Kamis, 07 April 2011

Profesionalisme Guru; Dalam Epistemologi Pendidikan Islam* (Sebuah Tinjauan Profetik)

Oleh:
Cholid Ma’arif **

A. Konstruksi Awal; Sebuah Pengantar

Pendidikan merupakan jantung hidup mati peradaban suatu bangsa. Dalam sejarah berdirinya suatu bangsa beserta perkembangan dan kemajuannya tidak bisa dilepaskan dari peran dan arti penting. Sejauh mana sumber daya yang ada memainkan peran dan fungsinya dengan berbagai cara. Mulai dari taktik dan strategi perang, cara berdiplomasi, sampai dengan mencari mata pencaharian bahkan pencarian agama dan Tuhan sekalipun tidak bisa lepas dari proses pendidikan. Seperti halnya yang dialami oleh nabi Ibrahim As melalui proses kontemplasi yang panjang juga melalui pendidikan.Tentunya dengan berguru pada Tuhan, melalui metodologi pola nalar, dan media pembelaran alam semesta.

Entitas guru dalam dunia pendidikan merupakan keniscayaan. Sebab guru adalah wasilah atau perantara terjadinya transformasi pengetahuan antara dua medium yang memiliki ranah yang sama, antara subjek dan objek, dan antara yang mempelajari dan yang dipelajari, maka di tengah ada yang mengajari. Sebagaimana turunnya wahyu dalam tradisi setiap keagamaan khususnya Islam. Dimana untuk menyampaikan risalah atau pesan-pesan kebajikan yang merupa sebagai doktrin agama, peran nabi atau rasul mesti sangat dibutuhkan tidak lain dalam rangka memainkan perannya sebagai ‘transformer’ pada proses transformasi wahyu kepada ‘receiver’ atau umat manusia. Konsep relasi antara sumber wahyu ini kemudian dalam filsafat pendidikan dikenal dengan sumber pengetahuan sejati, dengan perantara sang transformer ulung adalah seorang Nabi sebagai guru, untuk menurunkan wahyu sebagai konsep ilmu, agar diterima oleh umat manusia sebagai murid semesta. Demikianlah filosofi pendidikan Islam berjalan saling berkelindan. Peran nabi sebagai pembawa berita atau guru sebagaimana disebutkan dalam surah An Naba’ ayat 1 – 3:

Dalam konteks kekinian, konsep tersebut memang telah nyata diwujudkan oleh pakar pendidikan yang merupa mulai dari model pendidikaan tradisional sampai dengan modern. Terlebih dalam pendidikan agama Islam dimana latar yang membelakangi sebenarnya mempunyai kesamaan visi dan misi dengan dakwah Islamiyah, atau bahkan pendidikan Islam menjadi bagian dari gerakan dakwah itu sendiri. Problematika dalam dunia pendidikan ini muncul manakala mulai muncul pergeseran nilai-nilai dasar dan tujuan hakiki dari pendidikan itu sendiri. Hal ini khususnya meletup setelah didengungkannya apa yang menjadi kekhawatiran Huntington tentang ‘clash of civilization’ (benturan peradaban). Momen ini I memaksa antar komunitas di seluruh pelosok dunia untuk saling menemukan sikap dan jati diri yang sesungguhnya di tengah pusaran komunikasi horizontal lintas suku bangsa. Globalisasi pun mulai menyeruak ke hamparan semesta dunia. Untuk ditolak mentah-mentah dengan resiko tereliminasi dari percaturan dunia global? Atau bahkan menerimanya total tanpa ampun menjelma dan menutupi jati diri identitas yang lekas terselubungi? Di sinilah kemudian langkah asimilasi dan akomodasi dimainkan, khususnya berkaitan dengan kualitas pendidikan Islam.

B. Profesionalisme Guru; Antara Simbol dan Nilai
Dua istilah di atas merupakan sesuatu yang berpasangan dan saling mengisi demi mewujudkan idealisme awal akan pendidikan Islam yang dinamis di segala zaman. Untuk itu perlu kita menempatkan kedua istilah tersebut pada konteks suku katanya masing-masing sebelum merumuskannya dalam pemahaman yang utuh.

