Kamis, 07 April 2011

Menjadi Pengajar Dan Pembelajar “Ala Gue” * (Visi dan Misi Seorang Guru; Perspektif Subjektif-Komparatif )



Oleh:
Cholid Ma’arif **


A.Guru; (Masih-kah) Di-“gugu” dan Di-“tiru”

Dalam interaksi pertama proses perkembangan manusia tidak akan pernah bisa lepas dari peran dan konsep seorang guru. Karena ia begitu berperan dalam mewarnai corak pemikiran, gaya hidup, perilaku, bahkan pada tahap pengambilan keputusan sekalipun seseorang tiada akan pernah bisa lepas dari pengaruh seorang guru. Pun asumsi di atas tidak selamanya benar jika kita jauh sebelumnya mampu mengenal dan memahami konsep pendidikan dengan baik dan benar serta kritis. Sebab, mau tidak mau pendidikan merupakan proses yang telah mengakar tajam dalam setiap hubungan dan komunikasi seseorang dengan lain orang.

Tambahan, dalam konsep Islam dikenal dengan guru kedua selain guru utama sendiri yang ada di ranah pendidikan formal sekolah maupun madrasah, dialah kedua orang tua. Kalau boleh penulis mengatakan, bahkan orang tua adalah guru yang kedua namun setelah Alqur’an sebagai guru yang utama dalam bahasa ketuhanan, baru setelahnya adalah pengajar di lembaga formal sebagai guru yang ketiga. Opini ini tidak lain dimaksudkan untuk mengoptimalkan secara massif atas peran diri sebagai personal yang hendaknya senantiasa merespon untuk selalu mencari “guru” dalam hidupnya. Jika dapat digarisbesarkan akan menemu pada titik aspek pendidikan kehidupan berguru pada Alqur’an, aspek pendidikan kepribadian berguru pada kedua prang tua, dan aspek pendidikan pendewasaan berguru pada guru atau pengajar di lembaga formal semisal sekolah, madrasah, maupun pesantren.

Dari ketiga klasifikasi tentang keguruan di atas, dalam tulisan ini hanya akan menyoroti tentang guru kaitannya dengan idealisasi perspektif penullis sendiri dalam menghadapi konteks kekinian dan masa depan. Hal ini mengingat guru dalam kaitannya di bidang pendidikan merupakan peran vital yang mesti dimainkan secara professional, terukur, bertanggungjawab, bermoral, dan mengutamakan pada proses daripada sekedar tujuan pragmatis. Namun, sejauh pengamatan penulis aspek-aspek tersebut hanya berlaku di ranah formalitas dan terkesan pragmatis. Presumsi ini menjadi maklum ketika di sisi lain tentang sarana dan prasarana yang melingkupinya (baca: seperangkat fasilitas, kurikulum, kebijakan pendidikan, pengaruh politik dan ekonomi, social-budaya, kuantitas dan kualitas SDM, dan lain-lain) juga tengah diserang oleh pengeroposan sistemik –untuk tidak mengatakan secara struktural.

Kenyataan ini menjadi niscaya ketika pada masa kekinian banyak kita dapati kesejahteraan guru yang masih ‘jauh panggang dari api’. Dengan kata lain, tujuan pemerintah untuk melaksanakan amanat UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila berbanding balik dengan implementasi di lapangan yang sedang terjadi. Hal ini bias kita temui dengan banyaknya aksi demonstrasi di sejumlah daerah yang dilakukan oleh tenaga guru sendiri dengan turun di jalanan secara langsung menuntut sebagian haknya yang diabaikan oleh pemerintah. Di sisi lain, ada juga kasus yang bersangkut paut dengan oknum guru secara moral melakukan tindak asusila sebagaimana terjadi di kabupaten Jombang, Jawa Timur beberapa waktu lalu.

