karena yang mesti dipahami adalah kita sedang mempelajari perkembangan dari makhluk manusia yang terintegrasi, yang hanya mempunyai satu badan dan satu jiwa yang saling tergantung.

Lebih jauh, tahapan-tahapan pertumbuhan dalam proses mencari jati diri, menemukan tugas panggilan hidup pribadi sebagai bagian dari kecerdasan emosional dan social, Erik Erikson, seorang ahli psikoanalisis, menggambarkannya sebagai berikut:

1) Bayi: Kebenaran Dasar versus Ketidakpercayaan Dasar. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Harapan atau Penarikan diri.
2) Balita: Otonomi versus Malu, Ragu-ragu. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Keinginan atau Keharusan / Paksaan.
3) Usia Bermain: Inisiatif versus Kesalahan. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Maksud-tujuan atau Hambatan.
4) Usia Sekolah: Kerajinan versus Perasaan Rendah Diri. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Kompetensi atau Kemalasan
5) Remaja: Identitas versus Kekacauan Identitas. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Kesetiaan atau Penolakan.
6) Kedewasaan Masa Muda: Keintiman versus Pengasingan. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Cinta atau Keadaan Ekslusif.
7) Kedewasaan: Kemampuan Menghasilkan versus Kemandegan. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Perhatian atau Penolakan.
8) Usia Tua: Integritas versus Keputusasaan. Hasilnya dalam jangka panjang adalah antara Kebijaksanaan atau Penghinaan.

Perlu disampaikan bahwa dalam kenyataannya proses perumbuhan itu tidak selalu berjalan linier, jadi masih dimungkinkan terobosan positif.

C. Dari Hakihat Perkembangan Sampai Intelegensi Anak Didik

Setelah mencoba memahami masa-masa dimana anak didik berkembang dengan mengatasi memori sejak masa kanak-kanaknya, selanjutnya kita mempelajari hakikat perkembangan itu sendiri untuk dapat mengukur perkembangan intelegensi anak didik itu sendiri. Maka dalam hal ini akan ditarik sebuah skema yang akomodatif dengan berbagai tahapan perkembangan.

Perkembangan (development) adalah adalah pola gerakan atau perubahan yang dimulai pada waktu konsepsi dan berlanjut sepanjang siklus hidup. Sebagian besar perkembangan mencakup pertumbuhan, walaupun ia juga penurunan. Pola gerakan ini bersifat kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses-biologis, kognitif, dan social-emosional. Proses-proses ini sangat mempengaruhi dalam keterjalinannya dengan intelegensi dalam perkembangan individu sepanjang rentang hidup manusia. Proses social membentuk proses kognitif, proses kognitif mengembangkan atau menghambat proses social, dan proses biologis mempengaruhi proses kognitif.

Pertama, proses biologis (biologis processes) mencakup perubahan-perubahan dalam hakikat fisik individu. Berupa gen yang diwariskan dari orang tua, perkembangan otak, pertambahan tinggi dan berat badan, ketrampilan motorik, dan perubahan hormonal pubertas. Kedua, proses kognitif (cognitive processes) meliputi perubahan dalam pikiran, intelegensi, dan bahasa individu. Termasuk dalam wilayah ini adapalah menghafal puisi, memecahkan masalah matematika, dan membayangkan seperti apa rasanya nila menjadi bintang film. Ketiga, proses social-emosional (socioemotional processes) meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain, dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks social dalam perkembangan.

Kembali saya ingin menarik target inti dari tiga proses perkembangan di atas adalah perkembangan intelegensi anak didik. Karena seperti dijelaskan sebelumnya bahwa keseluruhan factor dalam masa rentang perkembangan manusia dengan seluruh aspeknya itu saling mempengaruhi utamanya pada pencapaian yang sangat diharapkan, yaitu intelegensi yang potensial, optimal, dan maksimal.

Pada umumnya, kecerdasan atau intelegensi dapat dilihat dari kesanggupan seseorang dalam bersikap dan berbuat sesuai dengan suatu keadaan. Intelegensi merupakan suatu kemampuan tertinggi dari jiwa makhluk hidup yang hanya dimiliki manusia, yang dibawa sejak lahir untuk menyesuaikan diri terhadap situasi. David Wechster (1958) mendefinisikan kecerdasan sebagai "keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif".