Istilah ‘profesionalisme’ mempunyai akar kata dari ‘profesional’ yang berarti ‘mengenai profesi; (mengenai) keahlian; masuk golongan terpelajar / ahli; pemain bayaran. Kemudian mendapatkan tambahan kata ‘isme’ yang berarti paham atau aliran kepercayaan. Jadi profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Sedangkan guru dalam istilah pendidikan merupakan representasi dari seorang pendidik. Bahkan dalam narasi keagamaan dan pendidikan Islam, ulama, kiai, dan pemimpin serta tokoh agama bisa disebut juga sebagai kategori guru. Sebab di dalamnya terdapat misi perbaikan moral manusia, sama halnya dengan tugas besar yang dibawa Nabi, yaitu untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana dikatakan bahwa إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق.

Kedua terminology yang bergabung menjadi satu ini memang mesti diperjelaskan maknanya secara detil lagi seperti di atas. Hal ini untuk mereview akan kesalahan umum atas makna professional yang dilihat dari aspek penampilannya saja, namun sebenarnya di dalamnya ada tuntutan kualitas selain juga kuantitas dalam menggeluti profesi yang sudah menjadi bidangnya. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik.

Dengan demikian ada prasyarat dan ketentuan yang meliputi tolok ukur profesionalitas seorang guru. Adapun karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Sedangkan secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, (4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.

Keistimewaan makna kata professional ini tentunya menemukan transformasi peran yang tidak main-main, mengingat pelabelan ini melekat pada fungsi dan tanggungjawab seorang guru. Sehingga sebelum memasuki ranah karakterisasi profesional guru, jauh sebelumnya peran ini mengkantongi sejumlah kompetensi dan kualifikasi pendidikan. Pertama, adalah kualifikasi pendidikan yang hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.

Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated training and practice). Syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien (authority over clients). Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than self-interest orientation).

Lebih dalam lagi, untuk meningkatkan kesadaran total baik secara spiritual maupun akademik, seorang guru pendidikan Islam khususnya mesti memahami semangat kenabian sebagaimana disinggung sedikit di atas, nilai dan semangat kenabian ini seringkali disebut filsafat profetik. Sintesa awal kembali pada profetik kenabian bukanlah hal yang dibuat-dibuat demi melihat banyaknya ketimpangan social dan dekadensi moral masih menjalar di kehidupan masyarakat dan bangsa. Artinya ada hal-hal yang tidak bias diselesaikan dengan kualifikasi administrative sebagaimana disebutkan pada paragraph sebelumnya, namun konstruk pemahaman awal tentang kesadaran diri manusia sebagai khalifah fi ardhi merupakan keniscayaan untuk menjadi manusia seutuhnya.

C. Falsafah Kenabian Melahirkan Sosial Profetik; Upaya Menarik Akar

Dalam peristilahannya, filsafat atau falsafah adalah pengetahuan tentang asas-asas pikiran dan perilaku; ilmu mencari kebenaran dan prinsip-prinsip dengan menggunakan kekuatan akal; pandangan hidup (yang dimiliki oleh setiap orang); ajaran hokum dan perilaku; kata-kata arif yang bersifat didaktis. Sedangkan profetik adalah kenabian, terkait dengan nilai-nilai dan sikap serta semangat yang sifatnya abstrak dan universal berbasis nabi.

Untuk memahami alur dan setting dari pemikiran filsafat profetik ini, penulis mengacu pada konsep Ilmu Sosial Profetik-nya Kuntowijoyo sebagai basis latar belakang yang mengawali kemudian kemunculan pendidikan berbasis profetik sebagai solusinya. Bahwa dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada problematika yang terjadi di masyarakat adalah terkait relevansi penafsiran agama dalam merespon perubahan dunia yang begitu dahsyat menjadi sebuah tuntutan. Sebagaimana dilansir oleh Mun'im A. Sirry bahwa saat ini umumnya, agama yang kehilangan kemampuan untuk merespon secara kreatif perubahan sosial, kerap menampakkan wajah fundamentalistiknya.