Segelintir contoh kasus tersebut sedikit banyak berpengaruh pada cara pandang murid atau siswa kepada gurunya. Walaupun tindakan yang menyisakan stigma negative tersebut dilakukan di luar kelas atau di luar forum pembelajaran formal sebagaimana halnya terjadi secara langsung bersama dengan murid. Namun, secara tidak langsung, didukung dengan derasnya arus globalisasi dan informasi khususnya, siswa sangat mungkin mengkonsumsi mentah-mentah informasi tersebut. Tentunya hal ini berdampak pada psikis dan system motorik siswa untuk kemudian meresponnya menjadi sesuatu yang layak ditiru tanpa analisis yang mendalam. Karena telah terpatri dalam benak dang pengetahuan siswa bahwa seperti dalam falsafah Jawa, guru adalah ‘orang yang mesti di-gugu (baca: ditaati) dan di-tiru (diteladani). Pada konteks kekinian, seberapa jauh kepatutan guru untuk diteladani siswanya? Dan bagaimanakah upaya untuk menjadi guru yang idealis dalam lintas ruang dan waktu?

B.Konsep Guru Dalam Perilaku Semesta

Sudah menjadi sistem keteraturan alam bahwa segala sesuatu yang ada dan sedang berjalan di dunia ini selalu ada pihak kedua dalam membantu keberlangsungannya. Seperti bulan yang selalu mendampingi bumi untk mengitari matahari. Karena dengan sumber daya gravitasi dan system orbit yang mengatur peredaran bumi dan benda-benda planet lainnya sampai kini berhasil menjaga keteraturan. Hubungan antar kedua relasi maupun lebih tersebut bias disebut dengan berguru, dari sesuatu yang paling kecil sampai sesuatu benda yang paling besar. Karena di dalamnya ada proses-proses positif, seperti: hubungan transformasi, keteraturan, kekompakan, keberlangsungan, kebermanfaatan, pengetahuan dan keilmuan, serta kemajuan pada tindak lanjutnya.
Perilaku alam semesta tersebut selama ini –sadar atau tidak- juga telah mutlak terjadi dalam diri seseorang dan personal lainnya –paling tidak- yang menurut istilah penulis disini adalah disebut pendidikan. Ya, pendidikan telah mendarah-daging di sekitar kita bahkan sejak kita masih dalam kandungan sudah mendapatkannya. Proses ketika seorang ibu selalu memakan makanan yang bergizi dan sehat, ketika sang ayah pun berperilaku lemah lembut kepada istrinya yang sedang hamil, adalah sama-sama berorientasi pada perkembangan anak atau janin yang masih dalam kandungan. Dalam tradisi agama-agama, termasuk disini Islam, bahkan nilai pendidikan secara spiritual ditujukan kepada orang yang telah mati sekalipun. Sebagaimana terjadi dalam prosesi pemandian jenazah, pensalatannya, hingga pemakamannya semuanya dilakuakan dengan khidmat dan tulus ikhlas dari orang-orang diluar diri jenazah tersebut.

Dalam terminologi pendidikan itu sendiri, ada konsep yang disebut dengan guru dan murid. Mereka bias juga berperan untuk merepresentasikan fungsi-fungsi dan system yang selama ini berlaku di alam. Ketika seorang murid membutuhkan perlindungan maupun asupan, itu menandakan akan ketidakberdayaan dirinya. Begitu juga ketika ada respon dari sesuatu di luar dirinya yang dengan langsung menjaga dan melindungi bahkan membimbing dirinya hingga menjadi sesuatu yang lebih baik, itulah fungsi yang sama halnya diperankan oleh guru.

Proses pembentukan karakter dan kepribadian seseorang memang tidak bisa lepas dari hasil interaksi antara makhluk yang satu dengan yang lain. Karena berpegang pada satu prinsip bahwa Dzat yang sama sekali tidak membutuhkan dengan lain itulah Sang Khalik. Bahkan tak terkategori semua jenis dan macam makhluk dengan berbagai tipenya mesti memerlukan –paling tidak- pengaruh dari sesuatu di luar dirinya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Hal semacam ini bisa kita lihat dalam perilaku alam di sekitar kita, ketika tumbuhan mulai mekar dan mengarahkan daunnya menuju sinar matahari karena ia tertarik dengan sinar yang menjadi sumber pemanasan klorofilnya, ketika air mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah, bahkan ketika bebatuan yang keras pun mampu terkikis sedikit demi sedikit karena adanya perubahan dari pergerakan air yang menerjangnya maupun udara dan angin yang menimpanya.

