Sabtu, 25 September 2010

"Selamat Hari Kemerdekaan; Untuk Wilayah Istana Negara dan Sekitarnya"

"Selamat Hari Kemerdekaan; Untuk Wilayah Istana Negara dan Sekitarnya"

oleh خالد معارف pada 17 Agustus 2010 jam 7:50
Pagi kala itu, masih sesegar kini. Diirngi riuh rendah ruangan kelas sebelah yang menyoraki kami. Disambut sorak kebanggaan karena terpilihnya aku sebagai salah seorang tim Paskibraka di MI dulunya. Ku awali karir dari barisan paling belakang sejak kelas 4. Hanya karena alasan fisik; postur tubuh tinggi, tampang nggak amat mengecewakan publik, plus anak guru agama, cukup membuatku beralasan terpilih dalam tim ini. Oya, tidak lupa karena termasuk murid yang mudah diatur.

Agak menjelang terik, sembari merapikan kaki-kaki angg berjalan layaknya robot siap tempur dengan semangat Perang Dunia III ,sebuah laten yang mengancam, kami masih berbangga menyeragamkan gerakan barisan penuh dengan seragam ingusan; "pramuka" namanya. Dengan sekali komando: "kanan! kanan kiri kanan kiri kanan! tu! wa! ga! pat! dan seterusnya merupakan pemandangan latihan gerak jalan yang cukup membanggakan di jalanan pedesaan berpeluh harapan para wali mengidamkan putranya akan berguna bagi nusa dan bangsa kelak. Itulah kelas 5 MI, maklum jika kmudian aku sudah berposisi di barisan paling depan. Bahkan menjadi komandan barisan dalam perlombaan gerak jalan antar SD - MI se-Kecamatan.

Ritus-ritus simbol ini masih berlanjut hingga terakhir kalinya masih dalam perwujudan yang sama; lomba gerak jalan agustusan di kelas 1 MTs. Bahkan sampai pada semester ketujuh atau delapan tahun kemudian layaknya mahasiswa KKN di Jogja masih banyak ditemui para warga yang membuatku salut dan bangga. Bukan karena Pemerintahnya, tapi karena negara yang sangat kaya akan masyarakatnya yang berani dan kuat menahan rasa. Entah itu rasa dendam, benci, cinta, ego, gelisah, rindu, phobia, bahkan rasa lapar pun -sementara- para rakyat kecil sekalipun seakan tenggelam begitu saja. Cukup dalam satu hari, tanggal 17 ini saja.

Ya. Topeng kemunafikan dan pegkondisian secara sistemis itu merupa dalam berbagai lomba Agustusan; baik antar anak maupun dewasa, antar jompo dan orang tua, bahkan antara makhluk hidup dan mayat hidup yang gelisah dengan makna kemerdekaan di alam kubur sana. Terang saja suara-suara tercekat itu mencuat dengan bentuk dan rupa yang lain. Termasuk dengan upacara bendera berbagai warna; satu warna merah di bendera bagian atas, satu warna putih di bendera bagian bawah, dan satu lagi bendera warna hitam di kalbu para jiwa yang terjajah oleh hak-hak yang tercerabut dari pang cukong penguasa yang setengah hati. Aku semakin ragu dengan drama upacara bendera, lomba panjat pinang, pagelaran pasukan veteran, terlebih pertunjukkan para anjing-anjing penjilat bak sekompi tak pernah habis dengan senjata lengkap yang siap menggonggong kapan saja dimana saja selai tuan majikannya masih berkuasa.

Menariknya ini terjadi di Istana Negara. Dimana para cukong-mania berkumpul bersatu merapatkan barisan menggelar sesaji kepada para pendahulu yang sebenarnya tidak butuh doa-doa dan pengheningan cipta dari mereka. Ada bapak presiden dengan memakai jas kebesaran dengan kerah baju yang mencekik. Bapak polisi yang tidak puas dengan satu pistol biologis di tengah dan manambahkan satu pistol psikologis di samping badan. Para siswa, murid, guru, dan sebagian mahasisw yan menjadi sampel-sampel kemerdekaan atas  keterwakilan kesejahteraan bangsa Indonesia yang duduk di tribun sana.

Jauh satu keadaan di bawah tribun, lebih jauh lagi di bawah kolong jembatan, lebih dalam lagi nun jauh di alam bawah sadar kemiskinan 17 Agustus tiada arti kecuali hari tanpa libur tersendiri. Dalam kemerdekaan yang tak terperi dalam sedalam sanubari....(bersambung: masih ngantuk banget)

0 komentar:

Posting Komentar