Kamis, 07 April 2011

“Dinamika Kurikulum Nasional; Dari Pendidikan Islam Hingga Laboratorium Agama”*

Oleh:
Cholid Ma’arif**

A. Setting Pendidikan (Islam) di Indonesia

Pendidikan menjadi kesadaran paling utama bagi bangsa yang ingin maju dan berperadaban yang tinggi. Berdasar pengalaman historis, seperangkat sumber daya alam beserta seluruh kekayaannya akan menjadi sia-sia dan cenderung menjadi jajahan bangsa lain jika sumber daya manusianya sendiri tidak mampu mengolah dan memanfaatkan peradaban yang disuguhkan oleh ibu pertiwi. Kenyataan riil inilah salah satunya yang mendasari perjuangan para pahlawan kemerdekaan untuk mampu berdiri pada kaki sendiri merebut kebebasan sejati yang sama artinya dengan merebut pendidikan untuk kepentingan bangsa sendiri.

Tesis ini terbukti dengan munculnya berbagai gerakan modern yang salah satunya dipelopori oleh organisasi Islam, yaitu seperti sekolah Jami’at Khair di Jakarta, bahkan berdiri pada tahun 1905, atau jauh sebelum proklamasi kemerdekaan itu sendiri dikumandangkan. Maka sejak awal kemerdekaan pun pendidikan di Indonesia di semua lini mulai digencarkan. Politik pendidikan mulai menajamkan pisau analisisnya untuk berusaha menjauhkan pendidikan dari sistem lama kolonialisasi dan imperialisme menuju pendidikan yang mencerdaskan anak bangsa (lih. Pembukaan UUD 1945). Terutama dalam ranah pendidikan tinggi, para founding father berhasil mengupayakan didirikannya Universitas Gajah Mada (UGM) sebagai apresiasi atas perjuangan pahlawan nasionalis, dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN, dulu ADIA) untuk menghargai para pahlawan dari kalangan muslim Indonesia yang waktu itu direpresentasikan oleh organisasi kemasyarakatan berbasis Islam seperti Perti, PSII, Masyumi, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan sebagainya.

Bersamaan dengan dibukanya keran kemerdekaan untuk mengatur pendidikan di Negara sendiri, menjamurlah berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, baik formal maupun non-formal. Dari komunitas belajar masyarakat secara kultural, pondok pesantren, yayasan, madrasah, sekolah, sampai perguruan tinggi. Namun diantara sekian varian institusi pendidikan tersebut, beberapa mengalami perubahan maju yang signifikan, khususnya dialami oleh lembaga yang menerapkan system modern maupun yang menggabungkan system klasikal dengan modern. Kedua ciri lembaga seperti ini tentunya mempunyai seperangkat ‘software’ –selain ‘hardware’ berupa sarana dan prasarana fisik pendidikan- yang mumpuni dalam rangka mengatur, mengkonsep, dan mengevaluasi setiap pelaksanaan pendidikan dalam jangka tertentu. Seperangkat ‘sofware’ ini lazim disebut dengan kurikulum.

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam perjalanannya kemudian, efektifitas kurikulum ini selalu dipertanyakan oleh sebagian kalangan. Khususnya dalam ranah pendidikan Islam yang notabenya merupakan klasifikasi tersendiri. Dalam pendidikan Islam di sini, apakah Islam berperan sebagai agama atau Islam sebagai ilmu? Dan sejauh manakah peran kurikulum dalam mengelaborasi pendidikan Islam? Dalam konteks ‘kekinian’ dan ‘kedisinian’, penulis mencoba mengangkat gagasan dimungkinkannya kurikulum Pendidikan Islam dalam Laboratorium Agama. Lalu, dimanakah kemungkinannya? Mengingat istilah Laboratorium Agama sendiri merupakan suatu konsep yang baru.