Sama halnya dengan proses perkembangan manusia dalam upaya memperkaya jati diri dan meneguhkan eksistensinya kaitannya dengan merespon gejala dan problematika di dunia. Ia senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka mempertahankan hidupnya. Tiba-tiba saya teringat dengan sebuah film “Fighting To The Fitlest” yang mengkisahkan tentang peristiwa nyata dari sekelompok orang yang berupaya mempertahankan hidup setelah terdampar di semananjung luas kutub selatan yang sangat dingin dan bahan makanan yang semakin menipis hingga satu persatu diantara mereka tewas karena cuaca yang memang sangat dahsyat dinginnya. Sampai pada orang terakhir yang masih bertahan berpikir bagaimana cara agar dapat berjuang mempertahankan hidup dalam kondisi yang sangat minus tersebut. Dan dia terpikir untuk menghangatkan badannya dan menjaga suhu badannya agar tetap hangat dengan cara memakan bangkai satu persatu kawan-kawannya yang telah mati sekalipun sambil berjalan kaki mencari pertolongan mengarungi padang salju nan luas dan sunyi.

Penggambaran dari deskripsi di atas adalah beberapa nilai yang terkandung dalam usaha mempertahankan hidup yang panjang. Karena pada era yang serba tidak menentu ini ketahanan materi bukanlah lagi menjadi penentu maupun pelindung seseorang dari derasnya arus globalisasi. Jika demikian halnya yaitu pemenuhan kebutuhan hanya dengan materi, maka semacam itu tidak ada bedanya dengan seekor hewan yang belum tentu bisa membedakan baik buruknya kandungan makanan yang akan dimakannya. Dalam arti lain tidak memperhitungkan secara cermat resiko yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Kembali pada nilai-nilai yang dapat diambil dari kisah alur perjalanan tersebut dan analoginya dapat kita runut sebagai berikut: 1) ada dan keberadaaan orang selalu dipengaruhi oleh tangan lain; 2) ada system di luar diri yang cenderung lebih potensial daripada yang ada dalam diri; 3) relasi yang dibangun antara pengubah dan yang diubah adalah antara subjek dan objek, dimana keduanya saling bertukar peran yang sama sekaligus –walaupun “yang diubah” dituntut untuk lebih aktif; 4) keberanian untuk keluar dari “kotak” kebiasaan yang menjemukan dalam upaya tetap membentuk keteraturan; 5) kreatifitas yang “gila” dalam upaya mempertahankan keberlangsungan; 6) adanya proses reseptasi dan akomodasi atas segala fenomena yang selalu berubah sebagai bagian dari transformasi; dan 7) adanya sense untuk selalu menemukan kebaruan dalam hidup diiringi dengan target dan sasaran tertentu untuk perbaikan langkah selanjutnya.

C.Menjadi “Guru”-nya Guru

Di tengah himpitan ekonomi, dekadensi moral, instabilitas politik kebijakan, inkonsistensi pemerintah, pergeseran budaya, benturan social, dan banyak factor lainnya, pilihan menjadi guru merupakan tantangan tersendiri. Banyak sekali baik factor internal maupun eksternal yang menggelayuti cita-cita menjadi guru sejati yang sebenarnya juga berperan penting dalam partisipasi memajukan kecerdasan anak bangsa. Dalam segaris horizontal, segenap problematika dan dilematika tersebut merupakan turunan dari dampak negatif arus globalisasi yang kurang tepat dalam penyikapan seorang guru.

Poin ini sangat penting mengingat keterlibatan aktif guru dalam proses transformasi pengetahuan, keilmuan, dan pencitraan kepada anak didik semenjak kecil. Karena masa kecil bagi peserta didik merupakan masa yang sangat labil dalam hal penerimaan informasi dan data yang akhirnya menjadikan karakternya di masa mendatang berujung pada satu catatan; bahwa apapun profesi dan cita-cita anak didik nanti tetap morallah yang menjadi taruhan yang sangat mahal untuk merespon krisis karakter seperti terjadi dalam watak birokrasi saat ini.