Menurut Kuntowijoyo, pemahaman terhadap ajaran Islam, lebih khusus lagi pada aspek teologi memerlukan penafsiran-penafsiran baru dalam rangka memahami realitas yang senantiasa berubah. Usaha melakukan reorientasi pemahaman keagamaan, baik secara individual maupun kolektif adalah untuk menyikapi kenyataan-kenyataan empiris menurut perspektif ketuhanan. Yaitu dengan cara mengelaborasi ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial. Maka muncullah Ilmu Sosial Profetik (ISP).

ISP adalah ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. ISP secara sengaja memuat kandungan nilai- nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat. Nilai ini diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an Surat Al Imran ayat 110, yang artinya : “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah”
Tiga muatan nilai sebagai karakterik ISP dari ayat di atas adalah : 1) humanisasi (menyuruh kepada yang ma’ruf atau menegakkan kebaikan), 2) liberasi (mencegah kemunkaran), dan 3) transendensi (beriman kepada Allah).5 Asal usul pemikiran ISP Kuntowijoyo ini diilhami oleh tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudi. Dalam buku “Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam” karya Iqbal, diungkapkan pengalaman Nabi Muhammad yang telah sampai ke tempat yang paling tinggi, yang menjadi dambaan setiap insan, tetapi Nabi Muhammad tetap kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya. Nabi Muhammad menjadikan pengalaman itu sebagai kekuatan psikologis untuk mengubah kemanusiaan. Sunnah nabi ini yang dinamakan etika profetik .

Dari Roger Garaudy, konsep filsafat profetik-nyalah yang mengilhami Kuntowijoyo, yaitu anjuran agar umat manusia memakai filsafat kenabian dari Islam dengan mengakui wahyu, karena filsafat barat sudah ‘membunuh’ Tuhan dan manusia (Garaudy, 1982 : 139-168).6 Pemaknaan atas ayat Al Qur’an yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo di atas, dalam pandangan Abdul Munir Mulkhan, ditempatkan sebagai cara atau metode penerapan ajaran Islam dalam realitas kehidupan empirik. Menanggapi konsep ISP Kuntowijoyo ini, M. Syafii Anwar dalam Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia menyebut pemikiran Islam Kuntowijoyo sebagai pemikiran ‘Islam Transformatik’, yaitu pemikiran yang bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan. Ia menambahkan, bahwa transformasi Islam idealnya merujuk pada pemecahan-pemecahan masalah empiris dalam bidang ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial, dan lainnya sehingga masyarakat bebas dari belenggu ketidakadilan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Humanisasi, dalam pandangan Kuntowijoyo dimaksudkan sebagai memanusiakan manusia, yaitu upaya menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang mulia sesuai dengan kodrat atau martabat kemanusiaannya. Berdasarkan pemahaman ini, maka konsep humanisasi Kuntowijoyo berakar pada humanisme-teosentris, yaitu manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia sendiri. Adapun liberasi yang dimaksud Kuntowijoyo adalah nilai- nilai yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu.
Transendensi adalah unsur terpenting dari ajaran sosial Islam yang terkandung dalam ISP dan sekaligus menjadi dasar dari dua unsur lainnya, yaitu humanisasi dan liberasi. Yang dimaksud transendensi dalam pandangan Kuntowijoyo adalah konsep yang diderivasikan dari tu’minuuna bi Allah (beriman kepada Allah), atau bisa juga istilah dalam teologi (misalnya persoalan Ketuhanan, makhluk-makhluk ghaib). Kuntowijoyo melanjutkan, transendensi ini akan memberi arah ke mana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Adapun bagi umat Islam, transendensi tentunya beriman kepada Allah SWT.

Upaya menanamkan dan memupuk nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi akan lebih efektif dilakukan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan, tidak akan pernah lepas dari penanaman nilai-nilai, guna membentuk profil manusia yang dewasa secara pola pikir, sikap, dan tingkah laku serta berakhlakul karimah. Hal ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Barnadib, bahwa tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai- nilai yang ada di dalam ‘gudang’ di luar ke jiwa anak didik. Ini berarti bahwa anak didik itu perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi yang tinggi.