B. Kurikulum Pendidikan Islam; In Going Process

Sebelum kita melangkah pada pembahasan teoritis dan teknis dari pertanyaan yang dikemukakan di atas, seyogyanya kita memahami problematika dan dilematika yang sejauh ini berlangsung perbenturan dan persentuhan (baca: asimilasi dan akomodasi) antara keilmuan dan keislaman serta implementasinya pada mainstream pendidikan. Hal ini tentu saja perlu diperjelas karena antara Pendidikan Islam dan Kurikulum Negara merupakan suatu istilah yang mempunyai kesamaan di satu sisi dan perbedaan di sisi lain. Jika keduanya merupakan sama-sama turunan dari identitas suatu nama atau symbol (baca: ‘Islam’ dan ‘negara’), namun di sisi lain kedua identitas tersebut mengikut pada dua epistemologi aktifitas (baca: ‘pendidikan’ dan ‘kurikulum’).

Dalam sejarah pendidikan Islam, peradaban pendidikan Islam pertama kali tumbuh di kota Baghdad dengan berdirinya sekolah yang pertama dalam rangkaian sekumpulan besar dari sekolah-sekolah yang teratur, yang didirikan oleh Nidzamul Muluk, seorang menteri kenamaan dari bangsa Saljuk. Sehingga pada tahun 459 H, dipandang sebagai suatu batas yang memisahkan antara pendidikan kaum muslimin di tahun-tahun yang sebelumnya dengan tahun-tahun sesudahnya berkaitan dengan tempat-tempat yang melaksanakan aktifitas pelajaran. Kondisi ini kemudian terjadi pula di Indonesia, dimana banyak berdiri lembaga pendidikan Islam secara tradisional-klasikal di beberapa mushola, masjid, lalu berkembang menjadi situs pondok-pondok pesantren hingga kini dengan modelnya yang modern sekalipun.

Seiring dengan kemajuan di dunia pendidikan yang mendapatkan momennya pada masa kemerdekaan Republik Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia pun juga mulai mencari bentuknya kembali dengan semangat pembaharuan. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan dikumandangkan pun sebenarnya telah muali muncul semangat untuk berpendidikan modern yang diawali oleh organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan Sarekat Islam tahun 1912.

Secara sederhana, kurikulum pendidikan Islam yang pertama pada masa pembaharuan mengandung komposisi pengajaran ilmu-ilmu agama 70% dan 30% ilmu umum. Tipologi kurikulum seperti ini dilakukan oleh Madrasah Nidzamiyah di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur yang didirikan oleh KH. Muhammad Ilyas dan KH. Wahid Hasyim. Dalam perkembangannya kurikulum ini membagi lembaga pendidikan menjadi dua macam, yakni: Pertama, Madrasah al-‘Aam (Madrasah Umum), yang meliputi: Madrasah Awaliyah (tingkat TK, 2 tahun), Madrasah Ibtidaiyyah (3 tahun), Madrasah Tsanawiyyah (3 tahun), Madrasah Mu’alimin Wustha dan Mu’alimin ‘Ulya (PGA-PGAA masing-masing 3 tahun). Kedua, Madrasah Ikhtishashiyyah (Madrasah Khusus), yang meliputi Madrasah At-Tujar (Sekolah Perdagangan), Madrasah an-Najar (Sekolah Pertukangan) dan beberapa sekolah kejururan lainnya. Selain itu juga, pada tahun 1936 didirikan IKPI (Ikatan Pelajar Islam) yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim sendiri dan berhasil mendirikan Taman Bacaan atau perpustakaan yang menyediakan kitab, buku, majalah dan surat kabar dalam beberapa bahasa. Tujuan pembaharuan kurikulum ini tidak lain untuk mempercepat proses kemajuan di lingkungan pondok sebagai basis pendidikan Islam dalam menghadapi masyarakat luar yang selalu dinamis.