Jadi, apa yang dilakukan guru saat ini mestilah menjadi langkah awal untuk jangka panjang termasuk dalam mengatasi kebiasaan korupsi, dampak buruk narkoba, dan kasus dekadensi moral lainnya. Sehingga untuk saat ini, sebuah cita-cita harus dibangun dari keadaan yang lebih daripada sekarang. Dalam bahasa saya, saatnya menjadi gurunya guru! Bukanlah sebuah arogansi yang ingin disiratkan dari ambisi di atas, namun sebauh pretensi dalam rangka mengatasi segenap tantangan dan kendala yang telah penulis sebutkan panjang lebar di atas. Adapun tindakan yang mesti dilakukan untuk menjadi gurunya guru adalah sebagai berikut:

1.Pembasisan pada pengetahuan budaya lokal

Budaya merupakan seperangkat sumber budi dan daya dalam diri seseorang. Fokus awal pada sense ini sama halnya berusaha mengenal mereka secara utuh dari aspek antropologi. Dalam budaya telah terkandung aspek norma, adat istiadat, hukum, dan peraturan yang tidak tertulis namun spontan jika kita ajak bersama untuk mengungkapkan. Selain budaya memang sesuatu yang sensitive, sehingga jika kita tunjukkan perhatian kita pada wilayah ini, tentu kita akan mendapatkan respon balik yang positif dari siswa jika kita berhasil menyampaikannya dengan benar dan sesuai pada tempatnya.

Hal ini dapat kita wujudkan dengan mendukung secara konsisten pada porsi mata pelajaran budaya maupun muatan local. Bisa juga dengan menyanyikan lagu daerah setelah sebelum memulai pelajaran setiap harinya Termasuk disini adalah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia raya untuk memupuk rasa nasionalisme. Juga dengan menyanyikan lagu daerah masing-masing daerah secara bergantian dalam tiap harinya. Misalnya hari Senin lagu nasionalisme seperti: Syukur, Ibu Kita Kartini, dan lain-lain. Hari Selasa untuk lagu daerah Jawa, Rabu lagu Irian Jaya, Kamis lagu daerah Kalimantan, dan menyusul hari dan lagu berikutnya. Berdasarkan pengalaman penulis, metode seperti ini belum pernah dilakukan di lembaga formal setingkat sekolah SD – SMP. Penulis yakin dengan penanaman akar kebangsaan dan kebhinnekaan melalui apresiasi singkat di bidang seni semacam ini akan menumbuhkan etos dan semangat belajar yang beraurakan positif dalam suasana pembelajaran.

2.Sublimasi keagamaan yang mencerahkan

Selama ini mungkin yang kita rasakan tentang pendidikan agama adalah suatu pengetahuan yang ‘taken for granted’. Keadaan dan keberadaannya merupakan sesuatu yang sudah terdoktrin untuk kita terima apa adanya tanpa ada upaya membangun konstruksi pemikiran yang mencoba menjelaskan dari dasarnya dan pembuktiannya. Kondisi semacam ini menjadi semakin terkondisikan ketika didukung dengan psikologi perkembangan anak khususnya pada usia SD terhadap agama adalah bersifat reseptif. Artinya penerimaan dan kepatuhannya terhadap agama merupakan sesuatu yang palsu dan rentan terjadi distorsi sikap pada tahap dewasa nantinya.

Tak pelak lagi, kegelisahan ini menjadi problem kedua bagi penulis untuk mengidealkan gurunya guru dalam konteks kekinian. Pengalaman penulis dalam proses pendidikan keagamaan secara klasikal hanya mampu membenamkan pengetahuan agama di ranah kognisi saja. Dalam bahasa psikologi adalah tahap pra-konvensional. Adapun efek paling peka aspek keagamaan ini pun mencapai tahap konvensional, yaitu dimana anak didik merasa berharga dan dihargai oleh orang lain terutama gurunya sendiri ketika ia mampu mempraktekkannya di hadapan orang tua, tentunya dengan mengharap pujian dan sanjungan semata. Walaupun memang dampak dari sikap keagamaan tingkat anak ini tidak begitu mengkhawatirkan di masa muda, namun kemungkinan besar akan terjadi sikap untuk menunjukkan pemberontakan maupun distorsi seiring pada usia remaja kelak.