D. Menjadi Guru Profesional-Profetik; Epistemologi Pendidikan Islam

Berangkat dari kedua pembahasan terma di atas, yaitu pergulatan dan setting antara profesionalisme guru dan falsafah social profetik, selanjutnya penulis tertarik untuk mencari sebuah tesis awal kemungkinan dimunculkannya epistemologi pendidikan Islam sebagai basis implementasi. Ada lima epistemology pendidikan Islam yang akan diupayakan bersandar pada aspek teologis, inspirasi pesan-pesan Islam, atau pengalaman para ilmuwan Muslim. Terutama sekali dari hasil perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Alqur’an, hadis Nabi dan penalaran sendiri, untuk sementara didapatkan lima macam metode yang secara efektif untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu: metode rasional (manhaj ‘aqli), metode intuitif (manhaj zawqi), metode dialogis (manhaj jadali), metode komparatif (manhaj muqarani), dan metode kritik (manhaj naqdi). Adapun penjelasan dari kelima metode tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut:

1. Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)

Adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau criteria-kriteria kebenaran yang bias diterima akal, seperti sepuluh lebih banyak daripada lima. Metode ini dapat dipakai dalam mencapai pengetahuan tentang pendidikan Islam, terutama yang bersifat apriori. Dalam situasi ini, seorang guru memungkinkan melakukan hal yang sama seperti yang pernah dilakukan oleh NabiIbrahim As dalam proses menemukan Tuhannya yaitu dengan perenungan yang dalam namun logis dan runut, sehingga anak didik menjadi lebih mantap dalam memahami mata pelajaran ilmu tauhid misalnya.

2. Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)

Menurut substansi pernyataan Marcel, pada mulanya intuisi muncul sebagai suatu apriori, tetapi kemudian muncul dalam kapasitasnya sebagai aposteriori, yaitu pengetahuan yang timbul sebagai hasil dari pengalaman, atau dengan istilah lain adalah pengetahuan setelah pengalaman. Dalam tataran ini, seorang guru yang professional mesti mengajak siswanya untuk studi di luar kelas, yaitu dengan melakukan pengamatan dan penelitian langsung dari alam dan lingkungan untuk kemudian menemukan semisal tentang konsep pasar dan masyarakat pelosok, satu contoh.

3. Metode Dialogis (Manhaj Jadali)

Adalah upaya menggali pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan (tanya-jawab) antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan rgumentasi-argumentasi yang bias dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam konteks pembelajaran siswa, seorang guru harus bisa memainkan peran sebagai moderator dengan siswa sebagai pembicara yang saling berdebat dan berdiskusi dalam forum kelas.

4. Metode Komparatif (Manhaj Muqarani)

Adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan pendidikan Islam) dengan cara membandingkan teori maupun praktek pendidikan, baik sesama pendidikan Islam maupun dengan pendidikan lainnya. Diantara keistimewaan perbandingan pendidikan adalah terbentuknya mutual-understanding between countries, membangun peace-education atas dasar kemanusiaan, meningkatkan wawasan multi-cultural education, juga dapat mempelajari kelemahan dan keunggulan, serta perbedaan teori dan praktek pendidikan di berbagai tempat yang berbeda.

5. Metode Kritik (Manhaj Naqdi)

Adalah usaha menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai alternative pemecahannya. Dengan cara ini, seorang guru yang professional mutlak memiliki curiosity yang tinggi atas pelbagai praktek pendidikan yang digelutinya sebagai syarat berkembangnya situasi dan kondisi keilmuan menuju sumber daya yang tangguh, yaitu dengan mengoreksi dan selalu mengevaluasi langkahnya












Daftar Pustaka


Assegaf, M. Ag, Drs. Abd. Rachman., Internasionalisasi Pendidikan; Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara islam dan Barat, Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2003

Mulkhan, SU, Dr. Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002

Partanto, Pius A. & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola, 1994

Qomar, M. Ag., Prof. Dr. Mujamil , Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional hingga Metode Kritis, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005,






*Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Teori Pendidikan oleh dosen pengampu Dr. HM. Anies, pada hari Kamis tanggal 07 April 2011.

**Penulis adalah mahasiswa program Akta IV angkatan XXVII di UMY.

0 komentar:

Posting Komentar