Pada pasca kemerdekaan, pendidikan Islam bagai pucuk ditilam ulam tiba dengan dibentuknya Kementerian Agama. Gagasan kurikulum yang diharapkan lebih efektif pun terwadahi dalam beberapa kebijakan yang diambil Kementerian Agama, diantaranya adalah: menetapkan Jawatan Pendidikan Agama dan Jawatan Penerangan Agama; bersama Menteri PPK menetapkan SK Bersama, tanggal 20 Januari 1951, berisi penetapan Pendidikan Agama harus diajarkan di sekolah-sekolah negeri maupun partikulir di bawah Kementerian PPK, mulai tingkat dasar hingga Perguruan Tinggi; melaksanakan peringatan Maulid Nabi pertama kali secara kenegaraan.

Bahkan di bawah naungan Kementerian Agama juga didirikan berbagai lembaga pendidikan, seperti: SGHN (Sekolah Guru dan Hakim Agama Negeri), PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri), juga merintis pengakuan penyetaraan ijazah yang dikeluarkan Kementerian Agama dengan Kementerian PPK, dengan SK Bersama Menteri Agama ddan Menteri PPK tanggal 17 Juli 1951. Poin penting di sini adalah berhasil disusunnya kurikulum Pendidikan Agama untuk sekolah tingkat dasar dan menengah di bawah Kementerian PPK (kini Kementerian Pendidikan Nasional). Perguruan Tinggi juga berhasil dipelopori bersama-sama oleh KH. Wahid Hasyim, Dr. Muhammad Hatta, KH. Abdul Kahar Muzakir dan lain-lain dengan berdirinya UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta, juga PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam) di Yogyakarta pada September 1951 diikuti Akademisi Dinas Ilmu Dakwah di Jakarta yang kini menjadi cikal bakal IAIN/UIN di seluruh Indonesia.

C. Dinamika Kurikulum dalam Konstelasi Kekuasaan

Dari perjalanan yang terjalin antara Kemendiknas dan Kemenag kemudian, khususnya pada konteks penyeragaman dalam penyusunan kurikulum, mendapatkan respon yang beragam dari sebagian masyarakat yang kritis. Hal ini semata bukan karena penggabungan ansich kurikulum agama dengan pendidikan nasional, namun lebih pada dominasi pemerintah dalam upaya menyeragamkan total pembelajaran yang dinilai tidak efektif bagi siswa keseluruhan juga terkesan politisasi kebijakan kurikulum baru setiap ada pergantian pejabat menteri yang baru pula.

Mengacu pada Foucalt (2000), kekuasaaan seharusnya dilihat sebagai bukan sebuah benda yang bias dimiliki, diberikan atau dipindah-tangankan. Karena kekuasaan merupakan strategi yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan mekanisme tertentu. Implikasi ini terjadi sebaliknya dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah, ketika kekuasaan dianggap yang seharusnya bekerja pada Negara, sehingga kurikulum pun dilihat sebagai salah satu wujud system rumit konstelasi kekuasaan tersebut.
Hal ini bisa kita telusuri dari permulaan kurikulum 1975, 1984, dan 1994 yang dikritik karena memberikan terlalu banyak mata pelajaran, materi yang terlalu padat; dan membuat proses belajar mengajar, buku teks, dan ujian nasional (EBTANAS, sekarang UAN) menjadi seragam. Permasalahan menjadi semakin kompleks ketika kurikulum nasional diterapkan di sekolah dengan kondisi yang tidak seragam di tiap-tiap daerah. Padahal jika cermati memang begitulah adanya ketidakmerataan kesejahteraan di Negara Ketiga yang sedang dalam masa Pembangunan ini, tidak semua kondisi dan situasi dapat disamakan.

Salah satu kritik terhadap kurikulum disampaikan oleh Ella Yulaelawai, staf Litbang Diknas, dalam paper berjudul “National Education Reform in Indonesia: Milestones and Strategies for The Reform Process”, yang disampaikan pada The First International Education Reform,
“Tahun 1975, pembaruan kurikulum didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang signifikan. Pembaruan ini menghasilkan kuriklum 1975 yang sangat sarat beban dan sarat muatan, bahan-bahan yang berat dan sangat berorientasi pada sasaran hasil. Ini dipengaruhi oleh paradigm kerangka instruksional, yang sangat mendasarkan diri pada sasaran, instruksi dan evaluasi. Pembaruan tahun 1984 mencoba menyederhanakan itu semua. Pembaruan yang baru tahun 1994 memadukan teknologi lewat pemecahan masalah, berpikir kritis dan keterampilan bertanya dalam praktek di kelas. Dalam pembaruan ini, wajib belajar 9 tahun diimplementasikan dan pentingnya perkembangan Sumber Daya Manusia sebagai factor ekonomis menjadi tekanan.”
Namun demikian, tidak lama kemudian pada tahun pemerintah sempat menyesuaikan dengan perubahan kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Walaupun memang dirasakan masih kurang berhasil dikarenakan ada factor lain yang belum mendukungnya. Lagi-lagi pemerintah meresponnya dengan ‘over-action’ bertindak secepat mungkin yang justru mengesankan transformasi di bawah naungan konstelasi kekuasaan. Yaitu dengan disusulnya perubahan kurikulum lagi dengan istilah KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sejak tahun 2008. Metode active-learning, joyful learning, dan child-centered learning membuat guru berperan sebagai pendamping anak dan fasilitator.
Inipun belum dianggap efektif karena sebenarnya dari sudut pandang kebutuhan anak miskin, kurikulum yang selama ini dibuat oleh pemerintah tidak sesuai. Problem ini khususnya dialami dalam praktik pendidikan di daerah pedalaman yang belum mampu menjawab kebutuhan riil anak didik. Seperti halnya persoalan pendidikan di Papua yang unik, dimana meskipun sekolah digratiskan, namun anak-anak tetap tidak mau sekolah karena belum sampai melihat pentingnya sekolah. Dari sini semestinya pemerintah secara cermat dan cerdas dituntut lebih bersikap professional dengan tidak hanya menyeragamkan kurikulum maupun kompetensi minus infrastruktur yang memadai, mengingat geografis Indonesia yang luas berpencar juga dengan budaya dan lokalitas masing-masing yang berbeda. Sehingga minat dan tradisi kedaerahan hendaknya menjadi perhatian dalam ranah pendidikan yang lebih akomodatif dan distributif.

Perdebatan, diskusi, dan kontroversi layak menjadi catatan bersama tentang apa yang telah dilakukan oleh bangsa yang telah maju dalam bidang pendidikan sudah menjadi hal yang lumrah, seperti Amerika pada era tahun 70-an misalnya. Di sana telah berkembang lima konsep kurikulum sebagai basis akar dan implikasi bagi perencanaan kurikulum. Yaitu: 1) kurikulum sebagai pengembangan kognitif, 2) kurikulum sebagai teknologi, 3) kurikulum sebagai pengalaman nyata, 4) kurikulum untuk rekonstruksi sosial yang relevan, dan 5) kurikulum sebagai rasionalisme akademik.

Mengaca dari apa yang telah diupayakan oleh Negara maju seperti Amerika kepada bangsanya, kita patut berbesar hati karena saat ini telah sedang mempunyai standar kurikulum yang setidaknya memiliki itikad baik untum memperbaiki kelemahan kurikulum di masa lalu, yaitu kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP itu sendiri merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK), yaitu kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan masing-masing satuan pendidikan/sekolah. Jadi, penulis sepakat pada beberapa kemiripan dengan konsep kurikulum sebagaimana yang digagas di Negara maju walaupun disana sudah hampir 30 tahun yang lalu diberlakukan. Khususnya kesamaan orientasi tersebut pada wilayah penggiatan teknologi informasi, rekonstruksi social yang dalam bahasa KTSP menjadi pengembangan minat budaya lokal, peningkatan potensi kecerdasan atau wilayah kognisi, dan kurikulum dalam menjelang dunia kerja atau pengalaman nyata dalam bahasa “Conflicting Concepting Of Curriculum”-nya Amerika.

Meskipun demikian, dalam hal ini penulis tertarik untuk menelisik beberapa poin dari seluruh perangkat KTSP yang telah dikonsep bahkan sedang dilaksanakan sebagaimana target pemerintah yaitu pelaksanaannya menyeluruh pada tahun ajaran 2009/2010 kemarin. Diantaranya secara garis besar adalah terkait dengan struktur dan muatan kurikulum yang salah satunya menyebutkan bahwa muatan lokal sebagai kegiatan ekstra kurikuler yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan cirri khas dan potensi daerah, namun kontra dengan system penilaian hasil akhirnya yang mendasarkan pada penilaian kuantitatif angka.

Artinya dari salah satu contoh kecil ini semestinya ada koreksi ulang atas konsep muatan kurikulum yang sedang dipublikasikan dalam buku pedoman KTSP tersebut. Karena mau tidak mau materi pengembangan muatan local adalah sesuatu yang empiris dan dinamis dalam budaya dan estetika tindakan, dan bukan berorientasi pada nominal nilai sebagai parameter keberhasilan anak didik nantinya. Keraguan pada dilematika parameter penilaian yang diterapkan di tingkatan sekolah ini pada akhirnya berimplikasi juga dengan ketidakpercayaan Perguruan Tinggi Negeri terhadap hasil nilai Ujian Nasional (UN) yang akan dihelat tahun 2011 ini. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh sejumlah rector perguruan tinggi negeri yang menolak parameter UN saat ini karena disinyalir masih banyak masalah dalam penyelenggaraan ujian nasional sehingga banyak hal mesti dibenahi terlebih dahulu. Bahkan mereka menilai kebijakan sejumlah daerah yang menaikkan nilai rata-rata UN hanya menyangkut gengsi daerah saja. Kalau sudah begini, lalu yang menjadi pertanyaan besar adalah dimanakah kebijakan pemerintah yang benar-benar bijaksana dan solutif dapat kita temui?

D. Mengenal Laboratorium Agama; Basis Integrasi dan Interkoneksi

Dalam hal ini penulis tertarik untuk sedikit mengulas Laboratorium Agama Masjid Sunan Kalijaga yang berada di bawah naungan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang diresmikan pada tanggal 5 Agustus 2010. Istilah ini menjadi terasa asing didengar pertama kalinya bagi masyarakat umum karena secara identitas bahasa saja merupakan gabungan antara istilah yang konkrit (laboratorium) dan istilah yang abstrak dan holistic (agama).

Sedikit mengulas dari konsep pembelajaran sains fisika –dimana laboratorium merupakan keniscayaan-, bahwa laboratorium dalam pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting. Diantara peran tersebut yaitu: Pertama, sebagai wahana untuk mengembangkan keterampilan dasar (keterampilan generik sains) mengamati atau mengukur dan keterampilan proses lainnya (science process skills) seperti mencatat, membuat tabel, membuat grafik, menganalisis data, menarik kesimpulan, berkomunikasi, dan bekerjasama dalam tim (kelompok). Kedua, laboratorium sebagai wahana untuk membuktikan konsep (verification experiment) atau hukum-hukum alam sehingga dapat lebih memperjelas konsep yang telah dibahas sebelumnya. Ketiga, laboratorium sebagai wahana mengembangkan keterampilan berpikir melalui proses pemecahan masalah dalam rangka siswa menemukan konsep sendiri (inquiry experiment). Melalui peran ini, laboratorium telah dijadikan wahana untuk learning how to learn Wiyanto (Gunawan et al., 2009); Samsudin, Suyana, dan Suhendi (2009).