Dalam rangka inilah pola pendidikan keagamaan dilaksanakan secara motorik dan psikomotorik melalui proses rasionalisasi yang panjang dan argumentasi yang valid. Konstruk nalar bertanya siswa mesti dipancing dari persoalan yang sederhana dan pencapaian pada jawaban yang sederhana pula namun melekat kuat dalam hati dan perasaan siswa, dan bukan sekedar pada akal. Satu misal, selain dengan memberikan materi salat jenazah di kelas dan praktek di laboratorium agama dengan menggunakan boneka mayat sebagai model, siswa juga perlu kita ajak mengadakan kunjungan takziyah langsung ke rumah duka jika ada salah satu keluarga besar sekolah maupun murid yang meninggal dunia. Dari sini hendaknya pengetahuan agama menjadi sesuatu yang konkrit dihadapi meskipun abstrak untuk dipahami dalam tahap awal. Pun antara kognisi, motorik, dan psikomotorik siswa akan bekerja efektif.

3.Pembelajaran yang kreatif dan tepat guna

Situasi kreatif merupakan bagian dari cara persuasive kepada siswa. Karena karakter kreatif itu sendiri sebenarnya sudah melekat pada usia anak SD / SMP berawal dari sikap keingintahuan. Namun pun demikian antara keingintahuan dan respon kreatif mesti di tempatkan pada tempatnya. Salah satu contoh dalam hal ini adalah dengan pembelajaran mata pelajaran jual beli yang juga dapat diselesaikan langsung dengan praktek dan pengamatan terjun di lapangan semisal pasar, took, warung, mal, dan sebagainya. Atau juga pembelajaran menggambar maka yang guru arahkan adalah bukan semata menggambar gunung sebagaimana terbenam dalam benak siswa bahwa pemandangan adalah gunung. Namun katakanlah di tengah lingkungan sekolah yang padat penduduk, sedang di rundung bencana banjir, di pelosok perbukitan, dan lain sebagainya hendaklah menjadi referensi nyata dalam pembelajaran tersebut, khususnya juga pelajaran agama.

4.Kesinambungan perkataan dan tindakan

Dalam pengajaran kepada siswa, sebaiknya guru tidak sekalipun mengeluarkan kata-kata yang bersifat instruktif, namun imitatif. Adalah sebentuk sikap maupun tindakan dengan memberikan contoh langsung kepada siswa bahwa perbuatan maupun ucapan sebagai bagian dari penugasan kita kepada siswa adalah hal yang sama juga dilakukan oleh guru. Semisal ketika menghendaki siswa untuk sekali waktu melaksanakan salat Dhuha, maka yang mesti dilakukan guru adalah dengan bersama-sama melakukan salat itu sendiri, bahkan tidak hanya berposisi menjadi imam, kesempatan menjadi imam mesti juga dipersilahkan kepada salah seorang siswa yang patut. Pun dalam konteks di luar kelas, ketika guru tidak menghendaki muridnya merokok, maka guru mesti juga tidak melakukan hal yang sama khususnya jika bertemu dengan siswa walaupun itu di luar jam pelajaran maupun luar lingkungan sekolah.

5.Penguasaan IT dan pencitraan positifnya

Sudah menjadi maklum bahwa globalisasi menawarkan dua sisi yang saling bertolak belakang dalam hal kamanfaatan dan kemudharatan. Disinilah peran guru seharusnya secara maksimal berperan. Jika dalam suatu sekolah sudah tersedia misalkan hotspot area ataupun laboratorium computer yang terkoneksi dengan jaringan internet, maka semestinya ruang kebebasan dan kreatifitas siswa dalam akses penggunaannya kita maksimalkan dengan pendampingan yang lebih maksimal pula. Tentunya dunia anak penuh dengan hal-hal yang menyenangkan dalam imajinasi mereka, khususnya ketika dihadapkan pada layar internet, entah itu sebenarnya negative atau tidak, seperti: game play-station, situs porno, Facebook, situs berbau SARA, dan sebagainya. Untuk menghadapi gempuran program yang menggiurkan tersebut, guru tidak harus melarang atau reaktif, namun cukup dengan sikap preventif yaitu justru dengan cara kita mengenalkan, tentunya tetap dengan unsure-unsur yang positif. Misalnya dengan mengenalkan game yang edukatif, pembuatan komunitas belajar di Facebook, penugasan berbasis email, publikasi karya melalui blogspot, juga pengenalan situs-situs yang bermanfaat sebanyak mungkin. Sehingga dengan cara ini diharapkan siswa akan sibuk dengan hal-hal yang positif ketika berhadapan dengan dunia TI, termasuk disini adalah menyediakan buku pedoman TI yang sangat lengkap dan mendukung.