Walaupun demikian, membincang tentang keterkaitan seluruh aspek dalam pusaran manusia sebagai mikromos dari bagian makromos semesta, perlu menjadi catatan juga bahwa sebenarnya hingga sekarang sudah banyak beberapa kajian dalam hal intelegensi atau tingkat IQ seseorang. Menurut Kohstan, intelegensi dapat dikembangkan, namun hanya sebatas segi kualitasnya, yaitu pengembangan akan terjadi sampai pola pada batas kemampuan saja, terbatas pada segi peningkatan mutu intelegensi, dan cara cara berpikir secara metodis. Pun intelegensi orang satu dengan yang lain cenderung berbeda-beda. Hal ini karena beberapa faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor yang mempengaruhi intelegensi antara lain sebagai berikut:

1. Faktor Bawaan

Faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu, di dalam satu kelas dapat dijumpai anak yang bodoh, agak pintar, dan pintar sekali, meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.

2. Faktor Minat dan Pembawaan yang Khasstyle="font-style:italic;">

Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar,sehingga apa yang diminati oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.

3. Faktor Pembentukan

Dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Di sini dapat dibedakan antara pembentukan yang direncanakan, seperti dilakukan di sekolah atau pembentukan yang tidak direncanakan, misalnya pengaruh alam sekitarnya.

4. Faktor Kematangan

Dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik mauapun psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, tidak diherankan bila anak anak belum mampu mengerjakan atau memecahkan soal soal matematika di kelas empat sekolah dasar, karena soal soal itu masih terlampau sukar bagi anak. Organ tubuhnya dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk menyelesaikan soal tersebut dan kematangan berhubungan erat dengan faktor umur.

5. Faktor Kebebasan


Hal ini berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kelima faktor diatas saling mempengaruhi dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Jadi, untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman atau berpatokan kepada salah satu faktor saja.

D. Psikologi Untuk Pendidikan (Islam); Belong Intellegencies

Menurut Ki Hadjar pendidikan anak penting dilakukan sejak dini. Pendidikan berisi penanaman nilai budi pekerti, nilai seni, nilai budaya, kecerdasan, ketrampilan dan agama. Sistem among juga diperkenalkan karena arti pendidikan anak usia dini bagi Ki Hadjar adalah melayani dan memberikan kebebasan pada anak agar senang. Slogan yang sangat terkenal dari Ki Hadjar Dewantara adalah Ing ngarsa sung Tulodo, Ing Madya mangun karsa, Tut Wuri Handayani

Untuk memetakan lebih lanjut perbedaan antara psikologi, pendidikan, dan psikologi pendidikan, perlu kita pahami definisinya masing-masing. Psikologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami bagaimana makhluk tersebut berpikir dan berperasaan (Gleitman, 1986). Sedangkan pendidikan diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dancara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dari kedua definisi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi pendidikan adalah pengetahuan kependidikan yang didasarkan atas hasil-hasil temuan riset psikologis.

Dapat dikatakan kemudian bahwa psikologi dan pendidikan sama-sama mempunyai kepentingan terhadap jiwa manusia dan pengembangan kecerdasannya. Jika kecerdasan emosi dan sosial dapat diamati lebih jauh bahkan dari aspek luar yang mempengaruhinya termasuk menghindari dan menyelesaikan bahasa sosial dan emosional, maka tidak sama halnya dengan kecerdasan transendental.

Adapun faktor yang menentukan positif negatif terhadap kecerdasan transendental adalah potensi qalbu (hati dalam arti spiritual dan pancra idera juga indera keenam) yang memiliki tiga fungsi sekaligus, yaitu:

1) Fu’ad; merupakan potensi qalbu yang berkaitan dengan inderawi, mengolah informasi yang sering dilambangkan berada dalam otak manusia (fungsi rasio, kognitif). Potensi ini meliputi mampu menerima informasi dan menganalisisnya sedemikian rupa sehingga ia mampu mengambil pelajaran dari informasi tersebut.

2) Shadr; merupakan potensi qalbu yang berperan untuk merasakan dan menghayati atau mempunyai fungsi emosi (marah, benci, cinta, indah, afektif). Potensi ini sebagai dinding hati yang menerima limpahan cahaya keindahan, sehingga mampu menerjemahkan segala sesuatu serumit apa pun menjadi indah dari karyanya seperti pelita bagi orang-orang yang berilmu.

3) Hawaa; merupakan potensi qalbu yang menggerakkna kemauan, meliputi: ambisi, kekuasaan, pengaruh, dan keinginan untuk mendunia (fungsi conative). Potensi ini cenderung selalu untuk membumi dan merasakan nikmat dunia yang bersifat fana sebenarnya tanpa ia sadari.

Dari sini cukup menegaskan penjelasan di awal bahwa manusia merupakan makhluk yang paling canggih sekalipun memiliki akal sebagai basis analisis pengetahuan, juga didukung secara dominatif oleh peran hati yang dengan maksimal dan potensial mengarahkan perilaku manusia untuk mengenali dan menyadari aspek positif dan negatif berdasar unsur spiritual, yaitu sesuatu di luar dirinya dan lingkungannya, melainkan Tuhannya sebagai Godspot merupa kekuatan cahaya transendental yang mampu langsung membidik ke hatinya.

Kaitannya dengan pendidikan Islam, sangat berkaitan erat dengan sejumlah komponen dari pendidikan itu sendiri agar dapat mendukung suasana yang kondusif bagi berprosesnya ketiga kecerdasan manusia tadi. Dalam hal ini saya megangkat pokok-pokok pikiran Syeikh Az-Zarnuji, seorang filsuf kependidikan Islam, dalam kitabnya Ta’lim Muta’alim pendidikan diklasifikasikan menurut lima faktor pendidikan, yaitu sebagai berikut:

1) Faktor Tujuan Pendidikan; bahwa setiap pelajar seharusnya bertujuan dalam menuntut ilmu untuk mencapai ridha Ilahi, kebahagiaan akhirat, melenyapkan kebodohan dari dirinya sendiri dan orang lain, menghidupkan ajaran agama dan menjaga kelestarian agama dengan ilmu pengetahuan. Bahkan poin ini selaras dengan tujuan pendidikan modern yaitu pendidikan yang diarahkan kepada pembentukan individu dengan sikap kemasyarakatan yang baik.

2) Faktor Terdidik: yang dimaksudkan adalah pelajar, yaitu penuntut ilmu haruslah memiliki sifat-sifat moral yang mulia, seperti: tawadhu (sederhana, rendah hati), iffah (rasa harga diri), tabah, sabar, cinta ilmu, sayang kepada sumber pengetahuan, hormat kepada sesama pelajar, bersungguh-sungguh dalam belajar, komitmen dan disiplin, wara’ (menghindari perbuatan tercela), memiliki cita-cita tinggi dalam ilmu pengetahuan, serta tawakkal (berserah diri kepada Allah setelah usaha).

3) Faktor Pendidik; adalah para guru perlu memperhatikan hal-hal seperti: menguasai ilmu (profesional), wara’ (menjaga dari perilaku tercela), dan cukup umur, berwibawa, santun, dan penyabar.

4) Faktor Alat; ialah segala sesuatu yang langsung membantu terlaksananya pendidikan, meliputi: materi pengajaran dan metode pendidikan.

5) Faktor Lingkungan; dalam hal ini Syeikh Az Zarnuji belum menyebutkannya secara detil seperti lingkungan alamiah, ekonomi, sosial maupun budaya. Namun beliau maksudkan adalah lingkungan pergaulan dalam mencari patner belajar yang bisa berdiskusi bersama, kesungguhan, wara’ watak yang baik, cerdas, dan lain-lain.
Demikian ulasan ringkas yang dapat saya presentasikan yaitu tentang tiga aspek psikologi untuk trilogi yang sinergi antara aspek psikologi, pendidikan Islam, dan lingkup kecerdasan intelegensi manusia atau peserta didik. Tentunya tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga mengharapkan masukan dan kritikan yang lebih dari para pembaca khususnya pakar dalam disiplin keilmuan ini. Wallahu a’lam bish showab.


Daftar Pustaka

Anies, Dr. HM., “Manusia dalam Perspektif Alqur’an; Kajian Kependidikan”, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, dalam Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2008

Hurlock, Elizabeth B. , Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, edisi kelima, Jakarta: Penerbit Erlangga, ____

Jaali, H.. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2007

Khilmiyah, Dra. Akif , M. Ag, Teori dan Model Pembelajaran; Sebuah Diktat Kuliah Akta IV, Yogyakarta: Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta, 2008

Madjidi, Drs. H. Busyairi , Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: Al Amin Press, 1997,

Santrock, John W. , Adolescence; Perkembangan Remaja, edisi keenam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003

Santrock, John W. , Educational Psychology; Second Edition, New York: McGraw-Hill Companies, Inc. 2006

Syah, M. Ed., Muhibbin, Psikologi Pendidikan; Dengan Metoe Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997

Tasmara, KH. Toto , Kecerdasan Ruhaniah (Transcenden Intelligence), Membentuk Kepribadian yang Bertanggungjawab, Profesional, dan Berakhlak, Jakarta: Gema Insani Press, 2001

http://www.psikologizone.com/faktor-yang-mempengaruhi-intelegensi.


*diajukan sebagai tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan,Drs. Yuli Susetyo, M. Psi pada tanggal 09 April 2010.
**penulis adalah mahasiswa Program Akta AKTA IV Angkatan XXVII di UMY Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar