Sabtu, 25 September 2010

"Filsafat Ramadhan vs Jamaah Bioskop" [Kompilasi Bahasa Budaya dan Filsafat]

"Filsafat Ramadhan vs Jamaah Bioskop"
[Kompilasi Bahasa Budaya dan Filsafat]


Sesuatu yang diperebutkan oleh para ahli nujum -baik itu dalam pengertian ahli falak maupun ahli ramal- akhirnya datang juga. Suatu masa dimana serangkaian dan sekumpulan partikel dan element bahkan pancaran aura layaknya oase setitik di padang panas selangit berada telah ditemukan. Bak penghuni padang mahsyar kini sedikit demi sedikit telah mencecapi dan membasahi lidah dan bibir mereka masing-masing dengan seteguk atau setetes yang mungkin ia dapat dari selama hampir per sepuluh hari oase Ramadhan.

Jamaah Bioskop

Ini belum seberapa jika dibandingkan dengan perdebatan awal dan akhir. Ibarat jamaah yang berebut masuk bioskop, ketika sudah dapat tempat duduk akan nyaman-nyaman saja di dalamnya. Persoalannya sekarang "awas kalo sampe ada yang menghalangi pandanganku ke depan layar". Setengah sadar tempat duduknya memang sedang dilanda tsunami. Jomplang di sana, jomplang di sini.

Pemutar film mulai di jalankan diputar. Dan semua jamaah masih terpana terkesima menanti pada sebidang layar yang masih mencorong putih. Tanpa warna, tanpa gambar. Jamaah yang duduk paling belakang mulai agak risau. Takut ada yang akan berjingkat menghalangi pandangnnya. Jamaah yang duduk di barisan tengah lebih kaku lagi. Seakan mau berdiri namun takut akan karma sosial dari jamaah di belakangnya. Satu sisi jamaah di depannya nampak akan 'kebelet' mengawan hitam menghalang. Sedangkan layar itu masih saja menggoda  merayu penuh penasaran.

Sampai disini pembaca masih kebingungan akan perilaku jamaah penonton bioskop di dalam. Yang jelas bukan karena filmnya apa, atau tempat bioskopnya dimana. Apakah ia film blue, red, green, atau coklat yang manis rasanya itu masih baunya yang seringkali menjebakkan jiwa. Mending kita tarik keterkaitannya dengan perdebatan awal tadi. Dimana perdebatan waktu dimulainya awal Ramadhan layaknya jamaah yang berebut mengantri atas kepastian dirinya masuk gedung bioskop. Menanti dan mengharap penuh kesadaran yang tidak sadar bahwa ruangannya itu tetap akan menampung raganya. Atau bahkan tidak. Ketika ia mati dalam penghujung nyawanya dan gagal menemuinya -Ramadhan.

Ketika sudah tertamping masuk di dalam satu ruangan sekalipun, mau tidak mau orang akan menerima dengan lapang tempat duduknya. Walaupun dalam barisan dan shof serta koridor yang berbeda. Bahwa ada yang duduk di tengah, belakang, atau depan sejauh mata memandang pada setancap layar yang sementara terdiam. Terfokus pada peraturan akan pembagian tiga element dan atau gradualisasi masa dalam Ramadhan. Ini lagi sedikit perlu diperdebatkan agar tidak salah sasaran.

Karenanya hadits sudah mengantarkan bahwa ada keunikan dalam setiap pertiga Ramadhan. Sepuluh hari pertama, Pak Rahmat bermain. Sepertiga kedua Bu Maghfiroh ikutan. Dan sepertiga ketiga Pak Barokah ikutan pula. Lalu, kenapa mesti Pak Rahmat dulu yang bermain? Bukannya Bu Maghfiroh dulu (wah mesti ada pembelaan PSW Pusat Studi Wanita ini, ato bahkan dari tim Studi Pusat Wanita). Dan kenapa juga Pak Barokah yang duluan aja? (dilihat dari namnya kayaknya beliau yang paling tua).

Filsafat Ramadhan

Di tengah keributan, anaknya datang mengingatkan tentang  pelajaran pengantar filsafat semester awal-awalnya saja. Dalam bentara kerangka filsafat yang sok kuat. Aurora fondasi segala sesuatu tidak akan jauh-jauh amat dari tiga hal yang hampir-hampir mirip jika ditilik dari fungsi dan nilai perebutan tiga tokoh pemain di atas tadi. Pembahasan tentang rahmat, maghfiroh, dan barokah; bisa jadi tidak akan jauh amat atau bahkan berdekatan bertetangga dipahami dengan tiga konsepsi filsafat; ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Pertama kali, ontologi yang selalu meributkan diri tentang inti dari(pada) segala sesuatu. Jika 'gathuk'kan dengan keutamaan sepertiga pertama dalam bulan Ramadhan adalah rahmat (inipun jika dianggap benar). Bahwa awal dari segala bentuk dan niat adalah sesuatu yang jadi. Karenanya derivasi istilah "rahmat" sendiri berasal dari "maf'ul" (objek) pada bahasa Arab: "rahima"- "yarhamu" - "rahmatan". Yang bisa berarti bentukan dari hasil dan proses kasih sayang. Seonggok makhluk, bahkan bakteri sekalipun dipastikan tidak akan bisa bertahan hidup kecuali dengan rahmat. Yaitu dengan saling menyayangi dan mengasihi sesama untuk menjalin saling keterkaitan. Seseorang tidak akan mampu mencintai orang lain tanpa ia memiliki rasa dari cinta itu sendiri dalam relung jiwanya yang paling dalam. Itulah mengapa rahmat-lah yang paling pertama kali ditanamkan dalam benak jiwa manusia. Karena Tuhan tidak buta. Sang guru tidak akan mengajari menulis kepada muridnya tanpa ia memegangi mereka polpen dan bukunya. Hanya sebagai awal dan tetap di muka keberadaannya mengawali segala hal. Rahmat. Cinta sebelum semuanya menjadi fa'al.

Setahap kedua lebih maju, carilah jalannya! Bahwa manusia diberi akal dan jiwa untuk mencari jalan pelariannya dari takdir yang kadang menyesatkannya. Karenanya epistemologi menjadi bahasa filsafatnya. Bahwa cara menjadi tumpuan melangkah berikutnya. Sejauh manusia mencari akhirnya ia menemukan Al Qur'an dengan berbagai gelar akademik yang ia punya. Entah itu sebagai "al huda", "al furqon", "al kitab", dan "al", "al" yang lainnya pula. Sungguh konon, ia diturunkan pada hari Nuzulul Qur'an, tanggal 17 Ramadhan. Dimana ia masuk dalam bilangan sepersepuluh kedua dalam tatanan kosmis Ramadhan. Sebagai epistemologi yang tak pernah henti. Sedeikit menjejali manusia dengan sedikit cara bahwa antara Dia dan ia benar-benar ada untuk memperteguh rahmat-Nya.

Selangkah akhir sepersepuluh Ramadhan status "berkah" menunggu di sana. Mendewakan aksiologi sebagai titahnya. Bahwa segala yang sebelumnya menjadi pegangan kini semakin tercengkeram erat dalam genggaman hatinya. Memang mau diapakan lagi kalau tidak semakin memperteguh buah dan buih dari ketakwaannya sepanjang titik oase Ramadhan berada. Dalam seluas mahsyar menerpa. Yang akan ditemui hanyalah cinta-Nya yang Luar Biasa mampu meniadakan yang ada di kanan kiri kita. Dan karena berkah mesti selalu ada sisa-sisa yang kembali pada kita, orang tua kita, anak cucu kita, manusia separahnya hanya menghamba dan mencinta dalam aksiologionya sebagai bentuk pengejawantahan yang nyata tiada tara. Tak pandang Dia jatuh pada malam yang apa dan malam yang mana diantara sepersepuluh akhirnya.

Coba Gathukkan

Sang layar bioskop adalah rahmat yang menjadi fokus para jamaah ketika memasuki bioskop Ramadhan. Duduk bershof-shof dalam barisan yang tidak sama adalah kecenderungan pilihan masing-masing utnuk duduk mendekat atau menjauh dari rahmat yang tersaji di depannya dalam kapasitas pandangan yang berbeda dan kapabilitas penglihatan yang berbeda pula tergantung epsitemologi ketekunannya. Segala bentuk apresiasi dari para jamaah bioskop Ramadhan baik itu ekspresi gembira sedih bahagia sendu tawa cinta duka kecewa gelisah adalah serangkaian aksiologi dari dampak berkah yang ditmapilkan dari bentuk gerak dan warna yang dipancarkan dari sang layar rahmat itu memancarkan berkahnya. Yang duduk paling depan akan sangat terkena psikisnya dengan segala hentakan, menyusul semakin ke belakang hentakan surprise yang diterima akan sedikit berbeda. Terserah para jamaah mau duduk di depan atau di belakang atau di tengah-tengahnya; semua ada resiko dan perjuangannya. Wallahu a'lam bishshowab.

Yogyakarta bagian My Net kidul UIN, 02.38 WIB. 20 Agustus 2010 / 10 Ramadhan 1431 H.

0 komentar:

Posting Komentar