6.Menjadikan kelas sebagai ruang kuasa siswa
Dalam pengertian ini adalah memberikan kesempatan seluas—luasnya kepada siswa untuk belajar. System pembelajaran tidak hanya ceramah ansich, namun lebih pada berangkat dari kegelisahan siswa dan guru hanya berfungsi mengantarkan pada pemahaman yang memadai serta tidak perlu menyamakan pemahaman pada hasil akhirnya. Jadi cara ini bertumpu pada siswa misal dengan forum Focus Group Discussion, brainstorming, study-ckub, dan lain sebagainya.

7.Masifikasi dialektika dan karya nyata

Cara ini merupakan salah satu cara untuk memberikan respon terbaik kepada siswa terhadap apa yang telah dilakukannya bersifat positif. Dengan cara seperti ini siswa diharapkan semakin termotivasi dan merasa dihargai atas setiap usaha yang telah mereka kerjakan. Misal dalam hal ini adalah dengan mempublikasikan hasil karya tulis mereka baik berupa gambar, cerita, maupun kliping berita yang kesemuanya berangkat dari penugasan oleh guru di lapangan yang akhirnya berakhir di dinding pajangan maupun blog dan website sekolah. Dengan ini nuansa kompetisi dan apresiasi pun akan terbangun dan termotivasi untuk lebih berkarya dengan baik lagi.

8.Membangun relasi makna antara sekolah dan masyarakat

Pengertian konkrit dari langkah ini adalah membangun komunikasi yang massif baik antara pihak guru dengan wali / orang tua siswa maupun pihak sekolah dengan warga setempat di lingkungan dimana sekolah itu berada. Hal ini sangat perlu untuk dimaksimalkan mengingat kebanyakan waktu siswa dalam setiap harinya justru berlangsung di luar sekolah, entah itu di rumah maupun di lingkungan masyarakatnya. Otomatis guru tidak bisa memantau kegiatan siswa di luar sekolah, sehingga perlu dibangun kesepahaman dengan masyarakat luas dalam pendampingan sifat dan sikap siswa selama di luar pengawasan sekolah. Termasuk dalam hal ini adalah dalam rangka menghindari prasangka yang negative masyarakat terhadap kegiatan yang berlangsung di dalam kelas, sehingga keterbukaan informasi dan komunikasi pun terjadi.

9.Komunikasi dan inisiasi horizontal sesama guru

Terakhir kali menurut penulis untuk bias memiliki kemampuan maksimal di atas guru yang biasa dalam hal kreatifitas adalah dengan saling berbagi kepada sesame guru khususnya di lingkungan kerja sendiri. Hal ini sangat penting untuk mendapatkan keseragaman visi dan misi sesuai yang dibangun di sekolah dimana kita mengajar. Selain itu, dalam tahap yang lebih maju, perlu diadakan pelatihan maupun seminar yang bersifat informal sesama guru dalam rangkan melejitkan kemampuan super masing-masing guru. Seperti acara workshop, seminar, out-bound, pelatihan motivasi, TI, dan sebagainya yang berorientasi pada pengembangan peserta didik dan system belajar yang lebih menarik dan update sesuai perkembangan zaman.

Demikianlah adalah beberapa poin yang dapat penulis sampaikan apa adany dan murni tanpa ada unsure palgiasi dari buku maupun catatan lain selain ide dan gagasan penulis sendiri didasarkan pada pengalaman subjektif dan komparatif. Tentunya masih banyak ditemukan kekurangan dan kelemahan dari segenap tulisan di atas, mohon kritik dan masukan dari segenap pihak demi perbaikan ke depan. Terima kasih.


*Tulisan ini diselesaikan pada hari Senin tanggal 04 April 2011 pukul 08.25 WIB dibuat guna memenuhi salah satu tugas ujian akhir catur wulan pertama pada mata kuliah Psikologi Perkembangan Peserta Didik yang diampu oleh Bapak Yuli Susetyo, M.Psi
**Penulis adalah mahasiswa program pendidikan guru akta IV angkatan 27 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar