Sabtu, 25 September 2010

"DEMOKRASI; ANDA BERTANYA, KAMI MENJAWAB, LALU ANDA BINGUNG.LHO KOK BISA!?"


oleh خالد معارف pada 25 Juni 2009 jam 6:01
 
“Demokrasi; Anda Bertanya, Kami Menjawab, Lalu Anda Bingung”

Oleh: Cholid Ma’arif

Lebih dari sepekan yang lalu kembali proses demokrasi di negara kita Indonesia ini tercoreng cukup dalam. Sebuah peristiwa unjuk rasa telah menewaskan langsung pemimpin aspirasi masyarakat Sumut sebagai salah seorang kepercayaan mereka sendiri, Ketua DPRD Sumatra Utara, Abdul Azis Angkat. Usut punya usut, kejadian tersebut berawal dari aksi demontrasi pemekaran daerah baru setempat.

Ada tiga elemen penting yang kemudian dalam hal ini patut dipertanyakan terkait kebijakan pemekaran daerah baru dan tindakan-tindakan praktisnya yang berdampak pada publik. Pertama, pemerintah pusat sebagai ‘stake holder’ dalam ‘making-decision’, dimana kran pemekaran ini dalam hitungan awal reformasi dimulai pada masa pemerintahan BJ Habibie hingga masa SBY mencapai 205 daerah baru (Kompas, 6 Pebruari 2009). Kedua, pemerintah daerah –baik DPRD maupun aparat keamanan setempat- yang berposisi pada ‘planning-action’ nyata-nyata terbukti kurang tanggap dengan keberadaan mob massa, bahkan cenderung menganggap enteng. Ketiga, adalah massa itu sendiri yang dalam tindakannya praksis pada mental ‘barbarian-kolektif’, ironis manakala kemudian mengatasnamakan kekuatan rakyat.

Menurut Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah memang sudah jelas. Namun lagi-lagi yang menjadi kendala adalah epistemologinya dimana DPR kerap kali menginisiasi RUU pembentukan daerah baru, sedangkan persyaratan admninistrasinya belum sepenuhnya lengkap.

Hal ini menunjukkan lemahnya koordinasi dan komunikasi antar daerah dan pusat kaitannya dengan masyarakat sipil pada umumnya. Sehingga secara tidak langsung mengidentikkan dengan berjalannya proses demokrasi yang kurang utuh. Ironisnya, kenyataan ini terakomodir secara implisit dalam tubuh tiga elemen tersebut di atas. Apalagi kemudian yang mengarah pada aspek intrapersonal, dimana John Dewey, seorang filsuf pendidikan, pernah mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu kondisi masyarakat yang diresapi oleh karakter penghormatan pada semua anggota masyarakat dalam perbedaan.

Kritis dan Anarkis

Terdapat dua kemungkinan yang selalu menggelayuti proses pendewasaan baik secara individu maupun komunal dalam merespon setiap problematika di dunia ini. Kritis dan anarkis dalam perjalanannya selalu andil hampir berjalan berkelindan mewarnai karakter bentuk respon dan respek seseorang terhadap segala sesuatu, khususnya yang bersifat kepentingan vital, umum, dan permanen adanya.
Pertama, kritis adalah daya kritis sebagai perwujudan karakter seseorang untuk menunjukkan eksistensinya dalam masyarakat. Merupakan aspek kognisi ketika ia menyadari antara ke-aku-annya dan dan ke-nyata-annya menggabung sebagai respon sosial. Aspek motoriknya yang kemudian menjelma dalam bentuk identifikasi dan analisa. Sedangkan pemegang kendali dari korelasi ‘feed-back’ tersebut adalah psikomotorik yang dalam tindakannya selalu merespon keterlibatan faktor luar dirinya bagaimana riil proses perwujudannya.

Dalam kronologinya, kritis berhulu dari rasa keingintahuan yang mendalam akan obyek yang lebih besar dari dirinya. Di tataran formatnya ia memposisikan sebagai titik satu yang terkungkung dalam gabungan beberapa titik lain yang sudahi menyatu lebih dulu. Sedangkan ia kemudian berusaha untuk menghimpun satu titik lainnya untuk berkomitmen menggaet himpunan yang telah ada sebagai perwujudan kritis-eksternal, maupun kepada himpunan baru hasil upayanya sebagai kritis-internal. Walhasil ‘bargaining position’ yang dimiliki nantinya yang akan mendobrak atau malah mengasimilasi dengan obyek himpunan diluar dirinya tersebut.

Kedua, anarkis sebagai salah satu bentuk respon tindakan secara frontal galibnya sangat merugikan banyak pihak. Karenanya dipertegas bahwa yang dimaksud dengan anarkisme dalam domain ini bukan corak pemikiran yang bertujuan untuk bersikap kritis sekalipun terhadap segala bentuk totaliterianisme kekuasaan. Anarkisme adalah suatu keadaan dimana ketika tidak ada lagi otoritas yang mengatur dan mengendalikan.
Tidak aneh jika kemudian dalam konteks peristiwa 3 Pebruari di Medan kemarin banyak memicu kerusakan fiskal akibat ulah mobrokasi demonstran. Padahal dalam ketentuan politik negara bahwa jika tidak ada lembaga sosial yang memakai kekerasan, konep negara mengalami eliminasi, dan kondisi itulah yang memunculkan anarki (HH Gerth dan C Wright Mills, From Max Weber, 1958: 78).

Di sisi lain perlu dipahami akan keberadaan suatu entitas yang menekannya sedangkan ia sendiri tidak ada ruang bagi dirinya untuk berekspresi, maka yang terjadi adalah gerakan frontal-radikal yang malah akan mencuat. Sosiolog, ethel M Albert mengatakan: “Jika seorang bawahan sudah menerima perintah, maka ada peluang baginya untuk menghormati perintah tersebut tanpa bermaksud melaksanakannya. Namun, di sisi lain jika ia dapat mengeluarkan perasaan dendamnya dengan mengajukan protes dan penolakan dan menunjukkan superiotasnya dengan atasannya, dia akhirnya pasti akan melakukan apa yang telah diperintahkan

kepadanya”.
Lalu, bagaimana dengan PEMILWA 2009 di UIN beberapa hari lagi nantinya? Pesta demokrasi atau pesta demontrasi. Wallahu a’lam bish-shawab.


Maskam UIN, 07 Pebruari 2009: 09.45 wib

[pernah dimuat dalam buletin PRM DPW Rafak Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta edisi tahun 2009 sebelum PEMILWA]

0 komentar:

Posting Komentar