Dalam implementasi konsep tersebut, Laboratorium Agama Masjid Sunan Kalijaga bukanlah hasil dari upaya untuk memplagiasi prinsip, namun merupakan upaya invantori sebagaimana yang diuatarakan oleh Paulo Freire. Hal ini dapat kita pelajari dari dicanangkannya tiga fungsi dasar service –education- center Laboratorium Agama Masjid Sunan Kalijaga, yaitu: Pertama, sebagai pusat kegiatan ibadah dan keislaman, baik berupa dakwah, kajian, pelatihan, maupun layanan public dalam bidang keislaman di lingkungan UIN Sunan Kalijaga. Kedua, sebagai pusat pengembangan dan kajian core-values UIN Sunan Kalijaga, khususnya integrasi-interkoneksi keilmuan umum dan keislaman yang bermuatan nilai-nilai dedikatif-inovatif, inklusif, dan continous-improvement. Ketiga, sebagai pusat syiar UIN Sunan Kalijaga dalam bidang keislaman dan social kemasyarakatan guna meningkatkan distinctive competitiveness value institusi yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat.

Setelah penulis paparkan secara ringkas mulai dari latar pendidikan Islam di Indonesia sampai dengan polemik tiada akhir dari desain dan aplikasi kurikulum yang digagas oleh pemerintah, ada garis kecil yang hendak penulis sampaikan dalam tulisan ini adalah belum adanya relasi yang terintegrasi antara satu pemahaman dengan yang lainnya dalam menafsirkan kebijakan kurikulum di tingkatan elit pemerintah, juga belum adanya implementasi yang saling terinterkoneksi antar daerah satu dengan yang lainnya. Karena sebenarnya integrasi dan interkoneksi bukan bermaksud untuk menyeragamkan misi dalam satu visi, namun secara total menarik benang merah dari problematika yang seharusnya ada dan seharusnya ditiadakan dalam system kurikulum nasional kekinian. Sehingga implementasi dan aplikasi yang ada tidak terkesan ‘setengah-setengah’ antara gerak dan berhenti.

Merunut dari inti persoalan akan adanya konstelasi kekuasaan dalam pengendalian totalitas kurikulum, ada implikasi yang mesti terjadi karena upaya penguasaan sistematis dari Negara, yaitu kurikulum pendidikan berbasis ‘perlawanan’ positif. Artinya di sini menuntut adanya persaingan dari kreatifitas-kreatifitas dari sebagian manusia yang ingin merdeka dari segala system. Salah satunya adalah dengan menerapkan lembaga pendidikan yang berbasis lokal secara total, seperti yayasan, pondok pesantren, education center, dan sebagainya., namun tidak pula bertentangan secara sistem dengan Negara. Hal inilah yang kemudian termasuk melandasi konsep alternative bernama Laboratorium Agama.

Daftar Pustaka

Eisner, Ellioot W. & Vallance, Elizabeth (ed.), Conflicting Conceptions of Curriculum, California: MrCutrhan Publishing Corporation, 1974

Kompas, “Pendidikan dan Kebudayaan”, Kamis, 31 Maret 2011

Kompas, Pendidikan dan Kebudayaan, edisi Rabu, 6 April 2011

Muslich, Masnur, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; Dasar Pemahaman dan Pengembangan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1980

Pradipto, Y. Dedy, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007

Sya’labi, Prof. Dr. Ahmad , Sedjarah Pendidikan Islam, Djakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1970

Suprapto, H. M. Bibit , SH., MSc., MSi., Ensiklopedi Ulama Nusantara; Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2010

Sunan Kalijaga News. Edisi VII No. 34 / Juli – Agustus 2010


*Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Analisis Materi dan Kurikulum oleh dosen pengampu Drs. HM. Suprapto, M. Pd pada hari Kamis tanggal 7 April 2011
**Penulis adalah mahasiswa program Akta IV Angkatan XXVII di UMY.

0 komentar:

Posting Komentar